KELOMPOK 6 :
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS PERTANIAN
AGROEKOTEKNOLOGI
2011
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Pemurah, karena
berkat kemurahanNya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam
makalah ini kami membahas “Kebudayaan”, kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota
masyarakat.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman masalah kebudayaan yang
sangat penting dan sangat mendasar dalam masyarakat dan sekaligus melakukan apa yang
menjadi tugas mahasiswa yang mengikuti mata kuliah praktikum “Sosiologi Pertanian”
Tim Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Suatu sikap merupakan kecondongan yang berasal dari dalam diri individu untuk
berkelakuan dengan suatu pola tertentu, terhadap suatu obyek berupa manusia, hewan atau
benda, akibat pendirian dan perasaannya terhadap obyek tersebut. Pada akhirnya, baik nilai-nilai
budaya maupun sikap bisa mempengaruhi tindakan manusia baik secara langsung maupun
melalui pola-pola cara berpikir. Masyarakat desa selalu memiliki ciri-ciri atau dalam hidup
bermasyarakat, yang biasanya tampak dalam perilaku keseharian mereka.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui dan memahami pengertian keebudayaan
2. Mengetahui dan memahami unsur-unsur kebudayaan
3. Mengetahui dan memahami wujud dan komponen kebudayaan
4. Mengetahui dan memahami hubungan antar unsur kebudayaan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi
system idea tau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan
seehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sistem Ekonomi
Keluarga
Kekuasaan Politik
Organisasi Ekonomi
1. Kebudayaan Material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata.
Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari
suatu penggalian arkeologi: mangkuktanah liat, perhiasan, senjata, dan sebagainya.
Kebudayaan material juga mencakup barang-barang seperti televise, pesawat terbang,
pakaian, gedung pencakar langit, dan seebagainya.
2. Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari
generasi. Misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, lagu-lagu daeh dan tarian tarian
daerah.
PEMBAHASAN
Jurnal nomor 1:
Menurut statistic sensus pertanian 1963, di Indonesia terdapat lebih dari 41.000
komunitas desa, diantaranya lebih dari 21.000 terdapat di jawa. Ke-41.000 komunitas desa itu di
diami oleh lebih dari 80.000000 penduduk, yaitu lebih kurang 80% dari seluruh penduduk waktu
itu, yang berarti bahwa sebagian besar penduduk Indonesia masih berkerja dalam sector
pertanian (termasuk perternakan dan perikanan). Ke-41.000 komunitas desa tersebut dapat kita
bagi ke dalam beberapa golongan berdasarkan teknologi usaha taninya, menjadi dua golongan
(1) desa-desa yang berdasarkan cocok tanam di ladang dan (2) desa-desa yang berdasarkan
cocok tanam di sawah.
Teknologi bercocok tanam di ladang memerlukan tanah yang luas, disuatu daerah yang
masih merupakan hutan rimbah yang sedapat mungkin masih perawan. Para petani mulai
membuka suatu ladang dengan membersihkan belukar bawah di suatu bagian tertentu dari hutan,
kemudian menebang pohon-pohon besar. Batang-batang, cabang-cabang, dahan-dahan serta
daun-daun dibakar, dan dengan demikian terbukalah suatu ladang yang kemudian ditanami
dengan bermacam tanaman tanpa pengolahan tanah yang berarti, yaitu tanpa dicangkul, diberi air
atu pupuk secara khusus. Abu yang berasal dari pembakaran pohon cukup untuk memberikan
kesuburan pada tanaman. Airpun hanya yang berasal dari hujan saja, tanpa suatu sistem irigasi
yang mengaturnya. Metode penanaman biji tanaman juga sangatlah sederhana, yaitu hanya
dengan menggunakan tongkat tugal, yaitu dengan cara menusukkan ke dalam tanah dan
kemudian biji-biji tanaman dimasukkan yang biasanya dikerjakan oleh para wanita.
Teknik bercocok tanam seperti itu menyebabkan adanya sebutan slashn and burn
agriculture, atau bercocok tanam menebang dan membakar. yang menggambarkan keadaan
bahwa setiap kali setelah suatu ladang terpakai sebanyak dua atau tiga kali panen, tanah yang tak
digarap dulu serta tak disuburkan dengan pupuk dan air secara teratur itu, lama-lama akan
kehabisan zat hara dan tidak akan menghasilkan lagi, akibatnya ialah bahwa para petaninya harus
meninggalkannya dan membuka ladang baru dengan teknik yang sama, yaitu dengan menebang
dan membakar bagian yang baru dari hutan. Dalam sepuluh tahun sudah berpindah tempat
sebanyak lima sampai enam kali.
Seorang petani di jawa, Madura atau d bali, dalam kenyataan menggarap 3 macam tanah
pertanian, yaitu (1) kebun kecil di sekitar rumahnya;(2) tanah pertanian kering yang digarap
dengan menetap. Tetapi tanpa irigasi, dan (3) tanah pertanian basah yang diirigasi. Di tanah
kebun kecil sekitar rumah disebut pekarangan yang ditanami buah-buahan, sayur-mayur, bumbu-
bumbu, umbi-umbian dan sebagainya yang sebagian besar dikonsumsi sendiri, dantidak sedikit
masyarakat yang menjualnya di pasar desa.
Ditanah pertanian kering, yang dijawa biasanya disebut tegalan, petani-petani menanam
serangkaian tanaman yang kebanyakan dijual dipasar atau kepada tengkulak. Tanaman itu adalah
anatara lain jagung, kacang kedelai, berbagai jenis kacang, tembakau, singkong, umbi-umbian,
tetapi juga padi yang dapat tumbuh tanpa irigasi. Bercocok tanam ditanah basah atau sawah itu,
seperti tersebut diatas memang merupakan usaha tani yang paling pokok dan paling penting bagi
para petani di Jawa dan Bali sejak beberapa abad lamanya. Dengan teknik penggarapan tanah
yang intensif dan dengan cara-cara pemupukan dan irigasi yang tradisional, para petani tersebut
menanam tanaman tunggal, yaitu padi.
Salah satu cara untuk mengerahkan tenaga tambahan untuk pekerjaan bercocok tanam
secaea tradisional adalah system bantu membantu yang di Indonesia dikenal dengan istilah
gotong royong.dalam pertanian di jawa, system gotong royng biasanya hanya dilakukan untuk
pekeerjaan yang meliputi perbaikan pematang dan saluran air, mencangkul dan membajak,
menanam dan memberrsihkan sawah dari tanaman liar.
Fragmentasi yang sifatnya ekstrim terjadi karena petani membagi-bagi tanahnya untuk digarap
oleh sejumlah petani lain dengan berbagai macam cara. Diantaranya ada cara yang paling
tradisional, yaitu ketiga adat bagi hasil : maro, mertelu, merpat. Fragmentasi ssekarang juga
terjadi karena di samping membagi hasil bagian-bagian dari tanahnya keepada sejumlah petani
lain, seorang petani pemilik seringkali menyewakan beberapa bagian dari tanahnya, sehingga
dengan demikian ia tidak hanya menerima pendapatan berupa hasil bumi tetapi juga berupa uang
tunai.
Proses fragmentasi di Jawa dan Madura memang berjalan terus, dan dengan demikian
makan tanah pertanian milik para petani itu menjadi semakin kecil. Perlu diperhatikan bahwa
proses fragmentasi tanah pertanian garapan di Jawa , Madura dan Bali yang menjadi smakin
ekstrim ini disebabkan karena penambahan penduduk yang sangat cepat, dibarengi dengan
proses lain yang sebenarnya bertentangan yaitu proses konsentrasi pemilikan ke dalam tangan
dari sejumlah petani kaya yang terbatas jumlahnya.
Penduduk desa pada umumnya juga terlibat dalam bermacam-macam pekerjaan di luar
sektor pertanian dan mengerjakan kedua sektor tersebut pada waktu yang bersamaan, sebagai
pekerjaan primeer dan sekunder. Seorang petani yang memiliki sebidang tanah yyang cukup luas
yang juga memiliki sebuah warung yang dijaga oleh ibunya pada awal bercocok tanam.
Sedangkan petani yang tidak mempunyai tanah mungkin memiliki sebuah warung yang
diusahakan oleh istrinya, sedangkan ia sendiri pada awal musim bercocok tanam sibuk bekerja
sebagai buruh tani pada petani-petani lain.
Sepanjang masa, sebagian besar komunitas desa di Indonesia telah di domonasi oleh
suatu kekuasaan terpusat tertentu. Makin berkembangnya kesempatan dan prasarana untuk suatu
gaya hidup dengan mobilitas geografikal yang tinggi hamper tidak ada komunitas yang bersahaja
yang ter isolasi di Negara kita. Kesadaran akan adanya suatu dunia luas di luar komunitas desa
sendiri perlu di analisa, lepas dari jangkauan hubungan dari petani pedesaan dengan orang –
orang atau kelompok – kelompok tertentu di dunia luar.
Suatu konsep yang cocok untuk menganalisa antara kesadaran dan pengertian dari para
petani pedesaan mengenai dunia luar komunitas itu, serta ruang lingkup hubungan sosialnya di
sana adalah konsep yang di kembangkan oleh ahli antropologi – social J.A Barnes meengenai
“lapangan – lapangan social”. Dengan mempergunakan konsep ini sebagai jaringan – jaringan
hubungan petani – petani pedesaan, seeorang peneliti dengan demikian dapat membuat suatu
deskripsi kongkrit secara kualitatif dan kuantitatif tentang berbagai macam pola dari lapangan
lapangan social para petani yang berdasarkan sifat, ruang lungkup, intensitas, serta frekuensi dari
hubungan – hubungannya.
Pada jurnal nomer 1 dijelaskan bahwa masyarakat desa menggunakan system pertanian
ladang. Teknologi bercocok tanam di ladang memerlukan tanah yang luas, disuatu daerah yang
masih merupakan hutan rimbah yang sedapat mungkin masih perawan. Para petani mulai
membuka suatu ladang dengan membersihkan belukar bawah di suatu bagian tertentu dari hutan,
kemudian menebang pohon-pohon besar. Batang-batang, cabang-cabang, dahan-dahan serta
daun-daun dibakar, dan dengan demikian terbukalah suatu ladang yang kemudian ditanami
dengan bermacam tanaman tanpa pengolahan tanah yang berarti, yaitu tanpa dicangkul, diberi air
atu pupuk secara khusus. Abu yang berasal dari pembakaran pohon cukup untuk memberikan
kesuburan pada tanaman. Airpun hanya yang berasal dari hujan saja, tanpa suatu sistem irigasi
yang mengaturnya. Metode penanaman biji tanaman juga sangatlah sederhana, yaitu hanya
dengan menggunakan tongkat tugal, yaitu dengan cara menusukkan ke dalam tanah dan
kemudian biji-biji tanaman dimasukkan yang biasanya dikerjakan oleh para wanita.
Secara teoritis, paige melihat berbagai kelompok yang memiliki peran cukup besar dalam
pertumbuhan konflik di pedesaan. Mereka memiliki banyak prinsip yang kemungkinan berbeda
dari kelompok sosialnya, tetapi mereka juga mempunyai peran utama yang unik terhadap tanah
pertanian. Peneliti memberi batasan bahwa kelompok – kelompok sosial di Jenggawah yaitu
Petani Cukupan (cultivator), Petani Kekurangan (non – cultivator) dan perkebunan. Menurut
versi Paige, konflik akan muncul dari kelompok cultivator dan non – cultivator. Timbulnya
konflik petani di pedesaan menurut kalangan strukturalis Scottian digambarkan kondisi sosial
penduduk pedesaan, yang berarti juga merupakan realitas sosial sebagai besar petani di Asia
Tenggara.
Jika dilihat dari asal usulnya, tanah sumber konflik antara petani dan PTP XXVII yang
kemudian melibatkan Negara Orde Baru (NOB) adalah bekas hak erpacht Hindia Belanda.
Diawali dengan PP No. 173/1961 dibentuklah Perusahaan Perkebunan Negara Kesatuan Jatim
IX, yang kemudian bentuknya diubah menjadi Perusahaan Perkebunan (Negara) Tembakau V
dan VI melalui PP No. 30/1966. Dalam proses peralihan bentuk tersebut, diterbitkan SK
Mendagri No. 32/HGU/DA/1969 tertanggal 5 Desember 1969.
Perjalanan konflik tanah di Jenggawah dimulai sebelum 1969. Tetapi konflik yang
bersumber dari gagalnya landreform (pengkaplingan tanah) mereda dan kemudian konflik
muncul kembali pada tahun 1969. Kerusuhan itu memuncak pada Juli 1979, sehingga terjadi
perusakan terhadap tanaman, rumah dan pembakaran gudang. Setelah peristiwa 1979, petani
tampaknya mengambil strategi coolling down menuju pada status wilayah yang diperlihatkan
aman. Konsolidasi ini berlangsung sejak 1980 – 1994. Ledakan konflik dengan berbagai
konsekuensinya ini bermula dari munculnya keputusan Menteri Negara Agraria/Badan
Pertanahan Nasional No. 74/HGU/BPN/1994 tentang pemberian perpanjangan hak guna usaha
PT Ajong Gayasan di Kabupaten Jember. Akibatnya, kasus 1979 terulang kembali. Perusakan
serupa terjadi di rumah mandor Tonali, Dusun Curahrejo, Desa Sukomakmur, Kecamatan
Jenggawah. Memperhatikan model kerawanan Scottian maka pemberian perpanjangan HGUoleh
Menteri Negara Agraria/Badan Pertahanan Nasional dapat dianggap sebagai ancaman nyata,
baik secara legal maupun struktural. Hal ini dianggap ancaman karena tanah yang mereka garap
bukan hak milik sendiri secara hukum, hingga sewaktu – waktu dapat mengancamnya, kemudian
aset tanah yang dicakup oleh perpanjangan HGU yang luasnya mencakup 2 ribu hektar , yang
berarti hidup para petani di bawah wilayah kekuasaan PTP dan yang terakhir adalah potensi
tanah yang menjadi sumber konflik merupakan penghasil terbesar tembakau jenis Na Oogst di
Karesidenan Besuki. Dari penjelasan di atas, sebenarnya spirit protes petani Jenggawah muncul
akibat kerawanan struktural yang dianggap merugikan mereka.
Dari artikel nomer 9 dapat disimpulkan bahwa tanah sumber konflik antara petani dan
PTP XXVII yang kemudian melibatkan Negara Orde Baru (NOB) adalah bekas hak erpacht
Hindia Belanda. Diawali dengan PP No. 173/1961 dibentuklah Perusahaan Perkebunan Negara
Kesatuan Jatim IX, yang kemudian bentuknya diubah menjadi Perusahaan Perkebunan (Negara)
Tembakau V dan VI melalui PP No. 30/1966. Dalam proses peralihan bentuk tersebut,
diterbitkan SK Mendagri No. 32/HGU/DA/1969 tertanggal 5 Desember 1969.
Berdasarkan literature konflik tanah di Jenggawah memiliki peran cukup besar dalam
pertumbuhan konflik di pedesaan. Mereka memiliki banyak prinsip yang kemungkinan berbeda
dari kelompok sosialnya, tetapi mereka juga mempunyai peran utama yang unik terhadap tanah
pertanian. Konflik akan muncul dari kelompok Petani kaya dan Petani kekurangan. Timbulnya
konflik petani di pedesaan merupakan kondisi sosial penduduk pedesaan, dan merupakan
realitas masalah social masyarakat pertanian di Indonesia termasuk Asia.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi
system idea tau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-
hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Menurut J.J. Hoeningman, wujud kebudayaan dibedakan
menjadi tiga, yaitu Gagasan, aktivitas, artefak. Berdasarkan wujudnya tersebut kebudayaan
dapat digolongkan atas dua komponen utama yaitu kebudayaan material dan kebudayaan non
material
4.2 Saran
1. Dalam menjelaskan materi lebih dikeraskan lagi suaranya
2. Tempat praktikum kurang nyaman.
3. Praktikum terlalu malam
DAFTAR PUSTAKA
Setiadi, elly, dkk. 2007. Ilmu social dan budaya dasar edisi kedua. Kencana prenada media grup.
Bandung.