Analisis Gangguan Ketersediaan Pangan Dan Konsumsi DIY - Ujian SPPG
Analisis Gangguan Ketersediaan Pangan Dan Konsumsi DIY - Ujian SPPG
10/3085516/PKU/11779
[2011]
Untuk menganalisis ketersediaan pangan dan konsumsi yang dikaitkan dengan perkembangan
penduduk di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan data SUSENAS selama 3 tahun.
Ketersediaan pangan mencerminkan pangan yang tersedia untuk dikonsumsi masyarakat, yang
merupakan produksi domestik yang dikoreksi dengan penggunaan untuk bibit/benih, industri,
kehilangan/susut, ekspor dan stok ditambah impor. Perkembangan ketersediaan pangan di
Indonesia secara keseluruhan masih di atas yang dianjurkan WNPG, yakni untuk energi sebesar
2200 kal/ka/hari dan untuk protein sebesar 57 gr/kap/hari.
Namun data ketersediaan pangan di DIY tidak penulis dapatkan. Oleh karena itu penulis
mencoba menyajikan gambaran ketersediaan pangan di DIY dengan melihat produksi beras
dan jagung sebagai sumber karbohidrat utama masyarakat jawa, kemudian dibandingkan
angka kenaikannya dengan tingkat pertumbuhan penduduk. Data tahun 2007 tercatat dalam
jumlah yang berbeda di dalam laporan BPS tahun 2007 dan 2008. Penulis lebih mempercayai
angka yang dilaporkan oleh BPS tahun 2008. Akan tetapi penulis mencoba menghitung
kenaikan produksi beras dari tahun 2007 – 2009 seperti tersaji dalam tabel dibawah ini.
Produksi Beras dan Jagung per Kapita per Tahun (Kuintal) di Provinsi DIY, 2007 – 2009
Uraian 2007 2008 2009 Rata-rata
Beras 4.482.738 5.044.826 5.257.173 4928245,67
Jagung 2.581.870 3.468.505 3.149.370 3066581,67
Penduduk 3.434.534 3.464.502 3.501.869 3466968,33
Per Kapita
Beras 1,31 1,45 1,50 1,42
Jagung 0,75 0,82 0,90 0,82
Kenaikan Beras -0,48 10,69 3,45 4,55
Sumber: BPS DIY dalam angka
Membandingkan tingkat kenaikan produksi beras per kapita di DIY dengan laju pertumbuhan
penduduk DIY dari tahun 2007-2009 menunjukkan bahwa produksi pangan DIY lebih tinggi
dari pada laju pertumbuhan penduduknya. Jika menganalisis besarnya angka, rata-rata
kenaikan produksi beras per kapita sebesar 4,55 lebih besar 3x lipat dari rata-rata laju
pertumbuhan penduduknya sebesar 1,38. Berdasarkan perbandingan diatas, dapat
dinyatakan bahwa produksi pangan Provinsi DIY mencukupi kebutuhan wilayahnya. Secara
implisit dapat diduga bahwa DIY merupakan daerah dengan ketahanan pangan yang baik.
Untuk mengetahui tingkat kecukupan gizi digunakan Norma Kecukupan Gizi (NKG) menurut
WNPG VI, NKG yang dihitung dalam studi ini hanya untuk energi (NKE). NKE regional dihitung
berdasarkan komposisi penduduk di daerah (tingkat provinsi) yang proporsi penduduknya
disebar menurut kelompok umur sesuai dengan pengelompokan umur di WNPG dengan
menggunakan metode pengali Sprangue (Sprangue Multipliers).
Keterbatasan kami dalam analisis ini adalah tidak tersedianya data ketersediaan energi
tingkat Provinsi sehingga numerator rumus diatas tidak terpenuhi. Tidak adanya data
tersebut karena BPS tidak menyediakan data ketersediaan energi (Kkal/kap/hari) secara
langsung/siap pakai. Penulis menduga bahwa diperlukan satu tahapan langkah transformasi
data produksi pangan ke dalam satuan energi dengan mengkonversikan terlebih dahulu
dengan Daftar Konversi Zat Gizi. Disinilah letak keterbatasan analisis kami sehingga kami
tidak bisa menentukan secara lebih akurat tingkat ketahanan pangan di Provinsi DIY.
Evaluasi konsumsi pangan dapat dilakukan dari dua aspek, yaitu secara kuantitatif dan secara
kualitatif. Untuk menilai apakah penduduk telah terpenuhi kebutuhan pangannya secara
kuantitatif dapat didekati dari konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan proteinnya.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (WNPG, 2004) menganjurkan konsumsi energi dan
protein penduduk Indonesia masing-masing adalah 2000 kkal/kap/hari dan 52 gram/kap/hari.
Pada rekomendasi WNPG sebelumnya, angka kecukupan energi adalah 2100 kkal/kap/hr dan
kecukupan protein sebesar 56 g/kap/hari.
Kuantitas Konsumsi
Menarik disimak berdasarkan data konsumsi kalori dan protein Provinsi DIY tahun 2005,
2007 dan 2008 menunjukkan adanya beberapa hal yang perlu dicermati lebih lanjut. Secara
Apabila dibandingkan menurut tipe daerah tempat tinggal terlihat bahwa rata-rata konsumsi
kalori penduduk perkotaan (1753,71 Kkal) lebih rendah bila dibandingkan penduduk
perdesaan (1820,22 Kkal). Rata-rata konsumsi protein lebih tinggi di perkotaan dibandingkan
perdesaan yaitu 53,07 gram berbanding 50,24 gram. Hal ini wajar karena aktivitas penduduk
perdesaan pada umumnya membutuhkan energi lebih besar dibanding penduduk
perkotaan. Sebaliknya, konsumsi protein penduduk perkotaan lebih tinggi dibandingkan
dengan penduduk perdesaan mungkin disebabkan pengetahuan masyarakat kota terhadap
gizi lebih baik, mengingat aksesibilitas yang tinggi terhadap informasi dari berbagai media.
Secara umum pola konsumsi desa-kota tidak jauh berbeda secara nasional.
Rata-rata Konsumsi Kalori (Kkal/kap/hari) dan Protein (Gram) di Provinsi DIY dan
Indonesia Tahun 2005 – 2008
Jika membandingkan data konsumsi ini dengan produksi dan ketersediaan pangan di
Provinsi DIY, hal ini sangat kontradiksi. Bagaimana mungkin konsumsi kalori masyarakat
Yogyakarta rendah sementara mereka hidup dalam wilayah yang mampu memenuhi
kebutuhan pangan setiap penduduknya? Mengapa hal ini kerap terjadi bahkan hampir
disetiap tahun? Apakah mungkin hal ini disebabkan oleh faktor sosial budaya? Jika menilik
kebiasaan makan masyarakat Yogyakarta yang jarang makan ikan laut, maka kami lebih
memahami faktor sosial budaya sebagai sesuatu yang perlu dilakukan penelitian
antropologis lebih lanjut. Pada akhirnya, secara kuantitas, konsumsi kalori dan protein
penduduk Provinsi DIY masih dibawah standar yang ditetapkan dalam WNPG VIII (2004).
Kualitas Konsumsi
Jika diperhatikan menurut kelompok makanan terlihat adanya kenaikan konsumsi kalori dan
protein pada sebagian kelompok makanan berdasarkan perbandingan rata-rata DIY dan
nasional. Konsumsi yang menonjol di DIY secara nasional adalah daging, telur, susu, sayur-
sayuran, kacang-kacangan dan bahan minuman. Yang paling menonjol sekali adalah
makanan dan minuman jadi. Hal ini mungkin disebabkan karena DIY adalah daerah tujuan
wisata dan mahasiswa dimana mereka sangat bergantung pada makanan dan minuman jadi.
Rata-rata Konsumsi Kalori (Kkal) per Kapita Sehari Beberapa Jenis Makanan didaerah
Perkotaan dan Perdesaan di Provinsi DIY dan Indonesia Tahun 2007 – 2009.
Berdasarkan perkembangan dari tahun ke tahun, secara umum terlihat bahwa konsumsi
kalori dan energi dari berbagai kelompok makanan meningkat tahun 2007. Tidak jelas alasan
kenaikan konsumsi ini sehingga perlu dianalisis kejadian-kejadianpenting di masyarakat pada
tahun 2007. Perkembangan yang jelas terlihat adalah menurunnya konsumsi umbi-umbian,
ikan dan daging. Sedangkan makanan dan minuman jadi selalu meningkat setiap tahunnya.
Konsumsi sumber kalori utama berupa padi-padian mengalami sedikit penurunan.
Sedangkan umbi-umbian jelas mengalami penurunan konsumsi. Namun itu semua masih
telihat seimbang jika disubstitusi dengan peningkatan makanan dan minuman jadi.
Dari kelompok sumber protein terlihat bahwa masyarakat yogyakarta tidak suka makan ikan.
Hal ini terlihat dari menurunnya jumlah konsumsi yang terus menyusut dari 17,32 kalori
menjadi 16 dan 12 kalori. Walaupun asupan protein ini masih bisa di tutupi dengan
peningkatan konsumsi daging, telur dan susu, namun potensi sumber asam lemak tak jenuh
ganda menjadi berkurang dan menigkatkan asupan protein ber kolesterol tinggi.
Sementara itu sumber vitamin dan mineral dari sayur-sayuran dan kacang-kacangan
meningkat, sedangkan dari kelompok buah-buahan cenderung menetap. Begitu pula dengan
konsumsi minyak dan lemak.
Secara kualitatif, konsumsi kalori dan protein penduduk DIY di tahun 2005-2008 sangat
dinamis. Secara ekstrim dapat kami simpulkan bahwa konsumsi makanan dan minuman jadi
meningkat pesat sedangkan sumber protein ikan menurun dengan drastis.
Ada kecenderungan pertambahan penduduk akan lebih cepat dari pertambahan pangan bila tidak
dilakukan pengekangan. Dalam memenuhi pangan tersebut, apa yang menjadi masalah dan
tantangan penyediaan pangan pada saat ini dan dimasa yang akan datang? Berikan solusinya!
Berdasarkan pembahasan produksi pangan, ketersediaan pangan, dan konsumsi pangan di Provinsi
DIY tahun 2005-2008, kami menekankan kembali kelemahan-kelemahan yang ditunjukkan dari data
tersebut diatas. Masalah yang akan kami tekankan hanya fokus pada ranah konsumsi. Walaupun ada
banyak hal yang berpotensi menjadi masalah, namun kami mencoba membatasi pada beberapa
masalah yang kami anggap sangat ekstrim.
Masalah yang mungkin akan muncul di masa datang lebih banyak disebabkan oleh keamanan
pangan. Seiring dengan meningkatkan konsumsi makanan dan minuman jadi, isu keamanan pangan
akan lebih erat terkait dalam proses produksinya. Selain itu, tingkat ekonomi yang dicerminkan
dengan daya beli dan inflasi akan sangat mempengaruhi ketersediaannya dan akses masyarakat
terhadap pangan. Solusi yang mungkin bisa dipikirkan dari sekarang adalah peran aktif Balai
Pengawasan Obat dan Makanan, regulasi perijinan, dan pendidikan gizi kepada masyarakat akan
pentingnya keamanan pangan.
Dalam hal ketersediaan pangan dan produksi, dimasa mendatang akan dihadapkan pada
ketidakjelasan cuaca dan situasi global dunia. Produksi daerah dapat ditutupi oleh produksi dari
wilayah sekitarnya. Hal ini sangat tergantung dari cuaca dan panen. Akan tetapi jika secara nasional
kurang, maka impor bahan pangan adalah solusi yang paling mudah. Namun hal itu menjadi tidak
menentu karena situasi iklim global yang juga tidak menentu di seluruh belahan dunia. Hal ini akan
mempengaruhi kebijakan ekspor dan impor bahan makanan.
Masalah dimasa datang justru nyata terlihat dari pertambahan penduduk yang tidak mungkin
berkurang, sementara luas tanah pertanian sudah mencapai batas maksimalnya untuk memproduksi
beras. Walaupun perkiraan ini bersifat nasional bukan wilayah, akan tetapi secara implisit
pertambahan penduduk tersebut merupakan cerminan akumulasi pertambahan penduduk per
Provinsi. Sebagaimana diberitakan dalam Harian Kedaulatan Rakyat, edisi Kamis Kliwon, 3 Maret
2011, pada tahun 2025 jumlah penduduk Indonesia diprediksi mencapai sekitar 300 juta jiwa.
Padahal produksi padi nasional tiap tahun cenderung stagnan. Untuk memenuhi kebutuhan pangan
penduduk sebesar itu diperlukan beras giling sebanyak 65,9 juta ton. Hal ini hanya bisa dipenuhi
dengan impor. Namun hal itu menjadi mustahil mengingat cuaca global akan berdampak sangat
panjang. Sementara luas lahan subur tidak bisa ditingkatkan untuk produksi padi, Kepala Badan
Tenaga Nuklir Nasional (Batan) menyarankan untuk memanfaatkan lahan kritis (tidak subur) yang
tidak cocok untuk produksi beras untuk ditanami tanaman sorgum ZH 30. Di Provinsi DIY, daerah
yang disyaratkan hanya ditemui di Kabupaten Gunung Kidul.
Sistem ketahanan pangan di Indonesia secara komprehensif meliputi empat sub-sistem, yaitu: (i)
ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh penduduk, (ii) distribusi
pangan yang lancar dan merata, serta dapat diakses oleh masyarakat, (iii) konsumsi pangan setiap
individu yang memenuhi kecukupan gizi seimbang dan aman, yang berdampak pada (iv) status gizi
masyarakat. Dengan demikian, sistem ketahanan pangan dan gizi tidak hanya menyangkut soal
produksi, distribusi, dan penyediaan pangan ditingkat makro (nasional dan regional), tetapi juga
menyangkut aspek mikro, yaitu akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu serta status gizi
anggota rumah tangga, terutama anak dan ibu hamil dari rumah tangga miskin. Berdasarkan kondisi
dan capaian ketahanan pangan, maka isu strategis yang harus dipertahatikan adalah : (1) sistem
produksi pangan nasional, (2) ketersediaan pangan dan keterjangkaun pangan di seluruh daerah,(3)
kecukupan konsumsi pangan dan gizi, (4) diversifikasi pangan yang berkaitan dengan konsumsi
pangan beragam dan bergizi seimbang, (5) keamanan pangan segar dan pangan olahan, (6)
kerawanan pangan berkaitan erat dengan kemiskinan, dan masalah (7) beban ganda status gizi
masyarakat. Secara rinci ketujuh isu strategis tersebut diuraikan sebagai berikut:
Semakin terbatasnya kapasitas produksi pangan nasional antara lain dis ebabkan: (a) berlanjutnya
konversi lahan pertanian ke non pertanian, (b) menurunnya kualitas dan kesuburan lahan akibat
kerusakan lingkungan, (c) rusaknya prasarana pengairan sekitar 30 persen, (d) persaingan
pemanfaatan sumberdaya air dengan sektor indus tri dan pemukiman, (e) kurang terealisasinya
harga pupuk bersubsidi, (f) lambatnya penerapan teknologi akibat kurang insentif ekonomi, (f) masih
berlanjutnya pemotongan ternak betina produktif, (g) masih tingginya luas areal tanam tebu rakyat
dengan pertunasan lama (ratoon), (h) anomali ikllim dan menurunnya kualitas lingkungan. Sampai
saat ini penanganan masalah ketahanan pangan seringkali menghadapi kendala sistem informasi
pangan yang kurang akurat dan cepat. Oleh karenanya di masa datang pengembangan sistem
informasi pangan berbasiskan teknologi informasi untuk tujuan deteksi dini untuk antisipasi mutlak
harus dilakukan.
Secara sepesifik permasalahan sumberdaya lahan dan air yang harus diantisipasi adalah : (a) alih
fungsi lahan pertanian ke non-pertanian, (b) sertifikasi lahan petani, (b) konservasi sumberdaya
lahan dan air pada daerah aliran sungai (DAS), (c) rehabi litasi sumberdaya lahan dan air pada daerah
aliran sungai (DAS), (d) belum berkembangnya sistem pertanian Agroforestry pada daerah aliran
sungai, (e) pengembangan sistem pertanian ramah lingkungan dan organik, (f) pembinaan kelompok
pemakai Air, (g) penataan penggunaan air untuk pertanian, pemukiman dan industri, (h)
pengembangan sistem informasi bencana alam dalam rangka early warning system (EWS), (i)
rehabilitasi dan konservasi sumber daya alam, (j) perbaikan dan meningkatkan jaringan pengairan.
Isu strategis ketersediaan pangan dan keterjangkauan pangan meliputi dimensi sistem distribusi
pangan yang efisien, cadangan pangan pemerintah dan masyarakat, dan aksesibilitas atau
keterjangkauan pangan di seluruh daerah. Sistem distribusi pangan yang efisien menjadi prasyarat
untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas
yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Masalah dan tantangan dalam sistem
distribusi pangan mencakup terbatasnya prasarana dan sarana perhubungan untuk menjangkau
seluruh wilayah terutama daerah terpencil, keterbatasan sarana dan kelembagaan pasar, banyaknya
Secara spesifik permasalahan distribusi dan akses pangan dapat diringkas sebagai berikut : (a)
prasarana dan sarana distribusi, (b) prasarana dan sarana pemasaran seperi jalan usaha tani, pasar
desa, fasilitas penampungan produksi, (c) sarana dan prasarana pasca panen, (d) pengembangan
kelembagaan pemasaran , (e) pembinaan standard kualitas, (e) pengembangan jaringan pemasaran
dan distribusi antar dan keluar daerah, (f) pengembangan sistem informasi pasar, (g) pengembangan
informasi dan data konsumsi, produksi, dan stok.
Permasalahan yang terjadi pada aspek ketersediaan ini adalah pola peningkatan produksi pangan
cenderung melandai dengan rata-rata pertumbuhan kurang satu persen sedangkan pertambahan
penduduk sebesar 1,2% setiap tahun (BPS, 2005). Pertambahan penduduk yang cukup besar akan
berdampak pada peningkatan kebutuhan konsumsi dan juga peningkatan kebutuhan fasilitas sosial
ekonomi yang mengakibatkan peningkatan alih fungsi lahan. Stagnasi produksi disebabkan oleh
lambatnya penemuan dan pemasyarakatan inovasi, serta rendahnya insentif finansial untuk
menerapkan teknologi secara optimal. Melemahnya sistem penyuluhan juga merupakan kendala
lambatnya adopsi teknologi oleh petani. Petani di Indonesia yang umumnya skala kecil (kurang dari
0,5 hektar) yang berjumlah 13,7 juta KK menyebabkan aksesibilitasnya terbatas terhadap sumber
permodalan, teknologi dan sa rana produksi sehingga sulit meningkatkan efisiensi dan
produktifitasnya tanpa difasilitasi oleh pemerintah. Peningkatan kapasitas kelembagaan petani serta
peningkatan kualitas penyuluhan merupakan tantangan ke depan.
Dalam hal cadangan pangan, sifat komoditas pangan yang bersifat musiman sementara pendapatan
masyarakat umumnya sangat rendah menuntut perlunya ada cadangan pangan. Disamping itu
adanya kondisi iklim yang tidak menentu sehingga sering terjadi pergeseran penanaman, masa
pemanenan yang tidak merata sepanjang tahun, serta sering timbulnya bencana yang tidak terduga
(banjir, longsor, kekeringan, gempa) memerlukan sistem pencadangan pangan yang baik. Sampai
saat ini masih belum berkembang cadangan pangan pemerintah dan masyarakat yang efektif dan
efisien di daerah. Sebenarnya potensi pengembangan cadangan pangan di daerah cukup tinggi,
seperti : (a) pengembangan sistem pencadangan pangan daerah untuk mengantisipasi kondisi
darurat bencana alam minimal 3 (tiga) bulan, (b) pengembangan cadangan pangan hidup
(pekarangan, lahan desa, lahan tidur, tanaman bawah tegakan perkebunan), (c) pengembangan
untuk menguatkan kelembagaan lumbung pangan masyarakat, (d) pengembangan sistem cadangan
pangan melalui Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan ataupun lembaga usaha lainnya.
Standar ketersediaan pangan dengan adalah sebesar 2200 kilo kalori dan protein 57 gram per kapita
per hari. Ketersedian pangan Indonesia telah melebihi standar tersebut yakni sebesar 3031 kilo
kalori dan protein 76,28 gram per kapita per hari (NBM, 2005). Sedangkan kemandirian pangan yang
diukur dengan ketergantungan impor (rasio impor terhadap ketersediaan), tampak bahwa umumnya
kurang dari 10 persen (padi 0,77 %, jagung 9,14 %, kacang tanah 7,87 %, ubi kayu 0%, ubi jalar 0 %,
sayuran 6,95 %, buah-buahan 0,47 % , minyak goreng 0 %, dan daging 4,07 %, sedangkan yang
melebihi dari 10 persen terjadi pada komoditas kedelai 60,98 % dan susu 92,38 %. Namun
perkembangan kemandirian pangan dari komoditas pangan Indonesia relatif konstan, hal ini
disebabkan komoditas pangan di indonesia daya saingnya rendah. Dalam teori ekonomi kemandirian
pangan hanya dapat dilakukan jika ada peningkatan efisiensi produksi.
Keamanan pangan segar dan pangan olahan masih merupakan isu strategis yang harus memperoleh
perhatian memadai. Hal ini disebabkan karena masih kurangnya pengetahuan dan kepedulian
Kondisi rumah tangga rawan pangan masih terjadi di semua propinsi meski dengan besaran yang
berbeda.Meski prevalensi rumahtangga sangat rawan konsumsi pangan semakin menurun, namun
persentase rumahtangga dengan tingkat kerawanan rend ah hingga sedang masih tinggi dan
berpotensi untuk turun ke kondisi rawan pangan tingkat berat apabila terjadi gejolak ekonomi yang
dapat menurunkan daya bellinya terhada pangan. Walaupun angka kemiskinan telah menujukkan
penurunan sampai sekitar 14.7 persen atau sekitar 34.9 juta pada tahun 2008, pengentasan
kemiskinan yang tidak memecahkan akar persoalannya tidak secara otomatis memecahkan
permasalahan kerawanan pangan. Persoalan menjadi lebih pelik karena jumlah petani gurem
dengan lahan tidak sampai 0.5 hektar semakin lama semakin banyak.
Pada tahun 2005 di Indonesia diperkirakan balita gizi kurang dan buruk cukup tinggi yakni sekitar 28
% yang hampir terjadi pada semua propinsi. Saat ini jumlah anak balita dengan status gizi buruk
diperkirakan sebesar 8.81 persen (sekitar 5 juta jiwa) dan gizi kurang sebesar 19,0 persen dan
beberapa masalah gizi lainnya seperti anemia gizi besi (AGB), gangguan akibat kekurangan iodium
(GAKI) dan kurang vtamin A (KVA) masih terjadi. Berdasarkan Susenas 2005, konsumsi garam
beryodium baru mencapai 72,8 persen. Hal ini menunjukkan masih besarnya potensi terjadinya GAKI
pada masyarakat. Kekurangan yodium tingkat awal pada anak terbukti dapat menurunkan
kecerdasan atau IQ Masalah gizi kurang juga dapat terjadi pada kelompok usia produktif, dimana
masalah kurang energi kronis (KEK) adalah 16,7 persen pada 2003. Pada saat yang bersamaan pada
kelompok usia produktif juga terdapat masalah kegemukan (IMT>25) dan obesitas (IMT>27).
Visi
“Terwujudnya rumahtangga tahan pangan dan gizi yang berlandaskan pada kemandirian penyediaan
pangan berbasis sumberdaya lokal yang efisien dan berkelanjutan”
STRATEGI
REFERENSI
1. Tri Bastuti Purwantini, Handewi P.S. Tachman dan Yuni Marisa. Analisis ketahanan pangan
regional dan tingkat rumah tangga (studi kasus di Provinsi Sulawesi utara). Pusat analisis sosial
ekonomi dan kebijakan pertanian. Badan Litbang Departemen Pertanian. Bogor: 2001.
2. Indonesia tahan pangan dan gizi 2015. Dewan ketahanan pangan (DKP): 2009.
3. Yusuf reynald geotena lamabelawa. Analisis sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) dalam
mengatasi masalah gizi buruk Di kabupaten lembata Propinsi nusa tenggara timur. TESIS.
Program pasca sarjana Universitas Diponegoro Semarang: 2006.
4. Harian Kedaulatan Rakyat, Edisi Kamis Kliwon, 3 Maret 2011
5. Biro Pusat Statistik: DIY dalam Angka Tahun 2007, 2008, 2009.