Jiwa Yang Merindu
Jiwa Yang Merindu
Kubuka pelan kedua mataku, terbangun dari mimpi yang tak kuinginkan,
dari tidur yang tak kuharapkan. Merasakan kekosongan yang memenuhi diriku,
hatiku, jiwaku. Sungguh, aku ingin sekali berlari, tapi tubuh ini tak mampu
beranjak. Hatiku berteriak tanpa suara. Jiwaku berontak tanpa gerak. Mataku
menangis tanpa air mata. How could this happen to me?
Kulihat jam weker di samping tempat tidurku. Masih pukul tiga pagi. Tak
terasa aku telah terlelap selama dua jam. Kuraih tas slempangku yang masih
tergeletak tak karuan di samping tempatku berbaring, berserakan bersama segala
isinya: beberapa buku dan alat tulis, juga dompet, hape dan sapu tangan. Sejak
pulang part-time ba’da isya’ tadi, tak sempat aku mengurus diri dan kamarku
karena terlalu lelah; lelah tubuh, hati dan jiwaku. Kuambil sebuah buku bersampul
biru dari sana. Teringat kembali sedikit perbincangan pagi tadi…
“La, kok aku perhatiin belakangan ini kamu ga kayak biasanya ya? Agak
gimanaaaa gitu kliatannya. Kamu gi ada masalah ya?” Tanya Syifa, teman
sekelasku, sahabatku, saat kami sedang menunggu hadirnya dosen di sebuah
ruang kelas di lantai dua sebuah gedung. Masih terlalu pagi sebenarnya. Itulah
mengapa masih begitu sepi. Hanya ada Syifa, yang memang selalu hadir paling
awal, dan aku yang entah mengapa ingin berangkat lebih pagi hari ini; mungkin
karna tak tahan berada di kamar kos kecilku terkurung bersama kekosongan yang
menghantui.
Hhh…. Aku tak ingin menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan yang sama
seperti yang diajukan padaku beberapa kali oleh Rara, Mey dan Athi, sahabat-
sahabatku yang lain.
Syifa, sosok perempuan yang dikenal pendiam dan agamais itu, menyimak
apa yang kuutarakan, masih dengan tatapan simpatinya tanpa sedikitpun menyela
ucapanku.
Aku mengangguk.
Ngrasa nggak enak menolak tawarannya dan juga didorong rasa ingin tahu
seberapa “asyik”nya buku itu, maka kubawa pulang saja. Seperti biasa, aku selalu
larut dalam bacaan begitu aku masuk ke dalamnya, seakan seluruh perhatianku
hanya tertuju pada baris demi baris kalimat di sana. Kubaca buku itu di sela-sela
waktu kuliah, di saat tak ada yang aku lakukan di tempat part-timeku selain
memandang kosong layar monitor, juga di kamarku sejak sepulang part-time
hingga tertidur.
“…Dan wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik, dan laki-laki yang
baik adalah untuk wanita yang baik…”
Serta merta kenangan itu kembali muncul; sesosok wajah maskulin yang
telah begitu dekat denganku selama hampir dua tahun, bersama kenangan yang
pernah kami lalui bersama. Diiringi penyesalan bahwa belakangan aku
mengabaikannya karna kesibukan-kesibukan baruku di lingkungan baru:
universitas yang baru aku masuki tahun ini. Dan kehilangan mendalam saat
kudengar kabar bahwa dia akan segera menikah dengan seorang perempuan dan
perempuan itu… bukan aku.
Aku tak menangis. Tidak. Mungkin aku memang bersedih tapi yang
menguasaiku saat itu adalah amarah. Murka karna merasa dibohongi, dibodohi
dan dihianati. Benci karna telah begitu bodoh menganggap dirinya mencintaiku
selama ini. Perih memikirkan bahwa dia tak pernah dengan tulus mencintai aku
walau sedetik. Pedih memikirkan membayangkan ia akan bersama orang lain. Dan
semua amarah dan kebencian itu menutup diriku dari permintaan maafnya.
Semua itu terjadi tiga bulan yang lalu. Aku pikir aku bisa melewatinya
dengan baik, menyibukkan diriku dengan tugas-tugas kuliah dan kerja part-time
hingga tak ada waktu untuk tenggelam dalam kesedihan. Aku terus meyakinkan
diriku bahwa aku tegar, kuat dan mampu melewati ini dengan mudah.
Tapi mungkin aku salah. Aku tak menangis memang, bahkan hingga saat
ini, tapi aku sadari perubahan dalam diriku: sinis memandang segala sesuatu,
menganggap bullshit semua hal yang berhubungan dengan cinta dan kesetiaan,
dan lebih sering menyendiri. Terkadang aku berlari sendiri di pagi buta. Di lain
waktu larut dalam sebuah novel di taman hingga petang, sendiri. Atau bersepeda
menikmati dinginnya udara malam, sendiri. Tak tebersit keinginan untuk berbagi
dengan orang lain.
Tapi di sini, malam ini, masih terduduk di tepi kesadaranku dengan sebuah
buku terbuka di genggamanku, kupikirkan lagi semuanya. Kubiarkan semua
kenangan itu masuk dalam diriku, kucerna semuanya. Semuanya. Berusaha
merangkai serpihan-serpihan yang berserak di dasar hati, tanpa berusaha
melarikan diri.
“…Dan wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik, dan laki-laki yang
baik adalah untuk wanita yang baik…”
Jika dia bukan untukku berarti aku tak baik untuknya karna aku yang terlalu
kekanakan, sering mengabaikannya, dan kurang menghargai perhatiannya. Tidak,
tidak, tidak! Dialah yang tak baik untukku dengan segala penghianatan dan
dustanya! Tapi, ah, mengapa harus menyalahkan orang lain? Bukankah semua
telah tertulis: usia, rizki dan jodoh?
Kembali teringat akan sebuah nasihat,” Jika kau ingin mendapat pedang
yang tajam dan berkualitas tinggi janganlah mencarinya di pasar apalagi di tukang
loak tapi datang dan pesanlah langsung dari pandai besinya. Begitupun dengan
cinta dan teman dalam hidupmu. Jika kau ingin mendapatkan cinta sejatimu,
mintalah pada yang menciptakannya.”
Aku hanya perlu meyakinkan diriku bahwa aku telah berusaha sebaik-
baiknya untuk selalu menjadi lebih baik agar aku layak mendapatkan yang
terbaik. Dan kenapa tak dimulai dari sekarang saja?
Dengan tekad baru kubawa tubuhku ke tempat air. Kurasakan dingin air
mengalir di sela-sela jemariku dan betapa aku rindu akan indahnya mengadu di
sepertiga malam. Aku ingin bermunajat pada-Mu, Tuhanku…
“…Dan wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik, dan laki-laki yang
baik adalah untuk wanita yang baik…” (An-Nur: 28)
^bee^