Anda di halaman 1dari 3

Arogansi ‘Gated-community’ di Kota Kita

Published October 2, 2008 life 2 Comments

KEHENINGAN subuh itu tiba-tiba pecah. Sunyi senyap pun tersergap oleh riuh rendah. Di awal
April lalu, tidur nyenyak para penghuni kompleks perumahan Darmo Satelit di Surabaya itu
terusik oleh teriakan dan letupan amarah warga setempat yang berunjuk rasa. Tanpa terduga,
warga yang marah kemudian memblokade gerbang masuk dengan cara mengelas portal-portal
besi di perumahan mewah ini. Portal besi simbol rasa aman dan eksklusif itu tiba-tiba berubah
menjadi simbol keterasingan dan keterkungkungan, bak penjara yang menakutkan. Saking
paniknya, seorang ibu dan anaknya yang harus ujian sekolah terpaksa sampai menyamar
dengan pakaian lusuh untuk bisa menyelinap keluar. Memang ironis, ketika negosiasi dan
komunikasi sosial membentur jalan buntu, maka simbol-simbol orang miskin-seperti halnya
pakaian lusuh tersebut-kemudian dipersepsikan dan dimanipulasi menjadi satu-satunya media
yang bisa menyelamatkan nyali mereka.

Hal yang serupa juga terjadi di Cimanggis Depok. Puluhan warga di sekitar perumahan
mewah Vila Pertiwi marah besar dan memprotes keberadaan tembok pembatas yang
mengelilingi perumahan ini. Tembok setinggi 2,5 meter ini digugat karena dianggap
membuat gelap lorong sirkulasi di perumahan miskin yang ada dibelakangnya.
Keberadaannya juga dianggap menyalahi aturan, karena sebelumnya tembok tinggi ini
tidak pernah tergambar dalam site plan yang diajukan pihak developer ke Pemda. Namun,
pihak mana yang menang, sepertinya bisa dengan mudah diduga.

Contoh-contoh ironis kontemporer di atas mengilustrasikan maraknya ancaman friksi sosial yang
lahir dari fenomena negatif suatu desain perumahan yang lazim diistilahkan dengan sebutan
‘gated community’. Praktek pembentengan kawasan perumahan dengan tembok tinggi dan
akses tunggal ini memang sedikit banyak merefleksikan melemahnya dimensi sensitivitas sosial
masyarakat di kota-kota besar. Faktor kepentingan ekonomi developer maupun kesan prestise
dan eksklusif penghuni tipe perumahan ini terkadang sering ingin ditonjolkan melebihi kebutuhan
rasa aman mereka.

Gelisah Andre Gide tidaklah keliru. Jurnalis pemenang Nobel ini sempat mengungkap
bahwa bau jurang kemelaratan biasanya paling tajam tercium dan terlihat di kota-kota
besar. Di sanalah ekses budaya dan friksi sosial saling sinis berpapasan dan bersentuhan. Di
sana pulalah libido
sensasi-sensasi sosial pemicu friksi tersebut mengambil tempat. Di Jakarta, tidaklah mustahil jika
kehadiran benteng-benteng tinggi yang sering provokatif itu sama banyaknya dengan dengusan
perjumpaan antara proletar-proletar miskin lusuh dengan orang-orang necis yang biasa
menghabiskan belanja jutaan rupiah dalam sekejap.

***

Menurut Mary Gail Snyder, sosiolog pengarang buku Fortress America, penyebab lahirnya
gejala ini dapat dibagi menjadi beberapa aspek. Pertama adalah aspek prestise, dimana tinggal
di kawasan elit berbenteng ini dianggap sebagai media imaji untuk menaikkan status sosial.
Kedua adalah aspek ekonomi, dimana dalam sudut pandang developer, kawasan eksklusif gated
community dinilai akan mampu menaikkan nilai lahan dan mudah untuk dijual. Sedangkan yang
terakhir adalah aspek keterpaksaan, dimana pembentengan ini memang kadang terpaksa
dilakukan karena berada di kawasan kota yang sangat rawan kriminalitas.
Nafsu prestise/gengsi melalui arsitektur yang diungkap Snyder ini memang lazimnya
banyak dipengaruhi oleh godaan psikologis dan didikan budaya yang membentuk
manusianya. Meminjam pemahaman seorang pemikir semiologi, Umberto Eco, wujud
arsitektur itu selain menjadi obyek fungsional, juga sering dijadikan manusia sebagai
objek atau media simbolik. Dalam perjalanan sejarah budaya manusia, arsitektur memang
lazim dimaknai dan dibaca dengan beragam interpretasi melebihi aspek
fungsionalitasnya. Seperti halnya menara Eiffel yang dibaca sebagai simbol Kota Paris,
simbol cinta yang romantis atau beragam simbol lainnya, padahal Gustav Eiffel yang
merancangnya hanya punya visi untuk menonjolkan menara ini sebagai simbol utilitas struktur
semata.

Oleh karenanya beragam perumahan mewah berbenteng tinggi ataupun rumah-rumah


putih bergaya Neo-klasik yang bertaburan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya sering
dimaknai oleh sebagian masyarakat kita sebagai simbol atau kartu nama dari suatu kelas sosial.
Nafsu simbolik ini seringkali menjebak kita sehingga melahirkan persepsi bahwa seolah-olah
tidak ada pilihan lain dalam gaya berarsitektur rumah mewah kecuali dengan gaya Neo-klasik
tersebut. Demikian pula dengan konsep negatif gated-community yang mempersepsikan seolah-
olah tidak ada pilihan lain dalam mendesain batas fisik suatu kawasan perumahan kecuali
dengan benteng
tinggi lengkap dengan kawat berduri.

Harus diakui bahwa kaya akan harta memang tidaklah selalu berbanding lurus dengan
kecerdasan seseorang dalam memahami desain yang baik maupun kearifan dalam
membuka keran komunikasi sosial. Atas dasar selera massal dan gejala hedonisme
psikologis masyarakat inilah, sebagian developer perumahan berhasil menemukan celah
pangsa pasarnya. Beragam konsep pemasaran properti yang menawarkan rumah bergaya
negeri dongeng atau replika kota-kota dunia akhirnya membanjiri lingkungan kita.
Konsep-konsep simbolik ini dianggap
mampu menempelkan simbol-simbol status sosial serta memberi kepuasan akan ilusi-
ilusi psikologis para pembelinya. Dan memang terbukti, konsep-konsep ini laku keras
dan diminati oleh sebagian besar warga kota kita.

Beragam fenomena negatif di atas kemudian diperburuk oleh aliran deras dari gelombang
kerusuhan sosial politik yang menghantam kota-kota besar Indonesia sejak lengsernya
rezim Soeharto dua tahun lalu. Serempak, rumah-rumah berarsitektur benteng pun
meningkat dengan tajam baik secara kualitas dan kuantitas. Pagar rumah setinggi 2.5
meter lengkap dengan
pecahan belingnya seolah menjadi pemandangan yang lumrah. Rasa tidak aman yang
akut dan ketakutan yang kontinyu ini kemudian melahirkan variasi desain bangunan dan
kawasan perumahan yang hiper defensif yang disebut sebagian orang dengan istilah
architecture of fear.

Kehadiran fenomena architecture of fear ini kemudian memperumit kondisi sosial budaya
kota yang sebenarnya sudah cukup parah dan akhirnya menjadi katalis dari sakitnya
manusia-manusia kota secara psikologis. Sakit psikologis yang lazim lahir dari rasa
ketakutan yang berlebihan dan bermuara pada tingkat individualitas yang tinggi ini
kemudian ditelaah sosiolog Robert Bellah sebagai “hyper-individualism syndrome”.
***

FENOMENA-fenomena serupa pun banyak terjadi di negara-negara kapitalis maju


seperti halnya Amerika Serikat. Di negeri yang mendewasakan privasi dan individualitas
ini, tercatat sudah delapan juta orang bermukim di sekitar 30 ribu perumahan yang
mengadopsi konsep negatif gated community tersebut. Walaupun alasan paling lazim
adalah faktor keamanan, namun banyak sosiolog yang berargumen bahwa pembentengan
ini hanyalah akan menciptakan rasa aman yang bersifat parsial dan merangsang friksi
sosial karena tonjolan provokasi eksklusivitasnya.

Giuseppe Sacco, seorang ahli geografi Italia, menyebut fenomena ini sebagai
medievalisasi struktur sosial masyarakat, dimana masyarakat cenderung kembali ke pola
permukiman klan-klan pada abad pertengahan yang dibatasi oleh benteng-benteng tinggi
dan gardu jaga. Semua yang di luar benteng biasanya selalu dianggap sebagai ancaman
dan musuh yang harus diwaspadai
dan dicurigai. Namun beberapa tahun ke belakang ini, efek-efek negatif yang sering lahir
dari fenomena isolasi sosial ini akhirnya memaksa banyak kota di Amerika Serikat mulai
mengeluarkan undang-undang yang melarang pihak developer untuk membentengi proyek-
proyek perumahannya tanpa alasan yang krusial.

Menjawab isu di atas, sebagian arsitek dan developer yang tercerahkan sudah mulai
memperkenalkan konsep green buffer dengan mengganti benteng-benteng tinggi tersebut
dengan deretan pohon-pohon rindang di batas kawasan, yang kemudian bisa dimanfaatkan juga
oleh lingkungan warga setempat. Lebih lanjut, arsitek Peter Calthorpe pun sempat berargumen
bahwa pendekatan desain yang sensitif dan kreatif seperti memperbanyak polisi-tidur, sudut
belokan yanag tajam, desain pagar yang transparan, lampu jalan yang memadai ataupun
neighborhood watch sebenarnya bisa lebih efektif dalam mewujudkan rasa aman lingkungan.
Bahkan sejak tahun ’60-an sosiolog urban terkenal Jane Jacobs sebenarnya sudah
mengingatkan bahwa ‘eyes on the street’ atau kepedulian aktif warga terhadap lingkungan
sekelilingnya merupakan pijakan terkuat dan mendasar dalam mewujudkan rasa aman dan
ikatan sosial warga.

Seperti yang diungkap sosiolog Amitai Etzzioni dalam konsep’ revitalization of


communitarianism’, mudah-mudahan kita di Indonesia tidak sampai perlu melakukan sebuah
revolusi sosial atau menunggu beberapa generasi hanya demi mengembalikan rasa
kekeluargaan dan sensitivitas sosial yang sebenarnya telah menjadi nilai luhur timur bangsa kita.

Ataukah sebaliknya, mungkin kita cukup bersikap pasrah saja karena budaya kekeluargaan yang
diajarkan sejak kita duduk di bangku sekolah dasar itu sebenarnya hanyalah ilusi mewah semata.

Anda mungkin juga menyukai