Anda di halaman 1dari 13

Masuknya kekuatan-kekuatan asing di Indonesia

Kekuatan-kekuatan asing yang masuk ke Indonesia adalah ekspedisi pelayaran yang


dilakukan oleh bangsa Barat yaitu Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris sejak akhir abad
15-16 yang sering disebut Abad Penjelajahan Samudra.

Faktor-faktor apakah yang mendorong bangsa-bangsa tersebut menjelajahi samodra menuju


belahan dunia Timur? Beberapa faktor pendorong penjelajahan Bangsa Eropa adalah:
a. Kisah perjalanan Marcopolo (1254-1324) seorang pedagang dari Venesia, Italia ke Cina
yang dituangkan dalam buku “Book of Various Experiences” mengisahkan tentang
keajaiban dunia atau Imago mundi.
b. Jatuhnya Konstantinopel, Ibukota Romawi Timur ke tangan kesultanan Turki tahun 1453
menyebabkan terputusnya hubungan dagang ke dunia Timur. Bangsa Barat berusaha
mencari jalan sendiri ke pusat rempah-rempah di Asia.

Tahukah Anda, yang termasuk rempah-rempah kebutuhan bangsa Eropa dan untuk apa?

a. Jenis rempah-rempah yang dicari dan dibutuhkan oleh bangsa Eropa adalah cengkih, lada,
pala dan bunga pala yang disebut fuli.
b. Fungsi rempah-rempah adalah untuk:
- bumbu/melezatkan masakan
- obat-obatan
- penghangat tubuh terutama pada musim dingin.

Begitu pentingnya rempah-rempah bagi bangsa Eropa sehingga muncul ungkapan


“semahal lada” atau “Siapa menguasai pusat rempah-rempah, mereka menguasai
kerongkongan Eropa”

c. Adanya semangat penaklukan (Reconquesta) terhadap orang-orang yang beragama Islam


serta membuat daerah-daerah kekuasaan yang dimiliki kerajaan-kerajaan Islam tersebut.
Semangat penaklukan ini misalnya dilakukan oleh Spanyol – Ratu Isabella membiayai
penjelajahan Samodra Columbus tahun 1492 untuk mencari jalan ke “Barat”
d. Berkembangnya teknik pelayaran dan penemuan kompas. Kompas dapat berfungsi
menentukan arah dan posisi laut. Mereka menciptakan kapal yang lebih mudah dan lebih
cepat digerakkan dengan memperbaiki konstruksi kapal serta memadukan layar yang
berbentuk segi tiga dengan tali temali persegi.
e. Penemuan Copernicus yang didukung oleh Galileo-Galileo menyatakan bahwa bumi ini
bulat. Pendapat ini memperkuat keberanian para pelaut karena orang yang berlayar ke
dunia Timur tidak akan tersesat. Semakin ke Timur akan sampai ke tempat semula.
f. Adanya keinginan untuk mengetahui lebih jauh mengenai rahasia alam semesta, keadaan
geografi dan bangsa-bangsa yang tinggal di belahan bumi lain.
g. Ingin memperoleh keuntungan/kekayaan sebanyak-banyaknya.
Inggris

Inggris merupakan bangsa Eropa yang paling banyak memiliki daerah jajahan
yaitu benua Amerika bagian Utara, Australia, Afrika maupun Asia. Jajahan Inggris
di Asia terutama adalah India. Semenanjung Malaya. Bangsa Inggris mendirikan
perusahaan dagang bernama EIC ( East India Company) pada tahun 1600 yang
bermarkas di Calanta India. Pengaruh Inggris di Indonesia berupa pemerintahan
Raffles pada tahun 1811-1816.

Masa
pemerintah
an Thomas
Stamfort
Raffles di
Indonesia
1811-1816
Pada tahun 1811 pimpinan Inggris di India yaitu Lord Muito memerintahkan
Thomas Stamford Raffles yang berkedudukan di Penang (Malaya) untuk
menguasai Pulau Jawa. Dengan mengerahkan 60 kapal, Inggris berhasil
menduduki Batavia pada tanggal 26 Agustus 1811 dan pada tanggal 18
September 1811 Belanda menyerah melalui Kapitulasi Tuntang.

Pemerintahaan Inggris di Indonesia


dipegang oleh Raffles yang gambarnya
dapat anda lihat di samping. Raffles
diangkat sebagai Letnan Gubernur dengan
tugas mengatur pemerintahan dan
peningkatan perdagangan dan keamanan.

1. Bidang pemerintahan
- Membagi Pulau Jawa menjadi 18 karesidenan
- Mengangkat Bupati menjadi pegawai negeri yang digaj
- Mempraktekan sistem yuri dalam pengadilan seperti di Inggris
- Melarang adanya perbudakan
- Membangun pusat pemerintahan di Istana Bogor

2. Bidang perekonomian dan keuangan


- melaksanakan sistem sewa tanah (Land rente), Tindakan ini didasarkan
pada pendapatan bahwa pemerintah Inggris adalah yang berkuasa atas
semua tanah, sehingga penduduk yang menempati tanah wajib membayar
pajak.
- Meneruskan usaha yang pernah dilakukan Belanda misalnya penjualan
tanah kepada swasta, serta penanaman kopi.
- Melakukan penanaman bebas, melibatkan rakyat ikut serta dalam
perdagangan.
- Memonopoli garam agar tidak dipermainkan dalam perdagangan karena
sangat penting bagi rakyat.
- Menghapus segala penyerahan wajib dan kerja rodi

Di samping tindakan Raffles di bidang pemerintahaan dan perekonomian/


keuangan tersebut masih ada tindakan lain yang berpegaruh bagi Indonesia?
Selain pengusaha, Raffles juga seorang sarjana yang sangat tertarik dengan
sejarah dan keadaan alam Indonesia. Tindakan yang dilakukan Raffles antara
lain:
- Membangun gedung Harmoni di jalan Majapahit Jakarta untuk Lembaga
Ilmu pengetahuan yang berdiri sejak tahun 1778 bernama Bataviaasch
Genootschap
- Menyusun sejarah Jawa berjudul “Histori of Jawa“ yang terbit tahun 1817.
- Namanya diabadikan pada nama bunga Bangkai raksasa yang ditemukan
seorang ahli Botani bernama Arnold di Bengkulu dan Raffles adalah
Gubernur Jenderal di daerah tersebut. Tahukah anda nama bunga tersebut?
Rafflesia Arnoldi namanya.
- Isteri Raffles bernama Olivia Marianne merintis pembuatan kebun Raya
Bogor.
- Tindakan yang merugikan Indonesia adalah pada masa Raffles,
bendabenda purbakala di boyang untuk memperkaya musium Calcutta di
India di antaranya prasasti Airlangga tahun 1042 yang sering disebut Batu
Calcutta

Mengapa pemerintahaan Raffles hanya bertahan sampai tahun 1816? Keadaan di


negeri jajahan rupanya sangat bergantung pada keadaan di negeri Eropa. Pada
tahun 1814 Napoleon Bonaparte kalah melawan raja–raja di Eropa dalam perang
koalisi. Untuk memulihkan kembali keadaan Eropa maka diadakan konggres
Wina 1814 sedangkan antara Inggris dan Belanda ditindaklanjuti

Konsekuensi dari perjanjian tersebut maka Inggris meninggalkan Pulau Jawa.


Raffles kemudian menduduki pos di Bengkulu. Pada tahun 1819 Inggris
berhasil memperoleh Singapura dari Sultan Johor. Pada Tahun 1824 Inggris dan
Belanda kembali berunding melalui Treaty Of London tahun 1824 isinya antara
lain menegaskan :
Belanda memberikan Malaka kepada Inggris dan sebaliknya Inggris
1.
memberikan Bengkulu kepada Belanda.
2. Belanda dapat berkuasa di sebelah selatan garis paralel Singapura sedangkan
Inggis di sebelah Utaranya.

Sampai disini uraian tentang masa pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia. Untuk
menguji pemahaman Anda, kerjakan isian tabel di bawah ini tentang perbandingan
pemerintahan Daendels dan Raffles.

Seiring dengan perubahan permintaan dan kebutuhan di Eropa dari rempahrempah ke


tanaman industri yaitu kopi, gula dan teh maka pada abad 18 VOC mengalihkan perhatiannya
untuk menanam ke tiga jenis barang komoditi tersebut. Misalnya tebu di Muara Angke
(sekitar Batavia), kopi dan teh daerah Priangan.

Dalam melaksanakan pemerintahan VOC banyak mempergunakan tenaga Bupati. Sedangkan


bangsa Cina dipercaya untuk pemungutan pajak dengan cara menyewakan desa untuk
beberapa tahun lamanya.

Bagaimana perkembangan VOC selanjutnya? Pada pertengahan abad ke 18 VOC mengalamii


kemunduran karena beberapa sebab sehingga dibubarkan.
1. Banyak pegawai VOC yang curang dan korupsi
2. Banyak pengeluaran untuk biaya peperangan contoh perang melawan Hasanuddin dari
Gowa.
3. Banyaknya gaji yang harus dibayar karena kekuasaan yang luas membutuhkan pegawai
yang banyak
4. Pembayaran Devident (keuntungan) bagi pemegang saham turut memberatkan setelah
pemasukan VOC kekurangan
5. Bertambahnya saingan dagang di Asia terutama Inggris dan Perancis.
6. Perubahan politik di Belanda dengan berdirinya Republik Bataaf 1795 yang demokratis
dan liberal menganjurkan perdagangan bebas.

Berdasarkan alasan di atas VOC dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799 dengan hutang
136,7 juta gulden dan kekayaan yang ditinggalkan berupa kantor dagang, gudang, benteng,
kapal serta daerah kekuasaan di Indonesia.

Perbandingan Pemerintahan Daendels dan Raffles di Indonesia.


Akibat perluasan kolonialisme dan imperialisme di Indonesia.

Masuknya kekuasaan bangsa Asing di Indonesia telah menyebabkan perubahan tatanan


politik, sosial, ekonomi dan budaya bagi bangsa Indonesia sebagai berikut:

a. Politik
Baik Daendels maupun Raffles telah meletakkan dasar pemerintahan modern. Para
Bupati dijadikan pegawai negeri dan diberi gaji, padahal menurut adat, kedudukan
bupati adalah turun temurun dan mendapat upeti dari rakyat. Bupati telah menjadi alat
kekuasaan pemerintah kolonial.

Belanda dan Inggris juga melakukan intervensi terhadap persoalan kerajaan, misalnya
soal pergantian tahta kerajaan sehingga imperialis mendominasi politik di Indonesia.
Akibatnya peranan elite kerajaan berkurang dalam bidang politik, bahkan kekuasaan
pribumi mulai runtuh.

b. Sosial Ekonomi
Eksploitasi ekonomi yang dilakukan bangsa Barat membawa berbagai dampak bagi
bangsa Indonesia. Munculnya monopoli dagang VOC menyebabkan mundurnya
perdagangan nusantara di panggung perdagangan internasional. Peranan syahbandar
digantikan oleh para pejabat Belanda

Kebijakan tanam paksa sampai sistem ekonomi liberal menjadikan Indonesia sebagai
penghasil bahan mentah. Eksportirnya dilakukan oleh bangsa Belanda, pedagang
perantara dipegang oleh orang timur asing terutama bangsa Cina dan bangsa Indoensia
hanya menjadi pengecer, sehingga tidak memiliki jiwa wiraswasta jenis tanaman baru
serta cara memeliharanya.

Dengan dilaksanakannya politik pintu terbuka, maka:


- pengusaha pribumi yang modalnya kecil kalah bersaing sehingga gulung tikar.
- Perkebunan di Jawa berkembang sedangkan di Sumatra kesulitan tenaga kerja
sehingga dilakukan program transmigrasi.
- untuk mendukung program penanaman modal Barat di Indonesia pemerintah
Belanda membangun : Irigasi, waduk, jalan raya, jalan kereta api dan pelabuhan.
Untuk pembangunan tersebut digunakan tenaga secara paksa dengan sistem rodi
(kerja paksa)
- dengan memperkenalkan sistem sewa tanah, terjadi pergeseran dari sistem ekonomi
barang ke sistem ekonomi uang yang juga menyebar di kalangan petani.
- Daerah Indonesia terisolasi di laut sehingga kehidupan berkembang ke pedalaman.

Kemunduran perdagangan di laut secara tak langsung menimbulkan budaya feodalisme


di pedalaman. Dengan feodalisme rakyat pribumi dipaksa untuk tunduk/patuh pada
tuan tanah Barat/Timur Asing. Sehingga kehidupan penduduk Indonesia megalami
kemerosotan.

c. Budaya
- Tindakan pemerintah Belanda untuk menghapus kedudukan menurut adat penguasa
pribumi dan menjadikan mereka pegawai pemerintah, merutuhkan kewibawaan
tradisional penguasa pribumi.
- Upacara dan tatacara yang berlaku di istana kerajaan juga disederhanakan dengan
demikian ikatan tradisi dalam kehidupan pribumi menjadi lemah.
- Dengan merosotnya peranan politik maka para elit politik baik raja maupun
bangsawan mengalihkan perhatiannya ke bidang senibudaya. Contoh Paku Buwono
V memerintahkan penulisan serat Centhini, R.Ng Ronggo Warsito manyusun Kitab
Pustakaraya Purwa, Mangkunegara IV menyusun kitab Wedatama dan lain-lain.
Bangsa Inggris

Kedatangan bangsa Inggris ke Indonesia dirintis oleh Francis Drake


dan Thomas Cavendish. Dengan mengikuti jalur yang dilalui Magellan, pada
tahun 1579 Francis Drake berlayar ke Indonesia. Armadanya berhasil
membawa rempah-rempah dari Ternate dan kembali ke Inggris lewat
Samudera Hindia. Perjalanan beriktunya dilakukan pada tahun 1586 oleh
Thomas Cavendish melewati jalur yang sama.

Pengalaman kedua pelaut tersebut mendorong Ratu Elizabeth I


meningkatkan pelayaran internasioalnya. Hal ini dilakukan dalam rangka
menggalakan ekspor wol, menyaingi perdagangan Spanyol, dan mencari
rempah-rempah. Ratu Elizabeth I kemudian memberi hak istimewa kepada
EIC (East Indian Company) untuk mengurus perdagangan dengan Asia. EIC
kemudian mengirim armadanya ke Indonesia. Armada EIC yang dipimpin
James Lancestor berhasil melewati jalan Portugis (lewat Afrika). Namun,
mereka gagal mencapai Indonesia karena diserang Portugis dan bajak laut
Melayu di selat Malaka.

Awal abad ke 17, Inggris telah memiliki jajahan di India dan terus
berusaha mengembangkan pengaruhnya di Asia Tenggara, kahususnya di
Indonesia. Kolonialisme Inggris di Hindia Belanda dimulai tahun 1604.
menurut catatan sejarah, sejak pertama kali tiba di Indonesia tahun 1604, EIC
mendirikan kantor-kantor dagangnya. Di antaranya di Ambon, Aceh,
Jayakarta, Banjar, Japara, dan Makassar.

Walaupun demikian, armada Inggris tidak mampu menyaingi armada


dagang barat lainnya di Indonesia dagang Barat lainnya di Indonesia, seperti
Belanda. Mereka akhirnya memusatkan aktivitas perdagangannya di India.
Mereka berhasil membangun kota-kota perdagangan seperti Madras, Kalkuta,
dan Bombay.

Zaman Inggris
Pemerintah Inggris mulai menguasai Indonesia sejak tahun 1811 pemerintah
Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffles (TSR) sebagai Gubernur Jenderal di
Indonesia. Ketika TSR berkuasa sejak 17 September 1811, ia telah menempuh
beberapa langkah yang dipertimbangkan, baik di bidang ekonomi, social, dan
budaya. Penyerahan kembali wilayah Indonesia yang dikuasai Inggris
dilaksanakan pada tahun 1816 dalam suatu penandatanganan perjanjian.
Pemerintah Inggris diwakili oleh John Fendall, sedangkan pihak dari Belanda
diwakili oleh Van Der Cappelen. Sejak tahun 1816, berakhirlah kekuasaan Inggris
di Indonesia.

1
INDONESIA : HUKUM TANAH DI ZAMAN PENJAJAHAN∗
Oleh : Erman Rajagukguk∗∗
1. Pendahuluan
Indonesia pernah dijajah Inggris selama lima tahun (1811-1816). Gubernur
Jenderal Raffles mengenalkan sistem sewa tanah di pulau Jawa. Raffles memandang
semua tanah sebagai milik raja-raja Jawa. Karena raja telah mengakui kedaulatan
Inggris, maka tanah menjadi kepunyaan negara. Teori ini menjadi dasar untuk
penerapan sistem sewa tanah di Jawa. Gagasan ini datang dari pengalaman Inggris di
India.
Raffles meninggalkan Jawa pada tahun 1816, setelah pulau tersebut
dikembalikan Inggris kepada Belanda. Belanda meninjau kembali kebijaksanaan
mereka atas Jawa. Gubernur Jenderal Van Der Cappellen menerapkan suatu
kebijaksanaan, diantaranya ialah, bahwa penduduk Jawa bebas menggunakan tanah
mereka untuk menanam yang mereka kehendaki, tapi sebagai imbalan atas hak ini,
orang-orang tersebut harus membayar sewa atas tanah. Pada tahun 1827, sebagian besar
sewa harus dibayarkan baik dalam bentuk mata uang perak atau emas, dan sisanya
dalam bentuk mata uang tembaga. Diharapkan dengan konsep liberal ini, penduduk
Jawa kemudian akan memproduksi hasil bumi yang lebih dapat di pasarkan, dan dengan
demikian mampu membayar sewa tanah.
2. Tanam Paksa Menjadikan Rakyat Sengsara
Kebijakan Belanda kemudian berubah karena kesulitan keuangan dan persaingan
ketat. Pemberontakan Diponegoro tahun 1852-1830 menguras keuangan pemerintah
kolonial di Jawa. Kebijaksanaan Belanda yang membingungkan kedudukan orang-orang
Eropa dan Jawa menyebabkan pecahnya perang. Pertentangan mulai setelah pemerintah
kolonial membatalkan perjanjian-perjanjian sewa tanah antara pengusaha-pengusaha
∗ Disampaikan pada Seminar Antarbangsa, “Tanah Keterhakisan Sosial dan Ekologi :
Pengalaman Malaysia dan Indonesia”, Dewan Bahasa dan Pustaka Institut Alam dan Tamadun Melayu
(ATMA), Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, 4-5 Desember 2007.
∗∗ Guru Besar Universitas Indonesia. Sarjana Hukum (SH) Universitas Indonesia (1974), LL.M.
University of Washington, School of Law, Seattle (1984), Ph.D University of Washington, School of
Law, Seattle (1988). Dekan Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia.
2
Eropa dan para pangeran dari kerajaan Surakarta dan Jogyakarta di Jawa Tengah.
Penghapusan atas kontrak-kontrak ini menyebabkan kesulitan keuangan bagi penyewapenyewa
pribumi, yang telah benci terhadap bermacam pelanggaran terhadap hak-hak
istimewa bangsawan oleh Deandels dan pengganti-penggantinya. Mereka menyerahkan
kepemimpinan kepada Diponegoro, seorang pangeran dari kalangan istana Jogyakarta
yang diakui sebagai seorang penantang pengaruh Eropa di istana dan yang mempunyai
suatu reputasi kuat sebagai pemimpin mistis. Diponegoro menyatakan suatu “perang
suci” Islam melawan Belanda. Pemberontakan ini dapat dipadamkan setelah melalui
berbagai kesukaran dan kerugian yang besar.1 Walaupun perang ini mempunyai ciri
keagamaan atau Imam Mahdi, terdapat alasan-alasan yang kuat bahwa pemberontakan
yang didukung oleh rakyat pada intinya merupakan kebencian kepada pemerintah
kolonial sebagai akibat dari kondisi ekonomi yang buruk. Contohnya, keluhan pahit
menentang permintaan-permintaan yang berlebihan dalam bentuk pajak dan jasa-jasa
atas Particuliere Landaerijen (tanah-tanah pertikulir).2 Di Belanda, Pemerintah juga
menghadapi kesulitan keuangan dan memerlukan sumbangan dari daerah-daerah
jajahannya.3 Kesulitan keuangan tersebut ditambah lagi dengan kenyataan bahwa harga
komoditi pertanian daerah tropis jatuh di pasar dunia dan petani Jawa harus bersaing
dengan negeri-negeri lain, terutama Amerika dan Hindia Barat, yang dapat
menghasilkan komoditi yang sama seperti gula dan nila dengan tingkat harga yang
rendah berkat penggunaan tenaga budak.4
Van Den Bosch, yang menggantikan Van Der Cappellen, muncul dengan suatu
gagasan Culturstelsel. Tujuannya adalah untuk membuat Jawa sebagai suatu asset yang
bernilai dengan menghasilkan sebanyak mungkin kopi, gula dan nila dengan biaya
produksi yang serendah mungkin.
Menurut sistem yang baru ini, rakyat harus menanam 1/5 tanah desa dengan
tebu, kopi atau nila. Persyaratan tersebut kemudian diganti menjadi 1/3. Pada tahun
1 Robert Van Niel, “The Course of Indonesia History,” dalam Ruth T. McVay Indonesia (New
Haven : Southeast Asian Studies, Yale University, 1963), h. 283-289.
2 Lihat Sartono Kartodirjo, Protest Movement in Rural Java: A Study of Agraria Unrest in the
Nineteenth and Early Twentieth Countries (New York : Oxford University Press, 1973), h. 21-22.
3 Situasi semakin lebih menyedihkan ketika Belanda sendiri, setelah kehilangan Belgia tahun
1830, mengalami suatu kebangkrutan, Ailsa Zainuiddin, A Short History of Indonesia (Victoria : Cassel
Australia, Ltd., 1968, h. 128, lihat juga John.O.H. Broek, Economic Development of The Netherlands
India (New York : Institute of Pacific relation, 1942), h. 10.
4 Robert Van Neil, “The Function of Land Rent under the Cultivation System in Java”, Journal
of Asian Studies 23 (1964) : 359 R.E. Elson, Javanese Peasants and the Colonial Sugar Industry (London
: Oxford University Press, 1984) h. 34-35.
3
1983 Van Den Bosch mengumumkan bahwa sewa tanah tidak perlu dibayar jika rakyat
menanam tanaman-tanaman ini pada tanah mereka dan menjualnya kepada pemerintah
dengan tingkat harga yang rendah. Penerapan kebijaksanaan ini bertentangan dengan
konsep awalnya. Di beberapa daerah, kebijaksanaan ini diterapkan dibawah tekanan dan
paksaan yang keras. Sewa atas tanah masih diwajibkan sebagai tambahan atas tanam
paksa, dimana Pemerintah yang menentukan jenis komoditi yang harus ditanam dan
hasilnya harus dijual pada pemerintah. Pandangan-pandangan yang berbeda tampak
diantara kalangan akademis mengenai apa sebenarnya fungsi sewa tanah di bawah
sistem tanam paksa. Beberapa orang percaya bahwa ini hanyalah suatu ukuran untuk
menjamin hasil produksi pertanian guna keperluan ekspor pemerintah. Jika suatu desa
menghasilkan jumlah yang lebih besar dari uang sewa, pemerintah akan membayar
imbalan kepada penduduk desa tersebut. Sebaliknya, jika produksi mempunyai nilai
yang kurang dari uang sewa, desa harus membayar kekurangannya dalam bentuk uang
tunai atau hasil bumi.5
Van Den Bosch berpendapat bahwa sistem ini hanya akan berfungsi jika suatu
persekutuan dibentuk antara pemerintah kolonial, bupati-bupati, dan kepala-kepala desa.
Tahun 1831 dia mengembalikan kekuasaan bupati-bupati, yang pada waktu itu
dihapuskan oleh Raffles. Menurut Van Den Bosch, kebijaksanaan liberal Raffles pada
waktu lampau, yang begitu menaruh perhatian terhadap kekuasaan bupati-bupati atas
rakyat dan hendak menghapuskannya, bertanggung jawab atas ketidakstabilan yang di
pulau ini. Stabilitas di Jawa hanya dapat di capai, kata Ven Den Bosch, “atas dasar
penegakkan kekuasaan bangsawan yang berdiri kukuh, melalui pengaruh mereka,
berjuta-juta penduduk dapat tunduk pada kita”. Tahun 1863, dia mengeluarkan suatu
peraturan yang memperbaharui kekuasaan bupati-bupati atas Rakyat.6 Setelah
mengadakan perundingan-perundingan dengan para bupati dan kepala-kepala distrik,
pemerintah memutuskan mana tanah yang harus ditanami, misalnya dengan tebu; dan
desa mana yang akan diwajibkan untuk menyediakan buruh-buruh untuk keperluan
penanaman, pengangkutan hasil pertanian, pengelohan, dan sebagainya. Adminitrasi
Belanda tidak terlibat secara langsung dalam pengurusan tersebut; kepala-kepala desa
5 Robert Van Neil, op.cit., h. 366. Lihat juga “A Kumar, The Peasantry and The State on Java :
“Changes in Relationship, Seventeenth to Nineteenth Centuries”, dalam Indonesia : Australia
Perspectives, ed. J.A.C. Mackie (Canberra : Australia National University, 1980), h. 577-600.
6 John Bastin, The Native Policies of Sir Stanford Raffles in Java and Sumatera, an Economic
Interpretation (London : Oxford University Press, 1957), h. 71.
4
yang memeriksa perkebunan atas nama pemerintah dan bertanggung jawab atas
keberhasilannya. Setiap hari mereka memberikan tugas-tugas kepada penduduk desa,
yang menggarap tanah, meliputi penanaman dan pekerjaan lain yang ada hubungannya
dengan pengelohan tanah.7
Sistem tanam paksa mengakibatkan perobahan pola penguasaan tanah di desadesa
Jawa pada waktu itu. Tanah yang semula digarap secara individu, kini menjadi
milik bersama orang-orang desa. Dalam kerangka tersebut tanah dibagi-bagikan kepada
sebanyak mungkin orang sebagai cara untuk mendapatkan tenaga kerja. Penduduk desa
yang mendapatkan tanah desa diharuskan bekerja untuk desa atau untuk pemerintah.
Sebagai akibat dari hal tersebut sikep (petani-petani yang mempunyai tanah) menjadi
tidak ada lagi, sebab tanah mereka didistribusikan kepada petani numpang (petanipetani
yang tak mempunyai tanah), sehingga dapat membujuk mereka untuk tidak
pindah ketempat lain demi menghindari beban yang berat sebagai buruh paksa.8
Sebaliknya, kaum bangsawan dan kepala-kepala desa mempunyai kepentingan atas
tanah untuk menjadikannya sebagai hak milik dari desa-desa yang mereka kuasai.
Untuk pemerintah kolonial, sistem tanam paksa di bawah Van den Bosch
membawa hasil-hasil yang tak terduga. Nilai ekspor dari Jawa terus meningkat, naik
menjadi 11,3 juta gulden pada tahun 1830. Pada 1840, perhitungan ini meningkat
menjadi 66,1 juta. Total ekspor dari Jawa volumenya meningkat selama periode tersebut
dari 36,4 menjadi 161,7 juta kilogram. Persentase dari ekspor ini yang ditujukan ke
Belanda meningkat dari 66 pada tahun 1830 menjadi rata-rata 83 pada tahun 1841
sampai 1850 dan menjadi lebih dari 90 dalam periode setelah 1861.9 Tidak ada keraguraguan
bahwa setelah tahun 1840 negeri Belanda memperoleh keuntungan dari laba
ekspor kolonial yang meningkat sangat besar, dan keuntungan-keuntungan atas ekspor
ini memainkan peranan sebagai pemasukan yang sangat besar bagi anggaran Negeri
Belanda.
7 C.Fasseur, “The Cultivation System and its Impact on the Dutch Colonial Economy and The
Indigenous Society in Nineteenth Century Java,” dalam Two Colonial Empires, ed, C.A. Bayly and
D.H.A. Kolf (Dordrecht : Martinus Nijhoff, 1986), h. 191.
8 Onghokham, Perubahan Sosial di Madiun Selama Abad 19 : Pajak dan Pengaruhnya
Terhadap Pengusaan Tanah, (Bogor : Survey Agro Ekonomi, Institut Pertanian Bogor, 1979), h. 15-16.
9 C. Fasseur, “The Cultivation System and its Impact on the Dutch Colonial Economy and The
Indigenous Society in Nineteenth Century Java,” dalam Two Colonial Empires, ed, C.A. Bayly and
D.H.A. Kolf (Dordrecht : Martinus Nijhoff, 1986), h. 137.
5
Ada yang berpendapat bahwa sistem tanam paksa juga meningkatkan standar
kehidupan di Jawa, khususnya di wilayah dimana terdapat perkebunan tebu. Ini dapat
diukur dari peningkatan import tekstil untuk penduduk asli Jawa dan Madura, lebih
banyak beras yang diekspor, dan lebih banyak pendapatan yang diperoleh dari pajakpajak
perdagangan lokal pada pasar-pasar pribumi.10 Juga terdapat peningkatan dalam
populasi ternak yang dikelola oleh pribumi. Penduduk juga meningkat karena
perbaikan-perbaikan tersebut. Namun pendapat-pendapat seperti ini tentu dapat
disangkal. Sistem kerja paksa membutuhkan lebih banyak buruh sehingga, keluargakeluarga
Jawa dipaksa untuk mempunyai lebih banyak anak. Tambahan anak
memungkinkan tersedianya tenaga kerja untuk mengolah tanah penyambung nafkah
hidup, sementara tenaga lainnya dapat menjalankan kerja wajib yang diharuskan oleh
sistem tanam paksa.11
Pendapat yang berbeda tentang pengertian “kesejahteraan” ini, jika
kesejahteraan itu benar-benar ada, yaitu hanya sebagian kecil orang-orang tertentu yang
diuntungkan oleh sistem tersebut yaitu golongan elite pada waktu itu seperti bupatibupati,
kepala-kepala desa, dan pengusaha-pengusaha Cina. Kesejateraan mereka
diperoleh hanya atas beban yang dipikul oleh rakyat Jawa.12 Rakyat menderita, karena
harus menanam tanaman-tanaman yang diperlukan dan menyediakan diri pula sebagai
tenaga kerja yang diperlukan oleh para pejabat untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan
umum. Pengaturan ini membutuhkan begitu banyak waktu sehingga mereka tidak
mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Di beberapa daerah, seperti
Cirebon (1840an) Semarang (1849-1850) dan Demak, hal itu telah menimbulkan
bencana kelaparan. Di Semarang, bencana kelaparan diduga mengakibatkan 200.000
korban meninggal atau terpaksa pindah ke daerah lain. Hal tersebut menjadi halaman
hitam dalam sejarah pemerintahan Belanda di Jawa.13
10 R.E. Elson, Javanese Peasant And The Colonial Sugar Industry (Singapore, Oxford, New
York : Oxford University Press, 1984), h. 83 C. Fasseur, Ibid., h. 145-147.
11 Benjamin White, “Demand For Labor and Population Growth in Colonial Java”, “Human
Ecology Vol. 1,3 (1973) : 217 lihat juga Daniel Chirot, Social Change in The Modern Era, (New York,
Chicago : Harcourt Brace Jovanivick, Publishers, 1986), h. 174.
12 G.R. Knight, “From Plantation to Padi Field : The Origins of The Nineteenth Century
Transformation of Java’s Sugar Industry”, Modern Asian Studies 14,2 (1980) : 149-199. W.F Wertheim,
Indonesia Society in Transition, a Study of Social Change (The Hague Bandung W. Van Hoeve Ltd.,
1956), h. 240-241.
13 W.R. Hugenhaltz, “Famine and food supply in Java 1830-1914”, dalam Two Colonial
Empires, ed, C.A. Bayly and D.H.A. Kolf (Dordrecht : Martinus Nijhoff, 1986), h. 165.
6
Sistem tanam paksa menciptakan kekuasaan otoriter pada tingkat atas dan
kesengsaraan pada kalangan rakyat. Sistem itu juga menhapuskan peranan usaha-usaha
swasta. Situasi ini menjadi pusat kritik Partai Liberal, yang kemudian berkembang
semakin kuat dan akhirnya pada tahun 1854, memenangkan suatu mayoritas di
Parlemen Belanda.14
3. Agrarische Wet 1870 Untuk Mengundang Investor Swasta
Kekeuatan Partai Liberal yang terus meningkat di Negeri Belanda mendorong
perubahan-perubahan politik di wilayah jajahan yang sebagian didasarkan pada alasan
kemanusian, sebagian lainnya bersumber pada filsafat ekonomi liberal. Kaum liberal
percaya mengenai keuntungan-keuntungan ekonomi pasar bebas, tidak hanya untuk
rakyat Jawa tetapi juga untuk perusahaan-perusahaan Belanda secara umum. Sistem
tanam paksa secara berangsur-angsur dihapuskan, begitu juga monopoli pemerintah.
Pada akhirnya kemudian perusahaan swasta boleh meluaskan usahanya.
Salah satu masalah yang dihadapi adalah bagaimana membuka pulau Jawa untuk
investor swasta. Pada tahun 1854 lahir Regerings Reglement yang memungkinkan tanah
disewa oleh pihak swasta. Pasal 62 dari peraturan ini berbunyi :
1. Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah.
2. Larangan ini tidak termasuk bidang-bidang tanah yang kecil untuk maksud perluasan
kota-kota atau desa-desa.
3. Gubernur Jenderal boleh menyewakan tanah berdasarkan undang-undang yang nanti
akan dikeluarkan. Ini tidak meliputi tanah-tanah yang diakui milik orang Indonesia
asli atau tanah milik bersama dan tanah lain milik desa.15
Pasal 62 Regering Reglement tidak memuaskan para pemilik modal sebab peraturan
yang dihasilkan memang mengijinkan tanah untuk disewa tetapi untuk tidak lebih dari
dua puluh tahun. Jangka waktu tersebut dipandang tidak cukup untuk tanah sewa agar
dapat digunakan sebagai jaminan pinjaman. Lagi pula, tanah yang tersedia terletak di
wilayah pedalaman dimana tenaga kerja tidak cukup tersedia. Kaum pemodal
meneruskan usaha mereka untuk memperoleh tanah dengan menciptakan hukum agraria
yang baru.
14 J.S.Furnivall, Colonial Policy and Practice, A Comparative Study of Birma and Netherlands
India (New York : New York University Press, 1956).
15 A.D.A. De Kat Anggelino, Colonial Policy (The Hagve : Marthinus Nijhoff, 1931), h. 438.
7
Terdapat perbedaan pendapat antara golongan Liberal dan golongan Konservatif
mengenai kebijaksanaan pertanahan di Jawa. Kaum liberal menekankan perlunya
perusahaan swasta diijinkan untuk mengolah tanah, yaitu dengan mengakui hak
kepemilikan perseorangan atas tanah yang dimiliki oleh orang Indonesia asli sehingga
tanah tersebut dapat disewakan atau dijual oleh mereka; dan menyatakan semua tanah
yang kepemilikannya tidak dapat dibuktikan menjadi tanah negara. Oleh karena itu
dapat tersedia tanah yang cukup untuk disewakan kepada pihak swasta untuk jangka
waktu yang lama (99 tahun) pada tingkat harga yang rendah.16 Kaum konservatif
menentang usul ini dengan menyatakan bahwa hak penduduk asli atas tanah didasarkan
pada syarat-syarat yang bersifat asli, pengusaan bersama dan kebiasaan yang tidak dapat
disatukan dengan konsep “hak milik” dari Barat modern.17
Tahun 1854, Partai Liberal, yang telah berkembang menjadi partai yang
berkuasa sejak tahun 1848, melakukan pengawasan, melalui parlemen, atas masalahmasalah
Hindia Belanda. Van de Putte, seorang pemimpin dari partai itu, mengajukan
suatu Rancangan Undang-Undang Cultuur (Perkebunan). Rancangan ini mencitacitakan
pengalihan tanah milik bersama menjadi milik perseorangan. Ini sebagian
didasarkan pada pemikiran bahwa kepemilikan bersama dianggap sebagai suatu
hambatan terhadap pengolahan tanah yang baik, tetapi sebab yang utama adalah
kepemilikan perseorangan akan memudahkan penyewaan dan pembelian tanah-tanah
oleh orang Eropa.18 Golongan konsevatif yang sejak mula menentang perusahaan
swasta di Jawa, merasa bahwa usul ini akan melanggar hak-hak penduduk asli. Namun,
dibalik itu adalah kekwatiran bahwa pengakhiran milik bersama atas tanah, akan
mengakibatkan suatu tingkat “kemakmuran”, akan hilang dengan adanya kepemilikan
swasta, dan mengakibatkan kesulitan dalam mendapat tanah dan tenaga kerja.19
Fraksi yang menekankan kemanusian di Partai Liberal yang dipimpin Van
Hoevell, mendukung pandangan Partai Konservatif yang tidak menginginkan campur
tangan atas adat istiadat dan pengusaan tetap penduduk asli. Kekalahan atas rencana ini
16 J.S. Furnivall, Netherlands India, A Study of Rural Economy (London : Cambridge University
Press, 1939), h. 78-79. Mochammad Tauchid, Masalah Agraria II (Jakarta : Penerbit Tjakrawala, 1952),
h. 63.
17 Hiroyhoshi Kano, Land Tenure System and the Desa Community in Nineteenth Century Java
(Tokyo : Institute of Development Economics, 1977), h. 5
18 J.S. Furnivall, op.cit., h. 164.
19 J.S. Furnivall, Ibid., h. 164.
8
menyebabkan Van de Putte kehilangan jabatannya.20 Perbedaan antara golongan Liberal
dan Konservatif menyebabkan Raja mengeluarkan instruksi kepada Gubernur Jenderal
untuk melakukan suatu survey tanah di Jawa.
Penelitian yang dimulai tahun 1868, mencakup semua tanah yang ada dibawah
pengawasan langsung pemerintah kolonial. Semua kabupaten di Jawa dan Madura,
kecuali Batavia dan Kerajaan Yogyakarta dan Solo, menjadi bagian dari penelitian ini.
Survey ini memilih dua desa di tiap kabupaten, sehingga jumlah keseluruhan desa yang
disurvey adalah 808. Walaupun penelitian selesai tahun 1870, hasilnya belum segera
tersusun. Semua laporan diterbitkan dalam 3 jilid pada tahun 1876, 1880, 1896 secara
berturut-turut.21 Oleh karena itu hasil penelitian tersebut hanya mempunyai sedikit
pengaruh terhadap kebijaksanaan pertanahan.
Sementara itu, pada tahun 1870 Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria)
berhasil dilahirkan. Undang-Undang tersebut memuat 3 bagian dari Pasal 62 Regering
Reglement (1854) ditambah lima bab baru, yang meletakkan prinsip-prinsip dasar
mengenai kebijaksanaan pertanahan. Undang-Undang ini menggambarkan kemenangan
untuk Partai Liberal dengan beberapa konsesi yang diberikan kepada Partai Konservatif.
Diakui bahwa modal swasta diperlukan untuk perushaan-perusahaan perkebunan, tetapi
kepentingan-kepentingan penduduk pribumi akan terancam jika pengalihan tanah tetap
tidak dibatasi. Agrarische Wet tahun 1870 menghilangkan kesulitan-kesulitan berkenaan
dengan pemberian tanah berdasarkan peraturan tahun 1856, dengan mengijinkan para
pemilik modal untuk memperoleh hak sewa turun temurun (erpacht) dari pemerintah
untuk periode sampai dengan 75 tahun dan juga menyewa tanah dari penduduk pribumi.
Pada saat yang sama undang-undang tersebut menjamin kepemilikan penduduk pribumi
atas hak-hak adat mereka yang telah ada atas tanah, dan memungkinkan pula meraka
mendapatkan hak milik pribadi. Agrarische Wet 1870 kemudian menjadi Pasal 51 the
wet op Staatsinrichting van Nedherlands Indie (konstitusi Hindia Belanda), yang
berbunyi sebagai berikut :
1. Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah.
2. Larangan ini tidak berlaku terhadap bidang-bidang tanah sempit untuk perluasan kota
atau desa atau penggunaan tanah untuk pendirian perusahaan-perushaan komersial
(bukan pertanian dan kerajinan).
20 J.S. Furnivall, Ibid., h. 164.
21 J.S. Furnivall, Ibid., h. 180.
9
3. Gubernur Jenderal boleh menyewakan tanah sesuai dengan Undang-Undang. Hak ini
tidak berlaku terhadap tanah yang telah dibuka oleh penduduk asli atau terhadap
tanah yang biasanya digunakan untuk pengembalaan atau yang meliputi wilayah
perbatasan desa untuk maksud-maksud lain.
4. Sewa menurut hukum dapat sampai masa 75 tahun.
5. Dalam memberikan hak sewa sedemikian itu, Gubernur Jenderal akan menghormati
hak-hak tanah penduduk asli.
6. Gubernur Jenderal tidak dapat menguasai tanah yang telah dibuka oleh penduduk
asli, atau tanah yang biasa digunakan untuk pengembalaan, atau tanah yang termasuk
wilayah perbatasan desa yang digunakan untuk tujuan-tujuan lain, kecuali : untuk
tujuan-tujuan kepentingan umum yang didasarkan pada Pasal 133; dan untuk
pendirian perkebunan atas suatu perintah atasan, ganti rugi yang wajar dapat
diberikan.
7. Tanah-tanah yang dimiliki oleh penduduk asli dapat diberikan pada mereka
berdasarkan hak eigendom (hak milik), termasuk hak untuk menjual kepada pihak
lain, penduduk asli atau bukan penduduk asli.
8. Sewa tanah oleh penduduk asli kepada bukan penduduk asli harus dilakukan sesuai
dengan Undang-Undang.22
Prinsip-prinsip yang tercantum dalam Agrarische Wet tahun 1870 untuk Jawa
dan Madura dituangkan dalam Agrarische Besluit tahun 1870. No. 118 dimana Pasal 1
menyatakan :
“Dengan kekecualian atas tanah-tanah yang termasuk dalam klausul 5 dan 6
Pasal 51 dari Indisch Staatsinrichting Van Netherland Indie semua tanah hak
miliknya tidak dapat dibuktikan, akan dianggap milik negara”.23
Ketentuan ini melahirkan penafsiran yang berbeda, umpamanya, Prof. Nalts
Trenite, mempertahankan pendapat bahwa tanah yang menurut hukum dikecualikan dari
milik negara adalah hanya tanah yang menurut kenyataan dan biasanya digunakan oleh
penduduk. Pandangan ini ditolak oleh sarjana lain, seperti Van Vollenhoven, Logemann
dan Ter Haar. Menurut mereka, tujuan yang sebenarnya dari pembuat undang-undang
22 Stlb. 1925-447
23 Stlb. 1870-118.
10
adalah tidak mengecualikan tanah apapun juga. Semua tanah hutan, jika perlu sampai ke
puncak gunung, jika penduduk mempunyai hak baik yang nyata maupun hak secara
diam-diam diakui, tanah itu bukan tanah negara.24 Menurut hukum adat, desa
mempunyai hak untuk menggarap atau mencari nafkah dari hutan dengan ijin dari
kepala desa. Menurut penafsiran Trenite, tanah tersebut milik negara, namun menurut
pandangan Van Vollenhoven, Logemann dan Ter Haar tanah tersebut tidak dibawah
kekuasaan negara. Apabila mengikuti pendapat Trenite, tidak cukup untuk
menghentikan sewa atas tanah bebas apabila penduduk suatu desa atau desa yang lain
menyatakan bahwa tanah bersangkutan dibawah kekuasaan mereka. Pernyataan ini tidak
dapat ditolak. Namun mengikuti kenyataan bahwa tanah seperti itu selain perlu
dibuktikan menjadi suatu bagian yang tidak terpisahkan dari bagian territorial desa,
harus juga terdapat bukti tanah tersebut dimanfaatkan. Desa dapat menggunakan
sedemikian rupa, baik sebagai padang rumput pengembalaan milik bersama atau untuk
maksud-maksud lain.
Teori domein ini menciptakan hak-hak “barat” tertentu, seperti, hak eigendom
(hak milik); opstal (hak untuk membangun atau mengusahakan tanah milik orang lain);
dan erfpacht (hak sewa turun-temurun), dan lain-lain. Disamping hak-hak yang
diundangkan tersebut, hak-hak adat terus berlanjut, seperti, hak milik adat, hak untuk
memungut hasil hutan, hak pakai, hak gadai dan hak sewa.
4. Penutup
Sejak diundangkannya Agrarische Wet 1870, yang memberikan hak ”erfpacht”
(hak sewa turun temurun) dan hak ”opstal” (hak untuk membangun atau mengusahakan
tanah milik orang lain) selama 75 tahun kepada perusahaan-perusahaan swasta,
perusahaan Belanda dan negeri lain datang ke Indonesia membuka perkebunanperkebunan
tembakau, gula, karet, teh dan kelapa sawit. Komoditi tersebut di jual di
pasar Eropa dan Amerika Utara.

________
24 A.D.A. De Kat Anggelino, op.cit., h. 441.

Anda mungkin juga menyukai