Anda di halaman 1dari 15

TUGAS PRAKTIKUM SOSIOLOGI PERTANIAN

KEBUDAYAAN (ARTIKEL 1 DAN 9)


KELAS E

KELOMPOK 6 :

Bahtiar A.D 105040203111016


Agriawan Roswanto 105040203111020
Sri Ria Vidia Antika 105040213111026
Firdausi Indah l 105040213111057
Mauidzotussyarifah 105040213111059
Agatha Eritza w 105040213111062

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS PERTANIAN
AGROEKOTEKNOLOGI
2011
KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Pemurah, karena
berkat kemurahanNya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam
makalah ini kami membahas “Kebudayaan”, kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota
masyarakat.

Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman masalah kebudayaan yang
sangat penting dan sangat mendasar dalam masyarakat dan sekaligus melakukan apa yang
menjadi tugas mahasiswa yang mengikuti mata kuliah praktikum “Sosiologi Pertanian”

Demikian makalah ini kami buat semoga bermanfaat,

Malang, 9 Maret 2011

Tim Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat.. Melville J. Herkovoits dan


Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat
ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.

Suatu sikap merupakan kecondongan yang berasal dari dalam diri individu untuk
berkelakuan dengan suatu pola tertentu, terhadap suatu obyek berupa manusia, hewan atau
benda, akibat pendirian dan perasaannya terhadap obyek tersebut. Pada akhirnya, baik nilai-nilai
budaya maupun sikap bisa mempengaruhi tindakan manusia baik secara langsung maupun
melalui pola-pola cara berpikir. Masyarakat desa selalu memiliki ciri-ciri atau dalam hidup
bermasyarakat, yang biasanya tampak dalam perilaku keseharian mereka.

1.2 Tujuan
1. Mengetahui dan memahami pengertian keebudayaan
2. Mengetahui dan memahami unsur-unsur kebudayaan
3. Mengetahui dan memahami wujud dan komponen kebudayaan
4. Mengetahui dan memahami hubungan antar unsur kebudayaan
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Kebudayaan

Kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi
system idea tau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan
seehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak.

Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia


sebagai makhluk yang berbudaya, berupa peerilaku dan benda-benda yang bersifat nyata.
Misalnya, pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organbisasi social, religi, seni, dan lain-
lain yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan.

2.2 Unsur-unsur Kebudayaan

1. Melville J. Herkovits menyebutkan kebudayaan memilik 4 unsur pokok, yaitu :

 Alat- alat teknologi

 Sistem Ekonomi

 Keluarga

 Kekuasaan Politik

2. Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi :

 Sistem norma social

 Organisasi Ekonomi

 Alat-alat dan lembaga atau petugas untuk pendidikan

 Organisasi Kekuatan (politik)

3.1 Wujud danKomponen Kebudayaan

Menurut J.J. Hoeningman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga, yaitu :


1. Gagasan (Wujud Ideal)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak. Wujud
kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di dalam pemikiran masyarakat. Jika
masyarakat menyatakan gagasan mereeka dalam bentuk tulisan, maka lokasi kebudayaan
ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil masyarakat.
2. Aktivitas (Tindakan)
Aktivitas adalahwujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat itu. Wujud ini disebut dengan system social.
3. Artefak (Karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan
karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat
diraba, dilihat dan didokumentasikan.

Berdasarkan wujuddnya tersebut, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen


utama, yaitu :

1. Kebudayaan Material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata.
Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari
suatu penggalian arkeologi: mangkuktanah liat, perhiasan, senjata, dan sebagainya.
Kebudayaan material juga mencakup barang-barang seperti televise, pesawat terbang,
pakaian, gedung pencakar langit, dan seebagainya.
2. Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari
generasi. Misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, lagu-lagu daeh dan tarian tarian
daerah.

3.2 Hubungan Unsur-unsur Kebudayaan


1. Peralatan dan perlengkapan hidup (Teknologi)
Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta
memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara
manusia mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan rasa
keindahan atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian.
2. Sistem mata pencaharian
Perhatian para ilmuwan pada system mata pencaharian terfokus pada masalah –
masalah mata pencaharian tradisional saja, diantaranya berburu, beternak, bercocok
tanam di ladang dan menangkap ikan.
3. Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial
Sistem kekerabatan dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur social
dari masyarakat yang bersangkutan Kekerabatan adalah unit-unit social yang terdiri
dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau perkawinan.
Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan social yang dibentuk oleh
masyarakat, baik yang bebadan hokum maupun yang tidak berbadan hukum yang
berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan
Negara.
4. Bahasa
Bahasa adalah alat perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling
berkomunikasi atau berhubungan baik melalui lisa, tuliasan ataupun gerakan dengan
tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya.
5. Kesenian
Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi
hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati mata ataupun telinga. Sebagai
makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi,manusia menghasilkan berbagai corak
kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks.
6. Sistem kepercayaan
Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam
menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan,
muncul keyakinan akan adanya penguasa jagad raya ini, yang juga mengendalikan
manusia sebagai salah satu bagian dari jagad raya. Sehubungan dengan itu, baik
secara individual maupun hidup bermasyarakat tidak dapat dilepaskan dari religi atau
system kepercayaan kepada penguasa alam semesta. Agama dan system kepercayaan
lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama adalah sebuah unsure
kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia.
7. Pernikahan
Agama sering kali mempengaruhi pernikahan dan perilaku seksual. Kebanyakan
gereja Kristen memberikan pemberkatan kepada pasangan yangbuah menikah, gereja
Katolik Roma mempercayai sebuah perceraian adalah salah dan orang yang bercerai
tidak dapat dinikahkan kembali di gereja sementara Agama Islam menganjurkan
untuk tidak melakukan perceeraian, namun memperbolehkannya.
8. Sistem Ilmu pengetahuan
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat,
keadaan dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di
dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan
berpikir menurut logika atau percobaan-percobaan yang bersifat empiris.
BAB III

PEMBAHASAN

Jurnal nomor 1:

Masyarakat Pedesaan Indonesia

Menurut statistic sensus pertanian 1963, di Indonesia terdapat lebih dari 41.000
komunitas desa, diantaranya lebih dari 21.000 terdapat di jawa. Ke-41.000 komunitas desa itu di
diami oleh lebih dari 80.000000 penduduk, yaitu lebih kurang 80% dari seluruh penduduk waktu
itu, yang berarti bahwa sebagian besar penduduk Indonesia masih berkerja dalam sector
pertanian (termasuk perternakan dan perikanan). Ke-41.000 komunitas desa tersebut dapat kita
bagi ke dalam beberapa golongan berdasarkan teknologi usaha taninya, menjadi dua golongan
(1) desa-desa yang berdasarkan cocok tanam di ladang dan (2) desa-desa yang berdasarkan
cocok tanam di sawah.

BERCOCOK TANAM DI LADANG

Teknologi bercocok tanam di ladang memerlukan tanah yang luas, disuatu daerah yang
masih merupakan hutan rimbah yang sedapat mungkin masih perawan. Para petani mulai
membuka suatu ladang dengan membersihkan belukar bawah di suatu bagian tertentu dari hutan,
kemudian menebang pohon-pohon besar. Batang-batang, cabang-cabang, dahan-dahan serta
daun-daun dibakar, dan dengan demikian terbukalah suatu ladang yang kemudian ditanami
dengan bermacam tanaman tanpa pengolahan tanah yang berarti, yaitu tanpa dicangkul, diberi air
atu pupuk secara khusus. Abu yang berasal dari pembakaran pohon cukup untuk memberikan
kesuburan pada tanaman. Airpun hanya yang berasal dari hujan saja, tanpa suatu sistem irigasi
yang mengaturnya. Metode penanaman biji tanaman juga sangatlah sederhana, yaitu hanya
dengan menggunakan tongkat tugal, yaitu dengan cara menusukkan ke dalam tanah dan
kemudian biji-biji tanaman dimasukkan yang biasanya dikerjakan oleh para wanita.

Teknik bercocok tanam seperti itu menyebabkan adanya sebutan slashn and burn
agriculture, atau bercocok tanam menebang dan membakar. yang menggambarkan keadaan
bahwa setiap kali setelah suatu ladang terpakai sebanyak dua atau tiga kali panen, tanah yang tak
digarap dulu serta tak disuburkan dengan pupuk dan air secara teratur itu, lama-lama akan
kehabisan zat hara dan tidak akan menghasilkan lagi, akibatnya ialah bahwa para petaninya harus
meninggalkannya dan membuka ladang baru dengan teknik yang sama, yaitu dengan menebang
dan membakar bagian yang baru dari hutan. Dalam sepuluh tahun sudah berpindah tempat
sebanyak lima sampai enam kali.

BERCOCOK TANAM MENETAP DI JAWA, MADURA DAN BALI.

Seorang petani di jawa, Madura atau d bali, dalam kenyataan menggarap 3 macam tanah
pertanian, yaitu (1) kebun kecil di sekitar rumahnya;(2) tanah pertanian kering yang digarap
dengan menetap. Tetapi tanpa irigasi, dan (3) tanah pertanian basah yang diirigasi. Di tanah
kebun kecil sekitar rumah disebut pekarangan yang ditanami buah-buahan, sayur-mayur, bumbu-
bumbu, umbi-umbian dan sebagainya yang sebagian besar dikonsumsi sendiri, dantidak sedikit
masyarakat yang menjualnya di pasar desa.

Ditanah pertanian kering, yang dijawa biasanya disebut tegalan, petani-petani menanam
serangkaian tanaman yang kebanyakan dijual dipasar atau kepada tengkulak. Tanaman itu adalah
anatara lain jagung, kacang kedelai, berbagai jenis kacang, tembakau, singkong, umbi-umbian,
tetapi juga padi yang dapat tumbuh tanpa irigasi. Bercocok tanam ditanah basah atau sawah itu,
seperti tersebut diatas memang merupakan usaha tani yang paling pokok dan paling penting bagi
para petani di Jawa dan Bali sejak beberapa abad lamanya. Dengan teknik penggarapan tanah
yang intensif dan dengan cara-cara pemupukan dan irigasi yang tradisional, para petani tersebut
menanam tanaman tunggal, yaitu padi.

Salah satu cara untuk mengerahkan tenaga tambahan untuk pekerjaan bercocok tanam
secaea tradisional adalah system bantu membantu yang di Indonesia dikenal dengan istilah
gotong royong.dalam pertanian di jawa, system gotong royng biasanya hanya dilakukan untuk
pekeerjaan yang meliputi perbaikan pematang dan saluran air, mencangkul dan membajak,
menanam dan memberrsihkan sawah dari tanaman liar.

FRAGMENTASI SAWAH DI JAWA DAN BALI

Fragmentasi yang sifatnya ekstrim terjadi karena petani membagi-bagi tanahnya untuk digarap
oleh sejumlah petani lain dengan berbagai macam cara. Diantaranya ada cara yang paling
tradisional, yaitu ketiga adat bagi hasil : maro, mertelu, merpat. Fragmentasi ssekarang juga
terjadi karena di samping membagi hasil bagian-bagian dari tanahnya keepada sejumlah petani
lain, seorang petani pemilik seringkali menyewakan beberapa bagian dari tanahnya, sehingga
dengan demikian ia tidak hanya menerima pendapatan berupa hasil bumi tetapi juga berupa uang
tunai.

Proses fragmentasi di Jawa dan Madura memang berjalan terus, dan dengan demikian
makan tanah pertanian milik para petani itu menjadi semakin kecil. Perlu diperhatikan bahwa
proses fragmentasi tanah pertanian garapan di Jawa , Madura dan Bali yang menjadi smakin
ekstrim ini disebabkan karena penambahan penduduk yang sangat cepat, dibarengi dengan
proses lain yang sebenarnya bertentangan yaitu proses konsentrasi pemilikan ke dalam tangan
dari sejumlah petani kaya yang terbatas jumlahnya.

MATA PENCAHARIANPETANI DI LUAR SEKTOR PERTANIAN

Penduduk desa pada umumnya juga terlibat dalam bermacam-macam pekerjaan di luar
sektor pertanian dan mengerjakan kedua sektor tersebut pada waktu yang bersamaan, sebagai
pekerjaan primeer dan sekunder. Seorang petani yang memiliki sebidang tanah yyang cukup luas
yang juga memiliki sebuah warung yang dijaga oleh ibunya pada awal bercocok tanam.
Sedangkan petani yang tidak mempunyai tanah mungkin memiliki sebuah warung yang
diusahakan oleh istrinya, sedangkan ia sendiri pada awal musim bercocok tanam sibuk bekerja
sebagai buruh tani pada petani-petani lain.

KOMUNITAS DESA DAN DUNIA DI LUAR DESA

Sepanjang masa, sebagian besar komunitas desa di Indonesia telah di domonasi oleh
suatu kekuasaan terpusat tertentu. Makin berkembangnya kesempatan dan prasarana untuk suatu
gaya hidup dengan mobilitas geografikal yang tinggi hamper tidak ada komunitas yang bersahaja
yang ter isolasi di Negara kita. Kesadaran akan adanya suatu dunia luas di luar komunitas desa
sendiri perlu di analisa, lepas dari jangkauan hubungan dari petani pedesaan dengan orang –
orang atau kelompok – kelompok tertentu di dunia luar.

Suatu konsep yang cocok untuk menganalisa antara kesadaran dan pengertian dari para
petani pedesaan mengenai dunia luar komunitas itu, serta ruang lingkup hubungan sosialnya di
sana adalah konsep yang di kembangkan oleh ahli antropologi – social J.A Barnes meengenai
“lapangan – lapangan social”. Dengan mempergunakan konsep ini sebagai jaringan – jaringan
hubungan petani – petani pedesaan, seeorang peneliti dengan demikian dapat membuat suatu
deskripsi kongkrit secara kualitatif dan kuantitatif tentang berbagai macam pola dari lapangan
lapangan social para petani yang berdasarkan sifat, ruang lungkup, intensitas, serta frekuensi dari
hubungan – hubungannya.

Perbandingan jurnal nomer 1 dengan literature

Pada jurnal nomer 1 dijelaskan bahwa masyarakat desa menggunakan system pertanian
ladang. Teknologi bercocok tanam di ladang memerlukan tanah yang luas, disuatu daerah yang
masih merupakan hutan rimbah yang sedapat mungkin masih perawan. Para petani mulai
membuka suatu ladang dengan membersihkan belukar bawah di suatu bagian tertentu dari hutan,
kemudian menebang pohon-pohon besar. Batang-batang, cabang-cabang, dahan-dahan serta
daun-daun dibakar, dan dengan demikian terbukalah suatu ladang yang kemudian ditanami
dengan bermacam tanaman tanpa pengolahan tanah yang berarti, yaitu tanpa dicangkul, diberi air
atu pupuk secara khusus. Abu yang berasal dari pembakaran pohon cukup untuk memberikan
kesuburan pada tanaman. Airpun hanya yang berasal dari hujan saja, tanpa suatu sistem irigasi
yang mengaturnya. Metode penanaman biji tanaman juga sangatlah sederhana, yaitu hanya
dengan menggunakan tongkat tugal, yaitu dengan cara menusukkan ke dalam tanah dan
kemudian biji-biji tanaman dimasukkan yang biasanya dikerjakan oleh para wanita.

Berdasarkan literatur, masyarakat menggunakan sistem ladang berpindah karena pada


zaman-zaman ddulu masyarakat belum mengenal bagaimana cara membudidayakan tanaman
dengan baik dan mendapatkan hasil produksi panen yang optimal. Selain itu masyarakat
terdahulu kurang memahami dampak-dampak yang terjadi jika memakai system tebang bakar
tersebut. Masyarakat pada umumnya bercocoktanam hanya untuk memenuhi kebutuhan ssehari-
hari. Tapi seiring berkembangnya ilmu pengetahuan masyarakat mulai memikirkan keuntungan
yang akan didapatkan sehingga pola tanam semakin baik dan juga memperhatikan dampak
lingkungan yang akan terjadi.
Jurnal nomor 9:

KONFLIK TANAH DI JENGGAWAH

Secara teoritis, paige melihat berbagai kelompok yang memiliki peran cukup besar dalam
pertumbuhan konflik di pedesaan. Mereka memiliki banyak prinsip yang kemungkinan berbeda
dari kelompok sosialnya, tetapi mereka juga mempunyai peran utama yang unik terhadap tanah
pertanian. Peneliti memberi batasan bahwa kelompok – kelompok sosial di Jenggawah yaitu
Petani Cukupan (cultivator), Petani Kekurangan (non – cultivator) dan perkebunan. Menurut
versi Paige, konflik akan muncul dari kelompok cultivator dan non – cultivator. Timbulnya
konflik petani di pedesaan menurut kalangan strukturalis Scottian digambarkan kondisi sosial
penduduk pedesaan, yang berarti juga merupakan realitas sosial sebagai besar petani di Asia
Tenggara.

Jika dilihat dari asal usulnya, tanah sumber konflik antara petani dan PTP XXVII yang
kemudian melibatkan Negara Orde Baru (NOB) adalah bekas hak erpacht Hindia Belanda.
Diawali dengan PP No. 173/1961 dibentuklah Perusahaan Perkebunan Negara Kesatuan Jatim
IX, yang kemudian bentuknya diubah menjadi Perusahaan Perkebunan (Negara) Tembakau V
dan VI melalui PP No. 30/1966. Dalam proses peralihan bentuk tersebut, diterbitkan SK
Mendagri No. 32/HGU/DA/1969 tertanggal 5 Desember 1969.

Perjalanan konflik tanah di Jenggawah dimulai sebelum 1969. Tetapi konflik yang
bersumber dari gagalnya landreform (pengkaplingan tanah) mereda dan kemudian konflik
muncul kembali pada tahun 1969. Kerusuhan itu memuncak pada Juli 1979, sehingga terjadi
perusakan terhadap tanaman, rumah dan pembakaran gudang. Setelah peristiwa 1979, petani
tampaknya mengambil strategi coolling down menuju pada status wilayah yang diperlihatkan
aman. Konsolidasi ini berlangsung sejak 1980 – 1994. Ledakan konflik dengan berbagai
konsekuensinya ini bermula dari munculnya keputusan Menteri Negara Agraria/Badan
Pertanahan Nasional No. 74/HGU/BPN/1994 tentang pemberian perpanjangan hak guna usaha
PT Ajong Gayasan di Kabupaten Jember. Akibatnya, kasus 1979 terulang kembali. Perusakan
serupa terjadi di rumah mandor Tonali, Dusun Curahrejo, Desa Sukomakmur, Kecamatan
Jenggawah. Memperhatikan model kerawanan Scottian maka pemberian perpanjangan HGUoleh
Menteri Negara Agraria/Badan Pertahanan Nasional dapat dianggap sebagai ancaman nyata,
baik secara legal maupun struktural. Hal ini dianggap ancaman karena tanah yang mereka garap
bukan hak milik sendiri secara hukum, hingga sewaktu – waktu dapat mengancamnya, kemudian
aset tanah yang dicakup oleh perpanjangan HGU yang luasnya mencakup 2 ribu hektar , yang
berarti hidup para petani di bawah wilayah kekuasaan PTP dan yang terakhir adalah potensi
tanah yang menjadi sumber konflik merupakan penghasil terbesar tembakau jenis Na Oogst di
Karesidenan Besuki. Dari penjelasan di atas, sebenarnya spirit protes petani Jenggawah muncul
akibat kerawanan struktural yang dianggap merugikan mereka.

Perjalanan konflik tanah di jenggawah dimulai sebeelum 1969. Peristiwa yang


mendahului adalah gagalnya pelakssanaan land reform atau orang desa menyebutnya
pengkaplingan tana, karena tanah yang luas dikapling-kapling menjadi 0,300 ha untuk masing-
masing bagia. Tetapi konflik yang bersumber dari gagalnya landform mereda. Kemudian konflik
muncul kembali pada 1969 ketika akan dibeerlakukan SK Mendagri No. 32/HGU DA/1969
kepada PPD XXVII yang dianggap gagal. Penyelesaian pada konflik ini masih rumit karena
belum terakomodasinya sumber-sumber konflik secara seimbang dan tidak diselesaikan dengan
tuntas.

Perbandingan jurnal nomer 9 dengan literatur

Dari artikel nomer 9 dapat disimpulkan bahwa tanah sumber konflik antara petani dan
PTP XXVII yang kemudian melibatkan Negara Orde Baru (NOB) adalah bekas hak erpacht
Hindia Belanda. Diawali dengan PP No. 173/1961 dibentuklah Perusahaan Perkebunan Negara
Kesatuan Jatim IX, yang kemudian bentuknya diubah menjadi Perusahaan Perkebunan (Negara)
Tembakau V dan VI melalui PP No. 30/1966. Dalam proses peralihan bentuk tersebut,
diterbitkan SK Mendagri No. 32/HGU/DA/1969 tertanggal 5 Desember 1969.

Berdasarkan literature konflik tanah di Jenggawah memiliki peran cukup besar dalam
pertumbuhan konflik di pedesaan. Mereka memiliki banyak prinsip yang kemungkinan berbeda
dari kelompok sosialnya, tetapi mereka juga mempunyai peran utama yang unik terhadap tanah
pertanian. Konflik akan muncul dari kelompok Petani kaya dan Petani kekurangan. Timbulnya
konflik petani di pedesaan merupakan kondisi sosial penduduk pedesaan, dan merupakan
realitas masalah social masyarakat pertanian di Indonesia termasuk Asia.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi
system idea tau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-
hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Menurut J.J. Hoeningman, wujud kebudayaan dibedakan
menjadi tiga, yaitu Gagasan, aktivitas, artefak. Berdasarkan wujudnya tersebut kebudayaan
dapat digolongkan atas dua komponen utama yaitu kebudayaan material dan kebudayaan non
material

Dari jurnal 1 dapat disimpulkan bahwa masyarakat pedesaan Indonesia lapangan-


lapangan sosialnya dibedakan berdasarkan ruang lingkup, intensitas, serta frekuensi dari
hubungan-hubungannya. Sedangkan dari jurnal 9 dapat disimpulkan bahwa konflik tanah di
jenggawah jika dilihat dari asal usulnya, tanah sumber konflik antara petani dan PTP XXVII
yang kemudian melibatkan Negara Orde Baru (NOB) adalah bekas hak erpacht Hindia Belanda.
Diawali dengan PP No. 173/1961 dibentuklah Perusahaan Perkebunan Negara Kesatuan Jatim
IX, yang kemudian bentuknya diubah menjadi Perusahaan Perkebunan (Negara) Tembakau V
dan VI melalui PP No. 30/1966. Dalam proses peralihan bentuk tersebut, diterbitkan SK
Mendagri No. 32/HGU/DA/1969 tertanggal 5 Desember 1969.

4.2 Saran
1. Dalam menjelaskan materi lebih dikeraskan lagi suaranya
2. Tempat praktikum kurang nyaman.
3. Praktikum terlalu malam
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 2011. Kebudayaan. http://wikipedia.org/kebudayaan. Diakses tanggal 7 Maret 2011

Anonymous, 2011. Kebudayaan. http://anneheira.com/kebudayaan. diakses tanggal 8 Maret 2011

Wahyu. 1986. Wawasan ilmu social dasar. Usaha nasional Surabaya.

Setiadi, elly, dkk. 2007. Ilmu social dan budaya dasar edisi kedua. Kencana prenada media grup.
Bandung.

Anda mungkin juga menyukai