Anda di halaman 1dari 4

“ Realita Budaya di Mata Anak “

KORUP, SIH!
Oleh:
Aditya Gilank Pratama
SMAN 78, Jakarta Barat

Senin, 15 Januari 1990


Siang itu, matahari sedang genit-genitnya memamerkan segenap kekuatan untuk menyinari
bumi. Darius yang tengah berjalan menuju warung untuk membeli satu kilo gula atas suruhan
bundanya pun mengeluh kepanasan. Setelah separuh perjalanan ditempuh, sesosok lelaki
dewasa dengan gerobak ice cream mengalihkan pandangan bocah sepuluh tahun ini.

Tanpa pikir panjang, Darius memanggil penjual ice cream itu. “Bang! Bang!”, serunya semangat.
Si penjual ice cream pun berhenti atas panggilan Darius. “Aku mau satu ya, bang!”, pinta Darius.
“Ini, dek!”, kata si penjual seraya memberikan ice cream yang nampak menggiurkan. Senyum
lebar jelas terpatri pada wajah mungilnya karena dia yakin ice cream itu akan menjadi kawan
yang pas untuk lidah Darius di tengah teriknya matahari saat itu. “Harganya dua ratus rupiah ya,
dek!”, lanjut si penjual ice cream dan hal itu merubah raut girang Darius menjadi panik
sepenuhnya.

Dia lupa kalau tidak membawa uang jajan sepeser pun saat itu. Yang ada di kantong celananya
hanyalah uang pemberian bundanya yang akan dipakai untuk membeli gula satu kilo yang akan
dia beli di warung. Gagasan spontan untuk memakai uang itu pun secara langsung
menghinggapi benak Darius. Tapi di sisi lain dia ragu untuk bertindak demikian. Setelah sejenak
berpikir, dia pun berhasil menemukan jalan keluarnya. Dia ingat bahwa harga gula satu kilo tidak
akan lebih dari tiga ratus rupiah dan uang pemberian bundanya untuk membeli gula itu sejumlah
lima ratus rupiah. Jadi, bila dia memakai uang itu untuk membayar ice cream yang dia beli, sisa
kembaliannya masih akan cukup untuk membeli gula untuk bundanya.

Tanpa ragu, dia pun membayar ice cream yang dia beli. Lalu dia melanjutkan perjalanan menuju
warung seraya menikmati ice cream miliknya di sepanjang sisa perjalanan. Sesampainya di
warung, lagi-lagi kepanikan melanda dirinya dan yang kali ini jauh lebih parah. “Lho Om?
Seingatku satu kilo gula harganya kan tiga ratus rupiah. Om ngaco ah!”, kata Darius panik.
“Kamu yang ngaco. Dengar ya bocah, naik turun harga itu wajar disetiap barang dagangan! Hari
ini kamu beli sesuatu harganya seratus, bisa jadi besoknya lagi kamu beli harganya sudah
melonjak jadi delapan ratus. Sudah, pulang dulu sana. Bilang sama ibu kamu kalau uangnya
kurang, setelah itu ke sini lagi. Nanti saya siapkan gula satu kilonya. Sana”, ujar si penjaga
warung kepada Darius.

Cemas menguasai Darius sepenuhnya. Sepanjang perjalanan menuju ke rumah sudah terbayang
gambaran jelas wajah murka milik bundanya karena kejadian ini. Dan benar saja, gambaran
tersebut menjadi nyata. Bundanya Darius sangat marah kepadanya. “Kamu keterlaluan, nak!
Kamu kan tahu malam ini di rumah kita akan ada pengajian. Jadi bunda sangat butuh gula untuk
memasak makanan yang akan dihidangkan. Tahu begini jadinya mending bunda suruh orang
lain deh. Terlalu kamu!”, omel bundanya Darius.
“ Realita Budaya di Mata Anak “

“Maafin aku, Bun! Aku haus banget tadi! Udah, bunda jangan omelin aku lagi ya. Maafin aku”,
kata Darius yang terisak karena menyesal dengan perbuatannya. “Kamu korup, sih!
Mempergunakan uang milik orang lain yang semestinya dipakai untuk hal lain, itu korup
namanya! Gak boleh seperti itu lagi!”, jelas bunda menuntut. “Iya, maafin aku bunda. Aku janji
gak akan pernah seperti itu lagi”, pinta Darius. Bunda pun memaafkan Darius saat itu karena dia
melihat Darius sungguh menyesal akan perbuatannya dan bunda percaya Darius tidak akan
melakukan hal yang sama ke depannya. Namun kenyataannya yang terjadi di waktu-waktu
setelahnya, Darius masih kerap melakukan kesalahan yang sama. Mancatut uang belanjaan
bundanya, dsb. Bedanya, dia menjadi lebih kreatif dalam melakukan hal demikian.

Selasa, 4 Februari 1997


Datang terlambat ke sekolah bukan menjadi hal yang janggal bagi Darius. Dan biasanya setiap
kali telat, dia selalu memiliki alasan tokcer yang bisa membuat dia dimaklumi dan terbebas dari
hukuman wali kelasnya. Namun yang terjadi pagi ini berbeda. Toleransi dan kesabaran Ibu Rina
sepertinya sudah habis. Sebagai wali kelas, Ibu Rina khawatir akan perilaku Darius yang kerap
kali telat dating ke sekolah. Tidak mengherankan, karena memang Darius yang saat ini
menduduki bangku kelas tiga SMA akan dalam waktu dekat menghadapi ujian nasional yang
menentukan kelulusannya.

Kini Ibu Rina tengah berhadapan empat mata dengan Darius di meja kerjanya di ruang guru.
Mereka menghabiskan beberapa menit tanpa ada satu pun yang angkat bicara. Namun
akhirnya, Ibu Rina memecah keheningan. “Ibu minta kamu beritahu Ibu kamu untuk menghadap
Ibu besok pagi untuk membicarakan soal ini”, jelasnya. “Bu, aku mohon jangan, Bu! Bunda pasti
akan marah besar dengan saya. Tolong, bu!”, pinta Darius kepada Ibu Rina.“Tidak bisa. Kamu
korup, sih!”, sergah Ibu Rina. “Kok bawa-bawa korupsi sih Bu? Apa hubungannya?”, tanya Darius
yang mulai jengkel namun juga jelas sedang berusaha menutupinya. “Iya, kamu yang sering telat
datang ke sekolah menunjukkan kalau kamu menyepelekan pentingnya waktu. Kamu
menyalahgunakan waktu. Intinya, kamu korupsi waktu! Mungkin wali kelas kamu yang
sebelumnya selalu memberikan toleransi dan semacamnya atas perilaku kamu ini. Namun
sekarang… jangan harap ya, nak. Ibu tidak akan membiarkan kebiasaan korupsi waktu kamu ini
berkembang menjadi sebuah budaya yang terus menerus kamu aplikasikan dalam hidup kamu.
Tidak, ibu tidak akan membiarkan hal itu terjadi karena ibu peduli sama kamu. Mengerti?”, jelas
Ibu Rina tajam.

Darius mendengar dengan baik dari awal hingga akhir perkataan Ibu Rina barusan. Yang
menjadi pertanyaan, apa dia dapat memahaminya? Tidak. Namun demi menjaga sikapnya di
depan Ibu Rina, dia pun berlagak seakan dia memahami segenap perkataan Ibu Rina seraya
lanjut melontarkan permohonan maaf. “Maafkan saya, Bu. Saya menyesal. Saya janji tidak akan
melakukan hal yang sama, bu. Saya janji. Tapi tolong jangan penggil ibu saya ke sini, bu. Saya
takut mengecewakan dia”. “Hm, baiklah kalau kamu memang benar-benar menyesal. Ingat, ini
terakhir kalinya ya kamu korupsi seperti ini. Janji ya?”, kata Bu Rina yang akhirnya memaafkan
Darius. Darius pun mengangguk janji.

Dan seperti nasib sebuah janji pada umumnya yaitu rentan diingkari, janji Darius saat itu pun
juga. Telat datang ke sekolah mungkin sudah bisa sedikit dia kurangi. Namun budaya korupsi
waktu dengan telat seperti itu dia aplikasikan ke dlaam momen-momen lain dalam hidupnya.
“ Realita Budaya di Mata Anak “

Dari yang penting seperti sering telat mengumpulkan tugas sekolah hingga yang sederhana
seperti datang terlambat saat ada janji dengan teman untuk bertemu. Benar-benar jadi sebuah
budaya baginya.

Rabu, 25 Maret 2010


“Pemirsa, inilah dia pegawai negeri yang fenomenal saat ini: Darius Prakoso. Usianya baru 30
tahun namun sudah bisa disebut sebagai pegawai negeri terkaya di Indonesia. Tabungan yang
ia miliki mencapai angka Rp 25 Milyar dan hal itu jelas di luar batas wajar bagi dia yang seorang
pegai negeri golongan III-A. Saat namanya disebut oleh mantan Kepala Badan Reserse Kriminal
Susanto Djuanda sebagai seorang yang terlait makelar kasus, orang pun geger. Susanto
mengemukakan Rp 24,6 miliar dari jumlah tabungan Darius menguap entah kemana---“

“Sudah, hanya rasa sakit yang akan kamu dapatkan dari menonton berita-berita tentang kamu
seperti ini”, kata istri Darius seraya mengganti channel TV yang tadi menampilkan berita tentang
suaminya. “Aku minta maaf ya. Aku benar-benar mengecewakan kalian semua. Aku menyesal”,
kata Darius kepada istrinya. Dia jelas nampak sangat suram dan terpukul. “Sudah. Ini sudah
terjadi, yang penting kesalahan yang sama tidak boleh terulang lagi. Dan katakan apa adanya di
pengadilan nanti, kamu harus siap menanggung semua resiko atas apa yang kamu perbuat.
Ya?”, kata istrinya membesarkan hati Darius. “Iya, aku siap menanggung hukuman yang akan
diberikan padaku nanti. Aku siap. Dan terimakasih untuk semua pengertianmu akan hal ini,
sayang”, kata Darius. Istrinya tersenyum kepadanya tapi jelas menangis dalam hati.
Bersuamikan seorang koruptor bukanlah perkara ringan. Sebijak apapun dia menyikapi kasus
suaminya itu, dia tetaplah terpukul akan hal itu. Namun untuk berbagai alasan baik lainnya, dia
memutuskan untuk tidak menunjukkannya.

Aldo anak mereka pun, memecah keheningan pagi yang sesaat muncul saat itu. “Mama ayo
berangkat ke sekolah!”, pinta Aldo. “Ayo, berangkat bareng Papa aja ya. Papa juga mau ke
kantor kok”, kata Darius pada jagoan berumur 10 tahun miliknya itu. “Gak mau! Kalau diantar
Papa nanti aku malu sama orang-orang di sekolah”, jawab Aldo dengan ketus. “Lho? Malu
kenapa sayang?”, tanya Darius keheranan. “Papa korup, sih!”, sahut Aldo dengan lantang.
Darius tertohok dengan perkataan anaknya barusan. Airmata tidak sanggup lagi dia bending.
Sungai kecil pun mengalir sempurna di wajahnya.

Dan seakan enggan surut, sungai tersebut mengalir deras lagi di wajah Darius beberapa hari
setelahnya. Yaitu saat dia menerima keputusan dari hasil sidang yang menyatakan bahwa dia
dinyatakan bersalah dan dipenjara selama 15 tahun lamanya atas perkara korupsi yang dia
lakukan. Darius tidak dapat menyalahkan siapapun atas apa yang menimpa dirinya. Itu semua
murni kesalahannya. Dan dia mengakui hal itu pada dirinya sendiri. Berbagai penyesalan pun
berkecamuk dalam dirinya. Dan berbagai kalimat „andai saja‟ mutlak menjadi penghias aksi
penyesalan bagi dirinya.

Andai saja dia bisa menahan diri untuk bisa puas dengan gaji 12,1 juta yang dia dapatkan setiap
bulannya. Andai saja dia bisa bekerja secara professional dengan bersikap tegas terhadap aksi
manipulasi penyusutan pajak. Dan yang paling penting yaitu andai saja sedari dulu dia tidak
membiarkan budaya korupsi mengakar dalam dirinya baik dalam konsep pikir maupun
pengaplikasian. Namun nasi sudah menjadi bubur. Dan sangat tidak memungkinkan bubur
“ Realita Budaya di Mata Anak “

diubah kembali menjadi nasi. Jadi tidak ada gunanya penyesalan-penyesalan itu membebani diri
Darius. Yang perlu Darius lakukan justru adalah meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia tidak akan
melakukan kesalahan yang sama. Dia harus berhenti melestarikan budaya korupsi dalam
hidupnya.

Sekarang, Darius harus berhadapan dengan hari yang monoton setiap harinya. Makan, tidur,
makan, tidur, dan semua dilakukan di dalam sel yang sempit dan pengap. Sekalinya keluar kalau
ingin ke kamar mandi atau saat ada tamu yang datang berkunjung. Dan dia punya waktu 15
tahun yang harus dihabiskan untuk berkawan dengan rutinitas demikian.

Berat? Memang. Namun dia tidak boleh mengeluh, walau sesekali dia kerap berkata pada
dirinya sendiri: kenapa hidupku jadi serumit ini? Dan saat itu juga seakan ada yang menjawab:
kamu korup, sih!

Anda mungkin juga menyukai