Anda di halaman 1dari 3

Dr. Ir.

Bambang Riyanto (Artikel Suara Merdeka)

SESUAI dengan UU No 22 Tahun 2009 tentang Jalan, jalan dapat dibagi dalam beberapa
kelompok, yakni jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan. Menurut
kewenangan pengelolaan, jalan dibedakan menjadi jalan nasional, jalan provinsi, dan jalan
kabupaten/kota.

Di Provinsi Jawa Tengah dapat kita temui semua jalan dengan status yang berbeda, dipelihara
dengan sumber dana atau anggaran yang berbeda. Jalan nasional didanai APBN melalui
Kementerian PU. Pola yang sama berlaku untuk jalan provinsi dan jalan kabupaten/kota.

Jaringan jalan memiliki peran penting dalam menunjang mobilitas orang dan barang
antarwilayah, yang juga bagian dari strategi pembangunan wilayah dan pertumbuhan ekonomi
negara. Di sebagian besar negara, sekitar 80% pergerakan orang dan barang dilakukan dengan
moda angkutan jalan. Oleh karena itu, buruknya pelayanan jalan menjadi isu penting dalam
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Sesuai dengan permasalahan di atas dan isu pembangunan infrastruktur dalam menunjang
pertumbuhan ekonomi wilayah dan nasional, penulis akan mengulas permasalahan kerusakan
jalan pantura sebagai jalan yang memiliki nilai strategis secara nasional dan menjadi sorotan
masyarakat secara luas. Ulasan mengenai jalan pantura ini dapat pula digunakan sebagai rujukan
untuk menangani jalan-jalan provinsi ataupun jalan kabupaten/kota dengan skala kepentingan
yang berbeda.

Menurut UU No 22 Tahun 2009 dan SNI 03-6967-2003, jalan arteri memiliki spesifikasi teknis
yang tinggi dibandingkan dengan jalan kolektor maupun jalan lokal dan jalan lingkungan. UU itu
menyebutkan syarat jalan arteri (kelas I) adalah jalan yang dapat dilalui kendaraan bermotor
dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000
milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 milimeter, dan muatan sumbu terberat 10 ton.

SNI 03-6967-2003 menyebutkan, jalan arteri didesain berdasarkan kecepatan rencana paling
rendah 60 km/jam dan dengan lebar badan jalan tidak kurang dari 8 meter dan mempunyai
kapasitas lebih besar daripada volume lalu lintas rata-rata. Lalu lintas jalan arteri primer tidak
boleh diganggu oleh lalu lintas ulang alik, lalu lintas lokal, dan kegiatan lokal. Untuk itu
persimpangan pada jalan ini perlu diatur. Jumlah jalan masuk ke jalan arteri primer dibatasi,
jalan arteri primer tidak terputus walaupun memasuki kota dan desa.

Terdapat perbedaan spesifikasi yang disebutkan oleh UU No 22 Tahun 2009 dari Badan
Standardisasi Nasional, tetapi pada prinsipnya keduanya menjelaskan tentang hal-hal yang harus
dipenuhi oleh jalan arteri,  dalam hal ini sebagai contoh adalah jalan pantura.
Menyangkut kerusakan yang terjadi di jalan pantura yang tampaknya tidak pernah berakhir serta
kemacetan yang semakin meningkat (sementara persyaratan menyebutkan kecepatan rencana 60
km/jam), pertanyaannya adalah, apakah jalan pantura telah memenuhi persyaratan di atas? Jika
belum, maka pemerintah memiliki kewajiban untuk memenuhinya karena ini merupakan
persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang.
Banyak penelitian yang telah dilakukan terkait dengan kerusakan jalan, salah satunya
menyebutkan penyebab terjadinya kerusakan jalan adalah beban dan intensitasnya, kondisi
lingkungan fisik di sekitarnya, dan pengelolaannya.
Argumentasi yang berkembang sejauh ini, kerusakan jalan lebih disebabkan oleh faktor
kelebihan beban. Namun, argumentasi dan logika itu sesungguhnya mengaburkan permasalahan
lain yang lebih mendasar, yaitu faktor lingkungan dan pengelolaannya. Tidak tepatnya diagnosis
tentang faktor penyebab kerusakan itu akhirnya tidak menghasilkan solusi yang tepat.

Faktor Drainase

Kita bisa membangun jalan tol yang relatif baik (tol Jakarta-Cikampek), walaupun dilalui oleh
beban dan volume lalu lintas yang sama dengan yang melintasi jalan pantura. Kita bisa membuat
jalan tol di atas tanah rawa (jalan tol menuju Bandara Soekarno-Hatta) yang bertahan dan
berfungsi dengan baik.

Secara fisik terlihat bahwa jalan tol (dengan konstruksi perkerasan lentur) pada umumnya
terletak pada timbunan dengan posisi lebih tinggi dari lahan di kiri-kanan jalan, sehingga jarang
terlihat tol tergenang air atau badan jalan selalu terjaga dari pengaruh air. Faktor drainase penting
dan diperhatikan di jalan tol.

Tidak demikian dengan jalan umum, misalnya jalan pantura. Tanah di kiri-kanan yang berupa
hunian, kantor, pasar, industri, bersinggungan langsung dengan badan jalan dengan posisi yang
sebidang atau bahkan lebih tinggi. Hal ini menyebabkan kesulitan untuk menjamin badan jalan
bebas dari pengaruh air. Air akan tertahan di badan jalan.

Kerusakan jalan selalu diawali dengan berkurangnya daya dukung tanah dasar akibat air. Tanah
yang terendam air akan menurun daya dukungnya. Ketika daya dukung tanah dasar menurun,
perkerasan akan retak dan bergerak naik-turun ketika kendaraan berada di atasnya. Kejadian
yang berulang-ulang menyebabkan lapis perkerasan terlepas dan menimbulkan lubang-lubang.

Pada musim hujan, kerusakan akan dipercepat, karena air dengan leluasa masuk ke tanah dasar
melalui retakan-retakan yang timbul. Di jalan tol, kemungkinan ini lebih kecil, karena drainase
menjadi sesuatu yang melekat pada fungsi dan konstruksi jalan. Jika retakan lapis perkerasan
jalan terjadi di jalan tol, dengan cepat hal itu diantisipasi oleh operator jalan tol dengan
melakukan overlay atau coating. Hal ini dengan cepat dilakukan karena sistem anggaran dan
keuangan memungkinkan. Ada standar dan manual prosedur untuk menghadapi hal-hal semacam
itu.

Untuk jalan umum, faktor beban atau kelebihan beban merupakan sesuatu yang bersifat teknis.
Berapa pun beban lalu lintas, bisa dihitung berapa tebal perkerasan yang diperlukan. Tetapi
bagaimanapun canggihnya metode perhitungan tebal perkerasan yang digunakan serta berapa
pun tebal lapis perkerasan yang dibuat, jika kondisi tanah dasar tidak terjaga sesuai dengan daya
dukung yang dikehendaki, hasilnya akan sia-sia (perlu diketahui beberapa ruas jalan di pantura,
tebal perkerasannya ada yang mencapai 1,7 meter).

Hindari Pemborosan
Demikian pula, bagaimanapun baiknya desain suatu lapis perkerasan, bila tidak dirawat dengan
biaya dan jadwal sebagaimana ditetapkan dalam rencana, maka kerusakan akan terus terjadi dan
tidak akan terkejar. Hal ini pada akhirnya akan membuat biaya pembangunan ataupun
pemeliharaan jalan umum per kilometer akan lebih mahal dibandingkan dengan jalan tol.

Penulis mengajak pembaca untuk mencoba menghitung dan membandingkan biaya


pembangunan (sejak awal dibangun) dan pemeliharaan per km antara jalan pantura dan jalan tol
Jagorawi atau jalan tol Jakarta-Cikampek. Mana yang lebih murah?
Jalan pantura yang memiliki nilai strategis dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
wilayah selayaknya mendapat perhatian dan penanganan yang sepadan serta perlu pola
pengelolaan yang lebih profesional untuk menghindari terjadinya pemborosan.

Diperlukan standar dan manual prosedur yang ditetapkan khusus untuk jalan pantura atau jalan-
jalan lain yang hierarkinya berada di bawahnya (sesuai dengan kepentingannya). Hal itu
dibutuhkan sebagai dasar hukum untuk menembus kebuntuan dalam menangani masalah
peruntukan lahan di kiri-kanan jalan, serta sistem anggaran dan pengalokasian yang sering
menyimpang dari tuntutan teknis.
Misalnya, rendahnya anggaran pemeliharaan, anggaran yang baru bisa direalisasikan pada saat
musim hujan mulai, tidak dimungkinkannya penanganan secara mendadak karena anggaran tidak
dialokasikan, serta penggunaan lahan di kiri-kanan jalan arteri yang menyimpang dari ketentuan
yang ditetapkan undang-undang.

Kita harus jujur mengakui bahwa sistem pengelolaan jalan umum di Indonesia masih buruk.
Pada kondisi ini,  apa pun yang dilakukan hasilnya akan buruk. Memperbaiki sistem pengelolaan
memang tidak mudah, karena akan menyangkut berbagai kepentingan dan berbagai pihak. Lebih
mudah untuk dilihat dan dipahami jika kita mengatakan jalan rusak karena beban kendaraan
yang berlebihan.

Anda mungkin juga menyukai