Anda di halaman 1dari 6

Jiwa yang Merindu

Kubuka pelan kedua mataku, terbangun dari mimpi yang tak kuinginkan,
dari tidur yang tak kuharapkan. Merasakan kekosongan yang memenuhi diriku,
hatiku, jiwaku. Sungguh, aku ingin sekali berlari, tapi tubuh ini tak mampu
beranjak. Hatiku berteriak tanpa suara. Jiwaku berontak tanpa gerak. Mataku
menangis tanpa air mata. How could this happen to me?

Tuhan, mengapa aku begitu buta?

Kulihat jam weker di samping tempat tidurku. Masih pukul tiga pagi. Tak
terasa aku telah terlelap selama dua jam. Kuraih tas slempangku yang masih
tergeletak tak karuan di samping tempatku berbaring, berserakan bersama segala
isinya: beberapa buku dan alat tulis, juga dompet, hape dan sapu tangan. Sejak
pulang part-time ba’da isya’ tadi, tak sempat aku mengurus diri dan kamarku
karena terlalu lelah; lelah tubuh, hati dan jiwaku. Kuambil sebuah buku bersampul
biru dari sana. Teringat kembali sedikit perbincangan pagi tadi…

“La, kok aku perhatiin belakangan ini kamu ga kayak biasanya ya? Agak
gimanaaaa gitu kliatannya. Kamu gi ada masalah ya?” Tanya Syifa, teman
sekelasku, sahabatku, saat kami sedang menunggu hadirnya dosen di sebuah
ruang kelas di lantai dua sebuah gedung. Masih terlalu pagi sebenarnya. Itulah
mengapa masih begitu sepi. Hanya ada Syifa, yang memang selalu hadir paling
awal, dan aku yang entah mengapa ingin berangkat lebih pagi hari ini; mungkin
karna tak tahan berada di kamar kos kecilku terkurung bersama kekosongan yang
menghantui.

Masih kuarahkan pandangku ke depan menembus bening kaca jendela yang


terbuka; merasakan udara pagi menghempas wajahku, tanpa mampu merasakan
kesejukannya yang menenangkan; memandang lurus ke depan melewati
pepohonan dan taman berkarpet rumput hijau yang terhampar di samping gedung
ini.
Butuh waktu sejenak untuk mencerna apa yang dikatakan Syifa. Sisa-sisa
lelah dan kantuk masih menyelimutiku. Kebiasaan tidurku yang tak karuan
belakangan ini membuatku lesu, lelah, tak ingin melakukan apapun, mikir pun
jadi terbatas.

Hhh…. Aku tak ingin menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan yang sama
seperti yang diajukan padaku beberapa kali oleh Rara, Mey dan Athi, sahabat-
sahabatku yang lain.

“La…?” kurasakan jemari Syifa menyentuh bahuku lembut. Kualihkan


pandangku padanya. Kutangkap dari sorot matanya; perhatian dan simpati yang
begitu tulus. Dan entah mendapat dorongan darimana aku mendengar diriku
sendiri bercerita padanya, mengungkap kegalauan hatiku, berbagi beban yang
kusimpan sendiri selama beberapa hari ini. Tentang masa laluku, tentang
kegagalan cinta dan rasa putus asa yang menghantuiku. Tentang malam-malam
yang kusia-siakan.

Syifa, sosok perempuan yang dikenal pendiam dan agamais itu, menyimak
apa yang kuutarakan, masih dengan tatapan simpatinya tanpa sedikitpun menyela
ucapanku.

Kurasakan sedikit beban yang menghimpit dadaku berkurang begitu aku


selesai mengungkapkan kegalauanku padanya. “hhhh…”, aku mendesah pelan,
merasakan sedikit kelegaan mengisi hatiku.

Sejenak aku mengira Syifa akan mengkhotbahi aku mengenai haramnya


berpacaran dalam islam dengan sederet ayat-ayat Al-Qur’an. Tapi dia malah
bertanya.

“Nahla suka membaca kan?”

Aku mengangguk.

Kemudian dia mengaduk-aduk isi tasnya, mencari, kemudian menunjukkan


padaku sebuah buku.
“Uda pernah baca buku ini?” tanyanya.

Kubaca judulnya: Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan. Aku


menggeleng. Aku memang suka membaca, tapi tentu saja buku semacam itu
bukan tipe yang aku gandrungi. Kubayangkan isinya adalah khotbah-khotbah
dengan serentetan ayat AL-Qur’an dan hadis.

“Kalo gitu coba deh,” mungkin Syifa menangkap keenggananku kemudian


menambahkan,”Coba dibaca satu bab dulu. Ga bakal rugi deh… gaya menulisnya
remaja banget. Asyik koq…,” Syifa meyakinkanku.

Ngrasa nggak enak menolak tawarannya dan juga didorong rasa ingin tahu
seberapa “asyik”nya buku itu, maka kubawa pulang saja. Seperti biasa, aku selalu
larut dalam bacaan begitu aku masuk ke dalamnya, seakan seluruh perhatianku
hanya tertuju pada baris demi baris kalimat di sana. Kubaca buku itu di sela-sela
waktu kuliah, di saat tak ada yang aku lakukan di tempat part-timeku selain
memandang kosong layar monitor, juga di kamarku sejak sepulang part-time
hingga tertidur.

Masih terjaga dalam sepi di kamarku, kupandangi buku itu. Kubuka


halaman yang telah kutandai. Kubaca kembali sebuah kalimat yang telah kubaca
berulang-ulang.

“…Dan wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik, dan laki-laki yang
baik adalah untuk wanita yang baik…”

Serta merta kenangan itu kembali muncul; sesosok wajah maskulin yang
telah begitu dekat denganku selama hampir dua tahun, bersama kenangan yang
pernah kami lalui bersama. Diiringi penyesalan bahwa belakangan aku
mengabaikannya karna kesibukan-kesibukan baruku di lingkungan baru:
universitas yang baru aku masuki tahun ini. Dan kehilangan mendalam saat
kudengar kabar bahwa dia akan segera menikah dengan seorang perempuan dan
perempuan itu… bukan aku.
Aku tak menangis. Tidak. Mungkin aku memang bersedih tapi yang
menguasaiku saat itu adalah amarah. Murka karna merasa dibohongi, dibodohi
dan dihianati. Benci karna telah begitu bodoh menganggap dirinya mencintaiku
selama ini. Perih memikirkan bahwa dia tak pernah dengan tulus mencintai aku
walau sedetik. Pedih memikirkan membayangkan ia akan bersama orang lain. Dan
semua amarah dan kebencian itu menutup diriku dari permintaan maafnya.

Semua itu terjadi tiga bulan yang lalu. Aku pikir aku bisa melewatinya
dengan baik, menyibukkan diriku dengan tugas-tugas kuliah dan kerja part-time
hingga tak ada waktu untuk tenggelam dalam kesedihan. Aku terus meyakinkan
diriku bahwa aku tegar, kuat dan mampu melewati ini dengan mudah.

Tapi mungkin aku salah. Aku tak menangis memang, bahkan hingga saat
ini, tapi aku sadari perubahan dalam diriku: sinis memandang segala sesuatu,
menganggap bullshit semua hal yang berhubungan dengan cinta dan kesetiaan,
dan lebih sering menyendiri. Terkadang aku berlari sendiri di pagi buta. Di lain
waktu larut dalam sebuah novel di taman hingga petang, sendiri. Atau bersepeda
menikmati dinginnya udara malam, sendiri. Tak tebersit keinginan untuk berbagi
dengan orang lain.

Kupikir aku kuat menangggung semuanya sendiri. Hingga beberapa hari


belakangan ini kutemukan diriku tak sanggup lagi berlari. Aku lelah. Seringkali
aku terjaga hingga larut malam atau bahkan hingga pagi tanpa melakukan apapun.
Hanya terbawa larut dalam kenangan oleh lagu-lagu yang telah aku benci sejak
tiga bulan lalu: lagu-lagu yang pernah dia nyanyikan untukku. Kutemukan
hidupku tak berjalan dengan baik. Banyak melakukan kebodohan fatal baik di
kampus maupun di tempat kerja karena jiwaku terbelah, berserakan. Bahkan
kudapati diriku mulai mengutuki hidup yang tak pernah adil.

Tapi di sini, malam ini, masih terduduk di tepi kesadaranku dengan sebuah
buku terbuka di genggamanku, kupikirkan lagi semuanya. Kubiarkan semua
kenangan itu masuk dalam diriku, kucerna semuanya. Semuanya. Berusaha
merangkai serpihan-serpihan yang berserak di dasar hati, tanpa berusaha
melarikan diri.

“…Dan wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik, dan laki-laki yang
baik adalah untuk wanita yang baik…”

Jika dia bukan untukku berarti aku tak baik untuknya karna aku yang terlalu
kekanakan, sering mengabaikannya, dan kurang menghargai perhatiannya. Tidak,
tidak, tidak! Dialah yang tak baik untukku dengan segala penghianatan dan
dustanya! Tapi, ah, mengapa harus menyalahkan orang lain? Bukankah semua
telah tertulis: usia, rizki dan jodoh?

Kembali teringat akan sebuah nasihat,” Jika kau ingin mendapat pedang
yang tajam dan berkualitas tinggi janganlah mencarinya di pasar apalagi di tukang
loak tapi datang dan pesanlah langsung dari pandai besinya. Begitupun dengan
cinta dan teman dalam hidupmu. Jika kau ingin mendapatkan cinta sejatimu,
mintalah pada yang menciptakannya.”

Aku hanya perlu meyakinkan diriku bahwa aku telah berusaha sebaik-
baiknya untuk selalu menjadi lebih baik agar aku layak mendapatkan yang
terbaik. Dan kenapa tak dimulai dari sekarang saja?

Dengan tekad baru kubawa tubuhku ke tempat air. Kurasakan dingin air
mengalir di sela-sela jemariku dan betapa aku rindu akan indahnya mengadu di
sepertiga malam. Aku ingin bermunajat pada-Mu, Tuhanku…

“…Dan wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik, dan laki-laki yang
baik adalah untuk wanita yang baik…” (An-Nur: 28)

Bumi Allah, 9 April 2010

Jiwa yang merindu,

^bee^

Anda mungkin juga menyukai