BAB I
PENDAHULUAN
B. Perumusan Masalah
1. Apakah maltodektrin yang berasal dari pati beras dapat digunakan untuk
pembuatan niosom?
2. Bagaimana pengaruh variasi total surfaktan terhadap niosom yang dibuat ?
3. Apakah niosom dapat digunakan sebagai penghantar obat ibuprofen?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apakah maltodekstrin yang berasal dari pati beras dapat
digunakan untuk pembuatan niosom.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh variasi total surfaktan terhadap
niosom yang dibuat.
3. Untuk mengetahui apakah niosom dapat digunakan sebagai penghantar obat
ibuprofen.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu mengembangkan metode pembuatan
niosom yang berbasis maltodekstrin dari pati beras sehingga dapat memperbaiki
formulasi sediaan dan membantu sistem penghantaran obat pada tubuh.
4
BAB II
STUDI PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
1. Liposom
Liposom merupakan vesikel mikrolipid bilayer yang memiliki lapisan
antara didalamnya, dengan air di bagian dalam dan lipid di bagian luar. Liposom
ini berukuran 0,5-100 µm. Susunan dari liposom bilayer tergantung pada sifat
hidrofobik dan hidrofilik lipid. Liposom memiliki perbedaan muatan elektrik pada
bagian permukaan yang tergantung pada jenis material yang digunakan. Liposom
dibentuk dari penumpukan fosfolipid yang didispersikan dalam air sehingga akan
terbentuk vesikel. Vesikel adalah lapisan lipid yang tersusun konsentris yang
dapat diselingi dengan air yang dapat dibedakan antara vesikel mikro (diameter
25nm), yang terdiri dari sejumlah kecil membran berlapis ganda dan vesikel yang
dibangun dari sejumlah besar lapisan ganda tersusun konsentris sehingga
dinamakan vesikel makro (Voigh, 1995).
Liposom memiliki diameter 20nm - 10µm. Ukuran dari liposom ini
tergantung pada metode yang digunakan dan jenis lipid bilayer yang digunakan.
Liposom dibagi menjadi 3 berdasarkan ukurannya yaitu small unilamellar vesicles
(SUV) dengan ukuran 0,02-0,05µm, large unilamellar vesicles (LUV) dengan
ukuran lebih besar dari 0,06µm dan multilamellar vesicles (MLV) ukuran 0,1-0,5
µm. Sifat fisika kimia dari liposom seperti ukuran partikel, lamellarity, muatan
permukaan, dan sensitifitas pH dapat diatur (Patel et al, 2006). Cara kerja liposom
dapat dilihat dari gambar 1.
Gambar 1. Liposom – A = obat larut air yang terlapisi dalam ruang hidrofil; B =
obat tidak larut air pada lapisan membran bilayer; C = lemak polioksietilen
hidrofilik yang terikat pada liposom (Uchegbu, 1999).
5
2. Niosom
Pada niosom, cairan akan dilingkupi lapisan bilayer yang tersusun dari
surfaktan non ionik, dengan atau tanpa kolesterol, dan bekerja menyerupai
liposom pada in vivo. Struktur vesikel bilayer tersusun dari bagian ekor bersifat
hidrofobik dari monomer surfaktan, yang melindungi dari lingkungan cair, dan
bagian kepala bersifat hidrofilik yang bersentuhan dengan lingkungan cair.
Kolesterol dapat membuat kaku lapisan bilayer sehingga dapat mengurangi
kebocoran pada niosom. Dicetylphosphat (DCP) diketahui dapat meningkatkan
ukuran vesikel dan menyebabkan muatan pada vesikel (Biju et al, 2006).
Niosom memiliki kelebihan bila dibandingkan dengan liposom. Niosom
memiliki struktur yang stabil meskipun dalam bentuk emulsi. Niosom tidak
memerlukan kondisi yang khusus seperti suhu atmosfer yang rendah atau inert
selama penyimpanan dan secara kimia lebih stabil. Harga material yang lebih
murah juga merupakan kelebihan bagi usaha industri. Beberapa surfaktan non
ionik sudah digunakan dalam pembuatan vesikel seperti poligliserolalkileter,
glukosil dialkil eter dan beberapa span dan tween (Biju et al, 2006).
Niosom memiliki rangka dasar yang tersusun atas sifat hidrofilik dan
hidrofobik sekaligus sehingga dapat mengantarkan molekul obat dengan kelarutan
yang cukup luas. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik struktural niosom
sangat fleksibel dan dapat dibuat berdasarkan situasi yang diinginkan. Niosom
meningkatkan bioavaibilitas obat yang diabsorbsi rendah pada pemakaian oral dan
meningkatkan penetrasi obat ke dalam kulit. Niosom dapat meningkatkan efek
terapetik obat dengan menghambat klirens dan melindungi obat mencapai sel
target. Niosom ini bersifat biodegradabel, biokompatibel dan non-imunogenik
(Biju et al, 2006).
Perbedaan karakteristik niosom ditentukan dari perbedaan sifatnya seperti
diameter vesikel menggunakan mikroskop cahaya, mikroskop korelasi foton,
mikroskop penghitung tingkat kebekuan, efisiensi ikatan dan kecepatan pelepasan
pada in vitro. Aspek lain yang harus dipelajari adalah stabilitas obat, kebocoran
obat pada larutan garam dan plasma saat penyimpanan, aspek farmakokinetik,
toksisitas, dan lain sebagainya (Biju et al, 2006).
Niosom dapat dibuat dengan metode hidrasi lapisan lemak atau reverse
7
3. Proniosom
Penemuan proniosom mampu menjawab kesulitan dari semua metode
pembuatan niosom. Proniosom merupakan formulasi kering dari surfaktan-lapisan
pembawa yang kadarnya dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan, dan direhidrasi
dengan agitasi singkat pada air panas. Proniosom biasanya dibuat dengan
menyemprotkan surfaktan dalam pelarut organik ke serbuk sorbitol dan kemudian
menguapkan pelarutnya, tetapi karena sorbitol bersifat larut dalam pelarut
organik, maka diperlukan proses pengulangan sampai konsentrasi surfaktan yang
diinginkan tercapai. Surfaktan yang melapisi vesikel sangat tipis dan hidrasi dari
lapisan ini membuat vesikel multilamelar menjadi bentuk yang terlarut.
Pembuatan niosom dari metode ini menghasilkan produk yang serupa seperti
metode konvensional, bahkan ukuran partikelnya lebih seragam (Blazek-Welsh
and Rhodes, 2001).
Pembuatan niosom dari proniosom ini tergolong mudah, namun cukup
sulit untuk melapisi partikel sorbitol karena sorbitol bersifat larut dalam kloroform
dan pelarut organik lainnya. Jika pembuatan larutan surfaktan terlalu cepat maka
partikel sorbitol akan rusak dan larutan menjadi kental. Untuk mencegah
kerusakan tersebut, beberapa metode pembuatan proniosom telah dicoba, salah
satunya adalah mengganti sorbitol dengan maltodekstrin sebagai bahan
pembuatan niosom (Blazek-Welsh and Rhodes, 2001).
4. Pati
Pati merupakan turunan glukosa yang mengandung amilosa dan
amilopektin. Amilosa terdiri dari ratusan residu glukosa yang tidak bercabang
diikat oleh ikatan glikosida antara atom karbon nomor 1 dan 4. Amilopektin
berbeda dengan amilosa. Amilopektin memiliki rantai samping dengan ikatan
glikosida dengan atom karbon nomor 6. Amilopektin memiliki ratusan molekul
glukosa (Whistler et al ,1984).
Pati beras adalah pati yang diperoleh dari biji Oryza sativa L (familia
Poaceae). Pati beras memiliki serbuk sangat halus dan putih. Pati beras praktis
tidak larut dalam air dingin dan dalam etanol dan bila diamati dengan
mikroskopik tampak butir bersegi banyak ukuran 2µm-5µm, tunggal atau
9
majemuk, bentuk bulat telur ukuran 10µm-20µm. Pada pati beras hilus di tengah
tidak terlihat jelas dan tidak ada lamela konsentris. Pati beras bila diamati dibawah
cahaya terpolarisasi, tampak bentuk silang berwarna hitam, memotong pada hilus
(Anonim,1995).
Granul pati beras berbentuk polihedral atau pentagonal dodekahedron.
Temperatur optimum gelatinisasi dari pati besarnya sangat bervariasi tergantung
pada varietas padinya. Pati beras mengandung amilosa 40-80% (Whistler et al,
1984).
Pati beras biasa digunakan untuk kosmetik dan pengikat. Pati beras rendah
amilosa digunakan sebagai makanan bayi dan sebagai pemutih pakaian (Whistler
et al, 1984).
5. Enzim α-amilase
Enzim α-amilase adalah enzim yang mempunyai banyak fungsi dalam
kehidupan. Enzim ini dapat diproduksi dari berbagai sumber, antara lain dari
kelenjar ludah dan pankreas manusia, pankreas porcine, pankreas tikus, Baccilus
amyloliquefaciens, Baccilus licheniformis, Baccilus subtilis, Baccilus coagulans,
Aspergillus oryzae, Aspergillus candidas, Pseudomonas saccharophila dan
fermentasi gandum (Whistler et al ,1984).
Aksi α-amilase pada proses hidrolisis pati umumnya bekerja secara acak
namun terorganisir hanya memecah ikatan α-δ (1-4) kecuali rantai substrat paling
akhir. Pada substrat polimer, aksi α-amilase dapat melalui 3 mekanisme, yaitu
single chain, multichain atau single attack dan multiple attack (Whistler et
al,1984).
Banyaknya hidrolisis ikatan glukosida dari pati biasanya dijelaskan dengan
dextrose equivalent (DE). Glukosa murni mempunyai DE 100, maltosa murni DE
sekitar 50 (tergantung metode analitik yang digunakan), dan pati mempunyai DE
sebesar 0. Pada hidrolisis pati, DE menunjukkan tingkatan pati yang diputus.
Hasil dari pemutusan ikatan pati atau dari hidrolisis dapat berupa maltodekstrin
(Chaplin, 2004).
10
kerja enzim biasanya dihubungkan dengan bentuk ion pada sisi aktif. Perubahan
konsentrasi ion hidrogen dapat mempengaruhi ionisasi sisi aktif. Perubahan sisi
aktif dapat merubah struktur enzim. Perubahan pH yang tajam dapat
menyebabkan enzim terdenaturasi. Beberapa enzim aktif hanya pada nilai pH
yang sempit. Nilai pH optimum pada setiap enzim sangat bervariasi.
6. Maltodekstrin
Maltodekstrin merupakan salah satu produk turunan pati yang dihasilkan
dari proses hidrolisis parsial oleh enzim α-amylase. Maltodekstrin memiliki
dextrose equivalent (DE) kurang dari 20. Maltodekstrin dapat bercampur dengan
air membentuk cairan koloid bila dipanaskan dan mempunyai kemampuan sebagai
perekat, tidak memiliki warna dan bau yang tidak enak serta tidak toksik (Jufri
dkk, 2004).
Maltodekstrin dibuat dari hidrolisis pati oleh enzim. Enzim ini digunakan
untuk memutus rantai ikatan yang terdapat pada pati (3-20 rantai terdapat pada
maltodekstrin). Maltodekstrin terdiri dari beberapa molekul glukosa yang terikat
dengan ikatan hidrogen. Ikatan yang terdapat dalam maltodekstrin ini sangat
lemah sehingga mudah terputus (Moore et al, 2005).
Maltodekstrin (C6H10O5)n.H2O merupakan polimer dari sakarida, bergizi,
tidak manis, tersusun atas unit primer glukosa yang terikat dengan ikatan α-1,4
glukosida dengan DE kurang dari 20. DE menjelaskan persentase hidrolisis ikatan
glukosida dan menunjukkan penurunan kekuatannya. Berdasarkan penggunaan
maltodekstrin yang cukup luas, karakteristik kimia dan biologinya harus
diketahui, DE maltodekstrin saja tidak cukup untuk memperkirakan khasiat
produk untuk berbagai penggunaan. Maltodekstrin dengan DE yang sama dapat
memiliki khasiat dan penggunaan yang berbeda tergantung perbedaan dari
komposisi molekul, linearitas dan percabangan yang harus diperhitungkan (Moore
et al, 2005).
Maltodekstrin harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan yaitu susut
pengeringan < 6%, sisa pemijaran < 0,5% dan pH antara 4-7. Maltodekstrin
memiliki derajat putih yang bervariasi mulai dari 66,4% - 88,75%, perbedaan
warna tersebut disebabkan oleh proses pengeringan yang dilakukan tidak sama.
12
7. Surfaktan
Surfaktan adalah subtansi yang dalam keadaan rendah mempunyai sifat
dapat terabsorbsi pada sebagian atau seluruh antar muka sistem. Surfaktan dapat
merubah jumlah energi yang dibutuhkan untuk memperluas permukaan tersebut
secara bermakna. Kerja paling penting dari zat pembasah adalah untuk
menurunkan sudut kontak antara permukaan dengan cairan pembasah dan
membantu memisahkan fase udara pada permukaan dan menggantinya dengan
suatu fase cair. Surfaktan mempunyai gugus hidrofil dan lipofil yang seimbang
sehingga mampu menjadi jembatan penghubung antara polar dan nonpolar yang
dapat menyebabkan terjadinya interaksi antara ke 2 fase tersebut dengan baik.
Apabila surfaktan dilarutkan ke dalam air maka gugus hidrofil akan berikatan
dengan molekul air tetapi gugus nonpolar ditolak oleh air dan didesak ke
permukaan kemudian diadsorbsi pada antarmuka sehingga menurunkan tegangan
permukaan sampai semua permukaan itu penuh ditutupi oleh surfaktan. Apabila
surfaktan dengan konsentrasi rendah berada dalam cairan maka surfaktan akan
teradsorbsi pada permukaan dengan ukuran subkoloid, tetapi pada kadar yang
lebih tinggi surfaktan akan mengumpul membentuk agregat yang disebut misel.
Kadar dimulai terbentuk misel disebut Critical Micelle Concentration (CMC),
sehingga perlu diperhatikan konsentrasi penaikan surfaktan yang cocok untuk
meningkatkan kelarutan obat (Martin et al, 1983).
Menurut Martin et al (1983) berdasarkan struktur kimianya, surfaktan
dibagi menjadi 4 yaitu :
(a) Surfaktan anionik
Surfaktan yang dapat dilarutkan ke dalam air dan mempunyai bagian yang
13
8. Ibuprofen
CH3CHCH2 CHCOOH
CH3 CH3
Gambar 2. Struktur Molekul Ibuprofen (Anonim,1995)
Ibuprofen mengandung tidak kurang dari 97% dan tidak lebih dari 103,0%
C13H18O2 dihitung terhadap zat anhidrat. Ibuprofen berbentuk serbuk hablur, putih
hingga hampir putih, berbau khas lemah. Ibuprofen praktis tidak larut dalam air,
sangat mudah larut dalam etanol, dalam metanol, dalam aseton dan dalam
kloroform, sukar larut dalam etil asetat. Struktur molekul ibuprofen dapat dilihat
pada gambar 2 (Anonim,1995).
Ibuprofen bersifat analgesik dengan daya anti inflamasi yang tidak terlalu
kuat. Efek analgesiknya sama dengan aspirin. Efek anti inflamasinya terlihat
dengan dosis 1200-1400 mg sehari. Absorbsi ibuprofen cepat melalui lambung
dan kadar maksimum dalam plasma dicapai setelah 1-2 jam. Waktu paruh dalam
plasma sekitar 2 jam. Sembilan puluh persen ibuprofen terikat pada protein
plasma. Ekskresinya berlangsung cepat dan lengkap. Kira-kira 90% dari
konjugatnya. Metabolit utama merupakan hasil hidroksilasi dan karboksilasi
(Ganiswara,1995).
B. Landasan Teori
Sekarang ini banyak dilakukan penelitian mengenai penghantaran obat.
Pada umumnya tujuan dari pengembangan sistem penghantaran obat ini adalah
untuk meminimalkan efek samping dan mencegah obat rusak di saluran cerna
sehingga dapat meningkatkan bioavaibilitas obat dalam plasma. Beberapa
alternatif penghantar obat telah diteliti namun masih memiliki kekurangan
diantaranya metodenya rumit, mahal dan waktunya lama. Niosom yang saat ini
sedang dikembangkan diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut.
15
Niosom adalah sistem vesikel yang mirip dengan liposom dalam fungsinya
menghantar obat. Stabilitas niosom lebih baik karena strukturnya lebih sederhana
dan tidak membutuhkan penanganan khusus saat penggunaan dan penyimpanan.
Penggunaan niosom sebagai vesikel dapat dilihat dari penetapan jumlah obat yang
dibawa. Model obat yang dipakai adalah ibuprofen yang bersifat praktis tidak
larut dalam air sehingga formulasi dengan niosom akan meningkatkan
bioavailabilitas obat serta efikasinya dalam tubuh.
Niosom dibuat dari hidrasi proniosom Proniosom dibuat dengan
menyemprotkan surfaktan dalam pelarut organik ke serbuk sorbitol kemudian
menguapkan pelarutnya, tetapi untuk melapisi partikel sorbitol ini sulit karena
sorbitol yang digunakan larut dalam pelarut organik sehingga partikel sorbitol
dapat terdegradasi dan menjadi sangat kental. Untuk mencegah hal ini, beberapa
metode pembuatan proniosom telah dicoba, salah satunya adalah mengganti
sorbitol dengan maltodekstrin yang tidak larut dalam pelarut organik.
Pada penelitian Blazek-Welsh dan Rhodes (2001) dilaporkan bahwa
niosom berbasis maltodekstrin dapat digunakan sebagai pembawa obat ampifilik
dengan aprenolol sebagai modelnya. Penelitian Jufri dkk (2005) juga
memperlihatkan bahwa maltodekstrin yang berbasis pati singkong DE 5-10 dapat
digunakan untuk pembuatan niosom. Pada penelitian ini digunakan pati beras
sebagai bahan dari pembuatan maltodekstrin. Pati singkong dan pati beras
keduanya memiliki kandungan amilosa sehingga dapat dipakai sebagai dasar
pembuatan maltodekstrin. Diharapkan di akhir penelitian ini dapat dihasilkan
niosom dari maltodekstrin yang berasal dari pati beras dengan DE 5-10.
C. Hipotesis
Maltodekstrin dengan DE 5 – 10 dapat digunakan sebagai bahan dasar
pembuatan niosom sebagai sistem vesikel penghantaran obat dan variasi
konsentrasi total surfaktan dapat mempengaruhi niosom. Niosom dapat digunakan
sebagai penghantar obat ibuprofen.
16
BAB III
METODE PENELITIAN
2. Alat
Peralatan yang digunakan adalah waterbath shaker (Memmert WBU 45), pH
meter (Mettler toledo SG 2), hotplate stirer, timbangan analitik (Mettler
Toledo Dragon 204), spektrofotometer UV-Vis (Hitachi U2810), ayakan 60
mesh, vortex mixer (Thermalyne type 16700 mixer), rotary evaporator
(Heidolph Heizbad WB), alat sentrifugasi (Hitachi Himac CT 4D), oven
(Memert), mikroskop optik (Olympus CX41), motorized tapping device
(Tatonas), mixture balance (Mettler toledo HB 43) dan alat-alat gelas
17
B. Cara Penelitian
1. Pemeriksaan Pati Beras (Amylum oryzae) (Anonim, 1979)
a. Mikroskopi
Sejumlah serbuk pati beras diletakan diatas gelas objek, diberi air lalu diamati
dibawah mikroskop (bentuk pati, letak hilus)
b. Kelarutan
Satu bagian pati ditambahkan 10.000 bagian air dan etanol, diaduk kemudian
diamati kejernihannya
c. Identifikasi pati beras
Sebanyak 1 g pati disuspensikan dalam 50 ml air yang dipanaskan hingga
mendidih selama 1 menit kemudian didinginkan sampai terbentuk larutan
kanji yang encer. Larutan kanji tersebut diambil 1 ml kemudian dicampur
dengan 0,05 ml iodium 0,005 M kemudian diamati perubahan yang terjadi.
Sejumlah suspensi pati diletakkan diatas kertas lakmus P dan diamati
perubahan warna yang terjadi
d. Organoleptis
Uji organoleptis meliputi bentuk, warna, bau dan rasa
e. Penetapan kadar air
Pemeriksaan kadar air diuji menggunakan alat uji kadar air. Sejumlah serbuk
pati beras dimasukkan ke dalam alat uji kadar air, kemudian permukaan pati
beras diratakan. Alat uji kadar air dinyalakan dan nilai kadar air akan tertera
pada alat.
itu divortex selama ± 30 detik (diulang 4x). Suspensi niosom dibuat dengan
konsentrasi total surfaktan konstan yaitu 10 mmol/L untuk tiap formula.
b. Niosom dengan obat
Bahan aktif yang digunakan sebagai model obat adalah ibuprofen. Larutan
stok ibuprofen dalam alkohol 96% : buffer fosfat pH 7,4 (1:10) dibuat
dengan konsentrasi 10 mmol/L. Niosom dibuat dengan cara yang sama
seperti diatas, hanya volume air yang ditambahkan diganti dengan larutan
ibuprofen dalam campuran alkohol 96% : buffer fosfat pH 7,4 (1:10) yang
bersuhu ± 80°C. Sediaan yang diperoleh didinginkan pada temperatur ruang.
C. Analisis Hasil
Hasil pengujian berbagai parameter di atas dianalisis dengan
menggunakan pendekatan teoritis. Hasil yang diperoleh dari uji pemeriksaan pati
beras (Amylum oryzae), uji sifat fisik maltodekstrin dan uji sifat fisik proniosom
dibandingkan terhadap persyaratan-persyaratan sesuai dengan kepustakaan yang
ada. Sedangkan data dari penetapan jumlah obat yang dibawa akan digunakan
untuk mengetahui berhasil atau tidaknya niosom yang berasal dari maltodekstrin
DE 5-10 dalam membawa obat.
24
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Mikroskopi
Jenis amilum yang berbeda akan memberikan penampakan mikroskop
yang berbeda dan bersifat khas. Pada pati beras ditambahkan sedikit air dan
diamati dibawah mikroskop optik dengan perbesaran 100x. Menurut
Farmakope edisi III (Anonim,1979) pati beras jika diamati dengan mikroskop
25
terlihat butir bersegi banyak, tunggal atau majemuk, hilus tidak terlihat jelas
dan tidak ada lamela konsentris.
2. Pembuatan maltodekstrin
Maltodekstrin dibuat dari pati beras sejumlah 40% b/b yang disuspensikan
dalam air bebas ion yang mengandung 200 ppm CaCl2. Pati beras yang digunakan
adalah seberat 80 gram yang kemudian disuspensikan dalam larutan stok air bebas
ion 200 ml yang mengandung CaCl2 sebanyak 0,04 gram, sehingga berat total
suspensi adalah 200 gram. Penggunaan air bebas ion bertujuan untuk
menghilangkan ion-ion yang dapat mengganggu aktivitas enzim, sedangkan
27
penambahan CaCl2 berfungsi untuk menyediakan ion kalsium (Ca2+) yang akan
mempertahankan stabilitas enzim pada temperatur tinggi. Ion kalsium akan
bereaksi dengan cara membentuk khelat dengan sisi enzim dan akan menjaga
kestabilan struktur tersiernya. Jumlah konsentrasi ion kalsium per molekul pada
tiap enzim sangat bervariasi (Whistler et al, 1984). Apabila konsentrasi ion Ca2+
yang ditambahkan terlalu banyak (500 ppm) akan menghambat aktivitas enzim.
Suspensi pati diatur pH-nya dengan pH meter yaitu dengan menaikkan pH
pati dari 4,5-5 menjadi 6,5 untuk mengaktifkan enzim, karena kerja enzim sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pH. Apabila pH terlalu
tinggi atau terlalu rendah akan dapat mendegradasi enzim sehingga enzim akan
rusak. Enzim α-amilase diketahui bekerja optimum pada pH 6-7.
Suspensi yang telah diatur pH-nya, kemudian ditambahkan enzim α-
amilase sebanyak 0,4% b/b, yaitu 0,5 gram dalam 200 gram suspensi. Suspensi
tersebut dipanaskan dalam waterbath shaker selama 120 menit pada suhu 60ºC
dan kecepatan 80 rpm. Kondisi tersebut berdasar optimasi yang dilakukan dan
merupakan kondisi optimum untuk mencapai DE 5-10. Suhu yang digunakan
adalah 60ºC untuk menjaga agar enzim tidak rusak karena enzim yang digunakan
bersifat termolabil dan mempunyai suhu maksimal 65ºC. Walaupun demikian,
suhu tersebut cukup tinggi untuk dapat melepaskan amilosa dan amilopektin dari
granul pati sehingga dapat dengan mudah dihidrolisis oleh enzim.
Tabel IV. Kondisi pembuatan maltodekstrin dari pati beras
Kadar Suhu (oC) Waktu Kadar Gula Kadar Air Dextrose
Enzim (%) (menit) Reduksi Equivalent
0,10 85 65 - - -
0,10 70 85 23,05 8,53 270,39
0,10 60 65 13,08 10,72 122,03
0,20 60 100 3,81 8,72 43,68
0,20 60 100 2,83 9,17 30,87
0,40 60 100 0,95 8,01 11,89
0,40 60 100 0,73 8,65 8,46
1997).
a. Penyiapan kurva baku
Kurva baku diperlukan untuk menentukan kadar gula yang tereduksi. Dari
kurva baku akan diperoleh persamaan kurva baku yang merupakan hubungan
antara absorbansi versus kadar yang berupa garis lurus dan digunakan untuk
menentukan kadar gula reduksi dari maltodekstrin.
Kurva baku dibuat dengan menggunakan 5 titik sehingga diperoleh suatu
persamaan garis lurus dengan konsentrasi 2 mg/ml, 4 mg/ml, 6mg/ml, 8 mg/ml
dan 10 mg/ml. Pada setiap konsentrasi ditambahkan reagensia nelson. Reagensia
nelson mengandung ion Cu yang akan bereaksi dengan gula reduksi menghasilkan
endapan berwarna merah bata.
2Cu+ + 2 OH- → Cu2O↓ + H2O
merah bata
Sifat mereduksi ini disebabkan oleh adanya gugus aldehid atau keton
bebas yang terdapat dalam karbohidrat. Reaksi reduksi ini dapat dipercepat
dengan pemanasan. Pemanasan dapat meningkatkan energi kinetik dari molekul-
molekul sehingga akan meningkatkan kecepatan reaksi pula. Setelah terbentuk
endapan Cu2O ditambahkan reagen arsenomolibdat yang berfungsi untuk
melarutkan kembali endapan Penambahan reagensia arsenomolibdat berfungsi
untuk melarutkan kembali endapan Cu2O sehingga larutan akan berubah warna
dari biru muda menjadi biru kehijauan. Semakin banyak gula reduksi yang
terkandung dalam campuran, semakin pekat warna hijaunya. Perbedaan warna ini
dapat dibaca pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 540 nm sehingga
dapat dihitung kadar gula reduksi yang terkandung dalam campuran tersebut.
Kurva baku dekstrose anhidrat dapat dilihat pada gambar 4.
30
0.9
0.8
0.7
absorbansi (nm)
0.6 y = 0,0031 + 0,0077x
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120
a. Uji organoleptis
Hasil dari uji organoleptis maltodekstrin dibandingkan dengan standar
yang terdapat dalam Martindale (1993). Uji organoleptis dilakukan dengan
mengamati bentuk, warna, rasa, dan bau dari maltodekstrin. Maltodekstrin
berbentuk serbuk halus karena pada saat pembuatan diayak dengan ayakan mesh
no 60 sehingga ukuran partikelnya dapat lebih homogen. Pengeringan yang
dilakukan pada pembuatan maltodekstrin berpengaruh pada warna dari
maltodekstrin. Pengeringan yang dilakukan dengan spray drying akan
menghasilkan warna yang lebih putih sementara bila dilakukan dengan oven
warnanya lebih gelap. Hal ini terjadi karena pengeringan dengan spray drying
proses pengeringannya terjadi dengan cepat. Apabila dibandingkan dengan pati
beras maka pati beras memiliki warna yang lebih putih. Dari tabel VI diketahui
bahwa maltodekstrin memiliki rasa agak manis. Peningkatan nilai DE akan
meningkatkan gula reduksi walaupun dalan jumlah sedikit oleh karena itu
maltodekstrin mempunyai rasa agak manis, walaupun ini tidak sesuai dengan
standarnya yaitu bahwa maltodekstrin tidak berasa. Maltodekstrin tidak
memiliki bau, hal ini sama dengan pati beras yang juga tidak berbau.
32
5. Pembuatan proniosom
Pada pembuatan proniosom digunakan slurry method karena waktu
pembuatan yang lebih cepat dan tidak membutuhkan peralatan khusus. Formula
yang digunakan adalah maltodekstrin dan sorbitan monostearat. Maltodekstrin
berfungsi sebagai carrier yang akan disalut oleh surfaktan (Blazek-Welsh and
Rhodes, 2001). Digunakan sorbitan monostearat sebagai penyalut karena mudah
didapat dan sudah dibuktikan dapat membentuk niosom.
Proniosom dibuat dengan menambahkan larutan stok surfaktan yaitu span
60 yang dilarutkan dalam kloroform. Pelarut yang digunakan untuk larutan stok
adalah kloroform karena dapat melarutkan sorbitan monostearat dan mudah
menguap sehingga mempercepat penyalutan. Campuran diuapkan dengan rotary
evaporator untuk menguapkan kloroform dan membantu penyalutan
maltodekstrin. Proniosom yang sudah jadi disimpan dalam desikator selama 2
malam untuk menyerap kelembaban dan kemudian disimpan dalam almari es agar
proniosom yang terbentuk tidak rusak dan tetap kering.
34
a. Uji organoleptis
Uji organoleptis meliputi bentuk, warna, rasa dan bau. Dari hasil uji
organoleptis menunjukkan bahwa proniosom formula 1 berbentuk kasar. Semakin
banyak jumlah surfaktan yang menyalut maltodekstrin maka permukaannya akan
semakin kasar. Proniosom keseluruhannya berwarna putih tulang dan tidak
berbau. Warna putih tulang ini disebabkan oleh surfaktan yang menyalut
maltodekstrin berwarna kuning pucat sehingga akan mempengaruhi warna dari
proniosom. Dari tabel VII diketahui bahwa proniosom tidak berasa.
b. Uji kadar air
Kadar air akan berpengaruh pada stabilitas proniosom selama
penyimpanan. Semakin banyak surfaktan yang ditambahkan, semakin turun kadar
airnya. Hal ini disebabkan jumlah surfaktan yang menyalut maltodekstrin juga
35
terjadi karena proniosom yang dihasilkan juga semakin kasar yang berarti
kemampuan partikel untuk mengisi ruang antar partikel berkurang sehingga dapat
dikatakan memiliki indeks kompresibilitas yang semakin baik.
f. Penetapan densitas
Densitas merupakan perbandingan antara bobot granul dengan volume
granul. Densitas massa akan berpengaruh pada sifat alir, semakin besar densitas
masssa maka akan semakin baik pula sifat alir serbuk tersebut. Dari hasil uji
menunjukan terjadinya peningkatan densitas dari formula 1 hingga formula 4.
Formula 4 memiliki densitas yang paling tinggi karena penambahan surfaktan
pada formula 4 merupakan yang paling besar. Semakin banyak surfaktan maka
densitas yang diperoleh juga akan semakin besar yang juga berarti semakin berat
serbuk proniosom. Semakin berat partikel akan membuat partikel lebih mudah
jatuh dan mengalir karena mempunyai kecenderungan untuk mengalir ke bawah
karena gaya beratnya.
7. Pembuatan niosom
Niosom dibuat dari hidrasi serbuk proniosom. Hasil dari hidrasi ini akan
menghasilkan suspensi. Untuk membuat niosom yang berisi obat maka niosom
dihidrasi dengan menambahkan larutan obat. Sebagai pembanding digunakan
niosom kosong yang tidak berisi obat. Model obat yang digunakan adalah
ibuprofen karena mudah larut dalam kloroform dan tahan terhadap pemanasan
(Anonim, 1995). Selain itu ibuprofen murah dan mudah didapat. Dalam industri
farmasi, ibuprofen cukup laku di pasaran karena khasiatnya sebagai analgesik
serta anti-inflamasinya.
Ibuprofen bersifat hidrofobik sehingga akan dihasilkan suspensi niosom
yang terpisah dengan jelas. Hal ini terjadi karena ibuprofen terikat dengan kuat
pada molekul span 60 yang juga bersifat hidrofob sehingga menyebabkan
partikel-partikel dalam suspensi menggumpal. Hal ini dapat dibandingkan pada uji
mikroskopi antara niosom kosong dengan niosom yang berisi dengan obat yaitu
pada suspensi yang tidak mengandung obat, agregasi partikel lebih sedikit
dibandingkan suspensi yang mengandung obat.
37
8. Karakterisasi niosom
a. Mikroskop optik
Karakterisasi dengan mikroskop optik ini dilakukan dengan
membandingkan niosom yang berisi obat dengan niosom tanpa obat. Suspensi
niosom dari masing-masing formula dilihat dibawah mikroskop optik dengan
perbesaran 100x kemudian diamati bentuk molekul.
A B
a
a
C D
a a
E F
a
a
G H
a
a
Gambar 5. Hasil uji mikroskopi suspensi niosom dengan perbesaran 100x ket.A.
Niosom kosong Formula 1, B. Niosom isi Formula 1, C. Niosom kosong Formula
2, D. Niosom isi Formula 2, E. Niosom kosong Formula 3, F. Niosom isi Formula
3, G.Niosom kosong Formula 4, H.Niosom isi Formula 4.
a. menunjukan terjadinya aggregasi
Dari hasil uji mikroskopi terlihat adanya partikel kecil berbentuk bulat
yang diduga vesikel niosom yang dihasilkan dari hidrasi proniosom. Pada gambar
5 ditunjukkan bahwa pada suspensi yang tidak mengandung obat memiliki
38
agregasi partikel yang lebih sedikit dibanding suspensi yang mengandung obat.
Agregasi partikel pada suspensi yang tidak mengandung obat dapat terjadi karena
sistem yang yang terbentuk tidak stabil. Sistem tersebut dapat terstabilkan dengan
memberikan muatan-muatan listrik pada permukaan partikel karena muatan yang
sama menghasilkan tolak menolak yang mencegah koagulasi partikel. Pada
suspensi yang mengandung obat, agregasi partikelnya lebih besar karena sistem
yang terbentuk lebih stabil. Hal ini terjadi karena ibuprofen terikat dengan kuat
pada molekul span 60 yang juga bersifat hidrofob sehingga menyebabkan
partikel-partikel dalam suspensi menggumpal. Walaupun demikian agregasi
dalam sistem suspensi akan menyebabkan terbentuknya endapan dengan cepat.
Telah dibuktikan bahwa penambahan sejumlah kecil DCP cenderung dapat
menstabilkan sistem span 60-niosom dengan memberikan muatan listrik negatif
yang akan mencegah agregasi niosom. Kombinasi surfaktan yang biasa dipakai
dalam berbagai penelitian adalah span 60, kolesterol dan disetilfosfat (DCP)
sehingga akan menghasilkan niosom yang stabil. Kolesterol dipakai untuk
menambah kekakuan pada proniosom sehingga penyalutan yang terjadi rapat dan
tidak mudah bocor, sedang DCP berfungsi untuk menstabilkan proniosom dengan
memberi muatan listrik pada permukaan partikel. Tetapi kolesterol dan DCP
mahal dan sulit didapat sehingga tidak digunakan dalam penelitian ini.
Gambar 5 menunjukkan perbedaan pada suspensi niosom yang
mengandung obat dan yang tidak mengandung obat. Untuk mengetahui jumlah
obat yang dapat dibawa oleh niosom dilakukan penetapan jumlah obat yang
dibawa niosom.
b. Penetapan jumlah obat yang dibawa
Jumlah obat yang dibawa oleh niosom ditetapkan dengan metode
sentrifugasi karena metode ini lebih cepat. Suspensi niosom yang telah diperoleh
disentrifuse dengan kecepatan 4000 rpm yang berfungsi untuk mempercepat
pemisahan dengan cara meningkatkan gaya gravitasi sehingga pemisahan terjadi
dengan cepat. Dari hasil sentrifuse ini diperoleh supernatan yang mengandung
obat yang larut atau tidak dibawa oleh niosom. Kadar obat yang larut ini
kemudian ditetapkan kadarnya secara spektrofotometri. Apabila jumlah obat yang
larut sama dengan jumlah obat yang ditambahkan maka diasumsikan tidak ada
39
obat yang dibawa, apabila berbeda diperkirakan telah terbentuk niosom yang
dapat membawa obat. Jumlah obat yang dibawa ditentukan dengan menghitung
persentase selisih jumlah obat yang ditambahkan dan jumlah obat yang larut (Jufri
et al, 2004).
0.8
0.7
0.6
Absorbansi (nm)
y = 0,0073 + 0,7151x
0.5
y = 0,0073 + 0,007151 x
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.1
Konsentrasi Ibuprofen (mmol/L)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Maltodekstrin DE 5-10 yang berasal dari pati beras dapat dibuat niosom.
2. Variasi total surfaktan yang ditambahkan tidak mempengaruhi jumlah obat
yang dibawa oleh niosom. Konsentrasi surfaktan yang digunakan pada
formula 1 diperkirakan sudah mencapai nilai Critical Micelle Concentration
(CMC) sehingga peningkatan konsentrasi surfaktan tidak menyebabkan
perbedaan yang terlalu jauh.
3. Niosom dapat digunakan sebagai penghantar obat ibuprofen dengan
persentase yang tinggi dengan rata-rata 99,53%.
B. Saran
1. Perlu dilakukannya penelitian tentang pembuatan niosom yang berbasis
maltodekstrin dari pati jenis lain.
2. Perlu dilakukannya penelitian pembuatan niosom dengan metode yang lain.
3. Perlu dilakukan penelitian lanjut untuk membuat niosom dengan obat dalam
bentuk sediaan.
4. Perlu dilakukan penelitian dengan model obat yang berbeda.
42
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2006, The United Stated Pharmacopeia, edisi XXIV, Webcom Limited,
Toronto, 3368
Anwar, E., Djajadisastra, J., Yanuar, A., Bahtiar, A., 2004, Pemanfaatan
Maltodekstrin Pati Terigu Sebagai Eksipien Dalam Formula Sediaan
Tablet dan Niosom, Majalah Ilmu Kefarmasian, 1(1): 34-36
Biju, S.S., Talegaonkar, S., Mishra, P.R., Khar, R.K., 2006, Vesikular System: An
Overview, Indian Journal Of Pharmaceutical Science, 68(2): 141-153
Deman, J.M., 1997, Kimia Makanan, Institut Teknologi Bandung, Bandung, 455
Fassihi, A.R., and Kanfer, I., 1986, Effect of Compressibility and Powder Flow
Properties and Tablet Weigh Variation in Drug Development and Industry
Pharmacy, Marccel Dekker Inc, 1947-1966
Gibaldi, M., and Fieldman, S., 1970, Mechanism of Surfactant Effect On Drug
absorbtion, J. Pharm. Sci, 5
Gibaldi, M., 1984, Biopharmaceiutic and Clinical Pharmacokinetics, 3th ed, Lea
& Febiger, Philadelphia, 15-26
43
Jufri, M., Anwar, E., Djajadisastra, J., 2004, Pembuatan Niosom Berbasis
Maltodekstrin DE 5-10 Dari Pati Singkong, Majalah Ilmu Kefarmasian,
1(1): 10-20
Lachman, L., and Lieberman, H. A., 1994, Teori dan Praktek Farmasi Industri,
Diterjemahkan oleh Siti Suyatmi, UI Press, Jakarta, 111, 142, 146-147,
339-357
Martin, A., Swarbrick, J., Cammarata, A., 1983, Farmasi Fisik, UI-Press,1064-
1067
McKee, T., McKee, J.R., 2003, Biochemistry: The Molecular Basis of Life, 3th,
McGraww-Hill, New York
Moore, G.R.P., Canto, L.R., Amante, E.A., Soldi, V., 2005, Cassava and Corn
Starch In Maltodextrin Production, Quinica Nova 28(4)
Patel, S., Natavarial, M., Mukesh, R., 2006, Liposome: A Versatile Platform for
Targeted Delivery of Drugs, available at
http://www.pharmainfo.net/exclusive/reviews/liposom:_a_versatile_platfo
rm_for_targeted_delivery_of_drug (diakses tanggal 23 Januari 2007)
Sudarmadji, S., Haryono, B., Suhardi, 1995, Prosedur Analisa Untuk Bahan
Makanan dan Pertanian, Liberty, Yogyakarta, 34-35
Voigh, Rudolf, 1995, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Gajah Mada University
Press, 890-891
44
Whistler, R., Bemiller, J.N., Paschall, E., 1984, Starch: Chemistry and
Technology, 2nd , Academic Press Inc, London: 88, 516, 524