Oleh: Prasetyo Adi WW., S.S., M.Hum. Hampir semua orang Jawa memeluk agama Islam 99%. Sisanya memeluk agama Kristen, Katolik, Hindhu, Budha dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Agama Islam di Jawa ada 2 varian:
1. Agama Islam yang tercampur dengan
unsur-unsur keagamaan Hindu, Budha, serta unsur-unsur keagamaan daerah setempat yang oleh orang Jawa disebut agama Jawi atau Abangan. 2. Agama Islam yang lebih bersifat dogmatik dan puritan yang disebut dengan istilah Islam Santri atau Putihan. Religi di Jawa mengalami beberapa perkembangan sejarah yang sangat unik. Di bawah ini akan diuraikan sejarah perkembangannya. 1. Religi orang Jawa pada zaman dahulu didasarkan pada cara-cara memuja nenek moyang yang sesuai dengan keadaan setempat, kepercayaan akan adanya ruh (Animisme ) serta kekuatan sakti dalam gejala-gejala alam dan benda-benda keramat yang ada di sekeliling tempat tinggalnya (Dinamisme). 2. Agama Hindu diperkirakan datang ke pulau Jawa dalam abad ke 4, dari India Selatan melalui jalur- jalur perdagangan. Tetapi sisa-sisa tertua dari peradaban Hindu-Jawa yang gemilang berasal dari abad 8 M. Dalam jaman itu berkembang pula agama Budha-Jawa. Peninggalan-peninggalan bangunan keagamaan Kuna adalah Candi Prambanan, Candi Borobudur. Agama Hindu-Jawa dan Budha Jawa agaknya hidup berdampingan penuh kedamaian. Agama Hindu dan Budha disebarkan melalui perdagangan, kemudian disebarkan oleh para brahmana serta bhiksu berbangsa India yang diundang oleh para raja untuk datang ke Jawa sebagai penasehat atau pemimpin upacara. Pada waktu itu India merupakan bagian dunia maju dan negara atau kerajaan-kerajaan di Jawa dianggap sebagai negara-negara berkembang. Hal ini merupakan sebab mengapa kerajaan di Indonesia/pulau Jawa berorientasi kepada kebudayaan di India. Peradaban India juga mempengaruhi para cendekiawan Jawa yang pergi ke India untuk belajar kebudayaan klasik di India, baik mengenai ilmu pengetahuan dan keagamaan. Pengaruh peradaban India di Jawa berkembang pesat sampai abad 15 M. Sejak runtuhnya Majapahit, kebudayaan Hindu Budha digantikan oleh kebudayaan Islam yang pada waktu itu sudah mulai memasuki pulau Jawa di daerah pantai utara. 3. Agama Islam masuk ke pulau Jawa melalui jalur perdagangan dari Sumatera Utara dan Semenanjung Melayu berlangsung antara abad 14 sampai abad 17. Agama Islam yang hidup pada waktu itu dipengaruhi oleh mistik. Unsur mistik ini memang sudah diterima, karena sudah ada dalam agama Hindu-Jawa, sedangkan karya-karya sastra Islam Jawa dituliskan pada awal pengaruh agama Islam menunjukkan pentingnya mistik dalam agama Islam. Selanjutnya untuk agama Islam dogmatik atau puritan baru datang kemudian. Persebaran agama Islam pertama adalah kota- kota pelabuhan di pantai utara Jawa. Tempat- tempat itu kemudian berkembang menjadi makmur dan berkuasa, sehingga lama-lama berhasil merongrong kekuasaan kerajaan Majapahit. Agama Islam disebarkan oleh seorang pemimpin yang disebut Wali yang mengandung ajaran mistik, dengan demikian memudahkan agama Islam itu diterima oleh masyarakat, karena konsep mistik maupun ide-ide mistik bukan hal yang baru. Pusat peradaban Hindu-Budha di Jawa kemudian terpaksa menerima kehadiran agama Islam. Dengan demikian berkembanglah suatu varian dari agama Islam yang bersifat sinkretik atau campuran yang disebut agama Jawi. 4. Agama Jawi Agama Jawi merupakan sistem kepercayaan yang meliputi sejumlah keyakinan, konsep, pandangan, serta nilai-nilai yang berasal dari agama Islam seperti: keyakinan akan adanya Allah, yakin bahwa Nabi Muhamad adalah pesuruh Allah, yakin akan adanya nabi-nabi, yakin adanya tokoh-tokoh Islam keramat, yakin adanya konsep tentang penciptaan alam. Orang-orang yang memeluk agama Jawi juga yakin adanya dewa-dewa yang menguasai alam semesta, memiliki konsep tentang hidup dan kehidupan setelah kematian. Di samping itu juga memiliki keyakinan adanya makhluk-makhluk halus penjelmaan ruh nenek moyang yang menjaga sesuatu tempat, dan sebagainya. Nilai-nilai budaya yang terungkap dalam adat istiadat diinterpretasikan sesuai dengan ajaran agama dan diaktualisasikan dalam kehidupan nyata, maka lahirlah sebutan Islam-Kejawen. Para pemeluknya hidup sebagai umat Islam namun tetap menjunjung tinggi adat istiadat dan nilai-nilai budaya spiritual Jawa. Orang Jawa Kejawen menganggap bahwa Quran sebagai sumber utama dari segala pengetahuan yang ada. Tetapi mereka melakukan aktifitas keagamaan sehari-hari, rata-rata dipengaruhi oleh keyakinan, konsep-konsep, pandangan-pandangan, nilai-nilai budaya dan norma yang kebanyakan berada di dalam pikirannya. Pengetahuan yang mendalam itu terdapat di dalam buku-buku keramat yang diperoleh melalu dukun, kaum atau modin, kyai atau guru. Para guru, kyai, cendekiawan agama Jawi lebih tertarik untuk mendalami kesusasteraan keagamaan Jawa, serta buku-buku Jawa klasik mengenai ajaran moral dan kesusilaan, seperti Wulang Reh, Wedhatama, dan sebagainya. Amênangi jaman edan ewuh aya ing pambudi mèlu edan nora tahan yèn tan mèlu hanglakoni boya kaduman melik kalirên wêkasanipun dilalah karsa Allah bêgja-bêgjane kang lali luwih bêgja kang eling lawan waspada
(Serat Kalatidha, Sinom pupuh I, bait 8).
Di dalamnya terkandung ajaran moral yang begitu mulia dari pujangga Ranggawarsita yang sampai saat ini menjadi butir mutiara nilai budaya Jawa yakni: begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lawan waspada (Sebahagia-bahagianya orang yang lupa, masih lebih bahagia orang yang ingat dan waspada = orang yang bersikap eling dan waspada lebih beruntung daripada orang yang lupa). Orang-orang kejawen ini juga senang pada buku-buku kuna beraliran Islam misalnya serat Menak dan syair-syair Suluk serta kesusasteraan Primbon di mana terdapat keyakinan, konsep pandangan dan nilai budaya yang merupakan bagian besar dari sistem budaya agama Jawi. Agami Jawi mengenal konsep mengenai Tuhan Yang Maha Esa yang dituangkan dalam suatu istilah “Gusti Allah Ingkang Maha Kuwaos” atau Pangeran. Orang mempunyai konsep bahwa Tuhan adalah Sang Pencipta, karena itu merupakan penyebab dari segala kehidupan dunia dan seluruh alam semesta. Agama Jawi juga melakukan upacara-upacara yang penting sebagai tindakan-tindakan keagamaan yang berhubungan dengan agama Islam. Upacara-upacara itu antara lain: upacara sepanjang lingkaran hidup (upacara kelahiran, upacara pernikahan, upacara kematian). Selain itu ada pula upacara berkorban/sesaji perayaan yang berkaitan dengan keselamatan desa, dan juga ngruwat. Semua ritual itu dilakukan oleh orang Jawa yang masih percaya dan jika hal itu tidak dilaksanakan, mereka akan mendapat petaka besar. Misalnya sakit tidak segera sembuh, kecelakaan, kesengsaraan dalam hidupnya dan sebagainya. Di samping agama Jawi, masyarakat Jawa juga ada yang memiliki keyakinan pada satu agama yaitu Islam. Pemeluk agama Islam Puritan yang taat ini disebut Santri. Orang-orang santri melakukan ibadah sesuai aturan yang tertuang dalam Quran. Mereka tidak lagi melakukan upacara di luar ajaran agama, sehingga dapat diketahui agama Islam Puritan ini sangat ketat dalam pelaksanaan upacara. Sebuah ‘misteri’ yang mengherankan bahwa kenyataannya Jawa mampu ngemot dan momong berbagai perbedaan budaya dan peradaban yang masuk tersebut. Bahkan kemudian terbukti pula mampu memberikan suport kejayaan kepada budaya dan peradaban pendatang tanpa kehilangan jatidirinya. Dengan demikian bahwa budaya dan peradaban besar Hindu dan Buddha di Jawa tidak menghilangkan jatidiri Jawa. Ketika kedua agama tersebut surut, orang Jawa kembali kepada kepercayaan aslinya yang sudah bersinergi dengan nilai-nilai budaya dan peradaban Hindu Buddha. Ketika Jawa menerima sebaran Islam serta budaya dan peradaban Arab (Timur Terngah), maka kembali terjadi sinergi baru antara Jawa dan Islam. Aras spiritual yang sering menjadi pegangan orang Jawa yaitu manunggaling kawula Gusti untuk seluruh sistem yang ada di alam semesta ini. Pada sistem inilah diturunkan ‘nilai selaras’ dan ‘nilai rukun’ yang harus dilakoni oleh semua umat manusia sebagai kawula dalam menjalani hidup di dunia. Nilai rukun dan nilai selaras inilah basis utama falsafah Jawa. Artinya, bahwa paugeran (hukum) menjalani hidup menurut ajaran (falsafah) Jawa diperuntukkan untuk menyangga nilai rukun dan nilai selaras tersebut. Maka kemudian ruh tata peradaban Jawa adalah kebersamaan dalam bingkai nilai rukun dan nilai selaras yag diungkapkan dalam kalimat tata tentrem kerta raharja. Hal ini merupakan ide dasar yang menjadi filter dalam rangka Jawa mengadopsi dan beradaptasi dengan budaya dan peradaban lain. Falsafah momot ngemong segala perbedaan dengan damai telah dimiliki masyarakat Jawa sejak dahulu. Lagipula sudah tersemayamkan di hati sanubari setiap lajer Jawa hingga menjadi otot bayu yang terbukti tidak lekang dan lapuk sejak jaman prasejarah hingga saat ini. Maka inilah daya kekuatan yang menjadi ‘ketahanan alamiah’ Jawa dalam pergulatan antar budaya dan peradaban. Kearifan budaya Jawa tersebut adalah merupakan refleksi dari karakteristik budaya Jawa yang ada. Hal ini tercermin sebagai berikut. 1. Religius dan ber-Tuhan Sebelum agama-agama besar masuk ke Jawa, masyarakat Jawa sudah mempunyai kepercayaan adanya Tuhan yang melindungi mereka, dan keber-”agama”-an ini semakin berkualitas dengan masuknya agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Islam, Katholik dan Kristen. 2. Mempunyai toleransi keagamaan yang besar. 3. Sangat menekankan aspek kerukunan, hormat dan keselarasan sosial. Hal ini dimanifestasikan ke dalam Teori Jawa seperti memayu hayuning bawana, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja. 4. Lebih suka memecahkan masalah kehidupan dengan sikap ma-was diri atau tepa slira agar dapat menghindari konflik dengan pihak lain. Dengan cara menggalih, yakni menggabungkan antara rasio dan rasa akan menghasilkan bentuk pemecahan yang efektif dan efisien. Rumus yang dipakai adalah 4 N (Nêng – Ning – Nung – Nang). _Nêng = Meneng Sebelum berbuat harus memperhatikan perasaan yang tenang, terang dan diam. _ Ning = Wening Hanya dengan meneng jiwa akan menjadi jernih (wening). _ Nung = Anung Dengan jiwa yang jernih akan dapat berpikir dengan jernih. – Nang = Menang Akhir dari proses Nêng – Ning – Nung adalah diperoleh hasil pemecahan yang efektif dan efisien. Banyaknya dewa-dewa dalam kasanah Jawa dianggap tidak sejalan dengan ke-"tauhid"-an aatau dianggap sebagai ketahayulan yang tidak masuk akal. Sesungguhnya "Mitologi Jawa" tumbuh dan berkembang sejalan dengan upaya-upaya mensinergikan kepercayaan (teologi) asli Jawa dengan kepercayaan (teologi) dari agama pendatang. Upaya- upaya mensinergikan tersebut dilandasi falsafah dasar Peradaban Jawa yang menyatakan bahwa setiap "titah dumadi" diwajibkan ikut "memayu hayuning bawana“. Titah dumadi dimaksud, bukan sekedar umat manusia saja, tetapi seluruh mahluk ciptaan Tuhan yang kasat mata maupun tidak. Barangkali hanya pada pandangan Jawa saja yang memposisikan seluruh titah dumadi ciptaan Tuhan merupakan saudara bagi umat manusia. Sepintas mitologi yang tergambarkan dalam cerita tersebut begitu rumit dan seperti dongeng yang mengada-ada. Namun bila memahami bahwa dalam kasanah Jawa yang penuh dengan simbul-simbul, maka kerumitan tersebut bisa diurai dan bisa dijelaskan dengan nalar. Pemahamannya didasari pengertian bahwa simbul-simbul dimaksud adalah personifikasi dari sesuatu yang ada namun tidak mudah dijangkau dengan pikiran. Tuntunan Jawa menyatakan bahwa Dzat Tuhan (Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Wenang) adalah "tan kena kinayangapa" atau tidak bisa dijangkau (dihampiri) oleh akal, rasa dan daya spirituil manusia. Sedangkan yang mampu dijangkau adalah tajali (derivate spirituil, emanasi, pancaran) Tuhan. Derivate Tuhan itulah yang kemudian disebut sebagai Pangeran (Gusti) yang keberadaannya transendent dan immanent. Yaitu berujud dzat mutlak hampa (suwung), abadi, tanpa arah tanpa papan, tanpa bentuk (kantha) tanpa warna, sepi dari "ganda-rasa-swara", bersipat elok, bukan laki bukan perempuan bukan banci, merasuki seluruh alam semesta seisinya. Atas dasar pemikiran tersebut, maka pemahaman ‘manunggaling kawula gusti’ adalah suatu tingkatan kesadaran akan hadirnya ‘Dzat Illahi’ pada setiap mahluk hidup. Oleh karena itu, pada kepercayaan Jawa menyebutkan bahwa bertemu Pangeran/Gusti (Dzat Urip) adalah dengan berkiblat ke gua siring urip atau gua batin diri sendiri. Dengan halus Jawa menolak pemahaman Tuhan yang menghuni suatu tempat di bumi. Baik berupa alam seperti gunung, sungai, laut, dll. Lebih-lebih Tuhan yang menghuni arca atau bangunan buatan manusia. Prinsip dasarnya masyarakat Jawa menganggap Tuhan tan kena kinaya ngapa (tidak bisa dibayangkan seperti apa) dan menguasai seluruh alam semesta yang tiada batas. Maka mustahil kalau Tuhan penguasa semesta alam sekedar berada di suatu tempat kecil di bumi ini. Walaupun dinyatakan tempat tersebut paling suci. Kesadaran tertinggi tentang kesemestaan tersebut, bagi pandangan Jawa yang terpenting adalah upaya untuk “titis ing pati”. Artinya mampu mengembalikan semua unsur yang membentuk dirinya kepada sumbernya masing- masing dengan sempurna. Kesempurnaan “titis ing pati” tersebut ditentukan pada perilakunya saat hidup ikut memayu hayuning bawana atau tidak. Kalau tidak, maka rohnya tidak mampu kembali ke sumbernya, “Dzat Sejatining Urip” dan kesasar ke alam lain. Bisa jadi ke alam binatang, alam lelembut, dan bahkan bisa juga kesangsang (terdampar) di kayu watu dan menjadi dhanyang di situ. Kesadaran Semesta juga melahirkan sikap kehati-hatian menjalani hidup. Maka kehati- hatian tersebut menjadikan wong Jawa tidak akan mau membuat kerusakan pada alam semesta. Untuk itu, para leluhur Jawa yang “linuwih kawruhnya” di jaman dulu melakukan observasi mendalam akan fenomena alam semesta. Dari observasi semesta tersebut lahirlah astronomi Jawa yang berujud sistim kalender Jawa. Bukan sekedar kalender untuk memahami perjalanan waktu, namun juga memuat pengaruh “kosmis semesta” pada hidup dan kehidupan manusia (candrasangkala, komariyah) dan (suryasangkala, syamsiyah), tetapi juga ada penanggalan Wuku dan Wetonan yang ternyata sangat rasionil dan matematis perhitungannya. Observasi alam oleh para leluhur linuwih Jawa juga menangkap adanya “enerji spirituil angkasa dan bumi” yang disebut “bapa angkasa” dan “ibu bumi”. Juga mampu menengarai adanya pancaran “enerji spirituil bumi” pada tempat-tempat di bumi. Pada tempat- tempat di bumi yang kuat pancaran enerji spirituilnya kemudian diberi tanda berupa patung lingga-yoni, arca dan candi. Di tempat yang sudah diberi tanda tersebut kemudian dijadikan tempat untuk “manembah” kepada Tuhan dan “persembahan” kepada semesta alam berupa sesaji-sesaji. Tujuannya agar pancaran enerji bumi tersebut menjadi suci auroranya serta positif pengaruhnya kepada kehidupan manusia. Laku budaya yang demikian kemudian mengundang penafsiran sebagai keprimitifan dan dianggap “klenik-tahayul-gugon tuhon” oleh pihak-pihak yang tidak memahami. Aras kesadaran kesemestaan pada budaya dan peradaban Jawa memang “unik” menurut pandangan orang-orang yang tidak memahami. Padahal dari aras tersebut, maka secara alamiah wong Jawa memiliki kesadaran akan tempat hidupnya, alam semesta khususnya bumi. Kesadaran tersebut sedemikain mendalam hingga menghormati bumi sebagai “Ibu Pertiwi”. “Ibu Pertiwi” adalah yang memberi semua kebutuhan hidup manusia. Bumi yang menghidupi manusia adalah pandangan Jawa yang mendasar. Maka banyak laku budaya Jawa yang ditujukan untuk persembahan kepada “Ibu Pertiwi” tersebut. Laku budaya dimaksud mulai dari memberikan sesaji, mantra suara (kidungan dan karawitan), sampai kepada pagelaran tari dan wayang. Tujuan semua laku-budaya tersebut adalah “mempersembahkan keindahan” kepada semesta alam (bapa angkasa lan ibu bumi) tempat manusia hidup. Dengan jelas merupakan bagian dari “melu memayu hayuning bawana”. Prosesi persembahan dalam laku budaya dimaksud selalu pada aras kebersamaan. Gotongroyong semua warga masyarakat. Jejaknya masih bisa kita saksikan pada adat Jawa “Sadranan”. Sesungguhnya saja tradisi “Sadranan” mulanya adalah prosesi ritual masyarakat Jawa dalam rangka persembahan kepada alam semesta. Namun oleh pengaruh “penyebaran agama” telah berubah menjadi prosesi ritual mendoakan arwah leluhur. Bahkan kemudian menjadi bias lebih jauh lagi, sebagai pesta untuk bersenang-senang tanpa makna lagi. Ritual kidungan, ritual gamelan, ritual seni tari, dan pagelaran wayang purwa. Artinya, mempersembahkan keindahan untuk alam semesta yang ditujukan agar alam semesta kembali hayu. Pada aras ke-hayu-an semesta tersebut maka akan berpengaruh kepada “inner” manusia yang berada dalam naungannya. Oleh pengaruh spirituil semesta yang hayu, maka perilaku manusia akan tertata menjadi hayu pula.