Anda di halaman 1dari 12

Dosen: I Made Alit Gunawan

10/3085516/PKU/11779

[2011]

NUTRITION & HEALTH | DEPARTEMENT OF PUBLIC HEALTH

FACULTY OF MEDICINE, GAJAH MADA UNIVERSITY OF YOGYAKARTA, INDONESIA


TUJUAN:

Untuk menganalisis ketersediaan pangan dan konsumsi yang dikaitkan dengan perkembangan
penduduk di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan data SUSENAS selama 3 tahun.

A. Produksi dan Ketersedian Pangan di DIY

Ketersediaan pangan mencerminkan pangan yang tersedia untuk dikonsumsi masyarakat, yang
merupakan produksi domestik yang dikoreksi dengan penggunaan untuk bibit/benih, industri,
kehilangan/susut, ekspor dan stok ditambah impor. Perkembangan ketersediaan pangan di
Indonesia secara keseluruhan masih di atas yang dianjurkan WNPG, yakni untuk energi sebesar
2200 kal/ka/hari dan untuk protein sebesar 57 gr/kap/hari.

Namun data ketersediaan pangan di DIY tidak penulis dapatkan. Oleh karena itu penulis
mencoba menyajikan gambaran ketersediaan pangan di DIY dengan melihat produksi beras
dan jagung sebagai sumber karbohidrat utama masyarakat jawa, kemudian dibandingkan
angka kenaikannya dengan tingkat pertumbuhan penduduk. Data tahun 2007 tercatat dalam
jumlah yang berbeda di dalam laporan BPS tahun 2007 dan 2008. Penulis lebih mempercayai
angka yang dilaporkan oleh BPS tahun 2008. Akan tetapi penulis mencoba menghitung
kenaikan produksi beras dari tahun 2007 – 2009 seperti tersaji dalam tabel dibawah ini.

Produksi Beras dan Jagung per Kapita per Tahun (Kuintal) di Provinsi DIY, 2007 – 2009
Uraian 2007 2008 2009 Rata-rata
Beras 4.482.738 5.044.826 5.257.173 4928245,67
Jagung 2.581.870 3.468.505 3.149.370 3066581,67
Penduduk 3.434.534 3.464.502 3.501.869 3466968,33
Per Kapita
Beras 1,31 1,45 1,50 1,42
Jagung 0,75 0,82 0,90 0,82
Kenaikan Beras -0,48 10,69 3,45 4,55
Sumber: BPS DIY dalam angka

Rata-rata Pertumbuhan Penduduk Per Tahun Provinsi DIY, 2000 – 2009


Uraian 2000-2005 2000-2008 2000-2009 Rata-rata
DIY 1,52 1,33 1,29 1,38
Indonesia 1,40 1,36 1,35 1,37

Membandingkan tingkat kenaikan produksi beras per kapita di DIY dengan laju pertumbuhan
penduduk DIY dari tahun 2007-2009 menunjukkan bahwa produksi pangan DIY lebih tinggi
dari pada laju pertumbuhan penduduknya. Jika menganalisis besarnya angka, rata-rata
kenaikan produksi beras per kapita sebesar 4,55 lebih besar 3x lipat dari rata-rata laju
pertumbuhan penduduknya sebesar 1,38. Berdasarkan perbandingan diatas, dapat
dinyatakan bahwa produksi pangan Provinsi DIY mencukupi kebutuhan wilayahnya. Secara
implisit dapat diduga bahwa DIY merupakan daerah dengan ketahanan pangan yang baik.

Analisis Ketahanan Pangan Tingkat Regional

Untuk mengukur ketahanan pangan tingkat regional, analisis dilakukan dengan


menggunakan pendekatan ketersediaan energi tingkat provinsi dibandingkan dengan norma
kecukupan energi, dengan menggunakan rumus berikut:

Kpi = SPKEi / (1,2 NKE)

SPPG | Muhammad Khotibuddin, dr Page 2


Dimana:

Kpi : ketahanan pangan diwilayah (provinsi)


SPKEi : ketersediaan energi tingkat konsumsi di provinsi (Kkal/kap/hari)
NKE : norma kecukupan energi

Dengan memperhatikan rumus tersebut dan besarnya kontribusi pangan karbohidrat


terhadap konsumsi energi total (K) maka dapat ditentukan status ketahanan pangan di
wilayah yang bersangkutan (Suhardjo dan Martianto, 1996 dalam Saliem dkk., 2001), dengan
kriteria sebagai berikut:
 Tidak tahan (rawan pangan), jika KP < K/1,2
 Tahan pangan (tidak rawan) kurang terjamin, jika K/1,2 < KP < K
 Tahan pangan (tidak rawan) terjamin, jika KP > K

Dimana: KP = tingkat ketahanan pangan regional


K = besarnya kontribusi pangan karbohidrat terhadap konsumsi energi total
1,2 merupakan angka ketetapan (dengan catatan sudah diperhitungkan kelebihan
20% dari kecukupan minimun)

Untuk mengetahui tingkat kecukupan gizi digunakan Norma Kecukupan Gizi (NKG) menurut
WNPG VI, NKG yang dihitung dalam studi ini hanya untuk energi (NKE). NKE regional dihitung
berdasarkan komposisi penduduk di daerah (tingkat provinsi) yang proporsi penduduknya
disebar menurut kelompok umur sesuai dengan pengelompokan umur di WNPG dengan
menggunakan metode pengali Sprangue (Sprangue Multipliers).

Keterbatasan kami dalam analisis ini adalah tidak tersedianya data ketersediaan energi
tingkat Provinsi sehingga numerator rumus diatas tidak terpenuhi. Tidak adanya data
tersebut karena BPS tidak menyediakan data ketersediaan energi (Kkal/kap/hari) secara
langsung/siap pakai. Penulis menduga bahwa diperlukan satu tahapan langkah transformasi
data produksi pangan ke dalam satuan energi dengan mengkonversikan terlebih dahulu
dengan Daftar Konversi Zat Gizi. Disinilah letak keterbatasan analisis kami sehingga kami
tidak bisa menentukan secara lebih akurat tingkat ketahanan pangan di Provinsi DIY.

B. Konsumsi Pangan di DIY

Evaluasi konsumsi pangan dapat dilakukan dari dua aspek, yaitu secara kuantitatif dan secara
kualitatif. Untuk menilai apakah penduduk telah terpenuhi kebutuhan pangannya secara
kuantitatif dapat didekati dari konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan proteinnya.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (WNPG, 2004) menganjurkan konsumsi energi dan
protein penduduk Indonesia masing-masing adalah 2000 kkal/kap/hari dan 52 gram/kap/hari.
Pada rekomendasi WNPG sebelumnya, angka kecukupan energi adalah 2100 kkal/kap/hr dan
kecukupan protein sebesar 56 g/kap/hari.

Persyaratan kecukupan (sufficiency condition) untuk mencapai keberlanjutan konsumsi pangan


adalah adanya aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan. Aksesibilitas ini tercermin dari
jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Dengan demikian data konsumsi
pangan secara riil dapat menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan dan
menggambarkan tingkat kecukupan pangan dalam rumah tangga. Perkembangan tingkat
konsumsi pangan tersebut secara implisit juga merefleksikan tingkat pendapatan atau daya beli
masyarakat terhadap pangan.

Kuantitas Konsumsi
Menarik disimak berdasarkan data konsumsi kalori dan protein Provinsi DIY tahun 2005,
2007 dan 2008 menunjukkan adanya beberapa hal yang perlu dicermati lebih lanjut. Secara

SPPG | Muhammad Khotibuddin, dr Page 3


garis besar, jika berpedoman pada batas standar kecukupan konsumsi kalori dan protein per
kapita per hari sebesar 2000 kalori dan 52 gram protein, maka rata-rata konsumsi kalori dan
protein di Provinsi DIY lebih rendah dari pada rata-rata nasional. Bahkan pada tahun 2008
sempat menjadi yang terendah dibandingkan Provinsi lainnya diseluruh Indonesia.
Walaupun begitu, ada kenaikan konsumsi kalori dan protein dari tahun 2005 ke 2007 dan
2008.

Apabila dibandingkan menurut tipe daerah tempat tinggal terlihat bahwa rata-rata konsumsi
kalori penduduk perkotaan (1753,71 Kkal) lebih rendah bila dibandingkan penduduk
perdesaan (1820,22 Kkal). Rata-rata konsumsi protein lebih tinggi di perkotaan dibandingkan
perdesaan yaitu 53,07 gram berbanding 50,24 gram. Hal ini wajar karena aktivitas penduduk
perdesaan pada umumnya membutuhkan energi lebih besar dibanding penduduk
perkotaan. Sebaliknya, konsumsi protein penduduk perkotaan lebih tinggi dibandingkan
dengan penduduk perdesaan mungkin disebabkan pengetahuan masyarakat kota terhadap
gizi lebih baik, mengingat aksesibilitas yang tinggi terhadap informasi dari berbagai media.
Secara umum pola konsumsi desa-kota tidak jauh berbeda secara nasional.

Rata-rata Konsumsi Kalori (Kkal/kap/hari) dan Protein (Gram) di Provinsi DIY dan
Indonesia Tahun 2005 – 2008

Konsumsi Energi Konsumsi Protein


DIY (Kkal/kap/hari) (Gram)
2005 2007 2008 Rerata 2005 2007 2008 Rerata
Kota 1839,92 1867,02 1753,71 1820,22 53,20 55,25 50,75 53,07
Desa 1830,15 2002,59 1787,62 1873,45 47,93 55,39 47,40 50,24
Kota+Desa 1835,93 1915,43 1765,82 1839,06 51,05 55,30 49,56 51,97
% 91,80 95,77 88,29 91,95 98,17 106,35 95,31 99,94
Kecukupan
Nasional 2007,65 2014,91 2038,17 2020,24 56,59 57,66 57,49 57,25
% 100,38 100,75 101,91 101,01 108,83 110,88 110,56 110,09
Kecukupan
WNPG VIII 2000 52
Sumber: BPS DIY dalam angka

Jika membandingkan data konsumsi ini dengan produksi dan ketersediaan pangan di
Provinsi DIY, hal ini sangat kontradiksi. Bagaimana mungkin konsumsi kalori masyarakat
Yogyakarta rendah sementara mereka hidup dalam wilayah yang mampu memenuhi
kebutuhan pangan setiap penduduknya? Mengapa hal ini kerap terjadi bahkan hampir
disetiap tahun? Apakah mungkin hal ini disebabkan oleh faktor sosial budaya? Jika menilik
kebiasaan makan masyarakat Yogyakarta yang jarang makan ikan laut, maka kami lebih
memahami faktor sosial budaya sebagai sesuatu yang perlu dilakukan penelitian
antropologis lebih lanjut. Pada akhirnya, secara kuantitas, konsumsi kalori dan protein
penduduk Provinsi DIY masih dibawah standar yang ditetapkan dalam WNPG VIII (2004).

Kualitas Konsumsi
Jika diperhatikan menurut kelompok makanan terlihat adanya kenaikan konsumsi kalori dan
protein pada sebagian kelompok makanan berdasarkan perbandingan rata-rata DIY dan
nasional. Konsumsi yang menonjol di DIY secara nasional adalah daging, telur, susu, sayur-
sayuran, kacang-kacangan dan bahan minuman. Yang paling menonjol sekali adalah
makanan dan minuman jadi. Hal ini mungkin disebabkan karena DIY adalah daerah tujuan
wisata dan mahasiswa dimana mereka sangat bergantung pada makanan dan minuman jadi.

SPPG | Muhammad Khotibuddin, dr Page 4


Banyaknya tempat-tempat yang menyediakan barang tersebut ikut mempengaruhi pola
konsumsi masyarakat DIY khususnya perkotaan.

Rata-rata Konsumsi Kalori (Kkal) per Kapita Sehari Beberapa Jenis Makanan didaerah
Perkotaan dan Perdesaan di Provinsi DIY dan Indonesia Tahun 2007 – 2009.

Kelompok Makanan 2005 2007 2008 Rata-rata


DIY Nas DIY Nas DIY Nas DIY Nas
1. Padi-padian 710,60 1009,1 677,72 953,16 684,28 968,48 690,87 976,92
2. Umbi-umbian↓ 48,29 56,01 46,85 52,49 32,06 52,75 42,4 53,75
3. Ikan↓ 17,32 47,59 16,51 46,71 12,44 47,64 15,42 47,31
4. Daging↓ 48,30 41,45 46,18 41,89 34,68 38,60 43,05 40,65
5. Telur dan susu 55,79 47,17 66,53 56,96 52,83 53,60 58,38 52,58
6. Sayur-sayuran 45,04 38,72 49,53 46,39 44,46 45,46 46,34 43,52
7. Kacang-kacangan 87,69 69,97 114,42 73,02 66,54 60,58 89,55 67,86
8. Buah-buahan 43,21 39,85 47,37 49,08 44,43 48,01 45,00 45,65
9. Minyak & lemak 219,92 241,87 236,55 246,34 190,36 239,30 215,61 242,50
10.Bahan minuman 132,06 110,73 138,13 113,94 121,25 109,87 130,48 111,51
11.Bumbu-bumbuan 13,91 19,25 13,50 17,96 9,92 17,11 12,44 18,11
12.Konsumsi lainnya 65,24 52,84 75,85 70,93 60,34 66,92 67,14 63,56
13.Makanan & 348,56 233,08 386,48 246,04 412,23 289,85 382,42 256,32
minuman jadi↑
JUMLAH 1835,9 2007,7 1915,4 2014,9 1765,8 2038,2
Sumber: BPS DIY dalam angka

Berdasarkan perkembangan dari tahun ke tahun, secara umum terlihat bahwa konsumsi
kalori dan energi dari berbagai kelompok makanan meningkat tahun 2007. Tidak jelas alasan
kenaikan konsumsi ini sehingga perlu dianalisis kejadian-kejadianpenting di masyarakat pada
tahun 2007. Perkembangan yang jelas terlihat adalah menurunnya konsumsi umbi-umbian,
ikan dan daging. Sedangkan makanan dan minuman jadi selalu meningkat setiap tahunnya.
Konsumsi sumber kalori utama berupa padi-padian mengalami sedikit penurunan.
Sedangkan umbi-umbian jelas mengalami penurunan konsumsi. Namun itu semua masih
telihat seimbang jika disubstitusi dengan peningkatan makanan dan minuman jadi.

Dari kelompok sumber protein terlihat bahwa masyarakat yogyakarta tidak suka makan ikan.
Hal ini terlihat dari menurunnya jumlah konsumsi yang terus menyusut dari 17,32 kalori
menjadi 16 dan 12 kalori. Walaupun asupan protein ini masih bisa di tutupi dengan
peningkatan konsumsi daging, telur dan susu, namun potensi sumber asam lemak tak jenuh
ganda menjadi berkurang dan menigkatkan asupan protein ber kolesterol tinggi.

Sementara itu sumber vitamin dan mineral dari sayur-sayuran dan kacang-kacangan
meningkat, sedangkan dari kelompok buah-buahan cenderung menetap. Begitu pula dengan
konsumsi minyak dan lemak.

Secara kualitatif, konsumsi kalori dan protein penduduk DIY di tahun 2005-2008 sangat
dinamis. Secara ekstrim dapat kami simpulkan bahwa konsumsi makanan dan minuman jadi
meningkat pesat sedangkan sumber protein ikan menurun dengan drastis.

SPPG | Muhammad Khotibuddin, dr Page 5


MASALAH

Ada kecenderungan pertambahan penduduk akan lebih cepat dari pertambahan pangan bila tidak
dilakukan pengekangan. Dalam memenuhi pangan tersebut, apa yang menjadi masalah dan
tantangan penyediaan pangan pada saat ini dan dimasa yang akan datang? Berikan solusinya!

Pemenuhan pangan bagi penduduk selalu mempertimbangkan terjadinya keseimbangan antara


tuntutan (demand) dan suplai (supply) bahan pangan baik jenis (kualitas) maupun jumlahnya
(kuantitas). Berbicara tentang masalah dan tantangan ketersediaan pangan tentunya berangkat dari
kelemahan-kelemahan yang bisa diungkap oleh data-data tersebut diatas. Kami mencoba
membatasi pembahasannya dalam ruang lingkup Provinsi DIY bukan secara nasional walaupun
sering kali solusi daerah juga terkait erat dengan kebijakan dan program pemerintah pusat.
Mengingat juga keragaman daerah dari segi geografis, ekonomi, sosial dan budaya, sudah tentu
kebijakan dan program pemerintah pusat tidak serta merta dimplementasikan secara harfiah.
Diperlukan kearifan lokal yang dapat dimanfaatkan sebagai substitusi kebijakan dan program untuk
menutup celah yang tidak mungkin diselesaikan secara keseluruhan oleh pemerintah pusat. Masalah
yang lebih umum akan kami bahas lebih jauh pada pokok bahasan Sistem Kewaspadaan Pangan dan
Gizi.

Alternatif Penanggulangan Rawan Pangan dan Gizi berdasarkan Masalah

Sumber : Departemen Kesehatan RI, 1998/1999

Masalah pada saat ini (2005-2008)

Berdasarkan pembahasan produksi pangan, ketersediaan pangan, dan konsumsi pangan di Provinsi
DIY tahun 2005-2008, kami menekankan kembali kelemahan-kelemahan yang ditunjukkan dari data
tersebut diatas. Masalah yang akan kami tekankan hanya fokus pada ranah konsumsi. Walaupun ada
banyak hal yang berpotensi menjadi masalah, namun kami mencoba membatasi pada beberapa
masalah yang kami anggap sangat ekstrim.

SPPG | Muhammad Khotibuddin, dr Page 6


1. Konsumsi kalori dan protein dibawah standar nasional sebesar 2000 Kkal dan 52 gram protein.
Untuk meningkatkan konsumsi kalori dan protein masyarakat Yogyakarta harus merujuk pada
penyebabnya. Sesuai dengan pembahasan diatas, rendahnya konsumsi kalori dan protein terjadi
setiap tahun. Penyebab rendahnya konsumsi bukan berasal dari produksi dan ketersediaan
pangan, akan tetapi mungkin disebabkan oleh pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat itu
sendiri dalam kegiatan konsumsi. Hal ini tentu saja sangat tergantung pada faktor-faktor lokal
yang mengikat secara sistematis seperti sosial dan budaya. Sehingga pendekatan dengan cara
memberikan bantuan pangan dan suplementasi gizi tidak tepat. Untuk memperjelas penyebab
tersebut perlu dilakukan studi lebih lanjut berkenaan dengan pola perilaku masyarakat secara
antropologis.
Dalam jangka pendek, beberapa hal bisa dilakukan seperti kampanye melalui media massa,
pendekatan kelompok PKK/dasa wisma, tokoh masyarakat dan tokoh agama, lembaga
pendidikan dan instansi pekerjaan. Contoh yang bisa dilakukan misalnya: makan teratur 3 kali
sehari.
2. Konsumsi ikan yang rendah (15,42) dibanding rerata nasional (47,31).
Pendekatan pengetahuan merupakan cara yang paling cepat dilakukan untuk menyebarkan
manfaat konsumsi ikan bagi kesehatan. Selain itu menggerakkan penyuluhan lewat posyandu
juga akan menyentuh pemegang kebijakan dalam belanja keluarga sehari-hari, yaitu ibu. Jika
memang rendahnya konsumsi ikan lebih disebabkan harga jual yang tinggi dan ketersediaan
yang tidak beragam dipasaran, maka pemerintah perlu mendatang ikan dari pusat-pusat
nelayan.

Masalah pada saat yang akan datang

Masalah yang mungkin akan muncul di masa datang lebih banyak disebabkan oleh keamanan
pangan. Seiring dengan meningkatkan konsumsi makanan dan minuman jadi, isu keamanan pangan
akan lebih erat terkait dalam proses produksinya. Selain itu, tingkat ekonomi yang dicerminkan
dengan daya beli dan inflasi akan sangat mempengaruhi ketersediaannya dan akses masyarakat
terhadap pangan. Solusi yang mungkin bisa dipikirkan dari sekarang adalah peran aktif Balai
Pengawasan Obat dan Makanan, regulasi perijinan, dan pendidikan gizi kepada masyarakat akan
pentingnya keamanan pangan.

Dalam hal ketersediaan pangan dan produksi, dimasa mendatang akan dihadapkan pada
ketidakjelasan cuaca dan situasi global dunia. Produksi daerah dapat ditutupi oleh produksi dari
wilayah sekitarnya. Hal ini sangat tergantung dari cuaca dan panen. Akan tetapi jika secara nasional
kurang, maka impor bahan pangan adalah solusi yang paling mudah. Namun hal itu menjadi tidak
menentu karena situasi iklim global yang juga tidak menentu di seluruh belahan dunia. Hal ini akan
mempengaruhi kebijakan ekspor dan impor bahan makanan.

Masalah dimasa datang justru nyata terlihat dari pertambahan penduduk yang tidak mungkin
berkurang, sementara luas tanah pertanian sudah mencapai batas maksimalnya untuk memproduksi
beras. Walaupun perkiraan ini bersifat nasional bukan wilayah, akan tetapi secara implisit
pertambahan penduduk tersebut merupakan cerminan akumulasi pertambahan penduduk per
Provinsi. Sebagaimana diberitakan dalam Harian Kedaulatan Rakyat, edisi Kamis Kliwon, 3 Maret
2011, pada tahun 2025 jumlah penduduk Indonesia diprediksi mencapai sekitar 300 juta jiwa.
Padahal produksi padi nasional tiap tahun cenderung stagnan. Untuk memenuhi kebutuhan pangan
penduduk sebesar itu diperlukan beras giling sebanyak 65,9 juta ton. Hal ini hanya bisa dipenuhi
dengan impor. Namun hal itu menjadi mustahil mengingat cuaca global akan berdampak sangat
panjang. Sementara luas lahan subur tidak bisa ditingkatkan untuk produksi padi, Kepala Badan
Tenaga Nuklir Nasional (Batan) menyarankan untuk memanfaatkan lahan kritis (tidak subur) yang
tidak cocok untuk produksi beras untuk ditanami tanaman sorgum ZH 30. Di Provinsi DIY, daerah
yang disyaratkan hanya ditemui di Kabupaten Gunung Kidul.

SPPG | Muhammad Khotibuddin, dr Page 7


Seperti yang sudah kami singgung didepan, bahwa solusi daerah erat kaitannya dengan kebijakan
dan program dari pemerintah pusat. Dalam hal ini khusus menjadi wewenang Dewan Ketahanan
Pangan Nasional untuk merumuskan strategi dan kebijakan pangan Indonesia.

Sistem Ketahanan Pangan Indonesia 2015

Sistem ketahanan pangan di Indonesia secara komprehensif meliputi empat sub-sistem, yaitu: (i)
ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh penduduk, (ii) distribusi
pangan yang lancar dan merata, serta dapat diakses oleh masyarakat, (iii) konsumsi pangan setiap
individu yang memenuhi kecukupan gizi seimbang dan aman, yang berdampak pada (iv) status gizi
masyarakat. Dengan demikian, sistem ketahanan pangan dan gizi tidak hanya menyangkut soal
produksi, distribusi, dan penyediaan pangan ditingkat makro (nasional dan regional), tetapi juga
menyangkut aspek mikro, yaitu akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu serta status gizi
anggota rumah tangga, terutama anak dan ibu hamil dari rumah tangga miskin. Berdasarkan kondisi
dan capaian ketahanan pangan, maka isu strategis yang harus dipertahatikan adalah : (1) sistem
produksi pangan nasional, (2) ketersediaan pangan dan keterjangkaun pangan di seluruh daerah,(3)
kecukupan konsumsi pangan dan gizi, (4) diversifikasi pangan yang berkaitan dengan konsumsi
pangan beragam dan bergizi seimbang, (5) keamanan pangan segar dan pangan olahan, (6)
kerawanan pangan berkaitan erat dengan kemiskinan, dan masalah (7) beban ganda status gizi
masyarakat. Secara rinci ketujuh isu strategis tersebut diuraikan sebagai berikut:

1. Sistem Produksi Pangan Nasional

Semakin terbatasnya kapasitas produksi pangan nasional antara lain dis ebabkan: (a) berlanjutnya
konversi lahan pertanian ke non pertanian, (b) menurunnya kualitas dan kesuburan lahan akibat
kerusakan lingkungan, (c) rusaknya prasarana pengairan sekitar 30 persen, (d) persaingan
pemanfaatan sumberdaya air dengan sektor indus tri dan pemukiman, (e) kurang terealisasinya
harga pupuk bersubsidi, (f) lambatnya penerapan teknologi akibat kurang insentif ekonomi, (f) masih
berlanjutnya pemotongan ternak betina produktif, (g) masih tingginya luas areal tanam tebu rakyat
dengan pertunasan lama (ratoon), (h) anomali ikllim dan menurunnya kualitas lingkungan. Sampai
saat ini penanganan masalah ketahanan pangan seringkali menghadapi kendala sistem informasi
pangan yang kurang akurat dan cepat. Oleh karenanya di masa datang pengembangan sistem
informasi pangan berbasiskan teknologi informasi untuk tujuan deteksi dini untuk antisipasi mutlak
harus dilakukan.
Secara sepesifik permasalahan sumberdaya lahan dan air yang harus diantisipasi adalah : (a) alih
fungsi lahan pertanian ke non-pertanian, (b) sertifikasi lahan petani, (b) konservasi sumberdaya
lahan dan air pada daerah aliran sungai (DAS), (c) rehabi litasi sumberdaya lahan dan air pada daerah
aliran sungai (DAS), (d) belum berkembangnya sistem pertanian Agroforestry pada daerah aliran
sungai, (e) pengembangan sistem pertanian ramah lingkungan dan organik, (f) pembinaan kelompok
pemakai Air, (g) penataan penggunaan air untuk pertanian, pemukiman dan industri, (h)
pengembangan sistem informasi bencana alam dalam rangka early warning system (EWS), (i)
rehabilitasi dan konservasi sumber daya alam, (j) perbaikan dan meningkatkan jaringan pengairan.

2. Ketersediaan Pangan dan Keterjangkaun Pangan di Seluruh Daerah

Isu strategis ketersediaan pangan dan keterjangkauan pangan meliputi dimensi sistem distribusi
pangan yang efisien, cadangan pangan pemerintah dan masyarakat, dan aksesibilitas atau
keterjangkauan pangan di seluruh daerah. Sistem distribusi pangan yang efisien menjadi prasyarat
untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas
yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Masalah dan tantangan dalam sistem
distribusi pangan mencakup terbatasnya prasarana dan sarana perhubungan untuk menjangkau
seluruh wilayah terutama daerah terpencil, keterbatasan sarana dan kelembagaan pasar, banyaknya

SPPG | Muhammad Khotibuddin, dr Page 8


pungutan resmi dan tidak resmi, tingginya biaya angkutan dibandingkan negara lain, gangguan
keamanan serta pengaturan dan kebijakan.

Secara spesifik permasalahan distribusi dan akses pangan dapat diringkas sebagai berikut : (a)
prasarana dan sarana distribusi, (b) prasarana dan sarana pemasaran seperi jalan usaha tani, pasar
desa, fasilitas penampungan produksi, (c) sarana dan prasarana pasca panen, (d) pengembangan
kelembagaan pemasaran , (e) pembinaan standard kualitas, (e) pengembangan jaringan pemasaran
dan distribusi antar dan keluar daerah, (f) pengembangan sistem informasi pasar, (g) pengembangan
informasi dan data konsumsi, produksi, dan stok.

Permasalahan yang terjadi pada aspek ketersediaan ini adalah pola peningkatan produksi pangan
cenderung melandai dengan rata-rata pertumbuhan kurang satu persen sedangkan pertambahan
penduduk sebesar 1,2% setiap tahun (BPS, 2005). Pertambahan penduduk yang cukup besar akan
berdampak pada peningkatan kebutuhan konsumsi dan juga peningkatan kebutuhan fasilitas sosial
ekonomi yang mengakibatkan peningkatan alih fungsi lahan. Stagnasi produksi disebabkan oleh
lambatnya penemuan dan pemasyarakatan inovasi, serta rendahnya insentif finansial untuk
menerapkan teknologi secara optimal. Melemahnya sistem penyuluhan juga merupakan kendala
lambatnya adopsi teknologi oleh petani. Petani di Indonesia yang umumnya skala kecil (kurang dari
0,5 hektar) yang berjumlah 13,7 juta KK menyebabkan aksesibilitasnya terbatas terhadap sumber
permodalan, teknologi dan sa rana produksi sehingga sulit meningkatkan efisiensi dan
produktifitasnya tanpa difasilitasi oleh pemerintah. Peningkatan kapasitas kelembagaan petani serta
peningkatan kualitas penyuluhan merupakan tantangan ke depan.

Dalam hal cadangan pangan, sifat komoditas pangan yang bersifat musiman sementara pendapatan
masyarakat umumnya sangat rendah menuntut perlunya ada cadangan pangan. Disamping itu
adanya kondisi iklim yang tidak menentu sehingga sering terjadi pergeseran penanaman, masa
pemanenan yang tidak merata sepanjang tahun, serta sering timbulnya bencana yang tidak terduga
(banjir, longsor, kekeringan, gempa) memerlukan sistem pencadangan pangan yang baik. Sampai
saat ini masih belum berkembang cadangan pangan pemerintah dan masyarakat yang efektif dan
efisien di daerah. Sebenarnya potensi pengembangan cadangan pangan di daerah cukup tinggi,
seperti : (a) pengembangan sistem pencadangan pangan daerah untuk mengantisipasi kondisi
darurat bencana alam minimal 3 (tiga) bulan, (b) pengembangan cadangan pangan hidup
(pekarangan, lahan desa, lahan tidur, tanaman bawah tegakan perkebunan), (c) pengembangan
untuk menguatkan kelembagaan lumbung pangan masyarakat, (d) pengembangan sistem cadangan
pangan melalui Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan ataupun lembaga usaha lainnya.

3. Kecukupan Konsumsi Pangan dan Gizi

Standar ketersediaan pangan dengan adalah sebesar 2200 kilo kalori dan protein 57 gram per kapita
per hari. Ketersedian pangan Indonesia telah melebihi standar tersebut yakni sebesar 3031 kilo
kalori dan protein 76,28 gram per kapita per hari (NBM, 2005). Sedangkan kemandirian pangan yang
diukur dengan ketergantungan impor (rasio impor terhadap ketersediaan), tampak bahwa umumnya
kurang dari 10 persen (padi 0,77 %, jagung 9,14 %, kacang tanah 7,87 %, ubi kayu 0%, ubi jalar 0 %,
sayuran 6,95 %, buah-buahan 0,47 % , minyak goreng 0 %, dan daging 4,07 %, sedangkan yang
melebihi dari 10 persen terjadi pada komoditas kedelai 60,98 % dan susu 92,38 %. Namun
perkembangan kemandirian pangan dari komoditas pangan Indonesia relatif konstan, hal ini
disebabkan komoditas pangan di indonesia daya saingnya rendah. Dalam teori ekonomi kemandirian
pangan hanya dapat dilakukan jika ada peningkatan efisiensi produksi.

5. Keamanan Pangan Segar dan Pangan Olahan

Keamanan pangan segar dan pangan olahan masih merupakan isu strategis yang harus memperoleh
perhatian memadai. Hal ini disebabkan karena masih kurangnya pengetahuan dan kepedulian

SPPG | Muhammad Khotibuddin, dr Page 9


masyarakat konsumen maupun produsen (khususnya industri kecil dan menengah) terhadap
keamanan pangan, yang ditandai merebaknya kasus keracunan pangan baik produk pangan segar
maupun olahan. Saat ini masih cukup banyak digunakan bahan tambahan pangan (penyedap,
pewarna pemanis, pengawet, pengental, pemucat dan anti gumpal) yang beracun atau berbahaya
bagi kesehatan yang harus diantisipasi melalui usaha - usaha pembinaan menurut standar SNI, FMP
DAN HACCP. Sementara itu belum ada sangsi yang tegas terhadap pelanggaran peraturan keamanan
pangan. Oleh karena itu usaha –usaha untuk pencegahan dan pengendalian keamanan pangan harus
dilakukan.

6. Kerawanan Pangan Berkaitan Erat dengan Kemiskinan

Kondisi rumah tangga rawan pangan masih terjadi di semua propinsi meski dengan besaran yang
berbeda.Meski prevalensi rumahtangga sangat rawan konsumsi pangan semakin menurun, namun
persentase rumahtangga dengan tingkat kerawanan rend ah hingga sedang masih tinggi dan
berpotensi untuk turun ke kondisi rawan pangan tingkat berat apabila terjadi gejolak ekonomi yang
dapat menurunkan daya bellinya terhada pangan. Walaupun angka kemiskinan telah menujukkan
penurunan sampai sekitar 14.7 persen atau sekitar 34.9 juta pada tahun 2008, pengentasan
kemiskinan yang tidak memecahkan akar persoalannya tidak secara otomatis memecahkan
permasalahan kerawanan pangan. Persoalan menjadi lebih pelik karena jumlah petani gurem
dengan lahan tidak sampai 0.5 hektar semakin lama semakin banyak.

7. Beban Ganda Status Gizi Masyarakat

Pada tahun 2005 di Indonesia diperkirakan balita gizi kurang dan buruk cukup tinggi yakni sekitar 28
% yang hampir terjadi pada semua propinsi. Saat ini jumlah anak balita dengan status gizi buruk
diperkirakan sebesar 8.81 persen (sekitar 5 juta jiwa) dan gizi kurang sebesar 19,0 persen dan
beberapa masalah gizi lainnya seperti anemia gizi besi (AGB), gangguan akibat kekurangan iodium
(GAKI) dan kurang vtamin A (KVA) masih terjadi. Berdasarkan Susenas 2005, konsumsi garam
beryodium baru mencapai 72,8 persen. Hal ini menunjukkan masih besarnya potensi terjadinya GAKI
pada masyarakat. Kekurangan yodium tingkat awal pada anak terbukti dapat menurunkan
kecerdasan atau IQ Masalah gizi kurang juga dapat terjadi pada kelompok usia produktif, dimana
masalah kurang energi kronis (KEK) adalah 16,7 persen pada 2003. Pada saat yang bersamaan pada
kelompok usia produktif juga terdapat masalah kegemukan (IMT>25) dan obesitas (IMT>27).

Visi

“Terwujudnya rumahtangga tahan pangan dan gizi yang berlandaskan pada kemandirian penyediaan
pangan berbasis sumberdaya lokal yang efisien dan berkelanjutan”

STRATEGI

1. Strategi Memantapkan Ketersediaan Pangan berbasis Kemandirian


a. Peningkatan Kapasitas produksi domestik, melalui : (1) pengembangan produksi pangan
sesuai dengan potensi daerah, (2) peningkatan produksi dan produktivitas komoditas
pangan dengan teknologi spesifik lokasi, (3) pengembangan dan menyediakan benih/bibit
unggul dan jasa alsintan, (4) peningkatan pelayanan dan pengawasan pengadaan sarana
produksi, (5) peningkatan layanan kredit yang mudah diakses petani
b. Pelestarian sumberdaya lahan dan air, melalui : (1) pengendalian alih fungsi lahan
pertanian ke non-pertanian untuk mewujudkan lahan abadi, (2) sertifikasi lahan petani, (3)
konservasi dan rehabilitasi sumberdaya lahan dan air pada daerah aliran sungai (DAS), (4)
pengembangan sistem pertanian ramah lingkungan (agroforestry dan pertanian organik),
(5) Pemantapan kelompok pemakai air untuk peningkatan pemeliharaan saluran irigasi, (6)

SPPG | Muhammad Khotibuddin, dr Page 10


penataan penggunaan air untuk pertanian, pemukiman dan industri, (7) pengembangan
sistem informasi bencana alam dalam rangka Early Warning System (EWS), (8) rehabilitasi
dan konservasi sumberdaya alam, (9) perbaikan dan peningkatan jaringan pengairan
c. Penguatan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat/komunitas, melalui: (1)
pengembangan sistem cadangan pangan daerah untuk mengantisipasi kondisi darurat
bencana alam minimal 3 (tiga) bulan , (2) pengembangan cadangan pangan hidup
(pekarangan, lahan desa, lahan tidur, tanaman bawah tegakan perkebunan), (3)
menguatkan kelembagaan lumbung pangan masyarakat dan lembaga cadangan pangan
komunitas lainnya, (4) pengembangan sistem cadangan pangan melalui Lembaga Usaha
Ekonomi Pedesaan ataupun lembaga usaha lainnya.
2. Strategi Peningkatan kemudahan dan kemampuan mengakses pangan :
a. Penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat untuk peningkatan
daya beli pangan beragam dan bergizi seimbang
b. Peningkatan kelancaran distribusi dan akses pangan, melalui: (1) peningkatan kualitas dan
pengembangan infrastruktur distribusi, (2) peningkatan dan pengembangan sarana dan
prasarana pasca panen, (3) pengembangan jaringan pemasaran dan distribusi antar dan
keluar daerah dan membuka daerah yang terisolir, (4) pengembangan sistem informasi
pasar, (5) Penguatan Lembaga pemasaran daerah, (6) pengurangan hambatan distribusi
karena pungutan resmi dan tidak resmi, (7) pencegahan kasus penimbunan komoditas
pangan oleh spekulan, (8) pemberian bantuan pangan pada kelompok masyarakat miskin
dan yang terkena bencana secara tepat sasaran, tepat waktu dan tepat produk;
c. Penjaminan Stabilitas Harga Pangan, melalui : (1) pemberlakuan Harga Pembelian
Pemerintah pada komoditas pangan strategis , (2) perlindungan harga domestik dari
pengaruh harga dunia melalui kebijakan tarif, kuota impor, dan/ pajak ekspor, kuota ekspor
pada komoditas pangan strategis, (3) pengembangan Buffer stock Management (pembelian
oleh pemerintah pada waktu panen dan operasi pasar pada waktu paceklik) pada
komoditas pangan strategis, (4) pencegahan impor dan/ ekspor illegal komoditas pangan,
(5) peningkatan dana talangan pemerintah (propinsi dan kabupaten/kota) dalam
menstabilkan harga komoditas pangan strategis, (6) peningkatan peranan Lembaga pembeli
gabah dan Lembaga usaha ekonomi pedesaan, (7) pengembangan sistem tunda jual , (8)
pengembangan sistem informasi dan monitoring produksi, konsumsi, harga dan stok
minimal bulanan
d. Peningkatan efisiensi dan efektivitas intervensi bantuan pangan/pangan bersubsidi kepada
masyarakat golongan miskin (misalnya Raskin) dan mengembangkan pangan bersubsidi bagi
kelompok khusus yang membutuhkan terutama anak-anak dan ibu hamil yang bergizi
kurang.
3. Strategi Peningkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan menuju gizi seimbang berbasis
pada pangan lokal, melalui:
a. Pengembangan dan percepatan diversifikasi konsumsi pangan berbasis pangan lokal melalui
pengkajian berbagai teknologi tepat guna dan terjangkau mengenai pengolahan pangan
berbasis tepung umbi-umbian lokal dan pengembangan aneka pangan lokal lainnya;
b. Pengembangan bisnis pangan untuk peningkatan nilai tamba h ekonomi, gizi dan mutu
ketersediaan pangan yang beragam dan bergizi seimbang melalui penguatan kerjasama
pemerintah-masyarakat-dan swasta;
c. Pengembangan materi dan cara ajar diversifikasi konsumsi pangan dan gizi sejak usia dini
melalui jalur pendidikan formal dan non formal
d. Penguatan pola konsumsi pangan lokal yang didaerah dan kelompok masyarakat tertentu
telah beragam;
e. pengembangan aspek kuliner dan daya terima konsumen, melalui berbagai pendidikan gizi,
penyuluhan, dan kampanye gizi untuk peningkatan citra pangan lokal, serta peningkatan
pendapatan dan pendidikan umum.

SPPG | Muhammad Khotibuddin, dr Page 11


f. Pengembangan program perbaikan gizi yang cost effective, diantaranya melalui peningkatan
dan penguatan program fortifikasi pangan dan program suplementasi zat gizi mikro
khususnya zat besi dan vitamin A;
4. Strategi Peningkatan status gizi masyarakat, melalui
a. Peningkatan pelayanan gizi dan kesehatan kepada masyarakat miskin yang terintegrasi
dengan program penanggulangan kemiskinan dan keluarga berencana, dalam rangka
mengurangi jumlah penderita gizi kurang, termasuk kurang gizi mikro (kurang vitamin dan
mineral) yang diprioritas pada kelompok penentu masa depan anak, yaitu, ibu hamil dan
calon ibu hamil/remaja putri, ibu nifas dan menyusui, bayi sampai usia dua tahun tanpa
mengabaikan kelompok usia lainnya;
b. Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi tentang gizi dan kesehatan guna
mendorong terbentuknya keluarga dan masyarakat sadar gizi yang tahu dan berperilaku
positif untuk mencegah gangguan kesehatan karena kelebihan gizi seperti kegemukan dan
penyakit degeneratif lainnya.
c. Penguatan kelembagaan pedesaan seperti Posyandu, PKK, dan Dasa Wisma dalam promosi
dan pemantauan tumbuh kembang anak dan penapisan serta tindak lanjut (rujukan)
masalah gizi buruk;
d. Peningkatan efektivitas fungsi koordinasi lembaga-lembaga pemerintah dan swasta di pusat
dan daerah, dibidang pangan dan gizi sehingga terjamin adanya keterpaduan kebijakan,
program dan kegiatan antar sektor di pusat dan daeah, khususnya dengan sektor
kesehatan, pertanian, industri, perdagangan, pendidikan, agama, serta pemerintahan
daerah untuk promosi keluarga sadar gizi, pencegahan dan penanggulangan gizi kurang dan
gizi buruk secara dini dan terpadu.
5. Strategi Peningkatan mutu dan keamanan pangan, melalui:
a. Peningkatan pengetahuan dan kesadaran tentang keamanan pangan di tingkat
rumahtangga, industri rumahtangga dan UKM serta importir, distributor dan ritel serta
pemahaman tentang implikasi hukum pelanggaran peraturan keamanan pangan yang
berlaku;
b. Penguatan pengawasan dan pembinaan keamanan pangan dengan melengkapi perangkat
peraturan perundang-undangan di bidang mutu dan keamanan pangan, law enforcement
bagi produsen, importir, distributor dan ritel yang melakukan pelanggaran terhadap
keamanan pangan;
c. Peningkatan kesadaran dan perlindungan konsumen terhadap keamanan pangan

REFERENSI

1. Tri Bastuti Purwantini, Handewi P.S. Tachman dan Yuni Marisa. Analisis ketahanan pangan
regional dan tingkat rumah tangga (studi kasus di Provinsi Sulawesi utara). Pusat analisis sosial
ekonomi dan kebijakan pertanian. Badan Litbang Departemen Pertanian. Bogor: 2001.
2. Indonesia tahan pangan dan gizi 2015. Dewan ketahanan pangan (DKP): 2009.
3. Yusuf reynald geotena lamabelawa. Analisis sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) dalam
mengatasi masalah gizi buruk Di kabupaten lembata Propinsi nusa tenggara timur. TESIS.
Program pasca sarjana Universitas Diponegoro Semarang: 2006.
4. Harian Kedaulatan Rakyat, Edisi Kamis Kliwon, 3 Maret 2011
5. Biro Pusat Statistik: DIY dalam Angka Tahun 2007, 2008, 2009.

SPPG | Muhammad Khotibuddin, dr Page 12

Anda mungkin juga menyukai