Anda di halaman 1dari 2

Menjadi Vegan, Solusi Utama Pemanasan Global

Oleh : Yuniasari Shinta Dewi | 01-Mei-2010, 01:13:40 WIB

KabarIndonesia - Vegetarian atau nabatiwan adalah sebutan bagi orang yang hanya makan
tumbuh-tumbuhan dan tidak mengonsumsi makanan yang berasal dari makhluk hidup, seperti
daging, unggas, ikan, atau hasil olahannya. Istilah "vegetarian" muncul pertama kali pada tahun
1847. Kata ini berasal dari bahasa Latin vegetus, yang berarti keseluruhan, sehat, segar, hidup.
Definisi asli dari "vegetarian" adalah dengan atau tanpa telur dan hasil ternak perah, dan definisi
ini masih digunakan oleh Vegetarian Society hingga sekarang.

Terdapat jenis-jenis vegetarian, yaitu semivegetarian, lacto-ovo-vegetarian, lacto-vegetarian,


ovovegetarian, dan vegan. Semivegetarian adalah kelompok orang yang selain makan makanan
berbahan nabati, juga masih memakan ikan, daging, susu, dan telur, tapi terkecuali daging
merah. Lacto-ovo-vegetarian, selain makan makanan yang terbuat dari bahan nabati, juga
memakan susu dan telur. Lacto-vegetarian memakan makanan berbahan nabati plus susu dan
makanan hasil olahan susu lainnya, tapi tidak memakan telur.

Sementara, ovovegetarian adalah kebalikan dari lacto vegetarian, yaitu mereka yang memakan
makanan nabati dan telur, tapi tidak makan susu dan makanan hasil olahan susu, seperti yogurt,
keju, mentega, dan lain-lain. Yang terakhir, vegan adalah kelompok nabatiwan yang paling ketat.
Mereka hanya mau makanan berbahan nabati saja. Bahkan, madu dari lebah pun dihindari.

Lalu, apakah korelasi antara menjadi vegan dan pemanasan global?

Sebagaimana yang kita semua telah ketahui, pemanasan global (atau juga dikenal dengan istilah
bahasa Inggris-nya "global warming") adalah peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi.
Penelitian yang telah dilakukan para ahli selama beberapa dekade terakhir ini menunjukkan
bahwa ternyata semakin panasnya planet bumi terkait langsung dengan gas-gas rumah kaca
yang dihasilkan oleh aktivitas manusia. Kebanyakan dari gas rumah kaca ini dihasilkan oleh
peternakan, pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor, pabrik-pabrik modern, dan
pembangkit tenaga listrik.

Dalam laporan PBB (FAO-Organisasi Pangan dan Pertanian) yang berjudul "Livestock's Long
Shadow: Environmental Issues and Options" (yang dirilis bulan November 2006) tercatat bahwa
industri peternakan adalah penghasil emisi gas rumah kaca yang terbesar (18%). Jumlah ini lebih
banyak dari gabungan emisi gas rumah kaca seluruh transportasi di seluruh dunia (13%). Emisi
gas rumah kaca industri peternakan meliputi 9% karbon dioksida, 37% gas metana (efek
pemanasannya 72 kali lebih kuat dari CO2), 65% nitro oksida (efek pemanasan 296 kali lebih kuat
dari CO2), dan 64% amonia penyebab hujan asam. Peternakan menyita 30% dari seluruh
permukaan tanah kering di Bumi dan 33% dari area tanah yang subur dijadikan ladang untuk
menanam pakan ternak. Bahkan, peternakan juga penyebab dari 80% penggundulan hutan
Amazon.

Sementara itu, laporan tahun 2007 yang dirilis oleh Intergovernmental Panel on Climate Change
(IPCC) lebih menyoroti masalah "pentingnya mengubah pola hidup". Rajendra Pachauri yang
menjabat sebagai ketua panel perubahan iklim PBB (IPCC) sejak tahun 2002 dan juga pemenang
hadiah Nobel, berkata, "Ini adalah sesuatu yang takut unutk diucapkan oleh IPCC beberapa waktu
yang lalu, tetapi kini sudah saatnya kami harus mengatakannya. Kurangilah konsumsi daging
karena daging benar-benar komoditas penghasil karbon yang signifikan."

Penelitian telah menunjukkan bahwa 1 kg daging akan menghasilkan 36,4 kg emisi karbon
dioksida. Selain itu, pemeliharaan dan transportasi yang digunakan untuk menghasilkan sepotong
daging sapi, kambing, atau babi tersebut membutuhkan energi dalam jumlah yang sama untuk
menyalakan sebuah bola lampu 100 watt selama tiga minggu.

Bahkan, laporan Perserikatan Ilmuwan Peduli (United Concerned Scientists-UCS) dari Belanda
menyatakan bahwa dana yang diperlukan untuk mengekang perubahan iklim berkurang secara
dramatis ketika daging ditiadakan dari pola makan. Tindakan ini dapat mencapai penghematan
80% jika semua menerapkan gaya hidup vegan.
Setelah mengetahui tertuduh utama terjadinya pemanasan global tahun-tahun belakangan ini,
apakah yang akan kita lakukan demi "rumah" kita tercinta ini?

Bisakah kita menjadi vegan atau sekadar semivegetarian seumur hidup kita, sedangkan selama
ini kita sudah sangat terbiasa mengonsumsi daging atau makanan olahan hewani lainnya di
setiap menu makan kita sehari-hari. Mengurangi atau malah sama sekali tidak memakan daging
dan makanan olahan sejenisnya mungkin bisa disamakan dengan perokok yang diminta untuk
menghentikan kebiasaannya merokok seketika itu juga. Susahnya bukan main.

Namun bila hal ini tidak segera kita lakukan, kita pun sudah tahu apa akibatnya bagi
kelangsungan hidup planet bumi ini dan tentunya berkorelasi langsung dengan kelangsungan
hidup kita sebagai penghuni bola biru ini. Keputusan akhirnya kini berada di tangan kita, manusia
yang adalah makhluk hidup tertinggi yang berakal dan beradab. Namun sekali lagi, bisakah kita
melakukan sesuatu yang berakal dan beradab, seperti menjadi semivegetarian atau vegan
sekaligus? Kemungkinan besar kita akan berkomentar, "Sungguh, itu tak masuk akal dan tak
beradab!" (*)

Sumber: Fotosearch

Anda mungkin juga menyukai