Anda di halaman 1dari 9

Aku menyalahkan Leonardo da Vinci, si bodoh itu.

Barangkali kalian mengira aku gila, menuduh seorang


yang telah tiada ratusan tahun lalu. Tetapi pikiranku masih sama terangnya dengan kebanyakan orang.
Aku percaya pada logika, hubungan sebab akibat pasti dan akan selalu ada. Dalam kasusku pun, ya, ia
ada. Aku memiliki alasan yang jelas.

Hal ini telah membawaku pada perenungan panjang selama belasan tahun. Dimulai dengan pertanyaan
sederhana: untuk apakah pengetahuan itu? Kebanyakan dari kita – yang merasa memiliki jaminan
kesehatan fisik maupun mental – tentu sepakat, untuk kehidupan, terlepas bagaimanakah itu dicapai
ataupun diwujudkan. Kita mengembangkan ilmu bagi sejumlah faktor eksternal, di luar diri kita sendiri,
dan merasa yakin akan dampak positifnya. Walaupun berbicara masalah dampak, selalu melibatkan
subjektivitas sang pengamat.

Akan tetapi, ada juga segelintir orang, yang mungkin tidak berada bersama-sama kita dalam alam
kesadaran realitas yang utuh. Kalian boleh menyebutnya jenius. Atau gila. Atau kedua-duanya. Aku
memiliki sebutan sendiri untuk mereka: pecandu. Sebab bagi mereka, ilmu pengetahuan bukanlah untuk
orang lain. Memberi manfaat bagi dunia disebutnya olok-olok belaka.

Ilmu adalah untuk ilmu, katanya. Ilmu untuk dirinya. Dirinya untuk ilmu. Mereka lapar dan haus,
kemudian mereguk serakus-rakusnya segala macam pengetahuan. Bukan untuk tujuan lain – factor
eksternal tak ada pengaruhnya bagi mereka, hanya untuk memuaskan nafsu. Ya, benar. Memuaskan
nafsu keilmuan yang menggila di dalam daging.

Leonardo da Vinci adalah orang seperti itu.

Aku manusia biasa. Sebagaimana orang-orang lain, aku pun menjalani masa kecil. Seorang anak laki-laki
yang cerdas serta bersemangat, sampai ulang tahunku yang ketujuh. Ibuku sakit. Sebenarnya ia telah
mengidap kanker otaknya lama sebelum itu. Namun kemoterapi, obat-obatan, delapan kali operasi,
serta radiasi memperpanjang hidupnya. Setidaknya sampai hari itu. Delapan belas Desember dua ribu
empat puluh.

Ia koma.
Ketika kecil aku mempercayai keajaiban tangan-tangan dokter. Merekalah yang menggenggam nyawa
ibuku. Mereka menguatkannya selama bertahun-tahun. Tapi mengapa, saat itu sentuhan magis dewa-
dewi berpakaian putih seolah lenyap. Aku mengerang-ngerang di samping tempat tidur ibuku. Tangan
hangat wanita yang merawatku berangsur dingin. Tatkala grafik di monitor ECG semakin mendatar,
seseorang menarikku keluar. Air mata mengaburkan wajahnya. Tapi aku ingat suaranya.

“Kenapa kalian tidak bisa menyelamatkannya?” teriakku saat itu.

“Kami sudah memberikan usaha maksimal, “ jawabnya lembut. “Tetapi yang terjadi sudah di luar
kemampuan kami.”

“Bukankah kalian mampu menemukan berbagai macam hal? Obat AIDS? Vaksin kanker? Kenapa kalian
tidak bisa menghalanginya mati?”

“Seratus tahun lagi, mungkin kami dapat melakukannya.”

Seratus tahun? Mengapa tidak sekarang? Mengapa harus seratus tahun?

Aku tahu mustahil menyalahkan mereka. Paramedis telah melakukan usaha maksimal. Aku tidak berhak
memaksa lebih banyak lagi. Setiap orang memiliki batasannya sendiri-sendiri. Itu telah kuketahui.
Dokter-dokter itu sudah berusaha, dan gagal. Itu cukup. Mereka tidak menyalahi kode moral dasar
sebagai manusia.

Tapi orang itu tidak.

Leonardo da Vinci. Jika catatannya mengenai anatomi manusia dipublikasikan lebih cepat, ilmu
kedokteran akan lebih maju seratus tahun. Apa yang ada dalam pikirannya sehingga ia menyimpan
naskah itu hingga akhir hayatnya? Kecurigaan terhadap lingkungan? Ketakutan akan pencurian ide-
idenya? Gila! Yang ia inginkan hanyalah kehormatan sendiri, kepuasan pribadi, pemenuhan nafsu. Nafsu
akan keindahan tubuh manusia, perwujudan sempurna nilai estetis itu dalam karya-karya seninya.
Nafsunya akan kesempurnaan. Ia seorang perfeksionis yang mencandu, terhadap seni dan terhadap
ilmu. Dan kalian menyebutnya jenius? Begitukah perkembangan ilmu pengetahuan boleh melupakan
hakikatnya sebagai ciptaan manusia untuk melayani tuannya? Bukankah ada banyak jiwa – jutaan jiwa,
dapat diselamatkan jika penemuan itu tidak disimpan?

Aku menyalahkannya. Pertama-tama untuk kematian jutaan orang yang seharusnya dapat selamat kalau
saja teknologi medis telah lebih maju. Kedua, untuk kematian ibuku sendiri.

Ketika aku beranjak dewasa, pertanyaan yang sama selalu kutujukan pada diriku sendiri. Untuk apakah
pengetahuan itu? Aku bukan orang egois seperti Da Vinci. Aku tidak ingin menjadi sepertinya. Kesadaran
etis sebagai manusia yang mulia mewajibkanku untuk berbuat benar. Ilmu ada untuk memberikan
dampak positif bagi lingkungannya. Jikalau tidak demikian, ia sama saja tidak ada, karena hakekat
keberadaannya telah diingkari. Atas dasar itulah karirku kubangun. Anggap saja sebagai sumpahku
sebagai ilmuwan.

Aku menyadari kekuranganku dalam biologi. Maka aku mengambil fisika menjadi kekasih hidupku. Teori
kuantum, postulat Einstein, kerutan waktu, dan gelombang otak. Dalam hal-hal tersebut aku
membenamkan diri. Perjalanan waktu merupakan impian manusia sejak dahulu. Ribuan orang telah
mendedikasikan diri untuknya. Aku hanyalah satu bagian kecil dari satu kesatuan makrokosmis. Kalau
sekarang di depanku, layar hitam enam puluh inchi terbentang gagah mengkilap, itu hanya
keberuntungan kecilku. Ratusan orang telah menciptakan titik-titik kecil. Ratusan lainnya menyambung
titik menjadi garis. Ratusan lagi merangkainya menjadi bentuk. Aku hanya menarik sebuah garis kecil
saja, di ujungnya.

Proyek ini menghabiskan waktu delapan tahun, juga dana jutaan dolar. Beruntung pemerintah dan
universitas bersedia membiayai penelitianku ini. Yang ada di hadapanku bukanlah mesin waktu. Langkah
kami masih terlalu jauh dari sana. Ini hanya sebuah lompatan kecil: proyeksi. Teknologi belum mampu
menghantarkan materi melintasi ruang waktu. Tetapi gelombang telah dihantarkan sejak bertahun-
tahun lalu. Aku hanya membuat displaynya, mencoba menyusun rangkaian kekacauan ke dalam sebuah
citra yang mampu dikenali bahkan dengan mata telanjang. Entah sudah berapa kali kegagalan yang
kualami, aku tidak menghitung. Namun kini, seharusnya hitunganku sudah final. Semua permasalahan
sudah kuperbaiki. Aku menghela nafas panjang.

Satu sentuhan saja. Cukup satu sentuhan saja. Permukaan layar sentuh terasa dingin di ujung jariku.
Mataku terpejam erat. Aku sudah siap dengan segala kemungkinan. Tekanan kecil kuberikan. Aku
membuka mata.
Layar hitam berkedip sekali, lalu menyala terang. Meja, kursi, gelas, kertas catatan, buku-buku, segala
sesuatu di sekitarku tampak berputar. Aku merasa kepalaku berat. Pusing. Tubuhku dingin oleh keringat.
Perutku mual.

Aku ingin muntah!

Kapsul putih runcing melesat ke langit, meninggalkan jejak panas luar biasa di permukaan gurun.

Wajah-wajah cokelat berambut hitam menatap terpana.

Seseorang berpidato di layar lebar. Rambutnya hitam. Kumis dan janggutnya tipis. Matanya tajam
berwarna biru. Di ujung kanan, tercetak dalam huruf sans serif: Juli 2042.

Layar berkedip lagi.

Laut. Menggelora hebat hingga gelombang-gelombangnya menghantam pantai. Orang-orang berlarian


panik.

Sosok-sosok hitam runcing melesat di angkasa. Dentum ledakan membahana di mana-mana. Kota
membara merah.

Satu titik turun dari langit. Terdengar bising memekakan telinga. Cahaya kuning putih meluas, lalu
berubah kemerahan. Asap hitam membubung tinggi, berbentuk jamur.

Orang-orang berpakaian putih metalik berlarian di jalan-jalan mati. Wajah mereka tertutup rapat oleh
masker. Mereka memeriksa mayat yang satu. Beralih ke mayat yang lain. Pergi.

Lagi, wajah-wajah manusia melihat penuh takut. Mereka berkulit putih, hitam, cokelat, kuning. Mata
mereka beraneka warna. Semua tertuju pada citra hologram besar di atas gedung.
Seseorang berpidato. Orang itu lagi. Rambut hitam, kumis tipis, mata biru yang tajam. Januari 2182.

Hah!

Serbuan citra berhenti. Ruangan remang-remang. Perutku bergolak.

Aku muntah.

Cairan amis keluar dari lambungku. Kepalaku pusing. Tubuhku ringan. Aku merapat ke dinding.

Hening.

Gelap.

Lalu samar-samar cahaya kembali datang. Tanganku menyentuh sesuatu yang dingin basah. Retinaku
menangkap warna putih. Perabaku merasakan tekstur kasar pada lantai di balik celanaku.

Aku mengerjapkan mata empat kali. Kemudian semuanya jelas. Insting telah menyeretku keluar dari lab
bahkan saat kesadaranku tidak sampai setengah. Aku ada di WC.

Proyekku berhasil. Gelombang-gelombang yang terkirim melintasi ruang waktu tersusun dalam bentuk
citra. Jelas dan nyata, seperti gambar televisi sekarang ini. Aku bertumpu pada kedua tangan untuk
bangkit terbungkuk-bungkuk. Pantulanku di cermin tampak kotor. Tapi ia tersenyum. Aku tersenyum.
Aku telah berhasil.

Kemudian dia muncul.


Menatapku dengan mata cokelatnya yang tajam, setengah mengejek. Ia berkata cepat, “Itu salahmu.”

Haha. Kau gila.

“Proyeksi waktu tidak akan berhenti pada tahap itu. Manusia tidak akan puas hanya dengan
mengirimkan gelombang. Mereka akan mengembangkan tahap yang lebih tinggi lagi. Mengirimkan
materi. Mesin waktu.”

Lalu kenapa? Apakah salah mengembangkan ilmu pengetahuan ke titik tertingginya? Bukankah itu
adalah kewajiban semua manusia?

“Manusia tidak bisa mengendalikan waktu. Manusia tidak boleh mengendalikan waktu. Mereka terlalu
lemah untuk menahan nafsu, dan ilmu pengetahuan hanya menjadi candu gila. Kau mengetahuinya. Kau
hanya berpura-pura.”

Omong kosong! Kita tidak bisa menyalahkan pisau hanya karena keberadaannya sebagai pisau. Sebuah
benda tidak bisa menjadi jahat atau baik. Manusialah yang memberikan makna!

“Kau tahu makna apa yang akan mereka berikan. Kau sudah melihat masa depan.”

Kita tidak bisa menghentikan kemajuan ilmu hanya untuk segelintir orang gila seperti dia. Ada banyak
manfaat yang bisa didapatkan dari penelitan itu.

“Kau menyelamatkan seorang diktaktor. Kau memberikan kesempatan baginya melompat waktu. Kau
memberinya hidup abadi. Kau memberi dunia teror abadi.”

Aku tidak memberikannya! Apakah ada yang menyalahgunakannya atau tidak itu sudah di luar
kemampuanku. Aku hanya melakukan tanggung jawabku sebagai ilmuwan!
“Kau tahu ia pasti menyalahgunakannya.”

Diam!

“Kau tahu dan kau membiarkannya terus berjalan. Kau orang egois. Kau hanya ingin memenuhi nafsumu
terhadap ilmu.”

Aku tidak egois!

“Kau membohongi dirimu, pecandu!”

Tidak!

“Ya, kau berbohong. Kau sama saja dengan Da Vinci.”

Jangan sebut nama itu di hadapanku!

“Kau lebih buruk dari Da Vinci!”

Diam! Diam! Diam!

Prang!

Haha.
Lihat! Akulah yang benar.

Aku hanya melakukan tugasku, tanggung jawab moralku sebagai seorang ilmuwan. Aku hanya menarik
garis. Ujung yang menjadi bagianku.

Untuk apa aku harus medengarkanmu? Kau bahkan tidak nyata. Tidak. Kau tidak nyata. Kau hanya
bayangan semu. Lihatlah, sekarang keberadaanmu tak tersisa.

Kau tidak pernah ada. Tidak pernah.

Haha. Ha.

Ha.

Ha.

Ha.

Entah apa yang akan dikatakan pihak universitas nanti, itu bukan urusanku. Sebuah cermin dikorbankan
untuk kemajuan ilmu. Itu bukanlah harga yang terlalu besar. Setiap langkah yang diambil manusia selalu
membutuhkan pengorbanan. Kerasionalannya dapat dipertanggung jawabkan, jika manfaat yang
didapat lebih besar dari harga yang dibayar. Sebuah hukum yang mutlak.

Akan ada banyak nyawa yang diselamatkan oleh penemuan ini. Akan ada lebih banyak lagi yang
diselamatkan jika garis ini diteruskan.

Lebih banyak.
Termasuk, ibu.

Aku melakukannya untuk kemanusiaan. Untuk lingkungan, untuk dunia.

Aku ada di jalan yang benar.

Anda mungkin juga menyukai