Anda di halaman 1dari 5

Negara Indonesia Dibawah Cengkraman Kapitalisme

Oleh : Ahmad Nasrudin Najih1

Kapaitalisme dan elit-elit politik Borjuasi adalah sumber kesengsaraan Rakyat


Belum hilang dari ingatan kita terjadinya sebuah krisis global pada tahun 2008 yang menandai
kegagalan sistem ini sebagai jawaban dan mau tidak mau berdampak pada perkembangan dalam negeri
diberbagai segi. Konsolidasi diberbagai negara (G-20, G-8 dll) terjadi dengan begitu cepatnya tentunya
tidaklah lebih hanya untuk bagaimana menyelamatkan modal atau sistem (kapitalisme) yang pada
dasarnya memang secara periodik mengalami krisis dengan kata lain sudah usang.
Strategi penyelamatanpun di lahirkan di antaranya; Boilout 2, peningkatan daya beli masyarakat
sampai pada pengetatan anggaran, akan tetapi dari sekian banyak strategi yang dilahirkan dan disebut
sebagai era baru tersebut ditumpukan pada negara dan lembaga-lembaga donor international.
Berbarengan dengan banyaknya strategi yang dilahirkan pada waktu yang tidak lama situasi
gejolak ekonomi global yang belum tersembuhkan pula disambut kembali dengan krisis eropa yang
berawal dari krisis hutang yunani 120% dari PDB dan defisit anggaran sebesar 13,6%. Dan strategi
penyelamatan yang diambil pun tidaklah berbeda secara prinsip dengan apa yang diambil sebelumnya.
Tidak bisa dibantah, bahwa akibat krisis global dan krisis diwilayah eropa berdampak pada
banyak hal artinya krisis tidak juga bisa dilihat hanya murni bicara soal ekonomi (moneter dan fiskal)
akan tetapi juga berkaitan dengan persoalan lainnya. Pada situasi krisis secara bersamaan rezim
borjuasi diberbagai negara menghambur-hamburkan uang bagi perusahaan-perusahaan (industri
maupun lembaga-lembaga perbankan) atas nama stabilitas ekonomi, pertumbuhan ekonomi, sehingga
pemangkasan belanja untuk kebutuhan publik menjadi jalan demi sebuah penyelamatan modal.
Walaupun demikian dari besaran pengeluaran pada kenyataannya negara tidak mampu
menghindari pemecatan hubungan kerja (PHK), tidak mampu menaikkan besaran daya beli masyarakat
malah sebaliknya. Itulah fakta atau bukti-bukti yang harus diakui secara jujur sebagai akibat dari krisis
tata kapitalisme. Dan situasi itu sampai sekarang krisis dan berbagai dampaknya masih terus berlanjut
tanpa ada suatu kepastian akan pemulihan ekonomi international, bahkan perkiraan pertumbuhan
ekonomi global lebih rendah dari yang diharapkan.
Sementara di dalam negeri sebagai bagian dari skema neoliberalisme (kapitalisme) terlihat
begitu jelas bahwa indonesia di bawah rezim borjuasi tetap menjalankan agenda-agenda neoliberalisme
seperti pencabutan subsidi, liberalisasi diberbagai sektor, yang memang hal itu sudah sejak lama
disepakati mulai dari Orde baru sampai SBY-Boediono.
Hal ini memang patut untuk kita buktikan. Pada 100 hari pemerintahan rezim borjuasi tentu
kita belum lupa dengan berbagai kebijakan-kebijakannya. Program-program yang dihasilkan dari
pertemuan nasional summit (rembuk nasional) yang dimotori oleh KADIN pada penghujung tahun
2009, diantaranya; 1) pengadaan tanah, alih fungsi hutan dan tata ruang. 2) Infrastruktur seperti
perbaikan infrastruktur transportasi khususnya di pelabuhan besar dan peningkatan kapasitas, 3).
Jaminan ketersediaan energi oleh pemerintah dengan menerbitkan perpres tentang proyek percepatan
pembangunan proyek pembangkit listrik 10.000 mw tahap II, 4). Keringanan pajak bagi pengadaan
1
Anggota Serikat Mahasiswa Indonesia Cabang Surabaya
2
Bailout (dana talangan) Sebuah kebijakan yang dilahirkan negara untuk memberikan suntikan dana dalam bentuk modal
kepada perusahaan-perusahaan yang sedang/terancam mengalami kebangkrutan tidak terkecuali juga perusahaan milik
negara.
energi, 5) Perbaikan skema kerjasama pendanaan pemerintah dan swasta dan Pengadaan lembaga
pembiayaan infrastruktur, 5). Masalah ketenagakerjaan. Persoalan ketenaga kerjaan selalu menjadi
kendala bagi kelas pemodal untuk berinvestasi seperti; persoalan Upah, Pesangon, outshorsing dan
kebebasan berserikat.
Rekomendasi tersebut tentu akan berpengaruh pada petani pada persoalan pembebasan lahan
dalam artian pengambilalihan alat produksi petani untuk alasan kepentingan umum, sementara disektor
perburuhan rezim borjuasi akan melakukan revisi UU ketenagakerjaan dan itu sudah masuk pada
prolegnas (program legislatif nasional), hal ini sudah memberikan kepastian kepada kelas pemodal. Di
sektor pendidikan akan semakin terbukanya proses liberalisasi yang ini akan semakin melapangkan
terjadinya proses kapitalisasi pendidikan walaupun memang pada akhir tahun 2009 Mahkamah
Konstitusi sudah membatalkan UU BHP tapi itu bukanlah akhir dari ka[pitalisasi pendidikan.
Bukti akan hal itu adalah rezim borjuasi membuat dan menetapkan peraturan baru sebagai pengganti
dari UU BHP yang berisi tentang pengesahan atas liberalisasi seperti, BLU (Badan Layanan Umum),
bahkan tidak lama ini ketika memasuki tahun ajaran baru 2010-2011 lembaga-lembaga perbankan
(capital finance) sudah menawarkan berbagai jasa keuangan seperti, asuransi, kredit, deposito dan
lainnya.
Selain itu sektor pendidikan sudah mulai mematangkan dirinya dengan melakukan
rekonsialisasi atau penyusaian-penyusaian sesuai keadaan, kebutuhan pasar seperti; kurikulum. Maka
akan sangat ironis manakala pendidikan terdistorsi dari hakikatnya yang mulia yaitu memanusiakan
manusia, sebagai alat pembebasan-bebas dari segala bentuk kebodohan, bebas dari kemiskinan
singkatnya bebas dari penghisapan manusia atas manusia. Itulah yang paling prinsip dari nilai
pendidikan.
Dari itu secara jujur secara tidak langsung semua sudah menyatakan hal yang sama (common
sense) bahwa mendapatkan pendidikan haruslah mengeluarkan biaya yang banyak (high cost) alias
mahal. Begitu juga dengan kualitasnya yang sering dikeluhkan dan juga orientasi atau visinya.
Pada awal tahun 2010 setelah nasional summit politik borjuasi memberlakukan secara sah perdagangan
bebas AC-FTA3, kebijakan tersebut lahir pada situasi negara masih mengalami gejolak ekonomi akibat
didera krisis global dan eropa artinya negara secara sengaja membuka dan menyepakati perdagangan
bebas antar negara baik regional maupun international, akan tetapi prinsipnya bukanlah pada siap atau
tidak siap persoalan mendasarnya adalah tidak akan memberikan keuntungan dari suatu perdagangan
antar negara manakala berjalan pada mekanisme tata produksi dan distribusi yang kapitalistik.
Liberalisasi pun terus berlanjut tanpa hambatan sehingga gerakan rakyat berkewajiban menghambat itu.
Pada tahun 2010 rezim borjuasi mengeluarkan kebijakan menaikkan tarif Daya Listrik (TDL) dengan
alasan ekonomis-mengalami kerugian padahal itu sama sekali tidak benar hanyalah rekayasa ekonomi
politik semata untuk mendapatkan legitimasi dari mayoritas rakyat.
Kenaikkan tarif daya listrik persatu Juli 2010 adalah bagian dari sebuah skenario kelas pemodal
untuk selanjutnya menguasai sepenuhnya sektor energi, dengan demikian sektor energi termasuk listrik
akan di monopoli/dikuasai oleh swasta-kelas pemodal, maka monopoli negara atas energi listrik akan
menjadi hilang, sementara energi adalah menjadi kebutuhan mayoritas rakyat. Tidak hanya itu,
kenaikan TDL akan berimplikasi pada bagian ekonomi lainnya seperti kenaikkan harga barang

3
AC-FTA (ASEAN China Free Trade Area) sebuah kebijakan perdagangan bebas antar negara dalam suatu regional ASIA
dengan tarif bea masuk = 0.
(inflasi), peningkatan biaya produksi, pengurangan karyawan/tenaga kerja dengan jalan PHK sepihak,
penurunan upah dsb.
Terlepas dari beberapa dampak yang dilahirkan pada prinsipnya kebijakan rezim menaikkan
tarif daya listrik merupakan bagian dari skema liberalisasi disektor energi untuk sepenuh-penuhnya
berada di bawah kekuasaan kelas pemodal untuk kesejahteraan pemodal dari akumulasi modal yang
terjadi secara terus menerus. Sehingga hal tersebut tidak bisa dilihat ataupun diartikan hanya sebatas
ekonomistik belaka tapi lebih dari itu karena mau tidak mau Indonesia salah satu bagian dari negara
yang memeiliki/menyimpan kekayaan energi yang sangat penting dan pastinya menuntungkan seperti,
minyak, uranium, batu bara dsb.
Ditengah berbagai kebijakan anti rakyat mereka secara bangga mengatakan bahwa itu semua
adalah untuk kebaikan rakyat. Kebanggaan itu semakin bertambah ketika mengatakan bahwa makro
ekonomi mengalami stabilitas dengan berpegang pada indikator-indikator ekonomi yang dari tahun
ketahun terus membaik.
Benar memang sampai hari ini dalam negeri sedang mengalami kebanjiran investasi yaitu
banyaknya aliran modal yang masuk baik berjangka pendek maupun berjangka panjang yang
mengakibatkan permintaan rupiah meningkat sehingga Rupiah berada pada posisi menguat. Ada
beberapa sebab besarnya aliran modal masuk ke dalam negeri pertama; situasi perekonomian global
terutama di negara-negara maju masih mengalami situasi krisis, kondisi demikian tentu harus
berinvestasi pada tempat yang tepat dengan manajemen resiko yang tepat pula.
Kenyataannya negara berkembang menjadi pilihan yang tepat untuk berinvestasi sehingga sebagian
modal mereka di ekspor ke luar negeri. Kedua; penyelamatan krisis global dari hasil konsolidasi
ekonomi politik international (G-20, G-8. dll) ditumpukan pada negara-negara dunia ketiga, hal ini
terlihat dari beberapa program-program pembangunan jangka pendek, jangka panjang pemerintah
seperti; regulasi, program privatisasi, pembangunan infrastruktur, liberalisasi disegala sektor termasuk
energi dan sektor keuangan yang memberikan jaminan nantinya modal bisa keluar masuk kapan saja.
Sebagai sekedar contoh; disektor keuangan Indonesia lewat bank sentralnya menatapkan persentase
bunga yang cukup tinggi dibandingkan dengan negara lain sehingga memungkinkan memberikan yield
(imbal hasil) yang lebih tinggi, maka tidak mengherankan manakala para investor beramai-ramai
menyerbu semisal SBI, SUN.
Selain itu sudut permintaan akan barang dan jasa sangat menjanjikan bagi para investor apabila
dilihat dari pangsa pasar yang besar dari segi populasi walaupun sebenarnya tingginya angka populasi
itu tidak bisa dikatakan bahwa setiap penawaran itu akan diikuti oleh permintaan itu sendiri. Dasar
inilah bagi investor untuk tidak berinvestasi pada sektor real atau yang disebut dengan investasi tidak
langsung hanya bermain pada surat-surat berharga.
Setidaknya dua hal umum di atas menjadi sebab yang cukup kuat bagi investor mendapatkan tingkat
pengembalian investasi (ROI) yang besar, lalu apa yang didapatkan Indonesia yang berposisi sebagai
lahan investasi subur, yang jelas Indonesia mendapatkan pertumbuhan ekonomi semu dari indikator
makro ekonomi yang semu pula.
Belum lagi bidang yang lain seperti politik yan tidak demokratis, hukum yang masih
diperjualbelikan dan hal-hal lainnya, Maka menjadi patut untuk kita pertanyakan dan kritisi tentang tata
ekonomi baru-Neoliberalisme dan era baru pasca krisis yang sering digembar-gemborkan atau itu
hanyalah sebuah hiburan bagi ketakutan mereka dari kehancuran dengan segala hak-hak istimewanya.
Jual Beli Politik Elit disituasi Krisis
Tercatat bahwa jual beli politik bisa dikatakan sudah menjadi tradisi terutama sekali pada saat
pemilu tapi tidak hanya pada waktu pemilu hampir pada setiap aktivitas politik termasuk juga pada
situasi krisis di mana rezim sedang bekerja keras mempertahankan legitimasi kekuasaannya dari sebuah
kekacauan yang nantinya bisa mendelegitimasi mereka.
Kehadiran rezim borjuasi sedari awal sudah bisa dipastikan bukan jawaban yang tepat mencapai
kesejahteraan, keadilan hanya akan menuai kegagalan dan kegagalan terus menerus. Sesungguhnya
politik merupakan cerminan dari bangunan bawahnya-ketika kapitalisme masih berkuasa sebagai
bangunan bawah maka politik sebagai bangunan atas akan mengikutinya.
Tata produksi dan distribusi kapitalistik sampai saat ini tetap melahirkan rezim borjuasi seperti SBY-
Boediono hakikatnya pelayan setia tuan modalnya. Tapi memang skema kerja mereka tidak
sesederhana seperti kita mengatakan ketika lapar harus makan, ketika haus harus minum, artinya skema
kerja mereka terencana, sistematis sampai harus berpikir keras untuk menganalisanya.
Situasi obyektif di mana rezim borjuasi SBY-Boediono mengeluarkan kebijakan anti rakyat dan
beberapa persoalan lain seperti korupsi, mengakibatkan munculnya para elit politik untuk bermain,
memunculkan diri seolah-olah pro rakyat dengan terlibat melakukan kritikan terhadap berbagai
kebijakan rezim.
Ditengah perjuangan rakyat melawan kapitalisme dan rezim borjuasi elit-elit politik yang ada di
masing-masing partai politik secara bersama-sama melakukan konsolidasi dan kritikan keras bahkan
hujatan pada pemerintah bahwa rakyat harus diperhatikan, mereka juga berkata bahwa negara ini harus
berubah sehingga harus membutuhkan pemimpin yang kuat, tegas, pintar dan pro rakyat.
Pandangan tersebut tanpa ragu dikeluarkan secara terbuka dengan maksud menarik simpati rakyat.
Fenomena ini bukanlah hal baru tapi hal seperti ini sudah sering kali terjadi, mereka (elit politik
borjuasi) sudah sangat sering memanfaatkan penderitaan, kemiskinan rakyat sebut saja PDI-P, PAN,
GOLKAR, HANURA, PKS, GERINDRA dll.
Partai politik borjuasi tersebut mengklaim diri oposisi sejati, pejuang rakyat, pelindung rakyat
dan kata-kata gombal lainnya tidak berbeda dari seorang sales produk yang sering kali melakukan
kebohongan publik yang penting laris terjual dengan keuntungan yang menjanjikan. Mereka menjual
rakyat atas nama rakyat, padahal tujuan mereka tidak lain hanyalah untuk mendapatkan kue kekuasaan
dengan hitungan untung-rugi yang sudah jelas ketika mereka sudah mendapakan itu.
Lihat saja beberapa kasus sampai 1 tahun SBY-Boediono, kasus century, kasus markus, kasus korupsi
pejabat, kasus industrial, kasus agraria dsb. Sesungguhnya berakhir dengan kompromis (deal or not
deal) di antara mereka sendiri para elit politik borjuasi dengan kompensasi kekuasaan dan suapan.
Sungguh konflik mereka hanyalah sebuah rekayasa politik belaka dan sikap oposisi mereka hanyalah
sebuah topeng menyembuyikan kebusukan yang baunya melebihi bangkai binatang yang sudah
membusuk.
Karena sesungguhnya mereka menjadi bagian dari praktik sebagaimana yang dilakukan oleh
rezim yang sedang berkuasa saat ini yang tersebar di berbagai lembaga kenegaraan baik legislatif,
ekskutif dan yudikatif, maka sudah jelas posisi dan karakteristik mereka adalah selalu mendukung dan
melayani tuan modalnya.
Dari penderitaan rakyat, berbagai kasus hanyalah barang dagangan saja untuk ditawarkan dan
manakala cocok rezim akan membelinya layaknya transaksi dagang seorang pedagang sayur tinggal
bagaimana barangnya dikemas sedemikian rupa sehingga menarik untuk dipasarkan.
Memang satu sisi para elit politik borjuasi bekerja cukup sistematis kalau dilihat dari struktur kerja
partai yang dibentuk secara nasional sampai tingkatan struktur paling rendah, dengan memanfaatkan
kesadaran politik massa yang masih terbelakang secara politik karenma memang partai-partai borjuasi
tidak pernah melakukan pendidikan politik pada rakyat.
Selain itu semua partai melakukan perangkulan atau rekrutmen terhadap para aktivitis-aktivitas
yang sudah memiliki pengalaman aktivitas politik khususnya digerakan mahasiswa. Inilah yang disebut
sebagai broker-broker politik. Posisi mereka cukup jelas yaitu sebagai agen-agen elit politik borjuasi
untuk meredam kesadaran massa dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Sebuah pilihan
pragmatis-opportunis dari tawaran kenyamanan-kenyamanan individual dengan menjual dan
menggadaikan prinsip perjuangan mereka.
Yang cukup menarik dari cara bekerja mereka adalah mencoba secara terus menerus
membangun organisasi tak peduli bentuk dan isinya seperti apa yang jelas organisasi yang mereka buat
bertujuan untuk memobilisasi massa sebagaimana keinginan tuan mereka para elit politik borjuasi dan
para pengusaha seperti APINDO. Dan hari inipun menjelang satu tahun rezim borjuasi SBY-
Boediono berkembang cukup masif terjadi dan menariknya lagi mereka mencoba membangun aliansi
multisektor.
Perjuangan sungguh-sungguh gerakan rakyat coba akan di nodai oleh partai borjuasi dan para
pekerja mereka dengan menawarkan solusi-solusi yang sama sekali tidak berbeda ketika berkampaye
menjelang pemilu seperti kampaye ekonomi kerakyatan ala GERINDRA, ala PDI-P dan ala tokoh-
tokoh intelektual borjuasi.
Atas semua itu gerakan rakyat harus berhati-hati dengan tipu muslihat mereka apalagi hari
menjelang satu tahun rezim borjuasi sudah satu pandangan bahwa pemerintah SBY-Boediono, legislatif
telah gagal mensejahterakan rakyat. Mereka sedang memanfaatkan kekacoan situasi ekonomi politik
nasional untuk mendapatkan simpati dan legitimasi dari rakyat.

Anda mungkin juga menyukai