Anda di halaman 1dari 26

MENJADIKAN HUTAN UNTUK MENINGKATKAN

KETAHANAN DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DAN


PENDORONG EKONOMI BANGSA
Disampaikan oleh :
MENTERI KEHUTANAN
PADA ACARA STUDIUM GENERALE
DI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
Bandung, 23 Maret 2011

Bismillahirrohmanirohim
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Salam sejahtera untuk kita semua.

Yang saya hormati;


 Saudara Rektor Institut Teknologi Bandung
 Para Dekan dan Ketua Jurusan
 Civitas Akademika dan Adik-adik mahasiswa yang saya cintai
dan banggakan
2

Kita bersyukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa


karena atas limpahan rahmatNYA, kita dapat bertemu pada
kesempatan kuliah umum pagi hari ini. Saya merasakan suatu
kebahagiaan tersendiri, karena diundang untuk berbagi
pengetahuan kepada civitas akademika Institut Teknologi
Bandung (ITB) tentang hutan dan kehutanan Indonesia.
Kegiatan ini sangat penting karena saya berbicara dengan
calon-calon penerus dan pemimpin bangsa khususnya para
mahasiswa ITB, salah satu perguruan tinggi yang mempunyai
reputasi terbaik di dalam maupun di luar negeri.

Civitas akademika dan hadirin yang berbahagia;

Pertama, saya ingin mengulang ataupun menyitir perkataan dari


salah seorang terkemuka dan sekaligus pemimpin di bidang
lingkungan; Mrs. Bro Harlem Brundtland, tentang tanggapannya
terhadap konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) yang artinya kurang lebih :
3

“...Tidak ada dasar lain dari kebijakan politik yang


tepat selain bukti/fakta ilmiah terbaik yang ada.
Hal ini khususnya berlaku dalam bidang
pengelolaan sumber daya alam”

Pernyataan tersebut diatas menunjukkan bahwa bukti/fakta


ilmiah nerupakan suatu hal yang tidak dapat diabaikan pada saat
kita akan mengambil suatu keputusan tidak saja dalam bidang
politik akan tetapi juga dalam bidang lain terutama keputusan
yang menyangkut kepentingan publik.

Bahwa suatu fakta yang didapatkan tidak berdasarkan atas sains


maka fakta/bukti tersebut tidak dapat disebut sebagai fakta/bukti
ilimiah. Pengggunaan fakta/bukti yang tidak ilmiah akan
mengandung resiko dalam pelaksanaannya karena kita tidak
mengetahui dengan pasti konsekuensi logis yang diakibatkan
dari penggunaan fakta tersebut. Dalam proses pengambilan
keputusan kebijakan publik maka dapat saya pastikan bahwa
dampak yang timbul menyebabkan biaya yang tinggi yang pada
akhirnya merupakan biaya bagi masyarakat (society).
4

Civitas Akademika yang saya cintai,

Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan bahwa pada


tanggal 2 Februari 2011 di New York, telah ditetapkan tahun
2011 adalah “International Year of Forest”. Tema utama untuk
International Year of Forest 2011 ini adalah Forest for People.
Tema ini mengangkat substansi yang berkaitan dengan nilai-nilai
lokal dalam kehutanan antara lain nilai kearifan lokal (tradisional
knowledge), community forest based management, small and
medium forest enterprises, dan hasil hutan yang tidak
memberikan nilai finansial secara langsung (non cash values of
forest).

FAO juga telah meluncurkan secara resmi publikasi FAO yang


berjudul “State of the World’s Forest (SOFO) 2011 yang
merupakan salah satu dari flagship publication yang
diterbitkan oleh FAO tentang kondisi hutan dunia. Isu utama
yang ditampilkan dalam SOFO 2011 ini pentingnya pendekatan
yang menyeluruh dalam pengelolaan hutan dalam menunjang
mata pencaharian masyarakat dan menjadikan hutan sebagai
sumber peningkatan nutrisi dan jaminan pangan. Hal yang cukup
membanggakan adalah, dalam publikasi ini diambil salah contoh
5

tentang tree gardens in Java sebagai skema pamanfaatan


hutan dengan menggunakan sistem agroforestry. Sistem
pamanfaatan lahan seperti ini memungkinkan untuk
memaksimalkan pemanfataan ruang setiap jengkal lahan guna
memproduksi kayu dan tanaman pangan.

Hadirin terutama para mahasiswa yang saya banggakan;

Hutan bukan hanya sekumpulan pepohonan yang menyediakan


kayu, akan tetapi hutan mempunyai nilai yang tidak ternilai
harganya, karena hutan sesungguhnya adalah sebuah ekosistem
penyangga kehidupan. Apabila sumberdaya hutan dikelola
dengan baik maka akan memberikan kebaikan bagi kehidupan
masyarakat. Namun apabila pengelolaannya tidak berdasarkan
kepada prinsip kelestarian maka bencana bagi umat manusia
tidak dapat dihindarkan bahkan bagi generasi yang akan datang.

Berbeda dengan pengelolaan sumberdaya alam yang lain,


pengelolaan hutan memerlukan pendekatan yang menyeluruh
karena hutan mempunyai karakter yang tidak dimiliki oleh
sumber daya yang lainnya. Karakter-karakter dimaksud meliputi;
6

1. Aneka ragam sumber daya


Di dalam hutan tropika terdapat keanekaragaman kehidupan
flora dan fauna, yang secara bersama-sama membentuk
mata rantai kehidupan yang bermanfaat bagi manusia.
Berbagai jenis flora dan fauna mempunyai kegunaan baik
yang telah diketahui manfaatnya maupun yang belum
diketahui. Dalam konteks ini maka upaya yang terintegrasi
untuk menjaga keutuhan ekosistem hutan menjadi sangat
penting terlebih Indonesia adalah negara megabiodiversity
tropis yang sangat besar diantara negara tropis lainnya.
Ekosistem yang terganggu akan menyebabkan timbulnya
wabah penyakit, ledakan populasi dan akibat lain yang pada
tingkat dan kondisi tertentu sulit untuk diprediksi akibatnya.

2. Keragaman Peluang Pemanfataan

Pengetahuan kita tentang isi hutan dan kegunaannya belum


sepenuhnya mampu diungkapkan. Hutan tropika yang dikenal
sebagai mega biodiversity masih menyimpan peluang-peluang
manfaat dan peluang-peluang usaha yang tidak terkira
jumlahnya. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir
kemampuan kita hanya terbatas dalam pemanfaatan
7

kekayaan alam hutan dan terfokus pada kayu dan non kayu,
padahal masih banyak potensi kekayaan lain yang nilainya
jauh lebih besar, antara lain pemanfaatan kondisi lingkungan
dan tumbuhan serta satwa liar.

Karakter-karakter diatas menunjukan bahwa hutan mempunyai


peran yang sangat vital bagi kelangsungan kehidupan sosial,
budaya, ekonomi dan kelestarian lingkungan hidup. Untuk
mewujudkan fungsi hutan yang optimal, maka keberadaan
kawasan hutan di Indonesia seluas 136,79 juta Ha dibagi
menurut fungsinya;

 Hutan lindung seluas 30,96 juta Ha, ditujukan untuk


kepentingan perlindungan tata air, kesuburan tanah dan lain-
lain.
 Hutan produksi yang ditujukan sebagian besar untuk tujuan
produksi kayu dan non kayu dengan luas kawasan hutan
produksi adalah 59,90 juta Ha
 Hutan konservasi seluas 25,29 juta Ha diperuntukkan bagi
kepentingan konservasi sumberdaya hutan dan pemanfaatan
jasa serta wisata alam.
8

Disamping pembagian fungsi tersebut diatas pemerintah telah


mengalokasikan sekitar 20,3 juta Ha hutan konversi yang dapat
digunakan sektor lain seperti untuk pembangunan pertanian,
perkebunan, pemukiman, dan kepentingan umum lainnya.

Dari pemaparan tersebut diatas dan mengacu kepada baseline


yang ada, dapat saya sampaikan bahwa substansi dari kedua
karekter tersebut belum banyak disentuh oleh sains dan
teknologi. Hal ini terlihat dengan masih terbatasnya data,
publikasi dan informasi terutama tentang hasil hutan bukan kayu
baik dalam konteks penelitian dasar (basic research) maupun
penelitian terapan (applied research). Konsekuensinya adalah
akan sangat sulit bagi praktisi untuk mengembangkan teknologi
dalam rangka peningkatan kemanfaatan sumberdaya hutan.

Menurut Dellow (1970), sains adalah kumpulan pengetahuan


yang terorganisasi yang diperolah dan terus bertambah secara
konsisten dengan menggunakan metoda sains. Teknologi adalah
aplikasi dari prinisip-prinsip sains kepada proses keteknikan.
Namun pada tingkatan tertentu teknologi dan sains terapan
kadang-kadang tidak mudah di bedakan.
9

Hutan adalah satu-satunya sistim alam yang efektif dalam


mengatur tata air, tata tanah, dan tata udara untuk kehidupan di
bumi, yang terbentuk melalui proses dan waktu yang sangat
panjang, ratusan bahkan ribuan tahun. Hutan seharusnya
dikelola secara arif dan terukur, yang pemanfaatannya tidak
melebihi daya dukung dan kemampuan pemulihan hutan itu
sendiri. Keterkaitan yang sangat erat antara sumberdaya hutan
dan peran hutan dalam mengatur fungsinya memerlukan ilmu
dan pengetahuan. Dengan demikian maka sains dan teknologi
adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam pengelolaan
hutan. Untuk itu saya berpendapat bahwa sains dan teknologi
adalah hal yang esensial dalam proses pembangunan hutan dan
kehutanan Indonesia.

Civitas Akademika yang berbahagia;

Amanat UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya


Alam Hayati dan Ekosistemnya”, menyatakan bahwa konservasi
sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam
hayati yang pemanfataannya dilakukan secara bijaksana untuk
menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap
10

memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan


nilainya.

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya


(KSDHE) dilakukan melalui kegiatan perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta eksistemnya dan pemanfataan
secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

“Perlindungan sistem penyangga kehidupan” dilaksanakan


dengan cara menetapkan suatu wilayah tertentu menjadi wilayah
perlindungan. Sedangkan yang dimaksudkan “pengawetan”
adalah usaha untuk menjaga agar keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya tidak punah.
Pengawetan di luar kawasan meliputi pembatasan tindakan-
tindakan yang dapat dilakukan terhadap tumbuh-tumbuhan dan
satwa, sedangkan pengawetan di dalam kawasan dilakukan
dalam bentuk kawasan suaka alam dan zona inti taman nasional.

Dalam pengawetan jenis, ditetapkan jenis-jenis tumbuhan dan


satwa yang dilindungi. Jenis tumbuhan dan satwa yang
dilindungi dimaksudkan untuk melindungi species tumbuhan dan
11

satwa agar jenis tumbuhan dan satwa tersebut tidak mengalami


kepunahan. Penetapan ini dapat berubah sewaktu-waktu
tergantung dari tingkat keperluannya yang dicirikan oleh tingkat
bahaya kepunahan yang mengancam jenis yang bersangkutan.

Pemanfataan secara lestari sumber daya hayati dan


ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: pemanfataan kondisi
lingkungan kawasan pelestarian alam dan pemanfataan jenis
tumbuhan dan satwa liar. Pemanfataan secara terbatas
dapat dilakukan baik pada hutan lindung maupun
kawasan konservasi terutama pada blok/zona
pemanfataan untuk tujuan penunjang budidaya,
pendidikan, penelitian dan pariwisata alam.

Saudara Rektor dan civitas akedemika yang berbahagia;

Untuk tujuan konservasi, pemerintah telah menetapkan lebih


kurang 27,2 juta ha hutan dalam bentuk Cagar Alam, Suaka
Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Taman Buru
dan Taman Hutan Raya. Pemanfataan yang lestari terhadap
kondisi lingkungan dan pemanfataan jenis tumbuhan serta satwa
liar mempunyai prospek yang cerah di masa yang akan datang.
12

Pemanfataan kondisi lingkungan seperti penyedia sumber air


dan energi, pemanfataan plasma genetik hutan sebagai sumber
pangan dan obat-obatan merupakan komoditas handal yang
diinginkan oleh masyarakat di tingkat lokal, nasional dan
internasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai
pemanfataan non kayu dari kawasan hutan mencapai 90 %
sedangkan nilai kayu hanya 10% saja.

Pemanfaatan kawasan konservasi Taman Nasional Halimun


Salak, adalah salah satu contoh yang dapat menggambarkan
nilai konservasi tersebut. Taman Nasional Halimun Salak
mempunyai potensi suplai air sebesar 3,2 milyar m3 per tahun
yang nilai ekonominya diperkirakan sebesar Rp. 320 milyar per
tahun. Keanekaragaman hayati dan pesona alamnya telah
menjadi daya tarik wisata bagi 8 juta penduduk terutama dari
Jakarta, Bogor dan Bandung yang menghasilkan Rp 0,5 milyar
per tahun walaupun nilai ini masih sangat rendah dibandingkan
dengan potensi yang ada.
13

Saudara-saudara yang saya hormati;

Dengan pemahaman tersebut di atas maka hutan harus


dipandang sebagai sumberdaya yang utuh. Kita harus
meninggalkan pandangan bahwa hanya kayu yang dapat
dimanfaatkan dari kumpulan tegakan pohon. Hal ini membawa
implikasi bahwa sistem “nilai dan etika” yang mendasari kita
memahami sumberdaya hutan harus berubah. Perubahan
paradigma ini menuntut kita, sebagai komunitas akedemisi dan
anak bangsa untuk melakukan penyesuaian terhadap kerangka
pikir dalam memandang sumber daya hutan. Sistem nilai dan
etika bagaimanakah yang layak mendasari perubahan cara
pandang ini?

Mac Donnel dan Bates dalam bukunya menyatakan bahwa


sumber daya hutan dipandang sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem kemasyarakatan dan sistem
kelembagaan yang ada. Sistem nilai yang didasarkan atas etika
ini mengharuskan kita untuk menjadikan sumberdaya hutan
sebagai life support system yang keberlanjutannya terjamin
dan rakyat sebagai komunitasnya menjadi bagian integral serta
penerima manfaat terbesar dari pembangunan kehutanan.
14

Dalam implementasinya, maka dibutuhkan perubahan paradigma


pengelolaan hutan dari timber based management kepada
resources based management. Pengelolaan hutan harus
memandang penting semua komponen sumber daya hutan,
termasuk kayu, bukan kayu, serta pemanfataan kondisi
lingkungan, tumbuhan dan satwa baik dalam skala makro dan
mikro. Konservasi sumber daya hutan, termasuk didalamnya
konservasi keragamaan genetika dan biologi, harus menjadi
bagian penting dan tidak dianggap sebagai pelengkap dan
pemanis proses pembangunan kehutanan.

Mempertimbangkan kondisi tersebut di atas, maka terlihat


dengan jelas bahwa sains dan teknologi dalam pengelolaan
hutan di Indonesia belum digunakan secara maksimal. Ke
depan, saya mengharapkan agar peran sains dan teknologi lebih
besar dan digunakan dalam proses perumusan kebijakan
pengelolaan hutan terutama dikaitkan dengan upaya konservasi
genetik sumber daya hutan tropis Indonesia. Peran sains dan
teknologi dalam konservasi bukan berarti tidak memperhitungkan
nilai ekonomi sumberdaya hutan. Kalau persepsi ini terus
berkembang maka nilai hutan akan menjadi sesuatu yang under
15

value sehingga hutan tidak menjadi bagian yang perlu dikelola


secara bijak dan lestari.

Sejarah mencatat bahwa sumberdaya hutan Indonesia pernah


menjadi penghasil devisa ke 2 setelah Migas pada awal tahun
1990an. Catatan ini membuktikan bahwa hutan dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu modal penggerak ekonomi
bangsa ini. Saya menyadari sepenuhnya bahwa sejarah
pengelolaan hutan juga membuktikan bahwa pada saat yang
bersamaan telah terjadi kerusakan hutan karena eksploitasi
hutan berlebihan dan tidak terkendali. Kondisi ini diperburuk
dengan maraknya pencurian kayu, mismanagement pengelolaan
hutan, penguasaan kawasan secara illegal serta rendahnya
kapasitas dan kapabilitas kelembagaan kehutanan baik di pusat
maupun di daerah.

Civitas Akademika yang saya cintai;

Akhir-akhir ini kita dihadapkan kepada masalah perubahan iklim


global. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi tentang Lingkungan
dan Pembangunan di Brazil, tahun 1992, Indonesia ikut
16

menandatangani Konvensi Tentang Perubahan Iklim, karena


Indonesia menyadari bahwa dampak dari perubahan iklim sangat
besar pada kehidupan terutama di negara kepulauan. Dalam
perjalanannya, pada konferensi para pihak (COP) ke 13 di Bali
tahun 2007 yang lalu, para pemimpin dunia menyepakati bahwa
kerjasama jangka panjang (long term cooperative action)
masyarakat dunia dalam melawan pemanasan global harus
dilakukan.

Upaya yang tepat untuk menurunkan emisi secara nasional yang


kita kenal dengan NAMA (National Appropriate Mitigation Action)
harus dilakukan bersama baik oleh Negara maju maupun Negara
berkembang. Namun bagi Negara berkembang, semua pihak
menyepakati bahwa upaya penurunan emisi yang dilakukan
tetap dalam konteks pembanguan berkelanjutan dan
harus dibantu baik dari segi pendanan, teknologi dan
pembangunan SDM nya.

Sejak revolusi industri, lingkungan global mengalami pencemaran


udara yang berpengaruh besar kepada perubahan iklim global.
Industri dipacu dengan menggunakan sumber energi dari bahan
baku fosil seperti batubara, minyak bumi, dan gas yang
17

membuang limbah Gas Rumah Kaca seperti karbon dioksida


(CO2) dan metana (CH4). Semakin banyak Gas Rumah Kaca
dilepas ke udara maka semakin tebal “selimut gas rumah
kaca” dan semakin panas pula suhu bumi ini.

Pergerakan kenaikan suhu bumi sejak abad ke 20 berlangsung


sangat cepat dan akan terus naik. Walaupun saat ini kita
mampu menghentikan emisi gas rumah kaca (GRK), perubahan
iklim yang sedang terjadi tidak akan dapat dihentikan karena
perubahan ini merupakan dampak peningkatan
konsentrasi GRK yang telah terjadi dalam seratus tahun
terakhir ini.

Para ahli memperkirakan bahwa apabila konsentrasi gas rumah


kaca pada tahun 2050 terus naik melebihi 550 ppmv, maka
kemungkinan besar kenaikan suhu global akan melebihi 2oC di
banding suhu saat ini. Kalau ini terjadi maka dampak perubahan
iklim akan sulit dikendalikan dan dapat menganggu
keberlanjutan pembagunan baik pada tingkat negara maupun
pada tataran dunia. Beberapa kajian menyatakan bahwa
kerugian per tahun yang diakibatkan oleh perubahan iklim ini
18

apabila tidak dilakukan upaya yang serius dalam menanganinya


dari sekarang akan setara dengan 5% sampai 20% GDP global.

Dampak buruk akibat perubahan iklim tidak hanya dipikul oleh


Indonesia tapi semua negara di dunia. Negara yang terletak
pada garis khatulistiwa umumnya adalah negara-negara miskin
dan berkembang, yang diperkirakan akan mengalami kerugian
yang sangat besar. Dengan upaya adaptasi dan mitigasi yang
dilakukan sendiri tanpa dukungan dari Negara maju baik dari
segi pendanaan, teknologi dan pembangunan kapasitas
kelembagaan, maka tingkat kehilangan dan kerusakan (loss and
damage) akibat perubahan iklim akan melewati tingkat
kemampuan untuk bisa pulih kembali. Jelas bahwa negara-
negara ini akan memikul beban yang sangat berat dari dampak
perubahan iklim dibandingkan dengan negara maju.

Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations


Framework Convention on Climate Change, UNFCCC), yang telah
disepakati merupakan hasil pemikiran global. Pemikiran global ini
harus kita pahami secara bijak dengan pengertian bahwa setiap
negara yang telah sepakat harus tetap mempertahankan jati diri
sebagai bangsa yang berdaulat (sovereign country). Namun kita
19

juga harus menyadari bahwa kesepakatan global ini


mempunyai implikasi terhadap kebijakan kelembagaan,
hukum, keuangan, ekonomi, sains dan teknolgi yang
berbeda untuk setiap negara. Implikasi ini memerlukan
penyesuaian kondisi nyata di lapangan sesuai dengan faktor
sosial, budaya, ekonomi serta kemajemukan masyarakat
terutama yang tinggal di dalam dan disekitar hutan.

Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan peran hutan


khususnya hutan tropika dalam mengendalikan perubahan iklim
global. Peran hutan tropika tidak hanya menyerap dan
menyimpan karbon akan tetapi juga sebagai penyangga
kehidupan manusia untuk menambah daya tahan terhadap
resiko perubahan iklim saat ini dan yang akan datang. Oleh
karena itu peran hutan dalam penanganan perubahan iklim
sangat krusial. Selain peran tersebut, hutan juga sangat
perperan dalam menjaga keseimbangan iklim lokal dan regional
karena perannya yang besar dalam menentukan keseimbangan
energi dan siklus hidrologi.

Hal yang kurang mendapat perhatian publik adalah besarnya


kemampuan hutan dalam menyerap karbon. FAO telah
20

memprediksi bahwa hutan global dapat menyerap karbon


sebesar 2,6 Giga ton per tahun. Terlepas dari adanya dinamika
proses karbon, hutan juga sebagai tempat penyimpanan karbon
raksasa yang menurut prediksi sebesar 1650 Giga ton. Jumlah ini
diperkirakan sebesar 2 kali besarnya karbon yang ada di
atmosfir.

Dalam kaitan emisi, bahwa karbon yang tersimpan didalam


hutan dapat lepas ke atmosfer dalam bentuk emisi CO2 sebagai
akibat adanya deforestasi dan kerusakan hutan. Para pakar
menyimpulkan bahwa proses deforestasi yang dialami oleh hutan
tropika sangat cepat serta menghasilkan emisi CO2 lebih besar
dibandingkan dengan hutan temperate di dunia. Oleh karena itu
kunci masalah yang kita hadapi bersama adalah bagaimana
mengenali dan mengurangi faktor-faktor yang menyebabkan
deforestasi dan kerusakan hutan secara berlanjut.

Civitas akademika yang berbahagia,

Sebagai negara yang mempunyai hutan tropika terbesar ke 3 di


dunia, pelaksanaan sistem pengelolaan hutan produksi yang
lestari sangat diperlukan agar kelestarian produksi hasil hutan
21

kayu dan non kayu dapat terus dijaga dan sekaligus dapat
menjawab masalah pengurangan kemiskinan terutama bagi
masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar hutan.

Keberadaan hutan konservasi dan hutan lindung sangat penting


dalam menjamin keberlangsungan ekosistem yang menyediakan
tempat bagi kehidupan berbagai flora dan fauna, sumber
makanan, bahan baku, sumberdaya genetik dan berbagai jasa
lingkungan lainnya, serta dalam meredam dampak negatif dari
kejadian iklim ekstrim. Kesemuanya ini memiliki peran yang
sangat penting dalam membantu manusia dan makhluk hidup
lainnya untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Dengan
demikian hutan memiliki peran ganda tidak hanya dalam mitigasi
tetapi juga adaptasi dan oleh karena itu keberadaannya harus
kita jaga dan kita kelola secara bijak.

Saat ini luas kawasan hutan skunder diperkirakan mencapai lebih


kurang 40 juta ha dan 50% dari luasan tersebut berada di dalam
kawasan hutan produksi. Melalui program restorasi ekosistem
hutan, kawasan ini dalam dua puluh tahun mendatang akan
mampu menyerap 8.7 Giga ton CO2 atau setara dengan 0.44
Giga ton CO2 per tahun. Apabila lahan di dalam dan luar
22

kawasan hutan yang kurang produktif khususnya pada lahan


yang topografinya kurang mendukung untuk tanaman semusim
ditanami kembali dengan tanaman tahunan, maka lahan ini akan
dapat menyerap karbon sebesar 6 Giga ton CO2 atau setara
dengan 0.3 Giga ton CO2 per tahun.

Pada saat kawasan hutan yang direstorasi telah pulih kembali


dan kemudian dimanfaatkan kayunya untuk dikonversi menjadi
produk kayu berumur panjang, maka CO2 yang diserap akan
lebih besar. Hal ini perlu kita pahami karena karbon dalam kayu
yang dipanen akan tersimpan di dalam produk yang umurnya
bisa melebihi siklus tebang. Dengan demikian, melalui
pemanenan, penyerapan CO2 akan terus berjalan dan karbon
dari kayu yang dipanen akan ditumpuk di dalam produk yang
berumur panjang. Oleh karena itu pengelolaan hutan dengan
prinsip lestari menjadi suatu keharusan disertai dengan upaya
peningkatkan proporsi hasil hutan kayu yang menjadi produk
berumur panjang.

Indonesia merupakan salah satu negara pilihan dalam


pengembangan kegiatan Reducing Emision from Deforetation
and Forest Degradation (REDDplus) melalui kerjasama bilateral
23

dan multilateral. Hal ini sangat menguntungkan posisi Indonesia


di tingkat Internasional untuk bernegosiasi dalam upaya
pengendalian perubahan iklim dunia. Saat ini terdapat 30 unit
Demonstration Activities (DA) dan proyek REDDplus.
Demonstration Activities (DA) dan proyek ini tersebar diseluruh
Indonesia dengan variasi dalam ruang lingkup kegiatan, ukuran,
status dan sumber pendanaannya.

Berdasarkan analisis perkembangan masalah perubahan iklim


global tersebut di atas, maka diperlukan penelitian untuk
menjawab masalah /issue sebagai berikut :

1. Metodologi tentang perhitungan besarnya nilai karbon hutan

2. Mekanisme insentif yang dapat memacu produksi hasil hutan


yang berkelanjutan baik melalui perbaikan sistem
pengelolaan hutan produksi maupun percepatan
pembangunan hutan tanaman di dalam kawasan hutan
produksi yang telah rusak dan terdegradasi berat termasuk di
luar kawasan hutan

3. Kerangka kelembagaan (institutional framework) yang


mampu mendata semua inisitiatif yang dilakukan oleh
24

berbagai pihak dalam melakukan upaya penurunan emisi


melalui proses validasi MRV.

4. Kelembagaan yang berfungsi sebagai fasilitator sekaligus


membantu berbagai pihak untuk bisa menghasilkan sertifikat
penurunan emisi dari upaya mitigasi yang dilakukan dan
dapat diakui oleh internasional.

Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,

Kementerian kehutanan telah menetapkan 8 (delapan) kebijakan


prioritas. Salah satu kebijakan yang menyangkut upaya
pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di
dalam dan sekitar hutan, yaitu Pemberdayaan masyarakat di
sekitar hutan. Hal ini merupakan wujud pelaksanaan kebijakan
pemerintah dalam pembangunan yang berbasis pro poor, pro
jobs, pro growth dan pro environment. Untuk lima tahun
ke depan, Kementerian Kehutanan, menetapkan program-
program pemberdayaan masyarakat. Sasaran program ini
meliputi pembangunan hutan kemasyarakatan, hutan desa,
hutan tanaman rakyat, dan hutan rakyat kemitraan antara
kelompok tani, dengan industri perkayuan.
25

Dalam kaitan ini, peran sains dan teknologi, harus mampu


mengidentifikasi dan mengembangkan management dan
teknologi pengelolaan hutan khususnya kearifan lokal
(indigenous knowledge) yang dimiliki masyarakat. Hal ini
diperlukan karena kearifan lokal telah terbukti mampu menjamin
pemanfaatan hasil hutan secara lestari dan tidak merusak
sumberdaya hutan. Di sisi lain kearifan lokal tersebut masih
perlu dikembangkan agar bisa diterapkan dalam skala ekonomi
dan memiliki nilai tambah, sehingga mempunyai keunggulan
kompetitif (competitive advantage)

Civitas akademika yang saya hormati,

Dari pemaparan tersebut di atas pada hakikatnya saya ingin


mengingatkan bahwa, pengelolaan hutan bukanlah sesuatu yang
statis, akan tetapi merupakan hal yang dinamis. Dengan
pemahaman ini saya mengajak seluruh civitas akademika Institut
Teknologi Bandung, untuk bersama-sama melakukan perbaikan-
perbaikan pengelolaan hutan melalui sumbangsih pemikiran yang
didasarkan atas sains dan teknologi. Perbaikan ini harus segera
26

kita lakukan agar manfaat sumberdaya hutan dapat dirasakan


seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Semoga Tuhan yang maha kuasa selalu memberikan bimbingan


kepada kita semua agar hutan dan kehutanan selalu memberikan
manfaat yang terbaik kepada seluruh makhlukNYA

Wabillahitaufik wal hidayah

Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

MENTERI KEHUTANAN

ZULKIFLI HASAN

Anda mungkin juga menyukai