Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN TUGAS SEJARAH

PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN
KEMERDEKAAN DI BERBAGAI DAERAH
MELALUI JALAN KEKERASAN

DITUJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS


MATA PELAJARAN SEJARAH
DI SMA NEGERI 2 KOTA BENGKULU

Disusun oleh
Dwi Yulystine Tanawi
XI Akselerasi

DINAS PENDIDIKAN NASIONAL ( DIKNAS )


SMA NEGERI 2 KOTA BENGKULU

1
TAHUN 2010/2011
 Pertempuran Surabaya (10 November 1945)

Peristiwa 10 November 1945 di Kota Surabaya merupakan peristiwa besar dalam sejarah
perjuangan bangsa Indonesia di dalam mempertahankan kemerdekaannya. Arek-arek Suroboyo
yang terdiri dari berbagai suku, lapisan dan kedudukan secara gagah berani dan dengan semangat
kepahlawanannya menentang setiap keinginan dari kaum penjajah yang akan kembali merampas
kemerdekaan Bangsa dan Negara Indonesia. Dengan semboyan "Merdeka atau Mati", dengan
gagah berani, arek-arek Suroboyo dengan senjata apa adanya menghadapi kekuatan penjajah
yang menggunakan senjata modern. Dengan semangat rela berkorban demi nusa dan bangsa,
jiwa dan raga mereka dipertaruhkan untuk tegaknya kemerdekaan Republik Indonesia yang
diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai titik darah penghabisan.
Mengingat betapa tinggi nilai peristiwa bersejarah ini, tentunya sebagai wahana untuk
mengenang kembali betapa besar jasa para pahlawan kita yang telah rela mengorbankan jiwa dan
raganya, selain memperingatinya setiap tanggal 10 November, juga dibangunnya Monumen
Perjuangan TUGU PAHLAWAN, tidaklah berlebihan kalau tempat-tempat bersejarah dalam
rangkaian peristiwa 10 November tersebut dijadikan suatu paket wisata sejarah "NAPAK TILAS
PERTEMPURAN AREK-AREK SUROBOYO" yang berada di sekitar Jembatan Merah
(Gedung Internatio), sekitar Tugu Pahlawan (Markas Kentepai Jepang / Gedung Raad Van
stitie)dan Hotel Mandarin Majapahit ( Hotel Orange / Hoteru Yamato ).

Tugu Pahlawan
Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang
menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan
terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke
segenap pelosok kota Surabaya.
Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera
di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman
kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman pada sore hari
tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-
2
Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel
Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi
marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak
mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera
Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Sudirman, pejuang
dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih
diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya
Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik
dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman serta rombongannya
dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato.

Hotel Yamato
Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan
menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman
mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas
dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan
mendengar letusan pistol Ploegman.
Sementara Sudirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda
berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama
Sudirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan
bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan
mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih dengan ukuran
yang tidak seimbang dan diiringi pekikan "MERDEKA", "MERDEKA", "MERDEKA", yang
disambut dengan gempita oleh massa Rakyat yang berkerumun di bawah tiang bendera dan
berada di depan Hotel Orange. Tercatat dalam insiden penyobekan bendera Belanda di Hotel
Orange tersebut telah gugur sebagai Kusuma Bangsa 4 (empat) orang Pemuda / Arek Suroboyo
yaitu Sdr. SIDIK, Sdr. MULYADI, Sdr. HARIONO dan Sdr. MULYONO. Sedangkan dari
pihak Warga Belanda Mr. Ploegman tewas terbunuh oleh amukan massa ditusuk senjata tajam.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah
pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil

3
tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa
di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta
bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.
Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata
para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak
daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September
1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25
Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces
Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk
melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta
memulangkan tentara Jepang ke negerinya.
Namun selain itu. ternyata tentara Inggris yang datang juga membawa misi
mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri
jajahan Hindia Belanda. NICA(Netherlands Indies Civil Administration) ikut memboncengi
rombongan tentara Inggris untuk mewujudkan tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat
Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan
tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.
Pada tanggal 26 Oktober 1945 malam harinya satu peleton pasukan Field Security Section
di bawah pimpinan Kapten Shaw melakukan penyerangan ke penjara Kalisosok untuk
membebaskan Kolonel Huiyer (seorang Kolonel Angkatan Laut Belanda) bersama
kawan0kawannya. Tindakan Inggris dilanjutkan dengan melakukan pendudukan terhadap
Pangkalan Udara Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Internatio, dan objek-objek vital
lainnya.
Pada tanggal 27 Oktober 1945 pukul 11.00 pesawat terbang Inggris menyebarkan pamflet-
pamflet yang berisi perintah agar rakyat Surabya pada khususnya dan Jawa Timur pada
umumnya untuk menyerahkan senjata yang dirampas dari tangan Jepang. Brigadir Jenderal
Mallaby mengaku tidak tahu menahu soal pamflet-pamflet tersebut. Ia bahkan berpendirian
bahwa sekalipun sudah terdapat perjanjian dengan pemerintah Republik Indonesia. Tetapi ia
akan melaksanakan tindakan sesuai dengan isi pamflet-pamflet tersebut. Sikap yang demikian
menghilangkan kepercayaan Republik Indonesia terhadap Inggris.
Pada tanggal 27 Oktober 1945, terjadi kontak senjata yang pertama antara Indonesia
dengan pasukan Inggris. Kontak senjata itu meluas, sehingga terjadi pertempuran pada tanggal
28, 29, dan 30 Oktober 1945. Dalam pertempuran tersebut, pasukan sekutu dapat dipukul
mundur dan bahkan hamper dapat dihancurkan oleh pasukan Indonesia. Dan Brigadier Jenderal
A. W. S. Mallaby berhasil ditawan oleh Indonesia.
Melihat kenyataan seperti itu, pemimpin sekutu menemui Gubernur Jawa Timur R.M.
Soerjo untuk membicarakan maksud kedatangan mereka yang berhasil mencapai suatu
kesepakatan, yaitu:
1. Inggris berjanji bahwa di antara mereka tidak terdapat angkatan perang Belanda
2. Disetujuinya kerja sama antara kedua belah pihak untuk menjamin keamanan dan
ketentraman
4
3. Akan segera dibentuk kontak biro sehingga kerja sama dapat terlaksana dengan
sebaik-baiknya
4. Inggris hanya akan melucuti senjata Jepang saja
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani
tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu, tetap saja terjadi
bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-
bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir
Jenderal Mallaby (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar
pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan
sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman
menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal
Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui
identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang
menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali.

Mobil A. W. S. Mallaby
Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan
berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal E.C. Mansergh untuk
mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan
persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.

A. W. S. Mallaby
Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party).
Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons) meragukan

5
bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan bahwa
peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan
India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan
senjata sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan
dari Tom Driberg:
"... Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain alun-
alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata.
Mereka menembak secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi
(gencatan senjata), berjalan lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak
kepada serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin
setengah jam kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik
tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan
tembakan dengan dua senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah
pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi perintah
untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata sebenarnya telah pecah, setidaknya
secara lokal. Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas
dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang
Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya
(Mallaby). Saya pikir ini tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik... karena informasi saya
dapat secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di tempat
kejadian pada saat itu, yang niat jujurnya saya tak punya alasan untuk pertanyakan ... "
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor
Jenderal Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan
orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang
ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam
6.00 pagi tanggal 10 November 1945. Cuplikan isi ultimatum tersebut yaitu:
“….. semua pemimpin bangsa Indonesia dari semua pihak di kota Surabya harus dating
selambat-lambatnya tanggal 10 Nopember 1945 pukul 06.00 pagi, pada tempat yang telah
ditentukan dan membawa bendera Merah Putih dengan diletakkan di atas tanah pada jarak
seratus meter dari tempat berdiri, lalu mengangkat tangan tanda menyerah.”
Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat
yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh
pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak
organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan
pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang
memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.
Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang
diawali dengan bom udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian
mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.

6
Berbagai bagian kota Surabaya dibom bardir dan
ditembak dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian
berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk dalam
pertempuran ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan
tersebut, baik meninggal mupun terluka.
Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa
ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung
Tomo yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-
pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.
Berikut cuplikan pidato Bung Tomo:
Selama banteng-banteng Indonesia masih mempoenjai darah merah jang dapat membikin
setjarik kain poetih mendjadi merah & putih, maka selama itoe tidak akan kita maoe menjerah
kepada siapapoen djuga!

Bung Tomo
Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti
KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga
mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu
itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada
para kyai) sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari
minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan
tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu
sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris.
Setidaknya 6.000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200.000 rakyat sipil mengungsi
dari Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 orang. Pertempuran
berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan
perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan
kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10
November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga
sekarang.

7
 Pertempuran Ambarawa – Magelang

Pada tanggal 20 Oktober 1945, tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Bethell
mendarat di Semarang dengan maksud mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang
berada di Jawa Tengah. Kedatangan sekutu ini diboncengi oleh NICA. Kedatangan Sekutu ini
mulanya disambut baik, bahkan Gubernur Jawa Tengah Mr Wongsonegoro menyepakati akan
menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi kelancaran tugas Sekutu, sedang Sekutu
berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan Republik Indonesia.
Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan Magelang untuk
membebaskan para tawanan tentara Belanda, para tawanan tersebut malah dipersenjatai sehingga
menimbulkan kemarahan pihak Indonesia. Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga
terjadi pertempuran. Di Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba
melucuti Tentara Keamanan Rakyat dan membuat kekacauan.
TKR Resimen Magelang pimpinan Letkol. M. Sarbini membalas tindakan tersebut dengan
mengepung tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun mereka selamat dari kehancuran berkat
campur tangan Presiden Soekarno yang berhasil menenangkan suasana. Pada tanggal 2
November 1945 diperoleh suatu kesepakatan yang dituangkan dalam 12 pasal. Naskah
kesepakatan itu di antaranya berisi:
a. Pihak sekutu tetap akan menempatkan pasukannya di Magelang untuk melindungi
dan mengurus evakuasi APWI (Allied Prisoners War and Interneers atau tawanan
perang dan intermiran sekutu). Jumlah pasukan sekutu dibatasi sesuai dengan
keperluan itu.
b. Jalan Ambarawa – Magelang terbuka sebagai jalur lalu lintas Indonesia – Sekutu.
c. Sekutu tidak akan mengakui aktivitas NICA dalam badan – badan yang berada di
bawahnya.
Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam meninggalkan Kota Magelang menuju ke
benteng Ambarawa. Akibat peristiwa tersebut, Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan
Letkol. M. Sarbini segera mengadakan pengejaran terhadap mereka.
Tanggal 23 November 1945 ketika matahari mulai terbit, mulailah tembak-menembak
dengan pasukan Sekutu yang bertahan di kompleks gereja dan kerkhop Belanda di Jl. Margo
Agoeng. Pasukan Indonesia terdiri dari Yon. Imam Adrongi, Yon. Soeharto dan Yon. Soegeng.
Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan Jepang dengan diperkuat tanknya, menyusup ke
tempat kedudukan Indonesia dari arah belakang, karena itu pasukan Indonesia pindah ke
Bedono.
Yon Suharto, Yon Sarjono dan Yon Sugeng mengambil posisi di sebelah Timur jalan, Yon
Imam Adrongi di sebelah kiri jalan untuk merebut pertahanan musuh di pekuburan Belanda dan
terjadilah pertempuran sengit.Sekutu mengerahkan pesawat terbangnya dan menggunakan
pasukan Jepang yang dikawal oleh lapis baja (tank) sehingga kita sementara terpaksa
mengundurkan diri ke Bedono.

8
Setelah bantuan Dan Resimen Sarbini, Yon Pranotorekso Samodro, Polisi Istimewa
pimpinan Oni Sastroamijoyo dan Barisan Macan dari Yogya tiba, maka pasukan TKR maju
sampai desa Jambu.Kolonel Holand Iskandar membentuk MPP (Markas Pimpinan Pertempuran)
berkedudukan di Jendralan (Magelang), Ambarawa dibagi 4 sektor: Utara, Selatan, Timur dan
Barat. Satu-satunya penghubung sekutu yang paling aman adalah lewat udara karena pos-pos
mereka antara Ambarawa - Semarang telah kita hancurkan.
Gerakan mundur tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena dihadang oleh pasukan
Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni Sastrodihardjo yang diperkuat oleh pasukan gabungan
dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta. Tentara Sekutu kembali dihadang oleh Batalyon
I Soerjosoempeno di Ngipik. Pada saat pengunduran, tentara Sekutu mencoba menduduki dua
desa di sekitar Ambarawa. Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Letkol. Isdiman berusaha
membebaskan kedua desa tersebut, namun ia keburu gugur terlebih dahulu.
Sejak gugurnya Letkol. Isdiman, Komandan Divisi V Banyumas, Kol. Soedirman merasa
kehilangan seorang perwira terbaiknya dan dia langsung turun ke lapangan untuk memimpin
pertempuran. Kehadiran Kol. Soedirman memberikan nafas baru kepada pasukan-pasukan RI.
Koordinasi diadakan diantara komando-komando sektor dan pengepungan terhadap musuh
semakin ketat. Siasat yang diterapkan adalah serangan pendadakan serentak di semua sektor.
Bala bantuan terus mengalir dari Yogyakarta, Solo, Salatiga, Purwokerto, Magelang, Semarang,
dan lain-lain.

Jend. Sudirman
Tanggal 28 November 1945 Mayor Suyoto beserta 21 orang anggota pasukannya gugur
sebagai kusuma bangsa dengan heroik dalam pertempuran di sekitar Lemahabang melawan tank
sekutu hanya dengan berbekal pistol dan bambu runcing.
Pada tanggal 11 Desember 1945, Kol. Soedirman mengadakan rapat dengan para
Komandan Sektor TKR dan Laskar. Pada tanggal 12 Desember 1945 jam 04.30 pagi, serangan
mulai dilancarkan. Pembukaan serangan dimulai dari tembakan mitraliur terlebih dahulu,
kemudian disusul oleh penembak-penembak karaben. Pertempuran berkobar di Ambarawa. Satu
setengah jam kemudian, jalan raya Semarang-Ambarawa dikuasai oleh kesatuan-kesatuan TKR.
Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit. Kol. Soedirman langsung memimpin pasukannya
yang menggunakan taktik gelar supit urang, atau pengepungan rangkap dari kedua sisi sehingga
musuh benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya diputus sama
sekali.

9
Perjuangan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dipimpin Jenderal Soedirman ini
membuat tentara sekutu terjepit dan akhirnya mundur dari Ambarawa menuju Semarang.
Walaupun dihadang dengan seluruh kekuatan persenjataan modern serta kemampuan taktik dan
strategi sekutu, para pejuang RI tak pernah gentar sedikitpun. Mereka melancarkan serangan
dengan gigih seraya melakukan pengepungan ketat di semua penjuru kota Ambarawa.
Dengan gerakan pengepungan rangkap ini sekutu benar-benar terkurung dan kewalahan.
Jenderal Soedirman sebagai pemimpin pasukan menegaskan perlunya mengusir tentara sekutu
dan Ambarawa secepat mungkin. Sebab sekutu akan menjadikan Ambarawa sebagai basis
kekuatan untuk merebut Jawa Tengah. Dengan semboyan “Rawe-rawe rantas malang-malang
putung, patah tumbuh hilang berganti”, pasukan TKR memiliki tekad bulat membebaskan
Ambarawa atau dengan pilihan lain gugur di pangkuan ibu pertiwi.
Serangan pembebasan Ambarawa yang berlangsung selama empat hari empat malam
dilancarkan dengan penuh semangat pantang mundur. Dari tanggal 12 hingga 15 Desember
1945, para pejuang tidak menghiraukan desingan-desingan peluru maut dan lawan.
Letusan tembakan sebagai isyarat dimulainya serangan umum pembebasan Ambarawa, terdengar
tepat pukul 04.30 WIB pada 12 Desember 1945. Pejuang yang telah bersiap-siap di seluruh
penjuru Ambarawa mulai merayap mendekati sasaran yang telah ditentukan, dengan siasat
penyerangan mendadak secara serentak di segala sektor. Seketika, dan segala penjuru Ambarawa
penuh suara riuh desingan peluru, dentuman meriam, dan ledakan granat. Serangan dadakan
tersebut diikuti serangan balasan musuh yang kalang kabut.
Sekitar pukul 16.00 WIB, TKR berhasil menguasai Jalan Raya Ambarawa Semarang, dan
pengepungan musuh dalam kota Ambarawa berjalan dengan sempurna. Terjadilah pertempuran
jarak dekat. Musuh mulai mundur pada 14 Desember 1945. Persediaan logistik maupun amunisi
musuh sudah jauh berkurang.
Akhirnya, pasukan sekutu mundur dan Ambarawa sambil melancarkan aksi bumi hangus
pada 15 Desember 1945, pukul 17.30 WIB. Pertempuran berakhir dengan kemenangan gemilang
pada pihak TKR. Pasukan TKR berhasil merebut benteng pertahanan sekutu yang tangguh.
Kemenangan pertempuran Ambarawa pada 15 Desember 1945. Keberhasilan Panglima Besar
Jenderal Soedirman ini kemudian diabadikan dalam bentuk monumen Palagan Ambarawa. TNI
Angkatan Darat memperingati tanggal tersebut setiap tahun sebagai Hari Infanteri.

Palagan Ambarawa

10
 Pertempuran Medan Area

Pada tanggal 9 November 1945 pasukan sekutu dibawah pimpinan Brigadir Jendral
T.E.D.Kelly mendarat di sumatera utara yang diikuti oleh pasukan NICA. Pemerintah Republik
Indonesia di Sumatera Utara memperbolehkan mereka untuk menempati beberapa hotel yang
terdapat di kota Medan seperti Hotel de Boer, Grand Hotel, Hotel Astoria, dan hotel – hotel
lainnya.
Selanjutnya mereka ditempatkan di Binjai, Tanjung Lapangan. Sehari setelah mendarat tim
RAPWI mendatangi kamp tawanan yang ada di Medan atas persetujuan gubernur M. Hasan.
Kelompok itu langsung dibentuk menjadi Medan Batalyon KNIL.
Dengan adanya kekuatan itu, ternyata bekas tawanan menjadi arogan dan sewena – wena
dan menyebabkan terjadinya insiden tanggal 13 Oktober 1945 di jalan Bali, Medan. Insiden itu
berawal dari ulah seorang penghuni hotel yang merampas dan menginjak – injak lencana Merah
Putih. Akibatnya hotel itu diserang dan dirusak oleh kalangan pemuda. Dampak dari insiden itu
menjalar ke beberapa kota lain, seperti Pematang Siantar dan Brastagi.
Pada tanggal 10 Oktober 1945 dibentuk TKR Sumatera Timur dengan pemimpinnya
Achmad Tahir. Selanjutnya diadakan pemanggilan bekas Giyugun dan Heiho ke Sumeatera
Timur. Di samping TKR terbentuk juga badan – badan perjuangan yang sejak tanggal 15
Oktober 1945 menjadi Pemuda Republik Indonesia Sumatera Timur dan kemudian diganti
menjadi Pesindo.
Setelah dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tentang terbentuknya partai – partai politik
pada bulan November 1945, di Sumatera dibentuklah laskar – laskar partai. PNI memiliki laskar
yang bernama Nasional Pelopor Indonesia ( Napindo ), PKI mempunyai Barisan Merah,
Masyumi mempunyai laskar Hisbullah dan Parkindo mendirikan Pemuda Parkindo.
Pada tanggal 18 Oktober 1945 Brigadir Jendral T.E.D. Kelly member ultimatu agar para
pemuda Medan menyerahkan senjatanya kepada sekutu. Pasukan sekutu – Inggris juga semakin
memperburuk suasana dengan permusuhan di kalangan pemuda Indonesia di Sumatera.
Pada tanggal 1 Desember 1945, pihak sekutu – Inggris memasang papan – papan yang
bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di daerah – daerah pinggiran kota Medan. Sejak saat
iut nama Medan Area menjadi terkenal. Inggris bersama NICA melakukan aksi pembersihan
tehadap unsur – unsur Republik Indonesia di Medan. Bahkan pada tanggal 10 Desember 1945
mereka berusaha menghancurkan konsenterasi TKR di Trepes. Aksi tersebut mendapat
perlawanan yang sengit dari pemuda Medan.
Dalam peristiwa itu Brigadir Jendral T.E.D.Kelly kembali mengancam pemuda Medan
agar menyerahkan senjata yang mereka miliki dan jika tidak akan ditembak mati. Pada bulan
April 1946 tentara Inggris sudah mulai mendesak pemerintah Republik Indonesia di Medan.
Gubernur markas besat divisi TKR di Medan dan walikota pindah ke Pematang Siantar. Inggris
pun akhrinya menduduki kota Medan.
Pada tanggal 10 Agustus 1946, diselenggarakan pertemuan di Tebing Tinggi antara para
komando pasukan yang berjuang di Medan yang memutuskan dibentuknya satu komando yang

11
bernama Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Komando tersebut terdiri atas 4 sektor
dan tiap sector dibagi atas 4 subsektor yang berkekuatan satu batalyon. Markas Komando
resimen berkedudukan di Sudi Mengerti, Trepes.

Medan Area

 Bandung Lautan Api

Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di
kota Bandung, provinsi Jawa Barat pada bulan Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar
200.000 penduduk membakar rumah dan harta benda mereka, meninggalkan kota menuju
pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan
tentara NICA Belanda menguasai kota tersebut.
Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis
Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan, pada tanggal
24 Maret 1946 oleh Kol. Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III, mengumumkan
hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan untuk meninggalkan Kota Bandung. Hari itu
juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota dan malam itu
pembakaran kota berlangsung. Selanjutnya TRI melakukan perlawanan secara gerilya dari luar
Bandung.
Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat
menggunakannya lagi. Di sana-sini asap hitam mengepul membubung tinggi di udara. Semua
listrik mati. Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang
paling seru terjadi di Desa Dayeuh kolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat pabrik
mesiu yang besar milik Sekutu. TRI bermaksud menghancurkan gudang mesiu tersebut.

12
Untuk itu diutuslah pemuda Muhammad Toha dan Ramdan. Kedua pemuda itu berhasil
meledakkan gudang tersebut dengan granat tangan. Gudang besar itu meledak dan terbakar,
tetapi kedua pemuda itu pun ikut terbakar di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada
mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan maka pada jam 21.00 itu juga
ikut keluar kota. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari
penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota. Dan Bandung pun berubah
menjadi lautan api.

Moh. Toha
Pembumihangusan Bandung tersebut merupakan tindakan yang tepat, karena kekuatan TRI
dan rakyat tidak akan sanggup melawan pihak musuh yang berkekuatan besar. Selanjutnya TRI
bersama rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini
melahirkan lagu "Halo-Halo Bandung" yang bersemangat membakar daya juang rakyat
Indonesia.
Bandung Lautan Api kemudian menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa pembakaran
itu. Banyak yang bertanya-tanya darimana istilah ini berawal. Almarhum Jenderal Besar A.H
Nasution teringat saat melakukan pertemuan di Regentsweg (sekarang Jalan Dewi Sartika),
setelah kembali dari pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di Jakarta, untuk memutuskan tindakan
apa yang akan dilakukan terhadap Kota Bandung setelah menerima ultimatum Inggris.

Jadi saya kembali dari Jakarta, setelah bicara dengan Sjahrir itu. Memang dalam pembicaraan
itu di Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua orang. Nah, disitu timbul pendapat dari
Rukana, Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia berpendapat, “Mari kita bikin Bandung
Selatan menjadi lautan api.” Yang dia sebut lautan api, tetapi sebenarnya lautan air”
A.H Nasution, 1 Mei 1997

A. H. Nasution

13
Pada saat pertemuan itu memang muncul usulan untuk meledakkan Sang Hyang Tikoro,
terowongan Sungai Citarum di daerah Rajamandala, agar Kota Bandung kembali menjadi danau.
Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946.
Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran
Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje
Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi. Pemandangan
yang sama yang dilihat oleh A.H Nasution bersama Rukana dari arah Ciparay.

Jadi dengan ledakan itu, saya dengan Rukana naik ke atas, di tempat listrik. Melihat betul-betul
dari Cimahi sampai Ujungberung sudah api semua itu.
A.H Nasution, 1 Mei 1997

Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946.
Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran
Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje
Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.
Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis berita dan
memberi judul Bandoeng Djadi Laoetan Api. Namun karena kurangnya ruang untuk tulisan
judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi Bandoeng Laoetan Api.

Bandung Lautan Api

 Peristiwa Merah Putih di Manado

Tanggal 14 Februari 1946, jam 01.00, sejumlah tentara KNIL yang setia kepada Republik
Indonesia di tangsi militer Teling Manado bangun dari tidur, bergerak menuju lokasi sasaran di
dalam tangsi dengan formasi huruf "L". Mereka melucuti senjata semua pimpinan militer
Belanda di tangsi itu dan memasukkannya ke sel sebagai tahanan.
Peristiwa itu berlanjut dengan pengibaran sang saka Merah Putih di tangsi yang terkenal
angker karena pasukan yang menempati kompleks milter itu dikenal sebagai pasukan pemberani

14
andalan Belanda. Para pejuang itu merobek warna biru bendera Kerajaan Belanda,
menyisakan dwi warna Merah Putih dan mengibarkannya di tangsi itu.
Kapten Blom, pemimpin Garnisun Manado ditangkap sekitar pukul 03.00,
setelah lebih dulu menahan Letnan Verwaayen, pimpinan tangsi militer
Teling. Siangnya, pasukan pejuang republik menangkap Komandan KNIL
Sulawesi Utara Letkol de Vries dan Residen Coomans de Ruyter beserta
seluruh anggota NICA. Sehari kemudian, para pejuang menaklukkan kamp
tahanan Jepang yang berkekuatan 8.000 serdadu.
Peristiwa ini diberitakan berulang-ulang melalui siaran radio dan
telegrafi oleh Dinas Penghubung Militer di Manado, ditangkap dan
diteruskaan oleh kapal perang Australia SS "Luna" ke Allied Head
Quarters di Brisbane. Selanjutnya Radio Australia menjadikannya
sebagai berita utama dan ikut disebar-luaskan oleh BBC-London dan
Radio San Fransisco Amerika Serikat.
Bagi Belanda, perebutan tangsi militer Teling dan penurunan bendera
merah putih biru digantikan Sang Saka Merah Putih oleh kalangan
pejuang Indonesia merupakan pukulan telak. Bahkan kekalahan militernya
di Manado secara otomatis melumpuhkan provokasinya di luar negeri
bahwa perjuangan kemerdekaan di Indonesia cuma terbatas di pulau Jawa.
Pada tanggal 16 Februari 1946 pemuda Manado menyatakan bahwa kekuasaan di seluruh
manado telah berada di tangan Indonesia. Untuk memperkuat kedudujan Republik Indonesia,
para pemimpin dan pemuda menyusun pasukan keamanan dengan nama Pasukan Pemuda
Indonesia yang dipimpin oleh Mayor Waisan.
Bendera Merah Putih dikibarkan di selruh pesolok Minahasa hamper selama 1 bulan, yaitu
sejak tanggal 14 Februari 1946. Dr. sam Ratulangi membuat petisi yang menyatakan bahwa
rakyat Sulawesi tidak dapat dipisahkan dari Republik Indonesia. Petisi itu ditandatangani oleh
540 pemuka Manado. Oleh karena petisi tersebut, pada tahun 1946, Sam Ratulangi ditangkap
dan dibuang ke Serui (Irian Barat dan sekarang Papua).

Sam Ratulangi

15
 Pertempuran Margarana (20 November 1946)

Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1946, lebih kurang 2.000 tentara Belanda mendarat di Pulau
Bali. Diikuti oleh tokoh-tokoh Bali yang pro terhadap belanda. Ketika Belanda mendarat di
Pulau Bali, pimpinan Laskar bali, Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai, sedang menghadap ke
Markas Tertinggi TKR di Yogyakarta.
Ketika kembali dari Yogyakata, I Gusti Ngurah Rai menemukan pasukannya porak-
poranda akibat serangan dari pasukan Belanda. I Gusti Ngurah Rai berusaha untuk
mempersatukan kembali pasukannya, sementara Belanda terus membujuk Ngurah Rai agar mau
bekerja sama dengan pihak Belanda. Namun ajakan itu ditolaknya mentah-mentah. Penolakan itu
terlihat dari isi surat balasannya yang memuat:
“Bali bukan tempat untuk perundingan dan perundingan merupakan hak dari pemimpin
kami di pusat.”
Setelah berhasil menghimpun dan mempersatukan kembali pasukannya, pada tanggal 18
November 1946, Ngurah Rai bersama dengan pasukannya melakukan serangan terhadap Markas
Belanda yang ada di kota Tabanan. Dalam peperangan itu pasukan Ngurah Rai mengalami
kemenangan. Setelah kemenangan itu, pasukan Ngurah Rai mundur ke arah utara dan
memutuskan markas perjuangannya di desa Margarana.
Oleh karena mengalami kekalahan pada tanggal 20 November 1946, Belanda mengerahkan
seluruh kekuatannya yang ada di Pulau Bali dan Lombok untuk mengepung Bali. Daerah
Margarana diserang dengan tiba-tiba sehingga terjadi pertempuran sengit. Dalam pertempuran
itu, I Gusti Ngurah Rai menyerukan perang puputan (perang habis-habisan. I Gusti Ngurah Rai
beserta pasukannya gugur dalam peristiwa itu. Semenjak saat itu, perang tersebut disebut Perang
Puputan Margarana. Setiap tahun pada tanggal 20 November, rakyat Bali memperingati Hari
Pahlawan Margarana.

I Gusti Ngurah Rai

16
Monumen Perang Puputan

17

Anda mungkin juga menyukai