3
AC-FTA (ASEAN China Free Trade Area) sebuah kebijakan perdagangan bebas antar negara dalam suatu regional ASIA
dengan tarif bea masuk = 0.
(inflasi), peningkatan biaya produksi, pengurangan karyawan/tenaga kerja dengan jalan PHK sepihak,
penurunan upah dsb.
Terlepas dari beberapa dampak yang dilahirkan pada prinsipnya kebijakan rezim menaikkan
tarif daya listrik merupakan bagian dari skema liberalisasi disektor energi untuk sepenuh-penuhnya
berada di bawah kekuasaan kelas pemodal untuk kesejahteraan pemodal dari akumulasi modal yang
terjadi secara terus menerus. Sehingga hal tersebut tidak bisa dilihat ataupun diartikan hanya sebatas
ekonomistik belaka tapi lebih dari itu karena mau tidak mau Indonesia salah satu bagian dari negara
yang memeiliki/menyimpan kekayaan energi yang sangat penting dan pastinya menuntungkan seperti,
minyak, uranium, batu bara dsb.
Ditengah berbagai kebijakan anti rakyat mereka secara bangga mengatakan bahwa itu semua
adalah untuk kebaikan rakyat. Kebanggaan itu semakin bertambah ketika mengatakan bahwa makro
ekonomi mengalami stabilitas dengan berpegang pada indikator-indikator ekonomi yang dari tahun
ketahun terus membaik.
Benar memang sampai hari ini dalam negeri sedang mengalami kebanjiran investasi yaitu
banyaknya aliran modal yang masuk baik berjangka pendek maupun berjangka panjang yang
mengakibatkan permintaan rupiah meningkat sehingga Rupiah berada pada posisi menguat. Ada
beberapa sebab besarnya aliran modal masuk ke dalam negeri pertama; situasi perekonomian global
terutama di negara-negara maju masih mengalami situasi krisis, kondisi demikian tentu harus
berinvestasi pada tempat yang tepat dengan manajemen resiko yang tepat pula.
Kenyataannya negara berkembang menjadi pilihan yang tepat untuk berinvestasi sehingga sebagian
modal mereka di ekspor ke luar negeri. Kedua; penyelamatan krisis global dari hasil konsolidasi
ekonomi politik international (G-20, G-8. dll) ditumpukan pada negara-negara dunia ketiga, hal ini
terlihat dari beberapa program-program pembangunan jangka pendek, jangka panjang pemerintah
seperti; regulasi, program privatisasi, pembangunan infrastruktur, liberalisasi disegala sektor termasuk
energi dan sektor keuangan yang memberikan jaminan nantinya modal bisa keluar masuk kapan saja.
Sebagai sekedar contoh; disektor keuangan Indonesia lewat bank sentralnya menatapkan persentase
bunga yang cukup tinggi dibandingkan dengan negara lain sehingga memungkinkan memberikan yield
(imbal hasil) yang lebih tinggi, maka tidak mengherankan manakala para investor beramai-ramai
menyerbu semisal SBI, SUN.
Selain itu sudut permintaan akan barang dan jasa sangat menjanjikan bagi para investor apabila
dilihat dari pangsa pasar yang besar dari segi populasi walaupun sebenarnya tingginya angka populasi
itu tidak bisa dikatakan bahwa setiap penawaran itu akan diikuti oleh permintaan itu sendiri. Dasar
inilah bagi investor untuk tidak berinvestasi pada sektor real atau yang disebut dengan investasi tidak
langsung hanya bermain pada surat-surat berharga.
Setidaknya dua hal umum di atas menjadi sebab yang cukup kuat bagi investor mendapatkan tingkat
pengembalian investasi (ROI) yang besar, lalu apa yang didapatkan Indonesia yang berposisi sebagai
lahan investasi subur, yang jelas Indonesia mendapatkan pertumbuhan ekonomi semu dari indikator
makro ekonomi yang semu pula.
Belum lagi bidang yang lain seperti politik yan tidak demokratis, hukum yang masih
diperjualbelikan dan hal-hal lainnya, Maka menjadi patut untuk kita pertanyakan dan kritisi tentang tata
ekonomi baru-Neoliberalisme dan era baru pasca krisis yang sering digembar-gemborkan atau itu
hanyalah sebuah hiburan bagi ketakutan mereka dari kehancuran dengan segala hak-hak istimewanya.
Jual Beli Politik Elit disituasi Krisis
Tercatat bahwa jual beli politik bisa dikatakan sudah menjadi tradisi terutama sekali pada saat
pemilu tapi tidak hanya pada waktu pemilu hampir pada setiap aktivitas politik termasuk juga pada
situasi krisis di mana rezim sedang bekerja keras mempertahankan legitimasi kekuasaannya dari sebuah
kekacauan yang nantinya bisa mendelegitimasi mereka.
Kehadiran rezim borjuasi sedari awal sudah bisa dipastikan bukan jawaban yang tepat mencapai
kesejahteraan, keadilan hanya akan menuai kegagalan dan kegagalan terus menerus. Sesungguhnya
politik merupakan cerminan dari bangunan bawahnya-ketika kapitalisme masih berkuasa sebagai
bangunan bawah maka politik sebagai bangunan atas akan mengikutinya.
Tata produksi dan distribusi kapitalistik sampai saat ini tetap melahirkan rezim borjuasi seperti SBY-
Boediono hakikatnya pelayan setia tuan modalnya. Tapi memang skema kerja mereka tidak
sesederhana seperti kita mengatakan ketika lapar harus makan, ketika haus harus minum, artinya skema
kerja mereka terencana, sistematis sampai harus berpikir keras untuk menganalisanya.
Situasi obyektif di mana rezim borjuasi SBY-Boediono mengeluarkan kebijakan anti rakyat dan
beberapa persoalan lain seperti korupsi, mengakibatkan munculnya para elit politik untuk bermain,
memunculkan diri seolah-olah pro rakyat dengan terlibat melakukan kritikan terhadap berbagai
kebijakan rezim.
Ditengah perjuangan rakyat melawan kapitalisme dan rezim borjuasi elit-elit politik yang ada di
masing-masing partai politik secara bersama-sama melakukan konsolidasi dan kritikan keras bahkan
hujatan pada pemerintah bahwa rakyat harus diperhatikan, mereka juga berkata bahwa negara ini harus
berubah sehingga harus membutuhkan pemimpin yang kuat, tegas, pintar dan pro rakyat.
Pandangan tersebut tanpa ragu dikeluarkan secara terbuka dengan maksud menarik simpati rakyat.
Fenomena ini bukanlah hal baru tapi hal seperti ini sudah sering kali terjadi, mereka (elit politik
borjuasi) sudah sangat sering memanfaatkan penderitaan, kemiskinan rakyat sebut saja PDI-P, PAN,
GOLKAR, HANURA, PKS, GERINDRA dll.
Partai politik borjuasi tersebut mengklaim diri oposisi sejati, pejuang rakyat, pelindung rakyat
dan kata-kata gombal lainnya tidak berbeda dari seorang sales produk yang sering kali melakukan
kebohongan publik yang penting laris terjual dengan keuntungan yang menjanjikan. Mereka menjual
rakyat atas nama rakyat, padahal tujuan mereka tidak lain hanyalah untuk mendapatkan kue kekuasaan
dengan hitungan untung-rugi yang sudah jelas ketika mereka sudah mendapakan itu.
Lihat saja beberapa kasus sampai 1 tahun SBY-Boediono, kasus century, kasus markus, kasus korupsi
pejabat, kasus industrial, kasus agraria dsb. Sesungguhnya berakhir dengan kompromis (deal or not
deal) di antara mereka sendiri para elit politik borjuasi dengan kompensasi kekuasaan dan suapan.
Sungguh konflik mereka hanyalah sebuah rekayasa politik belaka dan sikap oposisi mereka hanyalah
sebuah topeng menyembuyikan kebusukan yang baunya melebihi bangkai binatang yang sudah
membusuk.
Karena sesungguhnya mereka menjadi bagian dari praktik sebagaimana yang dilakukan oleh
rezim yang sedang berkuasa saat ini yang tersebar di berbagai lembaga kenegaraan baik legislatif,
ekskutif dan yudikatif, maka sudah jelas posisi dan karakteristik mereka adalah selalu mendukung dan
melayani tuan modalnya.
Dari penderitaan rakyat, berbagai kasus hanyalah barang dagangan saja untuk ditawarkan dan
manakala cocok rezim akan membelinya layaknya transaksi dagang seorang pedagang sayur tinggal
bagaimana barangnya dikemas sedemikian rupa sehingga menarik untuk dipasarkan.
Memang satu sisi para elit politik borjuasi bekerja cukup sistematis kalau dilihat dari struktur kerja
partai yang dibentuk secara nasional sampai tingkatan struktur paling rendah, dengan memanfaatkan
kesadaran politik massa yang masih terbelakang secara politik karenma memang partai-partai borjuasi
tidak pernah melakukan pendidikan politik pada rakyat.
Selain itu semua partai melakukan perangkulan atau rekrutmen terhadap para aktivitis-aktivitas
yang sudah memiliki pengalaman aktivitas politik khususnya digerakan mahasiswa. Inilah yang disebut
sebagai broker-broker politik. Posisi mereka cukup jelas yaitu sebagai agen-agen elit politik borjuasi
untuk meredam kesadaran massa dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Sebuah pilihan
pragmatis-opportunis dari tawaran kenyamanan-kenyamanan individual dengan menjual dan
menggadaikan prinsip perjuangan mereka.
Yang cukup menarik dari cara bekerja mereka adalah mencoba secara terus menerus
membangun organisasi tak peduli bentuk dan isinya seperti apa yang jelas organisasi yang mereka buat
bertujuan untuk memobilisasi massa sebagaimana keinginan tuan mereka para elit politik borjuasi dan
para pengusaha seperti APINDO. Dan hari inipun menjelang satu tahun rezim borjuasi SBY-
Boediono berkembang cukup masif terjadi dan menariknya lagi mereka mencoba membangun aliansi
multisektor.
Perjuangan sungguh-sungguh gerakan rakyat coba akan di nodai oleh partai borjuasi dan para
pekerja mereka dengan menawarkan solusi-solusi yang sama sekali tidak berbeda ketika berkampaye
menjelang pemilu seperti kampaye ekonomi kerakyatan ala GERINDRA, ala PDI-P dan ala tokoh-
tokoh intelektual borjuasi.
Atas semua itu gerakan rakyat harus berhati-hati dengan tipu muslihat mereka apalagi hari
menjelang satu tahun rezim borjuasi sudah satu pandangan bahwa pemerintah SBY-Boediono, legislatif
telah gagal mensejahterakan rakyat. Mereka sedang memanfaatkan kekacoan situasi ekonomi politik
nasional untuk mendapatkan simpati dan legitimasi dari rakyat.