Anda di halaman 1dari 4

“Interest does not tie nations together, it sometimes separate them.

But, sympathy and understanding does


unite them.” ( Woodrow Wilson: 1856-1924)
Setiap manusia memang dilahirkan dengan latar belakang kepentingan masing-masing, apalagi saat
kepentingan satu individu diakomodir bersama kepentingan individu lainnya dalam satu wadah raksasa
pastilah akan sangat berwarna-warni. Warna-warni ini bisa saja saling memusnahkan jika tidak ada sikap
saling mengerti, tapi warna-warni itu pula pastilah bisa menjadi pelangi yang indah setelah badai jika
diimbuhkan simpati dan pengertian diantara setiap warna. Seperti halnya Forum Indonesia Muda (FIM) IX ini
yang ditujukan membangun collective optimism di tubuh pemuda untuk dapat melahirkan negarawan-
negarawan muda yang mampu menciptakan perubahan ke arah lebih baik di Bumi Pertiwi ini. Collective
optimism yang artinya bukan hanya orang perseorangan tetapi adalah sekelompok orang yang bergandeng
tangan dengan berjuta impian untuk bangsa.
“Ada dua pemuda yang masing-masing mempunyai sebuah apel, lalu mereka berinisiatif untuk saling bertukar
apel maka hasil akhirnya masing-masing pemuda tetap mempunyai satu buah apel; sementara, jika ada dua
pemuda yang masing-masing mempunyai sebuah ide, lalu mereka berinisiatif untuk saling bertukar ide maka
hasil akhirnya masing-masing pemuda akan mempunyai dua buah ide.”
Para pemuda yang mempunyai visi “Mafia 2029” sebagai hasil kajian parlemen warung kopi mereka bukanlah
utopis belaka karena semua punya modal baik intelektual, emosional, dan spiritual yang akan membantu
mereka dalam pengaktualisasian visi bangsa ini menjadi misi yang akan berdaya guna bagi kesejahteraan
masyarakat luas. Di dalam kurun waktu 4 hari ini pikiran mereka sudah melanglangbuana hingga sampailah
pada pertanyaan “kapan tampuk kekuasaan bangsa diisi oleh generasi mereka?” Parlemen warung kopi yang
diciptakan dengan cinta, agama, dan intelektual ini bisa jadi merupakan prototype parlemen bangsa
kedepannya.
Oh Indonesia, bersabarlah karena kami generasi muda akan dengan segera menyelamatkanmu dari
kesengsaraan ini. FIM memfasilitasi kegiatan yang tidak hanya menciptakan pemimpin-pemimpin beretos dan
berintelektual tinggi tapi juga pemimpin yang relijius. Pemimpin yang saat bingung akan mengadu dan
meminta pertolongan kepada Sang Khalik. Materi yang disajikan pemateri dengan kompeten dan
komprehensif juga telah membuat para mahasiswa ini menyadari siapa dirinya untuk kelak setelah menyadari
ia akan mampu menghormati keberadaan dirinya. Saat kita menghormati diri kita maka kita akan beretika baik
bukan hanya untuk diri kita tapi juga untuk orang lain.
“Ia yang disebut pemimpin bukanlah ia yang tunjuk tangan; Ia adalah seseorang yang tetap akan ditunjuk
meski ia tersembunyi di bawah meja sekalipun.”
Gairah intelektual di kalangan peserta FIM 9 pastilah sangat menggebu-gebu hingga terkadang
terkesaneuphoria. Namun, pada akhirnya dipahami bahwa sebagai calon pemimpin kita harus belajar untuk
bersabar dan menahan diri karena mungkin saja kehadiran kita yang terlalu menggebu-gebu itu akan merusak
ritme pembelajaran teman-teman lain. Inilah hal kecil yang dipelajari yaitu kita harus memahami pemberian
Allah Swt bahwa kita yang dianugerahkan dua telinga namun hanya satu mulut artinya kita harus lebih banyak
mendengar daripada berbicara. Untuk menjadi pemimpin yang akan menjadi pelayan maka kita harus belajar
bagaimana cara memahami, salah satunya yaitu melalui menjadi pendengar yang baik.
Begitu banyak hal positif yang didapatkan 134 mahasiswa dari 44 universitas pada kesempatan mengikuti FIM
9 ini. Namun tugas kami tidak hanya sampai di sini karena kami harus mulai berpikir untuk membagi hal-hal
positif yang kami dapatkan selama empat hari ini melalui tulisan yang inspiratif. Itu semua memang bukanlah
hal yang mudah tapi bila diusahakan dengan segenap hati akan memberikan hasil maksimum. Perlu diingat
bahwa sekecil apapun usaha yang dilakukan asalkan berasal dari niat yang besar pasti akan membuat
perubahan. Pengusungan topik bahasan mengenai korupsi dan lingkungan telah mampu mempengaruhi
mahasiswa untuk bertindak bukan hanya menjadi sebuah retorika. Saya percaya sebagian besar bahkan
semua alumni FIM 9 akan mampu berkontribusi paling minimal melalui tulisan.
Akhirnya, jangan berpikir di riuhnya kota tapi cobalah berpikir di senyapnya rimba. Look in ke dalam diri kita
masing-masing kemudian temukan hal positif dan negatif. Setelah ketemu mulailah mengeksplor hal positif
tersebut dan usahakanlah untuk mengurangi pengaruh negatifnya. Saatnya anak-anak muda ini
menjadi agent of change bagi tanah air kita ini dengan cara tetap mengukuhkan cita-cita kita untuk masa
depan diri sendiri, keluarga, bangsa dan agama.
“A lot of people are waiting for Martin Luther King or Mahatma Gandhi to come back — but they are gone. We
are it. It is up to us. It is up to you.” (Marian Wright Edelman)
MENGAPA ENTREPRENEURSHIP?
Setelah beberapa tahun penyelenggaraan pelatihan kepemimpinan FIM, sejumlah tema telah diangkat.
Umumnya, FIM mengambil tema seputar masalah sosial dan lingkungan, di antaranya pengentasan
kemiskinan, pendidikan, pemberantasan korupsi, lingkungan, kerelawanan, penanganan bencana, dan
sebagainya. Tahun ini tema yang diangkat cukup berbeda, yaitu entrepreneurship.
Mungkin ada yang bertanya mengapa entrepreneurship harus menjadi tema khusus di pelatihan
kepemimpinan FIM 10 tahun ini. Bukankah untuk menjadi seorang pemimpin itu tidak harus menjadi
pengusaha? Jawabannya sederhana saja, karena menjadi seorang entrepreneur adalah sarana konkret untuk
menjadi pemimpin. Selain itu, kita juga perlu tahu fakta bahwa entrepreneur adalah sesuatu yang jarang
dimiliki oleh bangsa Indonesia saat ini.
Pemerintah menargetkan jumlah pengusaha di tanah air mencapai 2 persen dari jumlah penduduk. Hal ini
sebenarnya masih minim dibandingkan persentase di negara-negara lain. Sebagai contoh, jumlah pengusaha
di Singapura mencapai 7,2 persen dari jumlah penduduk, Malaysia 2,1 persen, Thailand 4,1 persen, Korea
Selatan 4 persen, China dan Jepang 10 persen, sementara Amerika Serikat 11,5 persen. Namun,
berdasarkan data Ketua Asosiasi Wirausaha Indonesia (AWI), Ilhamy, saat ini jumlah pengusaha Indonesia
hanya 0,24 persen dari penduduk. Jika mengacu pada angka 240 juta sebagai jumlah total penduduk
Indonesia, maka negeri ini membutuhkan setidaknya 4.2 juta pengusaha lagi.
Mengapa dibutuhkan persentase minimal pengusaha? Karena jika ditilik lebih lanjut, pengusaha adalah pihak
yang secara ekonomis menanggung elemen masyarakat lain yang bukan pengusaha. Dua persen penduduk
menjadi pengusaha artinya terdapat dua orang dari setiap 100 orang penduduk yang membuka lapangan
pekerjaan. Ini berarti satu orang pengusaha menghidupi 49 orang lainnya. Angka ini akan melonjak menjadi
400an apabila kita menggunakan angka 0,24 persen. Jumlah yang sangat besar dan berat bagi kebanyakan
pengusaha.
Pengusaha adalah ujung tombak perekonomian negara
Entrepreneurship menjadi penting karena pengusaha pulalah yang menjadi ujung tombak perekonomian suatu
negara. Merekalah yang memimpin dan menentukan jalan usahanya sesuai bidang industri masing-masing,
yang secara agregat sebetulnya ikut menentukan pula akan dibawa kemana ekonomi dan industri di negara
tersebut. Data diatas juga menunjukkan bahwa negara maju memiliki persentase pengusaha yang tinggi, dan
kita semua tahu bahwa inovasi atau perkembangan usaha sangat cepat terjadi di negara-negara tersebut.
Bagaimana dengan Indonesia? Sangat disayangkan bahwa industri di negara ini sebagian besar dikuasai oleh
pihak asing. Bahkan Astra International, perusahaan terbesar di Indonesia dari segi jumlah pegawai dan
pendapatan (sekitar 100 triliun rupiah pada tahun 2009), saat ini struktur pemegang saham mayoritasnya
adalah Jardine Cycle & Carriage Ltd, perusahaan konglomerat yang berkantor pusat di Singapura dan
Malaysia. Artinya, mereka pulalah yang sebenarnya secara tidak langsung menentukan arah perekonomian
Indonesia kedepan.
Pengusaha adalah pemimpin yang nyata
Disamping memiliki posisi yang sangat strategis bagi bangsa, entrepreneurship juga penting karena
pengusaha adalah bentuk nyata seorang pemimpin. Hal ini karena pengusaha berinteraksi dengan para
karyawannya – yang notabene adalah orang yang dipimpinnya – dalam menjalankan usahanya. Dibandingkan
dengan memimpin organisasi atau lembaga nonprofit, memimpin karyawan memiliki tantangan tersendiri
karena karyawan dibayar untuk melakukan pekerjaannya. Disinilah tantangan kepemimpinan itu diuji – apakah
karyawan menuruti pengusaha hanya untuk menerima gaji, atau karyawan memang melakukan apa yang
diminta oleh pengusaha dengan tulus untuk mencapai tujuan perusahaan?
Selain itu, pengusaha memiliki kelebihan karena dia secara langsung mampu memberikan manfaat bagi
sesamanya. Ia menghidupi para karyawannya, memberikan keuntungan kepada klien bisnisnya dan juga
supplier usahanya. Lebih lanjut lagi, ia mampu memberikan inspirasi bagi banyak orang untuk turut
memikirkan apa yang bisa dilakukan untuk sesamanya.
FIM untuk negeri
Berangkat dari dua hal diatas, kami memandang bahwa entrepreneurship adalah tema yang urgen untuk
diangkat. Hal ini sejalan dengan visi FIM untuk mewujudkan pemimpin bangsa yang memiliki semangat
nasionalisme dan patriotisme tinggi, berakhlak mulia, sehat dan cerdas paripurna, baik secara fisik, rohani,
spiritual, maupun intelektual, serta ikut mewujudkan Indonesia sebagai bangsa yang mandiri dalam ekonomi,
berdaulat dalam politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Ya, kami berharap melalui pelatihan kepemimpinan FIM 10 tahun ini, semangat entrepreneurship di negeri ini
akan semakin tumbuh, bermunculan pengusaha-pengusaha muda baru yang mampu memberikan kontribusi
langsung bagi masyarakat disekitarnya, dan pada akhirnya ikut mencapai Indonesia yang lebih baik dan
mandiri terutama dari segi perekonomian. Kami siap untuk itu, apakah kamu siap?

Social Entrepreneurship (part 1)


Mengapa Social Entrepreneurship? Mahluk apakah itu? Siapakah mereka? Apa hebatnya? Apa urgensinya?
Mungkin beberapa pertanyaan itulah yang muncul dibenak pembaca ketika pertama kali melihat judul buku ini.
Tentunya akan sulit untuk dapat menjawab rasa keingintahuan yang positif tersebut satu per satu. Namun
demikian melalui uraian singkat berikut ini, penulis akan mencoba memaparkannya.
Pertama, kata entrepreneurship itu sendiri telah ‘terlanjur’ dikenal sebagai kata yang mengandung mejik, yang
sangat identik dengan hal-hal positf seperti keberanian, ide, gagasan, peluang, inovasi, kreativitas, perjuangan
tanpa kenal lelah, keunggulan, profit, laba, kesuksesan, kemandirian dan lain-lain. Sehingga wajar dan sah
sekali jika kita mencoba mempelajari lebih lanjut mengenai entrepreneurship itu sendiri.
Lalu, mengapa perlu ada embel-embel ‘social’ segala? Menurut pribadi penulis, kata sosial itu sendiri juga
sangat perlu untuk disikapi dengan benar. Kata sosial, dapat identik dengan masyarakat, sumbangan, charity,
sukarela, kebermanfaatan untuk masyarakat, kebersamaan, kehidupan antar umat manusia, bekerja tanpa
bayaran dan lain-lain. Positif? Ternyata tidak semuanya. Masih ditemukan diantara kita yang ketika
mendengar kata sosial, pikirannya langsung mengarah pada hal-hal seperti sukerala, sumbangan, tidak
dibayar dan lain-lain. Salah? Tidak juga, karena media, pemberitaan, kebiasaan telah membentuknya
sehingga kata sosial memiliki makna yang super interpretatif dan super debatif.
Kemudian, bagaimana dengan social entrepreneurship[1]?. Secara sederhana (karena nanti akan dijelaskan
di bab-bab selanjutnya) penulis mengartikan social entrepreneurship sebagai aplikasi teknologi
kewirausahaan (murni/bisnis) untuk kebermanfaatan sosial. Oleh karena itu, penulis melihat bahwa
terminologi kewirausahaan dan kebermanfaatan sosial adalah dua kata yang sangat spektakuler. Mengapa?
Karena mereka dapat merangkum makna social entrepreneurship (paling tidak untuk saat ini) secara tepat
dan mengesankan. Ini adalah gabungan dari dua hal positif, yang berpotensi menjadi lebih positif.
Social entrepreneurship adalah dorongan untuk membantu masyarakat melalui keterampilan berwirausaha.
Social entrepreneurship adalah juga aktivitas yang ditujukan untuk mengatasi masalah sosial melalui aplikasi
metodologi bisnis pada umumnya. Social entrepreneurship pada akhirnya adalah semangat altruisme yang
tinggi untuk meringankan beban orang lain, yang operasional kegiatannya mampu dipenuhi sendiri tanpa
harus bergantung pada lembaga donor, donatur, kontributor, penyumbang, atau apapun namanya.
Maka, mempelajari hal ihwal tentang kewirausahaan, paling tidak akan dapat membuka wawasan kita tentang
apa yang sebenarnya dapat kita lakukan selama hidup di dunia, untuk bisa menghasilkan manfaat bagi diri
sendiri maupun orang lain.

COMMUNITY ENTREPRENEURSHIP PADA PENGELOLAAN SAMPAH


Abstrak
Pengelolaan sampah berbasis masyarakat merupakan suatu kewirausahaan sosial berbasis komunitas
(community entrepreneurship). Pengelolaan sampah berbasis masyarakat memiliki peranan dalam
pembangunan ekonomi, karena mampu memberikan daya cipta nilai-nilai sosial maupun ekonomi, yakni
menciptakan kesempatan kerja, melakukan inovasi dan kreasi baru terhadap produksi barang ataupun jasa
yang dibutuhkan masyarakat, dan menjadi modal sosial. Pengelolaan sampah berbasis masyarakat
diharapkan dapat diimplentasikan ke semua penjuru daerah di tanah air, karena sampah dapat membuka
peluang kerja, menumbuhkan jiwa social entrepreneur, dan dapat sebagai program pembangunan ekonomi.
Kata Kunci: community entrepreneurship; pembangunan ekonomi; pengelolaan sampah; dan social
entrepreneur.
Pendahuluan
Pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang dikelola dari komunitas masyarakat kecil hingga yang besar,
dari desa hingga perkotaan besar, tentunya menjadi sebuah hal yang sangat mulia dan tentunya
menguntungkan apabila dikelola secara baik dan mengurangi beban pemerintah yang harus dipusingkan oleh
masalah sampah yang setiap tahun terus menjadi ‘pekerjaan rumah’ berat karena dampak negatif dari
sampah yang dikelola secara amburadul (1).
Sampah sebagai barang yang memiliki nilai, tidak seharusnya diperlakukan sebagai barang yang menjijikan,
melainkan harus dapat dimanfaatkan sebagai bahan mentah atau bahan yang berguna lainnya. Hal tersebut
sangat sesuai dengan definisi dari social entrepreneur,yaitu seseorang yang mengerti permasalahan social
dan menggunakan entrepreneurshipuntuk melakukan perubahan sosial (social change), terutama meliputi
bidang kesejahteraan (walfare), pendidikan, dan kesehatan (healthcare) (2).
Pengelolaan sampah berbasis masyarakat merupakan suatu kewirausahaan sosial berbasis komunitas
(community entrepreneurship), karena terdapat beberapa tujuan dan batasan yang khas sebagai berikut (3):
1. Harus punya tujuan sosial dan/atau lingkungan hidup.
2. Harus melibatkan peserta yang lebih luas dan pemangku kepentingan dalam dialog untuk pengambilan
keputusan penting.
3. Harus menginvestasikan keuntungan kembali kepada kegiatan komunitas.
4. Harus melibatkan komunitas dalam kegiatan ekonomi inti dari suatu usaha.
Selain itu, ternyata pengelolaan sampah berbasis masyarakat memiliki peranan dalam pembangunan
ekonomi, karena mampu memberikan daya cipta nilai-nilai sosial maupun ekonomi, yakni (2):
1. Menciptakan kesempatan kerja.
2. Melakukan inovasi dan kreasi baru terhadap produksi barang ataupun jasa yang dibutuhkan
masyarakat.
3. Menjadi modal sosial.
4. Peningkatan kesetaraan (equity promotion).
Peranan Community Entrepreneurship pada Pengelolaan Sampah
Community entrepreneurship adalah suatu usaha yang memiliki tujuan sosial, sebagai nilai mereka yang
paling utama. Mereka melaksanakan kegiatan (produksi atau jasa) yangmemiliki nilai ekonomi dan berbasis
dalam suatu komunitas, bersifat demokratis, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan (3). Kewirausahaan
yang dimaksud merujuk kepada wirausaha dan usaha yang dimiliki, dengan aktifitas untuk menghasilkan
pendapatan melalui produksi atau pemberian nilai tambah suatu produk atau jasa. Di dalam pengelolaan
sampah berbasis masyarakat, produk yang dihasilkan bisa berupa pupuk kompos, produk daur ulang (kertas,
kaca, plastik, dan lain sebagainya). Sementara itu, jasa yang diberikan seperti penataan tempat pembuangan
sampah (TPS) menjadi pusat pemanfaatan sampah organik dan non-organik, penyuluhan pembuatan pupuk,
produk daur ulang, dan lain sebagainya.
 Adapun peranan community entrepreneurship pada pengelolaan sampah berbasis masyarakat sebagai
program pembangunan ekonomi sebagai berikut:
1. Kesempatan Kerja
Manfaat ekonomi yang dirasakan dari community entrepreneurship pada pengelolaan sampah berbasis
masyarakat salah satunya adalah menciptakan lapangan kerja baru, seperti peluang kerja kepada
penyandang cacat untuk dilibatkan dalam kegiatan produktif.
2. Inovasi dan Kreasi
Berbagai inovasi dan kreasi terhadap jasa kemasyarakat yang selama ini tidak tertangani oleh pemerintah
dapat dilakukan oleh community entrepreneurship. Seringkali standar pelayanan yang dilakukan pemerintah
tidak mengena sasaran karena terlalu kaku mengikuti standar yang ditetapkan. Sedangkan community
entrepreneurship mampu untuk mengatasinya karena memang dilakukan dengan penuh dedikasi (2), seperti
mengembangkan kelompok-kelompok mitra binaan dan kerajinan tentang pengelolaan sampah (1).
3. Modal Sosial
Modal sosial merupakan bentuk yang paling penting dari berbagai modal yang dapat diciptakan
oleh community entrepreneurship karena walaupun dalam kemitraan ekonomi yang paling utama adalah nilai-
nilai saling pengertian (shared value), kepercayaan (trust), dan budaya kerjasama (a culture of cooperation),
kesemuanya ini adalah modal sosial (2). Hal ini sesuai dengan salah satu syarat khas dari community
entrepreneurship, yakni harus melibatkan peserta yang lebih luas dan pemangku kepentingan dalam dialog
untuk pengambilan keputusan penting, seperti menggalang kerjasama lintas sektor dalam kegiatan aksi
lingkungan (Kementrian Lingkungan Hidup, Dinas Kebersihan, dan Pengusaha).
4. Peningkatan Kesejahteraan
Salah satu tujuan pembangunan ekonomi adalah terwujudnya kesetaraan dan pemerataan kesejahteraan
masyarakat (2). Dan melalui community entrepreneurship tujuan tersebut akan dapat diwujudkan, karena para
pelaku bisnis yang semula hanya memikirkan pencapaian keuntungan yang maksimal dari pengolahan
sampahnya, selanjutnya akan tergerak pula untuk memikirkan pemerataan pendapatannya ke pada komunitas
agar dapat dilakukan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan atau dengan kata lain harus
menginvestasikan keuntungan kembali kepada kegiatan komunitas.
 Penutup
Harapannya pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang merupakan suatu kewirausahaan sosial berbasis
komunitas (community entrepreneurship) dapat diimplentasikan ke semua penjuru daerah di tanah air, karena
sampah dapat membuka peluang kerja, menumbuhkan jiwa social entrepreneur, dan dapat sebagai program
pembangunan ekonomi. Dengan demikian, sampah bukan lagi dijadikan musuh yang menakutkan, tetapi
dijadikan sahabat yang menguntungkan bagi kita semua.

Anda mungkin juga menyukai