Anda di halaman 1dari 4

Asupan Untuk Kebangsaan

Runtuhnya Orde Baru berefek pada pendidikan kewarganegaraan atau civic education di berbagai lembaga
pendidikan di Indonesia. Tidak hanya yang formal, lembaga nonformal seperti pesantren dan lembaga swadaya
masyarakat tak ketinggalan. Bagaimana mata ajar itu dikembangkan?

SEJAK 8 tahun silam, warung nasi Ceu- cenderung anarkis dan me-
ceu Inggrid, yang berada di pojok selatan langgar HAM, dinilai Dede,
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan sebagai dampak pendidikan
Gunung Djati Bandung tak berubah. kewarganegaraan model Orde
Makanannya segar, gurih, lezat dan harga- Baru yang menerapkan sistem
nya ramah untuk kantong mahasiswa. komando, dari atas ke bawah.
Kalaupun ada perubahan, paling tema “Perlu model pendidikan
obrolan para pelanggannya yang mayoritas kewarganegaraan baru yang
mahasiswa kampus itu. “Partai apa yang mengembangkan paradigma
kampanye hari ini?” tanya Ronie, mahasis- pembangunan yang berbasis
wa Fakultas Tarbiyah universitas itu. masyarakat,” lanjutnya. Pelatihan Civic Education oleh UMY
“Partai Mahasiswa Bersatu,” timpal Dengan alasan itu, saat foto dok.UMY
Mahbub, rekannya. pasca kejatuhan rezim Orba,
Pemilihan Umum (Pemilu) kampus penulis buku Paradigma Pendi-
untuk memilih presiden mahasiswa dikan Demokratis ini bersama kawan- mengkaji ulang metode pendidikan
memang topik paling menarik bagi ma- kawannya di UIN Jakarta, mereformasi kewarganegaraan yang selama ini diajarkan
hasiswa perguruan tinggi di kawasan pendidikan kewarganegaraan. Pembelaja- melalui Pendidikan Kewiraan. “Jadi CE
Cibiru Bandung itu. Perhelatan ini digelar ran berorientasi demokratisasi Indonesia itu kita isi dengan tiga pilar yang saling
setahun sekali. Layaknya Pemilu dalam ini pun diberi nama Civic Education (CE). berkait, yaitu demokrasi, HAM dan civil so-
skala nasional, di sana juga ada undang- Secara umum, pembelajaran CE ciety,” tambahnya.
undang kepartaian, parpol, kampanye, meliputi kajian dan pembahasan mengenai Pemerintah pun menyambut baik
azas trias politica, debat kandidat presiden konstitusi, lembaga-lembaga demokrasi, pengembangan CE ini, melalui Kepu-
mahasiswa dan sebagainya. rule of law, hak dan kewajiban warga tusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
Itulah miniatur praktek demokrasi di negara, partisipasi aktif dan keterlibatan (Dirjen Dikti) Departemen Pendidikan
level perguruan tinggi. Tak hanya di UIN warga negara dalam civil society. Nasional No. 267/DIKTI/KEP/2000
Bandung, dinamika politik yang disebut Menurut Said Tuhuleley, munculnya tentang Penyempurnaan Kurikulum Inti
student governance ini juga merebak di kebutuhan atas CE didorong oleh tiga Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
hampir seluruh kampus di tanah air. “Ini alasan utama. Pertama, meningkatnya gejala Pendidikan Kewarganegaraan pada
perkembangan yang cepat, karena demo- ‘buta’ politik di kalangan warga negara. Perguruan Tinggi di Indonesia.
kratisasi juga harus tercermin di dunia Kedua, meningkatnya apatisme politik Sedang standar nasional pengajaran CE
pendidikan,” ujar mantan presiden maha- dengan semakin sedikitnya keterlibatan di sekolah dan perguruan tinggi, kini
siswa Universitas Islam Negeri (UIN) warga negara dalam proses politik. Dan tengah diperbaiki oleh Badan Standardisasi
Syarif Hidayatullah Jakarta, Sam’ani. ketiga, masih terjadinya pelanggaran HAM Nasional Pendidikan (BSNP). “Tim inilah
Praktek demokrasi ini memang disam- baik yang dilakukan negara maupun warga yang menyiapkan standar isi, metode
but antusias, baik oleh mahasiswa negara. pembelajaran dan pengajarnya,” jelas
maupun masyarakat. Namun muncul “Di sinilah urgensi civic education, yakni Direktur Pascasarjana Universitas Terbuka
keterputusan antara semangat dan sikap mendorong setiap orang agar menjadi Jakarta, Prof. Dr. Udin S. Winataputra
masyarakat saat merespon persoalan warga negara yang partisipatif, kritis, taat (baca: Baru Knowing, Belum Doing).
kebangsaan. hukum, menghormati perbedaan dan Dengan sokongan pemerintah itu, CE
Edisi VIII / GATRA-edisi 29/XII 1 Juni 2006

“Masyarakat kita sangat semangat berani menyatakan pikiran dan perasa- berhasil masuk berbagai kampus di negeri
berdemokrasi. Tapi artikulasi dan ekspresi annya,” jelas Said yang juga Ketua Lem- ini, kendati dengan nama beragam. Di
sebagian mereka memperlihatkan sikap- baga Penelitian dan Pengembangan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
sikap yang uncivilized. Dengan dalih Pendidikan Universitas Muhammadiyah misalnya, materi ini bertitel Pendidikan
demokrasi, mereka membakar gedung, Yogyakarta (LP3 UMY). Resolusi Konflik dan Perdamaian, di Uni-
merusak mobil dan sebagainya,” tegas Selain itu, menurut Abdul Rozak dari versitas Trisakti bertitel Pendidikan
Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Indonesian Center for Civic Education Kebangsaan, Demokrasi dan HAM, di
UIN Jakarta, Prof. Dr. Dede Rosyada. (ICCE) UIN Jakarta, seiring derasnya arus Universitas Mercu Buana bertitel Pendi-
Fenomena menjalani kebebasan yang demokratisasi, lahir dorongan untuk dikan Etika Berwarganegara, dan di Uni-
Suplemen ini dipersembahkan The Wahid Institute, bekerja sama dengan The Asia Foundation dan Majalah GATRA.
Dapat dijumpai setiap bulan, pada pekan terakhir. Kritik dan saran kirim ke info@wahidinstitute.org - www.wahidinstitute.org
versitas Bina Nusantara bertitel Character Apakah semua itu mengindikasikan Winataputra. Bahkan Udin menilai, CE
Building. keberhasilan pengajaran CE? Ternyata yang dikembangkan di Asia baru tahap
Perguruan Tinggi Islam Negeri atau tidak! Dari hasil survei terhadap pengaja- to know democracy (mengetahui
Swasta dan Perguruan Tinggi Muham- ran CE di UIN Jakarta saja misalnya, demokrasi, red). “Belum how to build de-
madiyah tetap menggunakan nama civic terungkap fakta minimnya kreativitas mocracy (bagaimana membangun demo-
education. “Ini terjadi karena di dalam dosen, pembelajaran yang masih instruk- krasi, red),” ujarnya.
kurikulum, kita diberi keleluasaan oleh tif dan gaya mengajar yang masih berbau Sebab itu pula, jika ada orang yang
pemerintah dalam hal penamaan. Yang Orba, sehingga menyebabkan mahasiswa beranggapan pengajaran CE di negeri ini
terpenting substansinya,” jelas Abdul kurang kritis. telah berhasil, Udin menyanggahnya.
Rozak. Di luar itu, masih ada kendala ter- “Itu sering bikin saya malu hati. Saya
Ditambahkannya, saat ini tidak kurang batasnya buku ajar dan harganya yang sendiri merasa, kita belum banyak
dari 213 perguruan tinggi Islam telah mahal. “Ini sering mengganggu proses beranjak secara signifikan, kecuali sebatas
mengajarkan CE. Yaitu 47 PTIN, 79 belajar-mengajar, karena dosen akhirnya knowing (pengetahuan, red),” akunya.
PTAIS di Jawa Barat dan Jakarta, dan 87 harus melakukan ceramah lagi untuk Karena itu Udin merasa masih
PTAIS di Jawa Timur, Bali dan Nusa menjelaskan isi buku,” tulis LP3 UMY banyak yang harus dilakukan para
Tenggara. Sedang di lingkungan Muham- dalam laporannya. penggagas CE agar demokrasi di Indo-
madiyah, CE telah diajarkan setidaknya di Karena itu, Dede Rosyada berharap, nesia benar-benar terwujud. “Seluruh
20 Perguruan Tinggi Muhammadiyah CE harus terus dikembangkan. “Juga komponen bangsa yang peduli dalam
(PTM) se-Indonesia. Malah tak lama lagi perlu ada standard nasional yang baku soal ini harus menyatukan pikiran dan
CE akan diajarkan di 509 SMA, 249 SMK, semacam Lembaga Pertahanan Nasional terus bekerja,” pesan professor yang
dan 171 MA di bawah naungan Muham- (Lemhannas) yang membina dosen Kewi- puluhan tahun menggeluti CE ini. []
madiyah. Tak hanya di jalur formal, CE raan, dilatih, di-training, dan seterusnya,”
pun berkembang di jalur non formal imbuhnya.
(lihat: Merajut Islam dan Demokrasi). Hal yang sama disampaikan Udin S. Gamal Ferdhi, M. Subhi Azhari, Nurul H. Maarif

Prof. Dr. Udin Saripudin Winataputra

Baru Knowing, Belum Doing


Puluhan tahun menggeluti civic education (CE), menjadikan Prof. Dr. Udin S. Winataputra sangat berkompeten berbicara soal ini. Menurutnya, CE
di Indonesia baru sebatas knowing belum doing. Indikatornya jelas! Mahasiswa yang telah dibekali prinsip-prinsip CE, ketika berdemo tetap saja
tidak tertib. Malah tak jarang anarkis. Berikut penuturannya kepada Gamal Ferdhi dan Nurul H. Maarif dari the WAHID Institute:

Apa tujuan awal diciptakannya CE? doktrin negara yaitu UUD ‘45 dan Pancasila. Ini berlangsung sampai
Di AS, CE itu program kurikuler yang dirancang untuk sekolahan. tahun 74. Tahun 75 berubah jadi PMP. Tahun 94 jadi Pendidikan
Tujuannya membangun warga negara AS yang cerdas dan bertang- Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).
gungjawab. Atau smart dan good citizens. Warga itu hypothetical Pelajaran-pelajaran itu menjadi alat pemerintah untuk mengindok-
citizen kata Aristoteles. Semua orang baru bisa menjadi warga negara trinasi rakyat. Lewat mata pelajaran ini kita dicekoki bagaimana
yang baik kalau ada upaya khusus mendidiknya. Jadi harus ada seharusnya menjadi warga negara dengan memahami doktrin politik
upaya sistemik yang dilakukan pemerintah untuk membangun masa kenegaraan waktu itu. Padahal sesungguhnya semua itu untuk
depan bangsanya. Salah satunya dengan melakukan pendidikan membangun warga yang pro negara bukan pro pemerintah. Kalau
kewarganegaraan atau CE. perlu kritis terhadap pemerintah. Barulah beberapa tahun silam pasca
Adakah akar CE untuk kontek Indonesia? Orde Baru, muncul wacana baru tentang pendidikan kewarganega-
Kita memang punya tradisi sendiri. Upaya membangun bangsa itu raan sebagai wahana pendidikan demokrasi.
lahir sejak awal abad 20. Kita mencatat ada semangat berbangsa Apa kelemahan CE yang ada?
Indonesia yang oleh orang Barat ditengarai sebagai indikator bang- CE di Asia baru teaching about democracy (pengajaran tentang
kitnya kesadaran orang-orang Timur. Puncaknya pada 28 Oktober demokrasi, red) yang lebih ke wacana. Dengan kata lain baru how to
1928. Saat itu sejumlah anak muda berikrar dan bersemangat untuk know democracy (bagaimana mengetahui demokrasi, red) dan belum
Edisi VIII / GATRA-edisi 29/XII 1 Juni 2006

menjadi banga yang satu, hidup di tanah tumpah yang satu dan how to build democracy (bagaimana membangun demokrasi, red)
berbahasa yang satu bahasa Indonesia. Ini kian mengkristal ketika seperti di AS, Inggris dan New Zeland. Jadi di Indonesia kita harus
Indonesia merdeka pada 1945. bergerak ke tengah dulu. Jangan langsung melompat ke building.
Jadi kesadaran bernegara Indonesia telah ada sejak dini? Bukankah CE sudah cukup lama diajarkan di Indonesia?
Betul! Persoalannya bagaimana mewujudkan itu? Salah satu alatnya Memang! Tapi demokrasi itu tumbuh jika ada kulturnya. Apakah kita
adalah pendidikan sebagai sarana membangun bangsa ini lewat gene- tidak punya akar demokrasi? Sebagian besar orang mengatakan,
rasi mudanya. Inilah latar historis dan filosofis mengapa kita harus kita tidak punya akar demokrasi. Karena sejarah kita itu sejarah
punya program pendidikan yang dirancang khusus untuk membang- kerajaan atau monarki lokal. Budaya kita bukan budaya mengindone-
kitkan kesadaran berbangsa. Maka pada 61-an dikembangkanlah mata siakan Indonesia, tapi budaya komuniter. Saya sering dialog dengan
pelajaran Civic. Tahun 68 civic berubah menjadi Pendidikan Kewar- orang DPR. Dalam benak mereka bukan Indonesia nomor satu, tapi
gaan Negara (PKN). Doktrin pemerintahnya mulai dikurangi dan muncul partai. Apalagi kalau sudah menjelang Pemilu. Sebenarnya politisi

Redaktur Ahli: Lies Marcoes-Natsir, Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy, Budhy Munawar-Rachman
Sidang Redaksi: Rumadi, Abd. Moqsith Ghazali I Staff Redaksi: Gamal Ferdhi, M. Subhi Azhari, Nurul H. Maarif | Desain: Widhi Cahya
harus diajarin slogan mereka sendiri: “loyalitas pada partai selesai doing, evaluasinya bukan lagi testing, tapi juga doing. Karena itu,
ketika loyalitas pada bangsa dimulai”. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sekarang sedang memper-
baiki standar isi, standar pembelajaran dan standar guru yang nantinya
Selain politikus, apa lagi tantangan yang dihadapi CE?
akan diterapkan dari SD sampai PT.
Tantangannya termasuk sistem multipartai dan otonomi daerah.
Misalnya sejarah lahirnya UUD 45 pasal 33 tentang bumi, air, dan Bukankah banyak orang beranggapan CE telah berhasil?
kekayaan laut dipelihara oleh negara, itu yang merumuskan Hatta dan Itu sering bikin saya malu hati. Saya katakan, itu hanya lips service.
Syahrir. Mereka itu pemuda Sumatera yang tahu di bawah alam Sumate- Saya sendiri merasa, kita belum banyak beranjak secara signifikan.
ra ada kekayaan. Tapi karena Otda, ada kabupaten bertengkar soal Dalam pemikiran memang banyak berubah.
laut. Ini menyebabkan Indonesia terkapling. Akhirnya yang terbentuk Lalu capaian apa yang telah diraih CE?
bukan orang yang punya jiwa keindonesiaan, tapi orang yang lokalis, Yang paling kelihatan hanya knowing saja. Orang banyak tahu
primordial dan sangat egosentris. Itu ironis! demokrasi. Itupun baru pada tingkat akademis. Doing-nya ada, tapi
Bagaimana perkembangan CE saat ini? kalau dipersentase mungkin knowing-nya 75 %. Buktinya anak-anak
Sekarang ini, standar isi pendidikan kewarganegaraan untuk SD, SMP, sekolah kalau berdemo nggak bisa tertib. Indikatornya itu saja . Mereka
dan SMA sangat dominan kontennya. Ini berarti anak sekolah hanya tahu demokrasi, tapi belum bisa mempraktekkannya.
diperkuat knowing-nya. Untuk SMP misalnya, ada bunyi kompetensi, Jadi, banyak pekerjaan yang harus kita lakukan. Seluruh komponen
siswa mampu menganalisis suasana kebatinan pembuatan konstitusi. yang konsen dalam soal ini harus menyatukan pikiran dan konsisten
Celaka! Kalau anak SMP harus dicekoki untuk menganalisis, apa sih menyebarkan hal ini lewat media massa, sehingga terbangun
suasana kebatinan itu? Ini untuk mahasiswa fakultas hukum jurusan kebersamaan sebagai bangsa. Misalnya kesadaran orang Aceh,
hukum tata negara. Jawa, Sunda, Manado dan sebagainya. Bangunlah kesamaan itu.
Jangan tonjolkan perbedaannya. Simbol-simbol Indonesia harus selalu
Evaluasi CE itu sendiri seperti apa?
dikedepankan.[]
Sekarang, karena knowing, evaluasinya hanya testing. Kalau sudah

Merajut Islam dan Demokrasi


LEMBAGA Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Jogjakarta adalah negara terhadap warga-
salah satu lembaga non pemerintah yang menggeluti pendidikan nya dan hak warga Forum Belajar Bersama LKiS dok.LKiS
kewarganegaraan melalui forum Belajar Bersama, yang dimulai negara atas negara, lalu
sejak 1997 dan berlangsung setiap tahun. baru kewajiban warga terhadap negaranya,” tegasnya.
Kegiatan yang diselenggarakan di Jogjakarta ini, pada awalnya Jadul juga melihat adanya persoalan dalam konsep
dimaksudkan sebagai ruang diskusi bagi para santri, mahasiswa kewarganegaraan (citizenship) yang lebih mengutamakan legalitas
dan aktivis sosial tentang persoalan-persoalan mendasar di sekitar dan menyeragamkan warga negara, sehingga cenderung
agama, kekuasaan dan pengetahuan, ideologi dan masyarakat. diskriminatif. “Kelompok yang mempunyai keyakinan maupun
“Dalam perkembangan selanjutnya, Belajar Bersama juga agama ‘tidak legal’, tidak diakui sebagai warga negara,” paparnya.
menjadi forum pertukaran pengalaman di antara peserta, yang Demikian juga, tambah Jadul, konsep kewarganegaraan yang
terdiri dari para community organizer, seputar praksis gerakan dominan belum menampung perbedaan-perbedaan kultural
masyarakat dan kaitan-kaitan struktural yang melingkupinya,” yang ada di dalam masyarakat, seperti kultur anak jalanan, para
tegas Direktur Eksekutif LKiS Jogjakarta M. Jadul Maula. diffable, perbedaan orientasi seksual, perbedaan adat, dan lain-
Dalam forum yang diimajinasikan sebagai cikal bakal ‘universi- lain.
tas’ LKiS ini, imbuh Jadul, terdapat tiga fakultas, yaitu Fakultas Karena itu, dalam forum Belajar Bersama, LKiS memulai
Islam dan Relasi Antar Agama, Islam dan Gerakan Perempuan dengan identifikasi problem-problem yang dihadapi warga
di Indonesia, dan Islam dan Politik Kewarganegaraan. negara selama ini. Kemudian mengemukakan sebab-sebab
“Di tahun 2005 lalu, Belajar Bersama secara khusus mengang- struktural dalam lingkup lokal, nasional maupun global, yang
kat dua tema, yaitu Islam dan Multikulturalisme, juga Islam dan melahirkan problem itu. “Tidak lupa, kita juga membicarakan
Politik Lokal yang secara khusus menelaah munculnya Perda- secara kritis orientasi pemikiran dan gerakan Islam dalam konteks
perda Syari’at Islam di berbagai wilayah di Indonesia,” ujarnya. kewarganegaraan,” pungkasnya.
Menurut Jadul, materi-materi ini penting karena dua hal. Seperti LKiS, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan
Pertama, dari sudut kewarganegaraan. Banyak kebijakan dan Masyarakat (P3M) Jakarta, juga gencar menanamkan nilai-nilai
perilaku negara yang justru melanggar bahkan menindas hak-hak demokrasi melalui kegiatan pendidikan kewarganegaraan di
warga negaranya sendiri. “Seperti hak menikmati kekayaan alam, lingkungan pesantren, baik di pesantren Jawa maupun luar
hak atas lapangan pekerjaan, hak atas keamanan, hak atas Jawa.
kebebasan berkeyakinan, hak atas kepastian hukum, dan lain- “Pendidikan kewarganegaraan untuk kalangan pesantren,
lain,” jelas Jadul. misalnya melalui program Santri Government (SG) pada 2001
Edisi VIII / GATRA-edisi 29/XII 1 Juni 2006

Kedua, dari sudut Islam. Jadul mengakui, mainstream pemikiran dan 2003,” jelas Project Officer Santri Government P3M AS
dan gerakan Islam Indonesia belum mendukung upaya Burhan.
penguatan dan pemenuhan hak-hak warga negara dalam Kegiatan SG, antara lain, telah dilaksanakan di Ponpes al-
menghadapi ketidakpedulian dan keangkuhan negara. Hikmah Sirampog Brebes Jawa Tengah, Ponpes al-Hamidiyah
Alasan lainnya, imbuh Jadul, materi civic education (CE) dalam Jakarta, Ponpes al-Masthuriyah Sukabumi Jawa Barat, Ponpes
kurikulum resmi tidak menjawab masalah yang banyak terjadi di Assidhiqiyah Tangerang Banten, Ponpes Sukahideng Tasikmalaya
negara ini. “Bahkan menambah kekaburan masalah,” kritiknya. Jawa Barat, Ponpes al-Ihya’ Ulumuddin Cilacap Jawa Tengah dan
Kritik itu didasarkan pada pengamatannya tentang materi CE lain sebagainya.[]
yang lebih menekankan kewajiban warga negara, bukan hak-
haknya. “Ini terbalik. Mestinya penekanannya pada kewajiban Subhi Azhari, Nurul H. Maarif

Suplemen ini dipersembahkan The Wahid Institute, bekerja sama dengan The Asia Foundation dan Majalah GATRA.
Dapat dijumpai setiap bulan, pada pekan terakhir. Kritik dan saran kirim ke info@wahidinstitute.org - www.wahidinstitute.org
Civic Education:
Pengalaman Pendidikan di Indonesia
Azyumardi Azra, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

DI KALANGAN dunia pendidikan di Indonesia, civic educa- kan indoktrinasi politik. Sejak 1998, ketika reformasi terus bergu-
tion (CE) termasuk istilah baru yang semakin populer, khususnya lir, mulai muncul pertanyaan tentang relevansi mata kuliah
pada sewindu reformasi. Walaupun sebenarnya, Indonesia Pancasila dan Kewiraan. Usaha reformasi mata kuliah ini ternyata
berpengalaman cukup lama dalam bidang ini, yaitu pengajaran tidak semudah yang dibayangkan. Di perguruan tinggi, mata
mata pelajaran Civics dan kemudian Pendidikan Pancasila dan kuliah Pancasila akhirnya ‘diubah’ Depdiknas menjadi Filsafat
Kewarganegaraan (PPKn). Tentu saja terdapat perbedaan- Pancasila. Sementara, mata kuliah Kewiraan cenderung sulit
perbedaan substantif dan metodologis antara CE dan PPKn. diubah, karena terdapat resistensi yang kuat dari dosen-dosen
Bagi saya, CE lebih tepat diterjemahkan sebagai ‘pendidikan Kewiraan yang memiliki privilege berupa sertifikat khusus dari
kewargaan’, yang lebih menempatkan warga negara sebagai sub- Lemhanas untuk mengajarkan mata kuliah ini.
yek daripada sekadar obyek vis-à-vis negara. Istilah ‘pendidikan Inisiatif lebih drastis dilakukan IAIN (kini UIN) Jakarta yang
kewargaan’ mengandung konsep ‘masyarakat kewargaan’, ‘masya- pada 1999 menghapus mata kuliah Kewiraan dan memperkenal-
rakat madani’, ‘masyarakat sipil’ atau civil society. Inilah warga yang kan Pendidikan Kewargaan. Pilot proyek ini menjadi sebuah kisah
memiliki ‘budaya kewargaan’ (civic culture) yang kemudian tereja- sukses, dengan penyebaran mata kuliah ini ke seluruh lembaga
wantah ke dalam civility atau keadaban. pendidikan tinggi Islam, baik negeri dan swasta. Dan kisah sukses
Harus diakui, CE yang semakin menemukan momentum ini menarik perhatian Malaysian Citizenship Initiative (Proyek
sejak 1990-an dipahami secara berbeda-beda. Bagi sebagian ahli, Warga) dan Center for Civic Education, Amerika Serikat untuk juga
pendidikan kewargaan diidentikkan dengan ‘pendidikan mengkajinya dalam lokakarya Educating the Young for Active Citi-
demokrasi’ (democracy education). Di sini pendidikan kewargaan zenship, di USM Penang 11-13 Desember 2004. Melalui forum ini
mencakup kajian dan pembahasan tentang pemerintahan, berbagai gagasan tentang perluasan pendidikan kewargaan juga
konstitusi, lembaga-lembaga demokrasi, rule of law, dan hak dan menjadi agenda pokok.
kewajiban warga negara. Sementara bagi sebagian ahli lain, Dengan demikian, dilihat dari segi ini, Indonesia dengan ‘sepa-
pendidikan kewargaan disebut citizenship education yang muatan- rated approach’ melalui mata pelajaran khusus Civics, Pendidikan
nya menekankan pada proses-proses demokrasi, partisipasi aktif Kewarganegaraan, PPKn, Pancasila, dan Kewiraan, dan Filsafat
dan keterlibatan warga negara dalam civil society. Pancasila, sebenarnya telah berdiri di depan dalam pengembangan
Masih ada lagi sebagian ahli yang berpendapat, bahwa CE; ditambah lagi dengan mata kuliah CE, yang kini sudah di-
pendidikan kewargaan mencakup pengetahuan tentang lembaga- adopsi banyak perguruan tinggi. Tetapi, harus diakui, terdapat
lembaga dan sistem yang terdapat dalam pemerintahan, sistem sejumlah masalah dalam mata pelajaran atau mata kuliah tersebut;
politik, proses-proses demokrasi, hak dan kewajiban warga nega- kecuali pada Pendidikan Kewargaan yang dirumuskan setelah In-
ra, administrasi publik dan sistem hukum. Selain itu, pendidikan donesia berubah dari otoritarianisme menjadi demokrasi. Akibat-
kewargaan juga mencakup keahlian dan pengetahuan tentang nya, mereka gagal dalam usaha sosialisasi dan diseminasi
kewarganegaraan aktif, refleksi kritis terhadap proses-proses demokrasi.
politik dan pemerintahan, dan kerjasama di antara warganegara. Kegagalan itu, hemat saya, bersumber setidaknya dari tiga hal.
Terakhir sekali, pendidikan kewargaan juga mencakup wilayah Pertama, secara substantif, Civics, PPKn, Pancasila, dan Kewiraan
keadilan sosial, pengertian antar-budaya, dan kelestarian ling- tidak secara terencana dan terarah mencakup materi dan pemba-
kungan hidup. hasan yang lebih terfokus pada pendidikan demokrasi dan kewar-
Di Indonesia, pendidikan kewargaan merupakan paradigma gaan. Materi-materi yang ada umumnya terpusat pada pembaha-
baru Civics yang sudah diajarkan di SMA sejak 1962. Sejak 1968, san yang bersifat idealistik, legalistik dan normative sesuai dengan
mata pelajaran Civics diganti dengan Pendidikan Kewargane- interpretasi dan hegemoni makna oleh rezim Orde Baru. Kedua,
garaan, yang isinya mencakup sejarah Indonesia, geografi, kalaupun materi-materi yang ada pada dasarnya potensial bagi
ekonomi, politik dan pidato-pidato Presiden Soekarno. Mata pendidikan demokrasi dan pendidikan kewargaan, tapi potensi itu
pelajaran ini wajib dipelajari murid-murid sejak dari SD, SMP tidak berkembang karena pendekatan dalam pembelajarannya
sampai SMA. Pada 1975, rezim Soeharto mengubah mata bersifat indoktrinatif, regimentatif, monologis, dan tidak
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan menjadi Pendidikan partisipatif.
Edisi VIII / GATRA-edisi 29/XII 1 Juni 2006

Moral Pancasila (PMP), yang isinya merupakan indoktrinasi Ketiga, subyek-subyek mata pelajaran dan mata kuliah tersebut
Pancasila sesuai penafsiran monolitik pemerintahan Orde Baru lebih teoritis daripada praktis. Akibatnya terdapat diskrepansi yang
dalam P4. Kurikulum 1984 bahkan mempertegas mata pelajaran jelas di antara teori dan wacana yang dibahas dengan realitas sosial-
ini sebagai indoktrinasi politik, tidak hanya untuk ‘kelestarian’ politik yang ada. Bahkan pada tingkat sekolah/universitas sekali-
Pancasila, tetapi lebih penting lagi kelanggengan (status quo) rezim pun diskrepansi itu sering terlihat pula dalam bentuk otoritaria-
penguasa. Akhirnya, sesuai dengan UU Sisdiknas 1989, mata nisme bahkan feodalisme orang-orang sekolah dan universitas itu
pelajaran ini disesuaikan menjadi PPKn. sendiri. Akibatnya, bisa dipahami, kalau sekolah/universitas gagal
Sedangkan pada tingkat perguruan tinggi diwajibkan mata membawa peserta didik untuk ‘mengalami demokrasi’. Wallahu
kuliah Pancasila dan Kewiraan, yang pada dasarnya juga merupa- a’lam bi al-shawab.[]

Redaktur Ahli: Lies Marcoes-Natsir, Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy, Budhy Munawar-Rachman
Sidang Redaksi: Rumadi, Abd. Moqsith Ghazali I Staff Redaksi: Gamal Ferdhi, M. Subhi Azhari, Nurul H. Maarif | Desain: Widhi Cahya

Anda mungkin juga menyukai