Sebagai sebuah konsep, GCG ternyata tak memiliki definisi tunggal. Komite Cadburry, misalnya,
pada tahun 1992 - melalui apa yang dikenal dengan sebutan Cadburry Report - mengeluarkan definisi
tersendiri tentang GCG. Menurut Komite Cadburry, GCG adalah prinsip yang mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan
perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholders khususnya, dan
stakeholders pada umumnya. Tentu saja hal ini dimaksudkan pengaturan kewenangan Direktur,
manajer, pemegang saham, dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di
lingkungan tertentu.
Center for European Policy Studies (CEPS), punya formula lain. GCG, papar pusat studi ini,
merupakan seluruh sistem yang dibentuk mulai dari hak (right), proses, serta pengendalian, baik yang
ada di dalam maupun di luar manajemen perusahaan. Sebagai catatan, hak di sini adalah hak seluruh
stakeholders, bukan terbatas kepada shareholders saja. Hak adalah berbagai kekuatan yang dimiliki
stakeholders secara individual untuk mempengaruhi manajemen. Proses, maksudnya adalah
mekanisme dari hak-hak tersebut. Adapun pengendalian merupakan mekanisme yang memungkinkan
stakeholders menerima informasi yang diperlukan seputar aneka kegiatan perusahaan.
Sejumlah negara juga mempunyai definisi tersendiri tentang GCG. Beberapa negara
mendefinisikannya dengan pengertian yang agak mirip walaupun ada sedikit perbedaan istilah.
Kelompok negara maju (OECD), umpamanya mendefinisikan GCG sebagai cara-cara manajemen
perusahaan bertanggung jawab pada shareholder-nya. Para pengambil keputusan di perusahaan
haruslah dapat dipertanggungjawabkan, dan keputusan tersebut mampu memberikan nilai tambah bagi
shareholders lainnya. Karena itu fokus utama di sini terkait dengan proses pengambilan keputusan
dari perusahaan yang mengandung nilai-nilai transparency, responsibility, accountability, dan tentu
saja fairness.
Sementara itu, ADB (Asian Development Bank) menjelaskan bahwa GCG mengandung empat
nilai utama yaitu: Accountability, Transparency, Predictability dan Participation. Pengertian lain
datang dari Finance Committee on Corporate Governance Malaysia. Menurut lembaga tersebut GCG
merupakan suatu proses serta struktur yang digunakan untuk mengarahkan sekaligus mengelola bisnis
dan urusan perusahaan ke arah peningkatan pertumbuhan bisnis dan akuntabilitas perusahaan. Adapun
tujuan akhirnya adalah menaikkan nilai saham dalam jangka panjang tetapi tetap memperhatikan
berbagai kepentingan para stakeholder lainnya.
Lantas bagaimana dengan definisi GCG di Indonesia? Di tanah air, secara harfiah, governance
kerap diterjemahkan sebagai “pengaturan.” Adapun dalam konteks GCG, governance sering juga
disebut “tata pamong”, atau penadbiran - yang terakhir ini, bagi orang awam masih terdengar janggal
di telinga. Maklum, istilah itu berasal dari Melayu. Namun tampaknya secara umum di kalangan
pebisnis, istilah GCG diartikan tata kelola perusahaan, meskipun masih rancu dengan terminologi
manajemen. Masih diperlukan kajian untuk mencari istilah yang tepat dalam bahasan Indonesia yang
benar.
Kemudian, “GCG” ini didefinisikan sebagai suatu pola hubungan, sistem, dan proses yang
digunakan oleh organ perusahaan (BOD, BOC, RUPS) guna memberikan nilai tambah kepada
pemegang saham secara berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan
kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Good Corporate Governance merupakan:
1. Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran dewan komisaris,
Direksi, Pemegang Saham dan Para Stakeholder lainnya.
2. Suatu sistem pengecekan dan perimbangan kewenangan atas pengendalian perusahaan yang
dapat membatasi munculnya dua peluang: pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset
perusahaan.
3. Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut
pengukuran kinerjanya.
Dari pengertian di atas pula, tampak beberapa aspek penting dari GCG yang perlu dipahami
beragam kalangan di dunia bisnis, yakni;
Setelah definisi serta aspek penting GCG terpaparkan di atas, maka berikut adalah prinsip yang
dikandung dalam GCG. Di sini secara umum ada empat prinsip utama yaitu: fairness, transparency,
accountability, dan responsibility.
1. Fairness (Kewajaran)
Secara sederhana kewajaran (fairness) bisa didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan setara di
dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan
perundangan yang berlaku.
Fairness juga mencakup adanya kejelasan hak-hak pemodal, sistem hukum dan penegakan
peraturan untuk melindungi hak-hak investor - khususnya pemegang saham minoritas - dari berbagai
bentuk kecurangan. Bentuk kecurangan ini bisa berupa insider trading (transaksi yang melibatkan
informasi orang dalam), fraud (penipuan), dilusi saham (nilai perusahaan berkurang), KKN, atau
keputusan-keputusan yang dapat merugikan seperti pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan,
penerbitan saham baru, merger, akuisisi, atau pengambil-alihan perusahaan lain.
Biasanya, penyakit yang timbul dalam praktek pengelolaan perusahaan, berasal dari benturan
kepentingan. Baik perbedaan kepentingan antara manajemen (Dewan Komisaris dan Direksi) dengan
pemegang saham, maupun antara pemegang saham pengendali (pemegang saham pendiri, di
Indonesia biasanya mayoritas) dengan pemegang saham minoritas (pada perusahaan publik biasanya
pemegang saham publik). Di tengah situasi seperti ini, lewat prinsip fairness, ada beberapa manfaat
yang diharapkan bisa dipetik. Apa saja manfaat itu?
Fairness diharapkan membuat seluruh aset perusahaan dikelola secara baik dan prudent (hati-
hati), sehingga muncul perlindungan kepentingan pemegang saham secara fair (jujur dan adil).
Fairness juga diharapkan memberi perlindungan kepada perusahaan terhadap praktek korporasi yang
merugikan seperti disebutkan di atas. Pendek kata, fairness menjadi jiwa untuk memonitor dan
menjamin perlakuan yang adil di antara beragam kepentingan dalam perusahaan.
Namun seperti halnya sebuah prinsip, fairness memerlukan syarat agar bisa diberlakukan secara
efektif. Syarat itu berupa peraturan dan perundang-undangan yang jelas, tegas, konsisten dan dapat
ditegakkan secara baik serta efektif. Hal ini dinilai penting karena akan menjadi penjamin adanya
perlindungan atas hak-hak pemegang saham manapun, tanpa ada pengecualian. Peraturan perundang-
undangan ini harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat menghindari penyalahgunaan lembaga
peradilan (litigation abuse). Di antara (litigation abuse) ini adalah penyalahgunaan ketidakefisienan
lembaga peradilan dalam mengambil keputusan sehingga pihak yang tidak beritikad baik mengulur-
ngulur waktu kewajiban yang harus dibayarkannya atau bahkan dapat terbebas dari kewajiban yang
harus dibayarkannya.
Bila prinsip accountability ini diterapkan secara efektif, maka ada kejelasan fungsi, hak,
kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris, serta direksi.
Dengan adanya kejelasan inilah maka perusahaan akan terhindar dari kondisi agency problem
(benturan kepentingan peran).
4. Responsibility (Pertanggungjawaban)
Pertanggungjawaban perusahaan adalah kesesuaian (patuh) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap
prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku. Peraturan yang berlaku di sini
termasuk yang berkaitan dengan masalah pajak, hubungan industrial, perlindungan lingkungan hidup,
kesehatan/ keselamatan kerja, standar penggajian, dan persaingan yang sehat.
Beberapa contoh mengenai hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
Penerapan prinsip ini diharapkan membuat perusahaan menyadari bahwa dalam kegiatan
operasionalnya seringkali ia menghasilkan eksternalitas (dampak luar kegiatan perusahaan) negatif
yang harus ditanggung oleh masyarakat. Di luar hal itu, lewat prinsip responsibility ini juga
diharapkan membantu peran pemerintah dalam mengurangi kesenjangan pendapatan dan kesempatan
kerja pada segmen masyarakat yang belum mendapatkan manfaat dari mekanisme pasar.
Prinsip-prinsip di atas perlu diterjemahkan ke dalam lima aspek yang dijabarkan oleh OECD
(Organization for Economic Cooperation and Development) sebagai pedoman pengembagan
kerangka kerja legal, institutional, dan regulatory untuk corporate governance di suatu negara. Lima
aspek tersebut antara adalah:
1. Hak-hak pemegang saham dan fungsi kepemilikan: Hak-hak pemegang saham harus
dilindungi dan difasilitasi.
2. Perlakuan setara terhadap seluruh pemegang saham: Seluruh pemegang saham termasuk
pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing harus diperlakukan setara. Seluruh
pemegang saham harus diberikan kesempatan yang sama untuk mendapatkan perhatian bila
hak-haknya dilanggar.
3. Peran stakeholders dalam corporate governance: Hak-hak para pemangku kepentingan
(stakeholders) harus diakui sesuai peraturan perundangan yang berlaku, dan kerjasama aktif
antara perusahaan dan para stakeholders harus dikembangkan dalam upaya bersama
menciptakan kekayaan, pekerjaan, dan keberlanjutan perusahaan.
4. Disklosur dan transparansi: Disklosur atau pengungkapan yang tepat waktu dan akurat
mengenai segala aspek material perusahaan, termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan,
dan governance perusahaan.
5. Tanggung jawab Pengurus Perusahaan (Corporate Boards): Pengawasan Komisaris
terhadap pengelolaan perusahaan oleh Direksi harus berjalan efektif, disertai adanya tuntutan
strategik terhadap manajemen, serta akuntabilitas dan loyalitas Direksi dan Komisaris
terhadap perusahaan dan pemegang saham.
Esensi corporate governance adalah peningkatan kinerja perusahaan melalui sepervisi atau
pemantauan kinerja manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen terhadap shareholders dan
pemangku kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka aturan dan peraturan yang berlaku (Tri
Gunarsih, 2003). Untuk meningkatkan akuntabilitas, antara lain diperlukan auditor, komite audit,
serta remunerasi eksekutif. GCG memberikan kerangka acuan yang memungkinkan pengawasan
berjalan efektif sehingga tercipta mekanisme checks and balances di perusahaan.
Seberapa jauh perusahaan memperhatikan prinsip-prinsip dasar GCG telah semakin menjadi faktor
penting dalam pengambilan keputusan investasi. Terutama sekali hubungan antara praktik corporate
governance dengan karakter investasi internasional saat ini. Karakter investasi ini ditandai dengan
terbukanya peluang bagi perusahaan mengakses dana melalui ‘pool of investors’ di seluruh dunia.
Suatu perusahaan dan atau negara yang ingin menuai manfaat dari pasar modal global, dan jika kita
ingin menarik modal jangka panjang yang, maka penerapan GCG secara konsisten dan efektif akan
mendukung ke arah itu. Bahkan jikapun perusahaan tidak bergantung pada sumber daya dan modal
asing, penerapan prinsip dan praktik GCG akan dapat meningkatkan keyakinan investor domestik
terhadap perusahaan.
Faktor Eksternal
Yang dimakud faktor eksternal adalah beberapa faktor yang berasal dari luar perusahaan yang sangat
mempengaruhi keberhasilan penerapan GCG. Di antaranya:
a. Terdapatnya sistem hukum yang baik sehingga mampu menjamin berlakunya supremasi
hukum yang konsisten dan efektif.
b. Dukungan pelaksanaan GCG dari sektor publik/ lembaga pemerintahaan yang diharapkan
dapat pula melaksanakan Good Governance dan Clean Government menuju Good
Government Governance yang sebenarnya.
c. Terdapatnya contoh pelaksanaan GCG yang tepat (best practices) yang dapat menjadi
standard pelaksanaan GCG yang efektif dan profesional. Dengan kata lain, semacam
benchmark (acuan).
d. Terbangunnya sistem tata nilai sosial yang mendukung penerapan GCG di
masyarakat. Ini penting karena lewat sistem ini diharapkan timbul partisipasi aktif
berbagai kalangan masyarakat untuk mendukung aplikasi serta sosialisasi GCG
secara sukarela.
e. Hal lain yang tidak kalah pentingnya sebagai prasyarat keberhasilan implementasi
GCG terutama di Indonesia adalah adanya semangat anti korupsi yang berkembang di
lingkungan publik di mana perusahaan beroperasi disertai perbaikan masalah kualitas
pendidikan dan perluasan peluang kerja. Bahkan dapat dikatakan bahwa perbaikan
lingkungan publik sangat mempengaruhi kualitas dan skor perusahaan dalam
implementasi GCG.
Faktor Internal
Maksud faktor internal adalah pendorong keberhasilan pelaksanaan praktek GCG yang berasal dari
dalam perusahaan. Beberapa faktor dimaksud antara lain:
a. Terdapatnya budaya perusahaan (corporate culture) yang mendukung penerapan GCG dalam
mekanisme serta sistem kerja manajemen di perusahaan.
b. Berbagai peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan perusahaan mengacu pada penerapan
nilai-nilai GCG.
c. Manajemen pengendalian risiko perusahaan juga didasarkan pada kaidah-kaidah standar
GCG.
d. Terdapatnya sistem audit (pemeriksaan) yang efektif dalam perusahaan untuk menghindari
setiap penyimpangan yang mungkin akan terjadi.
e. Adanya keterbukaan informasi bagi publik untuk mampu memahami setiap gerak dan
langkah manajemen dalam perusahaan sehingga kalangan publik dapat memahami dan
mengikuti setiap derap langkah perkembangan dan dinamika perusahaan dari waktu ke
waktu.
Di luar dua faktor di atas, aspek lain yang paling strategis dalam mendukung penerapan GCG
secara efektif sangat tergantung pada kualitas, skill, kredibilitas, dan integritas berbagai pihak yang
menggerakkan organ perusahaan. Yang pasti, jika berbagai prinsip dan aspek penting GCG dilanggar
suatu perusahaan, maka sudah dapat dipastikan perusahaan tersebut tidak akan mampu bertahan lama
dalam persaingan bisnis global dewasa ini, meski perusahaan itu memiliki lingkungan kondusif bagi
pertumbuhan bisnisnya, seperti yang dialami oleh raksasa bisnis Enron Inc. di AS beberapa waktu
lalu. Dalam kasus Enron ini, sistem kontrol berlapis-lapis ternyata tak bisa mencegah sekelompok
pimpinan yang memuaskan ketamakannya untuk kepentingan sendiri. Eksekutif Enron Inc. yang
seharusnya berkewajiban moral memberikan data keuangan yang jujur - sebagaimana keharusan
perusahaan publik, ternyata tidak melakukan tugas itu. Begitu pula, independent auditor yang
semestinya tidak hanya memastikan bahwa laporan keuangan sebuah perusahaan sesuai aturan dan
standar akuntansi, tetapi juga memberi investor maupun kreditor gambaran yang fair serta akurat
tentang apa yang sebenarnya terjadi, ternyata gagal menjalankan perannya. Perusahaan Akuntan besar
sekaliber Andersen gagal melakukannya.
Keberadaan Komite Audit diatur melalui Surat Edaran Bapepam Nomor SE-
03/PM/2002 (bagi perusahaan publik) dan Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-
103/MBU/2002 (bagi BUMN). Komite Audit terdiri dari sedikitnya tiga orang, diketuai oleh
Komisaris Independen perusahaan dengan dua orang eksternal yang independen serta
menguasai dan memiliki latar belakang akuntansi dan keuangan. Dalam pelaksanaan
tugasnya, Komite Audit mempunyai fungsi membantu Dewan Komisaris untuk (i)
meningkatkan kualitas Laporan Keuangan, (ii) menciptakan iklim disiplin dan pengendalian
yang dapat mengurangi kesempatan terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan perusahaan,
(iii) meningkatkan efektifitas fungsi internal audit (SPI) maupun eksternal audit, serta (iv)
Mengidentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian Dewan Komisaris/Dewan Pengawas.
Kewenangan Komite Audit dibatasi oleh fungsi mereka sebagai alat bantu DK,
sehingga tidak memiliki otoritas eksekusi apapun (hanya sebatas rekomendasi kepada DK),
kecuali untuk hal spesifik yang telah memperoleh hak kuasa eksplisit dari DK, misalmya
mengevaluasi dan menentukan komposisi auditor eksternal, dan memimpin suatu investigasi
khusus. Peran dan tanggung jawab Komite Audit akan dituangkan dalam Charter Komite
Audit yang secara umum dikelompokkan menjadi tiga bagian besar, yaitu financial reporting,
corporate governance, dan risk and control management.
Pada akhirnya, suatu Dewan Komisaris yang aktif, canggih, ahli, beragam dan yang
terpenting independen yang menjalankan fungsinya secara efektif dan dibantu oleh Komite
Audit adalah yang paling baik untuk ditempatkan dalam memastikan implementasi Good
Corporate Governance berjalan dengan baik sehingga kecurangan (fraud) maupun
keterpurukan bisnis dapat dihindari. (Alison)
Agency Problem lahir dari adanya pemisahan antara manajemen dan penyandang
dana, dimana manajer berusaha untuk meningkatkan incentive mereka dalam rangka
memakmurkan dirinya dan menagabaikan tugas utamanya yaitu memaksimumkan
kemakmuran pemilik. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara diantaranya adalah
pengeluaran untuk dirinya manajemen. Sistim akuntansi keuangan menyediakan informasi
yang penting untuk Governance Mechanisms , yang membantu memecahkan masalah
keagenen. Penggunaan informasi akuntansi dalam Governance Mechanisms bisa dalam
bentuk implisit atau eksplisit. Penggunaan perjanjian yang berbasiskan dasar akuntansi dalam
kontrak obligasi adalah salah contoh dari penggunaan informasi akuntansi secara eksplicit.
Penggunaan informasi ekuntansi untuk menyeleksi perusahaan yang akan dijadikan target
takeover adalah contoh dari penggunaan informasi akuntansi secara implisit.
Informasi akuntansi keuangan merupakan produk dari proses Governance. informasi
akuntansi keuangan dihasilakan oleh manajemen dan manajemen mengetahui informasi ini
akan digunakan sebagai input dalam proses Governance.dibawah ini dijelaskan mengenai
informasi akuntansi keuangan sebagai produk dari proses Governance, penggunaan informasi
akuntansi secara eksplisit dan implisit.
Proses bagaimana informasi akuntansi lahir dan merupakan tanggung jawab dapat
dilihat pada bagan 1. Bagan 1 menfokuskan kepada kasus Amerika dan bisa aplikasikan ke
negra laannya. Proses pelaporan keuangan bagi perusahaan umumnya diatur oleh pemerintah
atau sistim hukum yang berlaku (kalau di Amerika SEC). selanjut harus mengaju pada prinsip
Akuntansi Yang Berterima Umum ( GAAP). Laporan keuangan juga akan diaudit oleh
Kantor Akuntan Publik (audit eksternal) untuk di periksa apakah dalam menyiapkan laporan
keuangan sudah sesuai dengan aturan dan prinsip yang berlaku. Perusahaan kemudian
menunjuk Audit Committtee dari keanggota Board of Director, yang mengawasi
penyelesaian laporan keuangan dan berkomunikasi dengan auditor eksternal sebagai wakil
dari investor.
Banyak peneliti yang mengkaji bagaimana kualitas sistim pelaporan keuangan
dihubungkan dengan bentuk dan mekanisme Governance lainnya (diantaranya adalah La
Porta, Lopez-De-Silanes, Shleifer and Vishny, 1998; Bushman, Chen, Engel dan Smith,
2000). Penelitian lainnya juga mengembangkan literature tentang isu lainya yang
berhubungan dengan kualitas sistim pelaporan keuangan. Literature ini di bagi atas tiga
kelompok. Kelompok pertama mengkaji tentang kualitas disclosure dengan biaya modal
(contoh, Lang and Lundholm, 1996; Botosan, 1997; dan Botosan dan Plumlee, 2000).
Corporate Governance dijadikan sebagai ukuran apakah perusahan yang dijadikan sample
trasfaran atau tidak, khususnya terhadap kreditor. Hasil peneitiannya tidak bervariasi, ada
yang menemukan tingka disclosure mempengaruhi biaya hutang dan sebagaian lagi todak.
Kedua adalah menguji tentang efektivitas mekanisme pengawasan spesifik terhadap proses
pelaporan keuangan. Area - 3 - ini termasuk kajian tentang kualitas audit (contoh, Becker,
DeFond, Jiambalvo dan Subramanyam, 1998; Francis, Maydew dan Sparks, 1999) dan
kualitas BOD dan Komite Audit ( contoh, Beasley, 1996; Dechow, Sloan dan Sweeney,
1996; Carcello dan Neal, 2000; Peasnell, Pope dan Young, 2000 ). Area terakhir mengkaji
sebab dan akibat gagalnya proses pelaporan keuangan penelitian ini memfokuskan pada
factor-faktor yang mempengaruhi manajemen earning (contoh, Rangan, 1999; Teoh, Wong
and Welch, 1999) dan manipulasi earning (contoh., Feroz, Park dan Pastena, 1991; Dechow,
Sloan dan Sweeney 1996).
Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan tanggung jawab Direksi dan Dewan
Komisaris terkait pengelolaan risiko dalam perusahaan. Tapi apa sebenarnya yang harus
dilakukan? Menjabarkan apa yang menjadi tanggung jawab tentu tidak terlalu sulit, yang sulit
adalah melakukan implementasinya. Dalam artikel ini, akan diulas tindakan apa yang harus
diambil oleh Direksi dalam membangun sistem pengelolaan risiko yang memadai, dan apa
yang harus di perhatikan oleh Dewan Komisaris terkait fungsinya melakukan pengawasan
terhadap pengelolaan Direksi.
Pelatihan
Agar Direksi dan Dewan Komisaris dapat melakukan pengelolaan dan pengawasan
terhadap sistem manajemen risiko, diperlukan pengetahuan yang cukup memadai terhadap
risiko yang dihadapi perusahaan dan praktik manajemen risiko. Sehingga, penting bagi
Direksi dan Dewan Komisaris untuk mendapatkan informasi yang memadai dari dalam
perusahaan terkait risiko yang ada, pengelolaannya, serta pelatihan eksternal mengenai
praktik-praktik governansi dan manajemen risiko yang baik.
Komunikasi
Kemampuan Direksi dan Dewan Komisaris terkait manajemen risiko juga
dipengaruhi terwujudnya komunikasi yang memadai. Tanpa adanya alur informasi yang
dapat memastikan adanya distribusi informasi terkait risiko secara tepat waktu, akurat dan
relevan, maka sulit bagi Direksi dan Dewan Komisaris melakukan pengambilan keputusan
yang well-informed, sehingga meningkatkan risiko pengambilan keputusan yang tidak tepat.
Antisipasi Risiko
Direksi Dan Dewan Komisaris Juga harus memastikan adanya kegiatan yang
berkelanjutan dalam perusahaan untuk menilai dan menganalisis area-area yang berpotensi
menjadi berisiko bagi perusahaan, dan ini harus terakomodir dalam struktur dan sistem
manajemen risiko yang ada. Dalam melakukan review terhadap manajemen risiko, Direksi
dan Dewan Komisaris harus menanyakan dan berdiskusi dengan manajemen apa saja risiko
material yang mungkin dihadapi oleh perusahaan di masa yang akan datang. Mengantisipasi
risiko di masa depan merupakan elemen penting dalam menghindari atau memitigasi risiko
yang ada, jauh sebelum risiko tersebut menjadi sebuah kenyataan dan mengakibatkan krisis
bagi perusahaan.