Anda di halaman 1dari 2

Senyuman Sang Dewi

Tokoh utama : Fatimah, Mbok Layung, Sholeh

Hujan gerimis mempercepat senja. Sore pun segra gelap. Kilat menyambar-nyambar
memecah kepekatan malam, dan suara guntur menggelegar berbenturan dengan badai. Dari
berbagai arah, kelap kelip lampu petromaks para nelayan berhamburan mencari arah kemana
mesti mengayun. Sebuah perahu kecil ditumpangi 2 orang laki-laki, yang dengan sekuat
tenaga mempercepat dayung, menuju arah pulang. Dari tempat yang berbeda, seorang laki-
laki berteriak-teriak menghalau kawan-kawannya agar segera pulang untuk menyelamatkan
diri dari amukan badai.

“Pulang! Pulang! Badai terlalu besar! Sang Penjaga murka!”

Sebuah gelombang setinggi gunung, menggelandang perahu mereka bagai kapas


diterbangkan angin. Sementara itu, dengan sekuat tenaga, seorang laki-laki mencoba
menantang gelombang agar terhindar dari batu karang. Meskipun hampir tidak tertahankan,
ia tetap bertekad membelokkan perahunya. Dan tidak lupa, ia segera berdoa meminta
perlindungan Tuhan.

Seorang laki-laki lain pada perahu di sebelahnya, memaki-maki badai yang tidak mau
diajak berdamai. Belum berhenti memaki-maki, laki-laki setengah baya sudah terkejut lagi
mendengar suara petir yang teramat dekat. Hampir-hampir ia terpental dari perahunya.
Meskipun demikian, caci makinya tidak berhenti juga.

Ombak semakin besar, menggiring para nelayan agar segera pulang. Gerimis yang
sejak sore turun, semakin menderas. Malam tanpa bintang, membuat suasana amat
mencekam.

Ternyata, badai tidak mengoyak mereka yang berada di laut saja. Rumah-rumah yang
berada di tepian laut pun tidak terelakkan oleh amukannya. Ketika ada sebuah genting
melesat dari atap, seorang ibu segera melindungi anaknya yang menjerit ketakutan. Dari
kejauhan, bunyi kentongan terdengar bertalu-talu, mengingatkan warga agar bersiap bila
sewaktu-waktu bahaya datang. Semua penduduk berada di luar rumah demi keamanan.
Mereka berjaga agar tidak terjebak bila sewaktu-waktu rumah mereka roboh.
“Zaman edan!” maki seorang nenek yang ketakutan. Ketika muda, jarang ia
menjumpai angin yang sebesar ini. “Ini gara-gara semua manusia sudah rakus. Jadinya, ya…,
begini ini!” sungutnya lagi.

“Lho, apa hubungannya dengan angin, Mbok?” Tanya seorang anak perempuannya
sambil mendekap bayinya yang baru berumur 2 bulan.

“Ya, memang tidak ada hubungannya. Tapi, kalau saja masih ada hutan bakau di
sepanjang pantai ini, tentu angin kencang yang datnag dari laut ini akan dapat tertahan.
Sekarang, sebentar-bentar badai, air naik ke darat. Ya, karena tidak ada lagi yang menahan
angin itu,” jelasnya lagi.

“Tapi kita bisa apa, Mbok? Kita ini orang kecil. Zaman lagi susah, cari kayu bakar
pun sulit dan terpaksa beli dari pedagang. Biasanya, kayu berserakan di sepanjang pantai
hutan bakau. Setelah dibabat untuk tambak-tambak liar, bukannya kita tambah kaya, malah
sengsara begini. Kayu tidak ada, ikan susah didapat.”

Mbok Layung, nama nenek itu, menatap ke atas langit yang gelap. ”Mungkin sudah
tidak bahaya untuk masuk ke dalam, Nduk. Angin sudah reda. Kasihan anakmu kalau di luar
terus. Bisa masuk angin nanti, ayo masuk!” ajaknya sambil merengkuh tubuh anak
perempuannya masuk ke dalam rumah kembali.

“Bagaimana dengan Kak Sholeh, Mbok? Hatiku tidak enak, jangan-jangan ada apa-
apa dengan dirinya.”

“Hush, kalau bicara jangan ngawur. Berdoa saja pada Yang Kuasa agar suamimu
kembali tidak kurang suatu apapun. Dapat hasil atau tidak, jangan dipikir.” Mbok Layung
menoleh sesaat ke belakang,”Lha…itu dia datang. Cepat kita masuk, bukakan pintunya, biar
Mbok yang menggendong anakmu.”

Anda mungkin juga menyukai