Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, dinyatakan bahwa fungsi Pendidikan Nasional adalah ”mengembangkan

kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat

dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.” Tujuannya untuk ”mengembang-

kan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,

mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.”

Namun, akhir-akhir ini muncul gugatan terhadap sistem pendidikan yang

dianggap tidak mampu menghasilkan generasi yang berkualitas, memiliki visi,

transparansi dan pandangan jauh kedepan seperti yang ingin dicapai oleh tujuan

pendidikan Nasional tersebut diatas. Bahkan yang dihasilkan justru cenderung

tidak memiliki orientasi masa depan yang jelas, sementara krisis yang terjadi

dalam berbagai kehidupan belakangan ini adalah bersumber dari rendahnya

kualitas SDM, kemampuan dan semangat kerja.

Pendidikan manusia seutuhnya bertujuan agar individu dapat meng-

ekspresikan dirinya dengan mengembangkan secara optimal dimensi-dimensi

kepribadian, yaitu emosional, intelektual, sosial, moral dan religius. Beberapa

1
2

upaya dalam pendidikan diarahkan untuk membina perkembangan kepribadian

manusia secara menyeluruh dalam berbagai aspek kognitip, afektif, psikomotoris,

dan nilai-nilai serta keterampilan yang diperlukan oleh setiap orang. Persoalannya

dalam implementasi di sekolah aspek kognitif lebih mendominasi jika

dibandingkan dengan dua aspek lainnya yaitu afektif dan psikomotorik sehingga

hasilnya kualitas sumber daya manusia masih jauh di bawah negara-negara

ASEAN lainnya. Menurut catatan Human Development Indexs-Standard PBB

untuk tingkat kesejahteraan negara yang salah satu indikatornya adalah

pendidikan, Indonesia menduduki urutan 102 dari 174 negara, antara lain

penyebabnya ialah disorientasi pendidikan di masyarakat.

Guru adalah kondisi yang diposisikan sebagai garda terdepan dan posisi

sentral di dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Berkaitan dengan itu, guru

akan menjadi bahan pembicaraan banyak orang, terutama yang berkaitan dengan

kinerja dan totalitas dedikasi dan loyalitas pengabdiannya.

Sorotan tersebut, sebagaimana dapat dilihat saekarang ini, lebih bermuara

kepada kompetensi guru dalam berbagai aspek, terutama yang berkaitan dengan

pelaksanaan proses pembelajaran. Kalaupun sorotan itu lebih mengarah kepada

sisi-sisi kelemahan guru, hal itu tidak sepenuhnya dibebankan kepada guru, dan

mungkin ada sistem yang berlaku, baik sengaja ataupun tidak akan berpengaruh

terhadap permasalahan tadi.

Banyak hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan, bagaimana kompetensi

akan berdampak kepada pendidikan bermutu. Sistem pendidikan nasional

memiliki sejumlah kelemahan yang mendasar, dengan berganti-ganti kurikulum


3

pendidikan, maka secara langsung atau tidak akan berdampak kepada

pengembangan kompetensi guru dalam hal pengelolaan pembelajaran. Perubahan

kurikulum dapat menjadi beban psikologis bagi guru, dan mungkin juga akan

dapat membuat guru frustasi akibat perubahan tersebut. Hal ini sangat dirasakan

oleh guru yang memiliki kompetensi profesional rata-rata atau di bawah rata-rata.

Salah satu permasalahan lainnya dalam sistem pendidikan di negara ini

adalah penerapan konsep pendidikan barat yang tidak menyeluruh (unintegrated),

dengan kata lain konsep yang diadopsi tersebut terkesan terkotak-kotak, tidak

utuh dalam penerapannya di sekolah. Hal ini terjadi karena dalam

mengimplementasi konsep tersebut diperlukan dana yang cukup besar serta sarana

dan prasarana yang memadai, sementara dalam RAPBN sektor pendidikan selalu

memperoleh dana yang sangat kecil, jika dibandingkan dengan sektor lainnya,

yang pada akhirnya berdampak pengadopsian konsep pendidikan barat tersebut

tidak utuh pelaksanaannya sehingga tidak pernah mencapai tujuan yang

diharapkan.

Dalam kondisi apapun upaya peningkatan kualitas maupun kuantitas

pendidikan seharusnya harus tetap diperhatikan. Peningkatan kualitas SDM

merupakan prasyarat mutlak untuk mencapai tujuan bangsa dan wahana untuk

meningkatkan kualitas SDM tersebut adalah pendidikan. Sebagai faktor penentu

keberhasilan pembangunan, pada tempatnyalah jika pendidikan yang dilaksanakan

secara sistematis dan terarah berdasarkan kepentingan yang mengacu pada

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan dilandasi oleh keimanan

dan ketakwaan (IMTAK).


4

Proses pengembangan pendidikan merupakan upaya dasar, terorganisasi

dan dilakukan untuk mewujudkan kualitas peserta didik dalam mempertahankan

hidup dan mengembangkan potensinya. Penyelenggaraan pendidikan di negara

kita mempunyai misi luhur, yaitu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa

memlalui pemberian dasar-dasar pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai

untuk menghadapi kehidupan di masa yang akan datang. Oleh sebab itu,

penyelenggaraan di sekolah bukan hanya berperan sosialisasi ilmu pengetahuan

dan teknologi seperti yang berlangsung selama ini, melainkan juga mempunyai

peran pewarisan nilai-nilai luhur bangsa kepada peserta didik dan masyarakat.

Untuk kepentingan tersebut di atas, sebagai kebijakan, program, metode

dan konsep pendidikan telah diterapkan, misalnya link and mactch, local content

curriculum, total quality management, school based management, competence

based curriculum, quantum learning and teaching, accelerated learning, life skill,

dan masih banyak bentuk kebijakan pendidikan lainnya. Tujuan dari masing-

masing program pendidikan tersebut relatif sama yaitu ingin mendongkrak

keterpurukan sistem pendidikan yang ada, dan nantinya mampu menghasilkan

generasi cerdas dan memberi nuansa kehidupan yang cerdas pula, dan secara

progresif akan membentuk kemandirian. Masyarakat bangsa yang demikian

merupakan investasi besar untuk berjuang keluar dari krisis dan siap untuk

menghadapi dunia global.

Harapan ke depan, terbentuknya sinergi baru dalam lingkungan persekolahan

dan yang perlu menjadi perhatian, adalah terjalinnya kinerja yang efektif dan

efisien pada setiap struktur yang ada di persekolahan. Kinerja terbentuk bilamana
5

masing-masing struktur memiliki tanggung jawab dan memahami tugas dan

kewajiban masing-masing. Sebab, ukuran kompetensi guru yang sesungguhnya

terletak pada kemampuan guru dalam menempatkan dirinya secara proporsional

dan profesional pada lingkungan kerjanya.

Indikator kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh tingkat sumber daya

manusianya, dan indikator sumber daya manusia ditentukan oleh tingkat

pendidikan masyarakatnya. Semakin tinggi sumber daya manusianya, maka

semakin baik tingkat pendidikannya, dan demikian pula sebaliknya. Oleh sebab

itu indikator tersebut sangat ditentukan oleh kinerja guru yang berkompeten.

Bila diamati di lapangan, guru sesungguhnya telah menunjukkan wujud

kinerja maksimal di dalam menjalan tugas dan fungsinya sebagai pendidik,

pengajar, dan pelatih. Akan tetapi, barangkali masih ada sebagian guru yang

belum menunjukkan kinerja baik, belum menunjukkan kompetensi yang

sesungguhnya. Tentunya hal ini akan berpengaruh terhadap penilaian atas sikap

prefesionalitas dan kompetensi secara makro.

Ukuran kinerja guru terlihat dari rasa tanggung jawabnya menjalankan

amanah, profesi yang diembannya, rasa tanggung jawab moral di pundaknya.

Semua itu akan terlihat kepada kepatuhan dan loyalitasnya di dalam menjalankan

tugas keguruannya di dalam kelas dan tugas kependidikannya di luar kelas. Sikap

ini akan disertai pula dengan rasa tanggung jawabnya mempersiapkan segala

perlengkapan pengajaran sebelum melaksanakan proses pembelajaran. Selain itu,

guru juga sudah mempertimbangkan akan metodologi yang akan digunakan,


6

termasuk alat media pendidikan yang akan dipakai, serta alat penilaian apa yang

digunakan di dalam pelaksanaan evaluasi.

Kinerja dan kompetensi guru dari hari kehari, minggu ke minggu dan tahun

ke tahun terus ditingkatkan. Guru punya komitmen untuk terus dan terus belajar,

tanpa itu maka guru akan kerdil dalam ilmu pengetahuan, akan tetap tertinggal

akan akselerasi zaman yang semakin tidak menentu. Apalagi pada kondisi kini

seluruh bangsa dihadapkan pada era global, semua serba cepat, serba dinamis, dan

serba kompetitif.

Kinerja guru akan menjadi optimal, bilamana diintegrasikan dengan

komponen persekolahan, apakah itu kepala sekolah, guru, karyawan maupun anak

didik. Kinerja guru akan bermakna bila dibarengi dengan niat yang bersih dan

ikhlas, serta selalu menyadari akan kekurangan yang ada pada dirinya, dan

berupaya untuk dapat meningkatkan atas kekurangan tersebut sebagai upaya

untuk meningkatkan ke arah yang lebih baik. Kinerja yang dilakukan hari ini akan

lebih baik dari kinerja hari kemarin, dan tentunya kinerja masa depan lebih baik

dari kinerja hari ini.

Akar dari permasalahan dalam sistem pendidikan di negeri ini adalah

karena sekolah dan madrasah telah dipisahkan dari soal-soal kehidupan sehari-

hari. Sekolah telah berubah menjadi semacam “pendidikan militer”, ajang

indoktrinasi dan kaderisasi manusia muda yang harus belajar untuk “patuh”

sepenuhnya kepada sang komandan. Tak ada ruang yang cukup untuk eksperimen,

mengembangkan kreativitas, dan belajar menggugat kemapanan status quo yang

membelengu dan menjajah jiwa-jiwa anak muda, tak ada upaya yang dianggap
7

sebagai “membangun jiwa bangsa” kecuali “membangun raga bangsa”. Semuanya

serba terpola, terprogram, seolah-olah teratur dan dapat dikontrol. Siswa dijejali

oleh begitu banya pelajaran, dan bukan oleh diskusi-diskusi mendalam hakikat

proses pembelajaran dan pendidikan.

Adegan di sekolah selalu monoton, yakni setiap siswa datang ke sekolah

lalu duduk dengan rapi, baris demi baris lalu dengan patuhnya mendengarkan

guru mengajar di hadapan mereka. Adegan ini sudah merupakan pemandangan

yang lazim semenjak bertahun-tahun. Kurikulum sekolah membebani para siswa

dengan IPA, Matematika, Geografi, IPS dan lainnya, di mana informasi tanggal,

bilangan/angka dan fakta yang tanpa henti dijejalkan ke dalam benak siswa dalam

subjek-subjek mata pelajaran yang terpisah-pisah. Semua dilakukan tanpa

mengetahui seberapa jauh anak didik dapat memetik menfaat dari pelajaran-

pelajaran itu.

Layanan pembelajaran yang diberikan selama ini melalui pendekatan

klasikal cenderung menyamaratakan kemampuan peserta didik. Kondisi ini

mengabaikan kenyataan bahwa setiap orang dilahirkan sebagai individu yang

berbeda. Berbeda dalam kemampuan, potensi, sifat dan bakat. Keberagaman

bakat, minat, dan karakter anak ini sering tidak dapat dilayani oleh guru akibat

pemilihan metode dan pendekatan yang kurang tepat.

Untuk mengatasi keberagaman tersebut di atas, diperlukan penguasaan

yang lebih luas dan mendalam dari para guru dalam hal strategi belajar mengajar.

Pada konteks ini, guru sangat diberi penekanan mengembangkan kemampuannya

dalam pengelolaan pembelajaran di kelas. Penguasaan berbagai model


8

pembelajaran sangat diperlukan dan menjadi modal dasar bagi guru dalam upaya

mengembangkan minat belajar siswa.

Oleh karena itu, diperlukan pemikiran-pemikiran komprehensif tentang

bagaimana mengaktifkan pembelajaran di dalam kelas sehingga minat siswa

dalam belajar dapat tumbuh secara wajar yang pada gilirannya siswa akan

mengalami proses belajar yang menyenangkan, khususnya dalam mata pelajaran

Pendidikan Agama Islam yang terdiri atas mata pelajaran Fiqih, Al-Quran &

Hadits, Sejarah Kebudayaan Islam, serta Aqidah dan Akhlaq.

Atas dasar uraian di atas, penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian

tentang ”Hubungan antara Model Pembelajaran yang Dipilih Guru Mata Pelajaran

Pendidikan Agama Islam dengan Prestasi Siswa di Madrasah Aliyah Swasta Al-

Maarif, Kecamatan Sukaluyu, Kabupaten Cianjur ”.

B. Rumusan Masalah

Agar masalah yang akan diteliti teridentifikasi dengan jelas dan operasional,

maka perlu dirumuskan masalahnya. Rumusan permasalahan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut.

1. Model pembelajaran apa saja yang dipilih oleh guru mata pelajaran

Pendidikan Agama Islam dalam pelaksanaan pembelajaran siswa?

2. Bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan model

pembelajaran pilihan guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam?


9

3. Bagaimanakah rata-rata hasil pembelajaran yang diperoleh siswa dalam

mengikuti pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan menggunakan

model pembelajaran yang dipilih?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah ingin menggambarkan kompetensi

kelompok guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dalam memilih model

pembelajaran di Madrasah Aliyah Swasta Al-Ma’arif, Kecamatan Sukaluyu,

Kabupaten Cianjur.

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang hal-hal

sebagai berikut.

1. Model pembelajaran yang dipilih oleh guru mata pelajaran

Pendidikan Agama Islam dalam pelaksanaan pembelajaran siswa.

2. Pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan model

pembelajaran pilihan guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam.

3. Rata-rata hasil pembelajaran yang diperoleh siswa dalam

mengikuti pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan menggunakan

model pembelajaran yang dipilih.

D. Kerangka Pemikiran

Kemampuan profesional guru pada dasarnya adalah kompetensi guru.

Kompetensi itu sendiri didefinisikan sebagai pengetahuan, keterampilan, sikap


10

dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak

(Depdiknas, 2003:5).

Menurut Spencer, dalam Yulaelawati (Puskur, 2003:3), kompetensi adalah

karakteristik mendasar yang merupakan hubungan kausalitas antara referensi

kriteria yang efektif dan atau penampilan yang terbaik dalam pekerjaan pada

situasi tertentu.

Karakteristik mendasar pada pendapat di atas mengadung arti bahwa

kompetensi tersebut tertanam mendalam dan bertahan lama dalam penampilan

seseorang dan dapat digunakan untuk memprediksi tingkah laku seseorang ketika

berhadapan dalam berbagai situasi dan tugas. Hubungan kausal memiliki makna

bahwa suatu kompetensi dapat menyebabkan atau memprediksi perubahan

tingkah laku dan kinerja seseorang. Sedangkan referensi kriteria menentukan dan

memprediksi apakah seseorang dapat bekerja dengan baik atau tidak dalam

ukuran yang spesifik atau standar.

Kompetensi guru adalah kemampuan atau kesanggupan guru dalam

mengelola pembelajaran. Dalam hal ini yang lebih ditekankan adalah kemampuan

guru dalam pembelajaran bukanlah apa yang harus dipelajari (learning what to be

learnt), tetapi guru dituntut harus mampu menciptakan dan menggunakan keadaan

positif untuk membawa mereka ke dalam pembelajaran agar anak dapat

mengembangkan kompetensinya, sehingga mereka/anak dapat memahami belajar

yaitu bagaimana anak dapat belajar (learning how to learn).


11

Kegiatan pembelajaran merupakan inti dari kegiatan belajar mengajar yang

berlangsung di sekolah. Pada konteks ini harus terjadi interaksi antara guru dan

siswa, siswa dan siswa, serta siswa dan lingkungan sekitarnya. Banyak terjadi

kegiatan belajar mengajar terasa sangat menjemukan dan melelahkan, baik bagi

guru maupun siswa. Kondisi ini sesungguhnya diakibatkan oleh kesalahan guru

dalam memilih pendekatan serta model pembelajaran yang sesuai dengan kondisi

siswa. Oleh karena itu, penetapan strategi pembelajaran yang tepat dan baik akan

menumbuhkan suasana pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa. Pada

konteks ini, minat dan motivasi siswa dalam belajar akan tumbuh secara optimal

dan wajar tanpa harus diberi tekanan oleh guru.

Kegiatan pembelajaran yang kondusif, menyenangkan, dan kontekstual

sesungguhnya merupakan landasan pendidikan yang dikembangkan dalam Islam.

Islam mengajari kita untuk bersikap lemah lembut sesuai dengan kondisi yang

terdapat pada konteks. Bahkan Allah SWT menjelaskan hal ini dalam surah Ali-

Imran ayat 159 berikut ini.

”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu bersikap lemah lembut


terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan (keduniaan) itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan
12

tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai


orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (Bachtiar Surin, 1986:286)

Sifat lemah lembut adalah karakter yang diberikan Allah kepada manusia

untuk dapat bergaul dengan sesama manusia lainnya. Hal ini berlaku pula dalam

dunia pendidikan, yakni pada proses belajar mengajar, pada saat terjadinya

interaksi antara guru dan siswa serta siswa dan siswa.

Firman Allah SWT pula dalam surah An-Nahl ayat 125:

”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran


yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik …” (Bachtiar Surin,
1986:1139).

Bachtiar Surin (1986:1139) memberikan penafsiran tentang kandungan

ayat di atas bahwa dalam mengajak orang kepada agama Allah, Islam

menganjurkan supaya dipakai cara kebijaksanaan, dengan ilmu hikmah serta

pengajaran yang baik. Jika terjadi perbedaan pendapat, kebijaksanaan itu harus

lebih ditingkatkan lagi dengan mengemukakan dalil-dalil yang meyakinkan

dengan penuh toleransi.

E. Langkah-langkah Penelitian

1. Metode Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah serta tujuan penelitian yang

dikemukakan di atas, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan


13

metode deskriptif. Penelitian deskriptif ini sebagaimana dikemukakan

Sugiyono (2003:11) adalah ”penelitian yang dilakukan untuk mengetahui

nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa

membuat perbandingan atau menghubungkan antara variabel satu dengan

variabel lainnya.”

Suyatna (2000:14) mengemukakan bahwa ”secara praktis,

penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dilakukan untuk

memperoleh akumulasi data dasar secara deskriptif, tidak saling

berhubungan, tidak menguji hipotesis, tidak membuat ramalan, atau tidak

mendapatkan makna implikasi. Selain dari itu, penelitian ini bertujuan

untuk mendeskripsikan gambaran sistematis, faktual, dan akurat mengenai

fakta-fakta dan sifat populasi atau hal yang diteliti.”

2. Teknik Penelitian

Agar penelitian ini dapat dilakukan dengan efektif dan efisien,

digunakan sejumlah teknik penelitian. Dalam upaya memperoleh data

yang diperlukan dalam penelitian ini, digunakan beberapa teknik seperti

berikut.

a. Angket yang digunakan untuk memperoleh informasi tentang

permasalahan minat siswa dalam mempelajari Pendidikan Agama

Islam.

b. Studi Literatur yang dilakukan untuk menggali pemahaman

teoritis tentang minat belajar siswa, peranan guru dalam

pengembangan pendidikan di tingkat sekolah, serta aspek-aspek yang


14

relevan dengan rumusan masalah serta esensi penelitian ini secara

keseluruhan

3. Prosedur Penelitian

Langkah-langkah yang ditempuh dalam mengumpulkan data adalah

sebagai berikut.

a. Persiapan

1) Mengajukan permohonan izin penelitian melalui ketua Program Studi

Pendidikan Agama Islam STAI Siliwangi, Bandung.

2) Mengajukan permohonan izin melaksanakan penelitian kepada Kepala

Madrasah Aliyah Swasta (MAS) Al-Maarif, Kecamatan Sukaluyu,

Kabupaten Cianjur.

3) Merancang program penelitian sesuai dengan judul penelitian yang

telah disetujui.

4) Melaksanakan penelitian sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.

5) Menghimpun data hasil penelitian untuk diklasifikasikan serta

dianalisis sesuai dengan kepentingannya.

b. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

sebagai-mana yang dikemukakan dalam teknik penelitian adalah sebagai

berikut.

1) Menyampaikan angket kepada siswa dan guru yang dijadikan sampel

penelitian untuk diisi dan dikembalikan lagi kepada peneliti.


15

2) Mengumpulkan kembali angket yang telah diisi oleh seluruh

responden sesuai dengan kategorinya.

Anda mungkin juga menyukai