Anda di halaman 1dari 13

Tugas Kelompok

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DALAM MEMBENTUK


PERILAKU TAAT ASAS PADA PESERTA DIDIK

KELOMPOK I

Andi Tenri Sannah


Wahyuni
Rahmat H.S.
Miftah Sari
Muhammad Husnul Khuluq

PENDIDIKAN MATEMATIKA BILINGUAL


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2010
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
DALAM MEMBENTUK PERILAKU TAAT ASAS PADA PESERTA DIDIK

A. Pendahuluan
Pendidikan adalah kebutuhan setiap manusia di dunia ini. Pendidikan
merupakan salah satu prasyarat utama dalam meningkatkan martabat dan kualitas
bangsa. Begitu pentingnya pendidikan bagi manusia, karena dengan pendidikan
manusia memperoleh pengetahuan dan kecerdasan serta dapat mengembangkan
kemampuan, sikap dan tingkah laku.
Ini sejalan dengan pendapat Bloom dalam Antonius (2009) yang
menyebutkan bahwa tujuan pendidikan pada dasarnya mencakup tiga ranah
pokok, yakni ranah kognitif yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek
intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir; ranah
afektif yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi,
seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri; dan ranah psikomotorik
yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik
seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa setiap proses pembelajaran pada
akhirnya akan diarahkan untuk meningkatkan ketiga aspek tersebut kepada siswa,
tak terkecuali matematika. Ini sedikit berbeda dengan pandangan masyarakat pada
umumnya mengenai pembelajaran matematika. Umumnya mereka memandang
bahwa pembelajaran matematika bekerja di tataran kognitif saja dan tidak sama
sekali menyentuh afektif maupun psikomotorik siswa.
Tentunya, kami kurang sependapat dengan pandangan tersebut. Itulah
yang memotivasi kami untuk memilih topik afektif dalam pembelajaran
matematika dalam makalah kami. Dimana aspek afektif yang kami maksudkan
dalam makalah ini adalah sikap positif terhadap matematika berkaitan dengan
salah satu karakteristik matematika yaitu bertumpu pada kesepakatan.

1
B. Sekilas Tentang Afektif
Sebagaimana yang kami sebutkan pada bagian latar belakang bahwa
tujuan pendidikan dalam taksonomi bloom itu mengacu kepada tiga ranah
penting. Ketiga ranah tersebut adalah kognitif (pengetahuan), psikomotor
(keterampilan), dan afektif. Keterpaduan yang seimbang dari  ketiga ranah inilah
yang diharapkan dapat membentuk kompetensi seseorang.
Hamid (2009) menyebutkan bahwa ranah afektif adalah ranah yang
berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti
perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Pembelajaran afektif berbeda dengan
pembelajaran intelektual dan keterampilan, karena segi afektif sangat bersifat
subjektif, lebih mudah berubah, dan tidak ada materi khusus yang harus
dipelajari.
Ada lima tipe karakteristik afektif yang penting, yaitu sikap, minat, konsep
diri, nilai, dan moral.
1. Sikap, yaitu suatu kecenderungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka
terhadap suatu objek.
2. Minat, yaitu kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu yang
mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas,
pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian.
3. Konsep diri, yaitu evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan
kelemahan yang dimiliki.
4. Nilai, menurut Rokeach (1968), nilai merupakan suatu keyakinan tentang
perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap
buruk.
5. Moral, yaitu segala sesuatu yang berkenaan dengan perasaan salah atau benar
terhadap kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang
dilakukan diri sendiri.
(Hamid, 2009)

2
Untuk pembahasan lebih lanjut, kami akan memfokuskan pembahasan
pada salah satu aspek afektif yakni sikap yang dipersempit lagi menjadi sikap
siswa terhadap matematika.
Saondi (2008 : 90) menyatakan bahwa sikap siswa terhadap matematika
adalah kecenderungan untuk menerima atau menolak matematika. Agar siswa
dapat menerima pelajaran matematika atau memberikan respon positif setelah
mengikuti pelajaran matematika perlu ditanamkan sikap positif siswa terhadap
matematika. Artinya setelah siswa belajar matematika, sikap siswa lebih positif
terhadap matematika (mempunyai respon positif atau lebih menyukai
matematika). Sikap positif siswa terhadap pelajaran menjadi hal yang sangat
penting untuk meningkatkan kepercayaan dirinya untuk meningkatkan prestasi
dalam belajar.
Hal senada juga diungkapkan oleh Baso Intang Sappaile dalam Wahyudi
(2009) bahwa sikap siswa terhadap matematika berpengaruh terhadap prestasi
belajar matematika. Sikap positif terhadap matematika yang dimaksudkan antara
lain: terpesona dengan matematika; berminat dan termotivasi; gembira dan
menyukai matematika; menghargai maksud, kekuatan, dan relevansi matematika
dalam kehidupan; kepuasan yang tumbuh dari keberhasilan dan keyakinan akan
kemampuannya mengerjakan matematika.

C. Sekilas Tentang Karakteristik Matematika


Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang memiliki kajian
sangat luas sehingga masing-masing ahli bebas mengemukakan pendapatnya
tentang matematika berdasarkan sudut pandang, kemampuan, pemahaman, dan
pengalamannya masing-masing. Sehingga tidak ada pendefenisian secara pasti
mengenai matematika itu sendiri. Hal yang memungkinkan untuk diamati oleh
para ahli dari matematika itu sendiri ialah karakteristik atau ciri yang melekat
pada matematika itu sendiri.

3
Dalam bukunya, Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia, Soedjadi
(2000 : 13 – 19) menyebutkan 6 karakteristik matematika secara umum yaitu:
1. Memiliki objek kajian yang abstrak; matematika mempunyai objek kajian
yang bersifat abstrak, walaupun tidak setiap objek abstrak adalah
matematika;
2. Bertumpu pada kesepakatan, yaitu simbol-simbol dan istilah-istilah dalam
matematika merupakan kesepakatan atau konvensi yang penting;
3. Berpola pikir deduktif, diartikan sebagai pemikiran yang berpangkal dari hal
yang bersifat umum diterapkan atau diarahkan kepada hal yang bersifat khusus;
4. Konsisten dalam sistemnya, yaitu dalam matematika terdapat berbagai macam
sistem yang dibentuk dari beberapa aksioma dan memuat beberapa teorema;
5. Memiliki simbol yang kosong dari arti, di dalam matematika banyak sekali
terdapat simbol yang membentuk kalimat dalam matematika yang biasanya
disebut model matematika;
6. Memperhatikan semesta pembicaraan. Benar salahnya atau ada tidaknya
penyelesaian suatu soal atau masalah, ditentukan oleh semesta pembicaraan
yang digunakan.
Lebih lanjut, kami akan membahas mengenai salah satu karakteristik
matematika yaitu bertumpu pada kesepakatan.

Pada tahap awal, matematika terbentuk dari pengalaman manusia dalam


dunianya secara empiris, karena matematika sebagai aktivitas manusia kemudian
yang kemudian diproses dalam dunia rasio. Selanjutnya dilakukan analisis dan
sintesis dengan penalaran di dalam struktur kognitif, sehingga sampailah pada
suatu kesimpulan berupa konsep-konsep matematika. Agar konsep-konsep
matematika yang telah terbentuk dapat dipahami orang lain dan dapat dengan
mudah dimanipulasi secara tepat, maka digunakan notasi dan istilah yang cermat,
kemudian disepakati bersama secara universal yang dikenal dengan bahasa
matematika. (Rohman, 2009).

4
Dalam matematika, kesepakatan atau konvensi merupakan tumpuan yang
amat penting. Kesepakatan yang amat mendasar adalah aksioma (postulat,
pernyataan pangkal yang tidak perlu pembuktian) dan konsep primitif (pengertian
pangkal yang tidak perlu didefinisikan). Aksioma yang diperlukan untuk
menghindari berputar-putar dalam pembuktian. Sedangkan konsep primitif
diperlukan untuk menghindari berputar-putar dalam pendefinisian. (Sumardyono,
2004 : 38).
Beberapa aksioma dapat membentuk suatu sistem aksioma, yang
selanjutnya dapat menurunkan beberapa teorema. Dari satu atau lebih konsep
primitif dapat dibentuk konsep baru melalui pendefinisian.

D. Teori Behavioral
Pada bagian ini, kami akan memberikan sedikit gambaran mengenai teori
behavioral berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh Petrovich Pavlov dan B.F.
Skinner.
1. Percobaan Ivan Petrovich Pavlov (1849 – 1936)
Pavlov adalah seorang behavioristik terkenal dengan teori
pengkondisian asosiatif stimulus-respons. Ia menemukan adanya stimulus
netral, seperti sebuah nada atau sinar untuk membentuk perilaku (respon).
Dalam hal ini, eksperimen yang dilakukan oleh Pavlov menggunakan anjing
sebagai subyek penelitian.
Pertama-tama, anjing diberikan sebuah makanan maka secara otonom
anjing akan mengeluarkan air liur. Jika dibunyikan sebuah bel maka anjing
tidak merespon atau tidak mengeluarkan air liur. Sehingga dalam eksperimen
ini anjing diberikan sebuah makanan setelah diberikan bunyi bel terlebih
dahulu, sehingga anjing akan mengeluarkan air liur akibat pemberian
makanan. Setelah perlakukan ini dilakukan secara berulang-ulang, maka
ketika anjing mendengar bunyi bel tanpa diberikan makanan, secara otonom
anjing akan memberikan respon berupa keluarnya air liur dari mulutnya.

5
Dalam ekperimen ini bagaimana cara untuk membentuk perilaku
anjing agar ketika bunyi bel di berikan ia akan merespon dengan
mengeluarkan air liur walaupun tanpa diberikan makanan. Karena pada
awalnya anjing tidak merespon apapun ketika mendengar bunyi bel. Jika
anjing secara terus menerus diberikan stimulus berupa bunyi bel dan
kemudian mengeluarkan air liur tanpa diberikan sebuah hadiah berupa
makanan. Maka kemampuan stimulus terkondisi (bunyi bel) untuk
menimbulkan respons (air liur) akan hilang. Hal ini disebut dengan
extinction atau penghapusan.
(Hergenhann, 2008 : 180 – 224)
Berdasarkan teori di atas, kita simpulkan bahwa jika sebuah kebiasaan
yang dilakukan secara berulang-ulang dan dalam jangka waktu tertentu, maka
akan terjadi pembentukan perilaku.

2. Percobaaan Burrhusm Frederic Skinner (1904 – 1990)


B.F. Skinner adalah seorang psikolog Amerika Serikat terkenal dari
aliran behaviorisme. Skinner tercatat sebagai psikolog yang paling
berpengaruh pada abad ke-20.
Teori B.F. Skinner didasarkan pada gagasan bahwa belajar adalah
fungsi dari perubahan perilaku terbuka. Perubahan perilaku merupakan hasil
dari respons individu untuk suatu kejadian (stimuli) yang terjadi di
lingkungan. Tanggapan menghasilkan konsekuensi seperti mendefinisikan
kata, memukul bola, atau memecahkan masalah matematika. Ketika Stimulus-
Respon tertentu (SR) pola ini diperkuat (dihargai), individu dikondisikan
untuk merespon. Karakteristik khas operant conditioning relatif terhadap
bentuk-bentuk sebelumnya (misalnya, Thorndike, Hull) adalah bahwa
organisme dapat memancarkan tanggapan bukan hanya memunculkan respons
karena adanya stimulus eksternal.

6
Salah satu eksperimen Skinner yaitu meneliti satu hewan favoritnya,
merpati. Skinner menempatkan serangkaian merpati lapar di kandang dengan
sebuah pedal di salah satu dindingnya yang secara otomatis mengantarkan
makanan kepada merpati saat pedalnya di tekan. Secara berkala ia
memperhatikan perilaku burung merpati melakukan tindakan yang sama terus
menerus. Ketika merpati menekan pedal dan mendapatkan makanan yang
menjadi stimulus atau ransangan, maka merpati akan menerima ransangan
tersebut dengan terus menekan pedalnya.
Inti pemikiran Skinner adalah setiap makhluk hidup bergerak karena
mendapat rangsangan dari lingkungannya. Sistem tersebut dinamakan operant
conditioning. Setiap makhluk hidup pasti selalu berada dalam proses
bersinggungan dengan lingkungannya. Di dalam proses itu, makhluk hidup
menerima rangsangan atau stimulan tertentu yang membuatnya bertindak
sesuatu. Rangsangan itu disebut stimulan yang menggugah. Stimulan tertentu
menyebabkan manusia melakukan tindakan-tindakan tertentu dengan
konsekuensi-konsekuensi tertentu.
(Ardi, 2010)

E. Menanamkan Afektif melalui Pembelajaran Matematika


Proses pendidikan pada dasarnya bertujuan memberikan sentuhan
kognitif, afektif, dan psikomotorik kepada peserta didik. Pembelajaran
matematika sebagai bagian dari proses pendidikan tentunya memiliki tujuan yang
sama. Sebagaimana yang telah kami tegaskan pada bagian pendahuluan bahwa
pembelajaran matematika juga dapat memberikan kontribusi yang sangat besar
terhadap penanaman afektif peserta didik.
Ide penanaman afektif melalui pembelajaran matematika berdasar pada
karakteristik matematika dikaitkan dengan karakteristik dan tingkatan afektif.
Sebagai pengaitnya, kami mengambil teori behavioral.

7
Alur pemikirannya bahwa pada dasarnya matematika dengan karakteristik
yang ia miliki pada dasarnya telah mencerminkan kondisi afektid tertentu. Dalam
hal ini, ada aturan-aturan tertentu yang mutlak berlaku dalam matematika.
Sebagai contoh, salah satu karakteristik matematika adalah bertumpu pada
kesepakatan. Karena adanya karakteristik tersebut, maka mereka yang bekerja
dengan matematika diwajibkan taat pada aturan tersebut. Mereka harus ikut pada
kesepakatan-kesepakatan tertentu dalam matematika itu sendiri agar mereka tidak
kehilangan arah selama bekerja dengan matematika itu.
Dari contoh di atas, jelas terlihat bahwa matematikawan atau siapa pun
yang bekerja dengan matematika dituntut untuk memiliki afektif-afektif tertentu
selama bekerja dengan matematika. Inilah yang kemudian kami sebut sebagai
afektif matematika atau sikap matematika.
Selanjutnya, sikap matematika tersebutlah yang dibiasakan selama proses
pembelajaran matematika berlangsung. Sehingga, diharapkan output-output dari
pembelajaran matematika selain memiliki kognitif yang baik juga memiliki
afektif yang baik bukan hanya ketika bekerja di matematika tetapi juga dalam
lingkungan sosial.

Sikap sosial
Pem biasa anSKa Siikrakapkte apmrisA atikfekteM matsi atiem kati ka

PBM
Pembelajaran matematika yang kami maksudkan di sini adalah
pembelajaran matematika yang berbasis afektif. Berdasarkan hasil elaborasi kami
dari tiga aspek yakni tingkatan afektif, karakteristik matematika, dan teori

8
behavioral (Skinner dan Pavlov), kami merumuskan beberapa fase dalam
pembelajaran yang berbasis afektif, yaitu:

Fase 1 (Pengenalan)
Guru Mengkondisikan Siswa untuk Tertarik Belajar Matematika

Pada fase ini, guru merangsang siswa untuk tertarik belajar matematika.
Pada tahap ini, guru hendaknya memberikan rangsangan-rangsangan agar siswa
tertarik belajar matematika. Rangsangan tersebut dapat berupa gambaran-
gambaran aplikatif terhadap konsep matematika, profil orang-orang sukses dalam
matematika terutama pada konsep yang akan diajarkan, atau dapat berupa iming-
iming reward bagi mereka yang tingkat pencapaiannya baik. Rangsangan ini
diberikan sampai siswa betul-betul merasa sangat butuh dengan konsep
matematika yang akan diajarkan. Sehingga pada saat pembelajaran berlangsung,
mereka akan memperhatikan pelajaran dengan saksama.
Pengkondisian siswa pada fase ini mirip dengan pengkondisian di teori
behavioral. Dimana burung maupun anjing dibuat selapar mungkin. Ketika anjing
atau burung tersebut betul-betul lapar, maka spontan mereka diberi makanan.
Respon terlihat jelas, dengan segera burung dan anjing tersebut menyerbu
makanan yang diberikan.

Fase 2 (Respon)
Guru Mengamati Sikap Siswa terhadap Pembelajaran Matematika

Pada fase ini, guru memperhatikan respon siswa setelah pemberian


rangsangan tadi. Di sini, guru memastikan bahwa siswa betul-betul siap belajar
matematika.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari makalah yang kami buat, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
matematika yang baik (menstimulus sikap positif siswa terhadap matematika)
dapat membantu membentuk perilaku positif peserta didik.

B. Saran
Berdasarkan makalah yang kami buat, kami sarankan kepada:
1. Guru, untuk lebih kreatif dalam menyajikan materi matematika sehingga
siswa dapat memberikan sikap positif terhadap matematika.
2. Peneliti, untuk mengembangkan model-model pembelajaran yang dapat
membantu siswa menyukai matematika.

10
DAFTAR PUSTAKA

Antonius. 2010. Menanamkan Ranah Afektif. http://www.harian-


global.com/index.php?.Diakses pada tanggal 7 November 2010.
Ardi. 2010. Burhuss Frederick Skinner (Tokoh Psikologi Behaviorisme).
http://www.psikologimania.co.cc/2010/03/burhuss-frederick-skinner-
tokoh.html. Diakses pada tanggal 20 November 2010.
Hamid, Huzaifah. 2009. Ranah Penilaian Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik.
http://zaifbio.wordpress.com/2009/11/15/ranah-penilaian-kognitif-afektif-
dan-psikomotorik. Diakses pada tanggal 7 November 2010.
Hergenhann, B.R. dan Matthew H. Olson. 2008. Theories of Learning (Teori Belajar)
Edisi Ketujuh. Jakarta: Kencana.
Rohman, Faisal. 2009. Matamatika.
http://faisalrohman.blogspot.com/2009/05/matamatika.html. Diakses pada
tanggal 20 November 2010.
Saondi, Ondi. 2008. Menumbuhkembangkan Berpikir Logis dan Sikap Positif
terhadap Matematika melalui Pendekatan Matematika Realistik. Jurnal
Equilibrium Vol. 4, No. 8. http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/4808869
5.pdf. Diakses pada tanggal 20 November 2010.
Soedjadi, R.. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia – Konstatasi Keadaan
Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan. Dirjen Dikti Departemen
Pendidikan Nasional.

11
Sumardyono. 2004. Karakteristik Matematika dan Implikasinya terhadap
Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Pusat Pengembangan Penataran
Guru Matematika Dikdasmen Depdiknas.
Wahyudi. 2009. Sikap. http://yudiuksw.multiply.com/journal/item/3. Diakses pada
tanggal 12 November 2010.

12

Anda mungkin juga menyukai