Anda di halaman 1dari 7

APA dan MENGAPA HARUS MENOLAK TRAWL\

Oleh : Leonardo Marbun


Direktur P3MN

I. Sejarah Trawl di Indonesia

Syafrizal Fauzi (1995) menyebutkan trawl berasal dari bahasa Perancis


TROLER dan kata TRILING artinya “bersamaan”. Dalam bahasa Indonesia
artinya “tarik” atau mengelilingi sambil menarik. Kemudian dari kata TRAWL,
muncul kata TRAWLING berarti menangkap ikan dengan trawl dan kata
TRAWLER yang berarati kapal yang melakukan TRAWLING. Percobaan
pengoperasian trawl di Indonesia dimulai sekitar tahun 1907/1908 oleh AM Von
Rosendal dan WCA Vink berkebangsaan Belanda, percobaan ini dilakukan
dengan menggunakan kapal penyidik Gier dan mengambil lokasi di perairan Laut
Jawa, Laut Cina Selatan dan bagian Selat Makasar. Penyelidikan ini tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Tahun 1940 oleh Dr Westenberg juga tidak
berhasil. Tahun 1950 pemerintah melalui Jawatan Perikanan Laut dengan
bimbingan E.Schol, seorang ahli trawl dari Belanda. Penelitian kemudian
dilanjutkan oleh Jawatan Perikana Laut Surabaya setelah kontrak E. Schol
selesai. Penelitian ini dilakukan dalam rangka memenuhi tujuan pemerintah saat
itu, yakni untuk memajukan taraf hidup nelayan. Pada tahun 1957, DR TH Butler
seorang ahli dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) melakukan
percobaan Penangkapan udang deangan trawl. Percobaan dilakukan dengan
mengguanakan Kapal Muna, dan dalam waktu satu bulan telah dilakukan 36 kali
percobaan didaerah antara Balikpapan dan Kota Baru, pada tempat-tempat yang
mempunyai kedalaman 5-25 meter dan hasilnya cukup memuaskan. Hasil
penangkapan terbaik ditemukan di Tanjung Maru, sebelah Selatan Balikpapan,
pada kedalaman 10 meter. Percobaan penangkapan ini dapat menghasilkan 100
kg udang dalam waktu satu jam.1
Pada tahun 1970-an trawl (Pukat harimau) mulai berkembang pesat baik
di Jawa, Kalimantan, Perairan Indonesia Timur dan Sumatera. Perkembangan
tersebut tidak terlepas dari kelebihan yang dimiliki yakni mampu meningkatkan
hasil tangkapan sehingga izin yang dikeluarkan pada waktu itu cukup ramai.
Seiring dengan itu pula telah muncul reaksi penolakan dari nelayan tradisional
tetapi sifatnya sporadic. Pada awal 1980-an penolakan semakin ramai, apalagi
perolehan tangkapan nelayan tradisional menurun secara dratis dari tahun
ketahun.

II. Dampak yang Ditimbulkan Trawl


1
Kompas, 6/11/1995
. Dari segi lingkungan alat tangkap trawl membawa resiko terjadinya kerusakan
lingkungan di wilayah dimana alat tangkap ini dioperasikan. Diambil dari berbagai
sumber setidaknya dampak trawl terhadap lingkungan sebagai berikut:
 Terjadinya penangkapan ikan secara berlebihan (Over Fishing) melebihi ambang
batas penangkapan atau MSY (Maximum Sustainable Yield).
 Terjadinya kerusakan dasar laut seperti plankton atau terumbu tempat
berbiaknya ikan, akibat penggunaan pemberat baik yang mengkeruk maupun
pemberat yang rata yang menyapu bersih, dimana trawl beroperasi.
 Merusak dan menghambat pertumbuhan biota laut seperti anak-anak ikan dan
biota oleh jaring yang rapat.
 Terjadi penangkapan biota laut yang bukan menjadi target (bycatch), dan
seringkali sudah mati ketika ditangkap dan dibuang kembali kelaut. Jumlah
bycatch ini jumlahnya hingga mencapai 70 % dari target.
 Berdasarkan temuan penelitian, misalnya penggunaan trawl dengan target
udang di pesisir Teluk Bend, Texas misalnya mengeluhkan bahwa jumlah
bycatch (organisme yang bukan target dan akhirnya dibuang) itu antara 1,5
hingga 7 kali dari berat udang yang diperoleh. Sementara di Great Barrier Reefs,
Australia, menurut Robins-Troeger (1994) mencatat bycatch rata-rata 6 hingga
15 kali berat organisme yang ditargetkan (udang, scallops, dll) yaitu sekitar
39.000 - 75.000 ton setiap tahunnya. Begitu pula di North Sea dilaporkan bahwa
total bycatch setiap tahunnya mencapai 785.000 ton yang hampir kesemuanya
harus dibuang. Kondisi ini tentu saja merusak rantai dan sistem ekologis
(termasuk turbidity) di laut disamping implikasi sosial ekonomi kepada
masyarakatnya. Dan meskipun banyak modifikasi alat untuk mengeluarkan
bycatch ini, itu tidak efektif sama sekali.

Berbagai dampak tersebut pada gilirannya akan membuat terjadinya


ketidakseimbangan ekosistem di wilayah laut dan pesisir. Penelitian yang pernah
dilakukan oleh MCBI (Marine Concervation Biologi Institute) yang berkedudukan di
Amerika, yang melibatkan 17 pakar kelautan dari Amerika, Australia, Selandia Baru,
Kanada pada tahun 1986 yang hasil penelitiannya terangkum dalam laporan MCBI
(Marine Concervation Biologi Institute) menemukan bahwa trawl sangat merusak.
Seperti yang dinyatakan Elliot A. Norse Presiden MCBI ketika membacakan hasil
penelitian dalam sebuah pertemuan mengatakan” bahwa pengerukan dasar laut
mempunyai dampak yang lebih besar terhadap dunia secara global, misalnya kita
harus memulihkan kehidupan dasar laut yang telah rusak akibat pengoperasian
trawl paling tidak 150 kali lebih lama dari memulihkan hutan”.
Laporan lain yang juga menyatakan Trawl merusak terungkap dalam pernyataan
Ted Denson, Presiden American Ocean Campaign (AOC) yang berdasarkan penelitian
menyatakan, “ Trawl adalah alat penangkap ikan dengan menggunakan jaring yang
diletakkan disamping kapal atau boat dan ditarik dengan menggunakan katrol. Hal ini
memungkinkannya menjadi alat tangkap komersil yang paling besar di dunia. Sasaran
utamanya udang, minyak ikan dan ikan gepeng. Tetapi menggunakan alat tangkap ini
harus dibayar mahal akibat kerusakan yang ditimbulkannya. Elliot Norse dan Watling
(akhir 1998) menyimpulkan bahwa efek trawl seluruh dunia setiap tahun adalah seluas
Kongo, Brazil ditambah India.

Dalam bidang ekonomi pengaruh trawl antara lain:


 Terjadi monopoli penangkapan ikan yang dilakukan oleh pemilik trawl
 Lokasi tangkapan nelayan tradisional (Fishing Ground Area) atau TURF
(Toritorial Use Rights in Marine Fisheries) menjadi rusak disapu habis oleh trawl.
 Terjadinya penurunan hasil tangkapan nelayan kecil/tradisional
 Terjadinya penurunan pendapan nelayan kecil/tradisional
 Munculnya persaingan yang tidak sehat baik diantara trawl dengan nelayan
kecil/tradisional maupun diantara pemilik trawl.
Sementara dampak sosial yang ditimbulkannya antara lain :

Terus terjadinya ketegangan sosial antara pemilik trawl dan nelayan tradisional
diberbagai tempat di wilayah pesisir dan laut. Yang dibeberapa tempat ketegangan
sosial tersebut mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Sejak tahun 1999 hingga saat ini
saja, ketegangan sosial akibat trawl di Sumatera Utara membawa korban jiwa yang
rata-rata nelayan tradisional sebanyak 50 orang meninggal dunia, belum lagi yang
hilang dan sampai sekarang belum diketemukan. Trawl ini telah mengakibatkan
traumatik sosial yang demikian besar dalam bagi nelayan kecil/tradisional.
Dampak lingkungan, ekonomis dan sosial yang ditimbulkannya maka trawl adalah
salah satu alat tangkap yang berbahaya (Destruktive Fishing) yang secara kebijakan
telah ada pengaturannya secara jelas yang bisa dikelompokkan antara lain:

III. Beberapa Kebijakan Yang Melarang Operasi Trawl

A. International :
Secara International setidaknya ada beberapa perangkat international yang
berhubungan terhadap penolakan trawl antara lain:

o Konvensi Hukum Laut International 1982 (UNCLOS)


Didalam konvensi ini secara garis besar disebutkan pentingnya untuk melindungi
hak-hak nelayan traditional (traditional fishermant rights), perlindungan zona
penangkapan nelayan traditional (traditional fishing ground area), serta mengelola
laut tanpa menimbulkan kerusakan.

o United Nation Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka


Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim) yang kemudian
di ratifikasi oleh pemerintah Indonesia menjadi UU No 6 tahun 1994.
Didalam konvensi ini dijelaskan dalam awal isinya disebutkan sebagai upaya untuk
mencegah terjadinya perubahan iklim yang diakibatkan oleh peningkatan gas rumah
kaca di atmosfer yang nantinya berdampak pada lingkungan, diperlukan pengelolaan
lingkungan yang tidak memunculkan kerusakan. Salah satu yang bisa menyebabkan
terjadinya perubahan iklim tersebut adalah terjadinya kerusakan lingkungan laut
sebagai akibat proses eksploitasi, serta penggunaan teknologi termasuk teknologi
tangkap ikan yang merusak. Didalam konvensi ini juga diminta bagi negara yang
menandatanganinya untuk menetapkan peraturan lingkungan yang mencegah
terjadinya kerusakan lingkungan. Selain itu konvensi ini keluar mengingat ketentuan
resolusi Sidang Majelis Umum PBB no 42/228 tanggal 22 Desember 1989 tentang
kemungkinan dampak yang merugikan dari kenaikan permukaan laut pada pulau-
pulau.

o Hasil Konferensi RIO (KTT BUMI) 1992.


Konferensi ini menyepakati pembangunan berkelanjutan tujuan dari manusia
yang hidup dibumi ini. Dan Salah satu hasil dari KTT BUMI yang dilangsungkan
di RIO de Jeneiro adalah agenda 21 yang salah satunya adalah (point b)
concervation and management of resources for development yang salah satu
pointnya melakukan proteksi terhadap samudera, keanekaraman lautan,
kawasan pesisir serta proteksi dan penggunaan secara rasional berikut
pengembangan sumber alam hayati. Serta (point d) Means of Implementation
mencakup yang salah satunya adalah pengalihan teknologi ke berwawasan
lingkungan

B. Kebijakan Nasional

1.Keputusan Presiden No 39 Tahun 1980


Dasar Pertimbangan, dikeluarkannya kebijakan Penghapusan Jaring Trawl,
yaitu:
 pembinaan kelestarian sumber perikanan dasar
 mendorong peningkatan produksi nelayan tradisional
 menghindarkan ketegangan sosial

Tahap-tahap penghapusan jaring trawl dalam Keppres 39/80 diatur sebagai


berikut:
 Terhitung sejak tanggal berlakunya Keppres ( 1 Juli 1980 ) sampai 30
September 1980 dilaksanakan penghapusan secara bertahap terhadap
seluruh kapal perikanan yang menggunakan jaring trawl yang berdomisili
dan beroperasi di sekitar Jawa dan Bali
 Sejak tanggal 1 Oktober 1980 melarang semua kegiatan penangkapan
ikan yang menggunakan jaring trawl di perairan laut yang mengelilingi
Pulau-pulau Jawa dan Bali
 Untuk kapal-kapal yang menggunakan jaring trawl yang berdomisili dan
beroperasi di sekitar Pulau Sumatera, larangan tersebut berlaku
selambat-lambatnya mulai berlaku pada 1 Januari 1981
 Terhitung mulai 1 Oktober 1980 di perairan laut di luar Pulau Sumatera,
Jawa dan Bali, jumlah kapal perikanan yang menggunakan jaring trawl
dikurangi secara bertahap sehingga pada tanggal 1 Juli 1981 jumlahnya
menjadi 1000 buah.

Pelanggaran terhadap Keppres 39/80 dianggap melakukan kegiatan


penangkapan ikan tanpa izin sehingga dapat dituntut di muka pengadilan sesuai
dengan pasal 15 Ordonasi Perikanan Pantai Staatblaad Nomor 144 tahun
1927. Sesuai ketentuan ordonasi tersebut, maka penangkapan ikan pantai yang
melanggar ketentuan dikenakan sangsi pidana setinggi-tingginya 3 bulan atau
denda setinggi-tingginya Rp 500,00 ( lima ratus rupiah ), sedangkan kapal dan
alat penangkap ikan, termasuk perlengkapan yang dipergunakan dalam
pelanggaran tersebut beserta hasil laut yang diperoleh dari pelanggaran dapat
disita.
Dalam keputusan Presiden Nomor 39 tahun 1980, kekhawatiran pemerintah
akan turunnya hasil produksi udang nasional sebagai konsekuensi pelarangan
trawl menjadi perhatian sehingga dalam keputusan ini memberikan juga
perhatian khusus terhadap upaya-upaya untuk tetap meningkatkan produksi
udang nasional ( Pasal 7 ayat 1 ). Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah
untuk menjaga kestabilan produksi udang nasional adalah dengan mengeluarkan
Surat Keputusan Presiden Nomor 85 tahun 1982 tentang Pengunaan Pukat
Udang.

2. SK Menteri Pertanian Nomor 503/Kpts/Um/7/1980


Keputusan ini merupakan tindak lanjut Keppres 39/1980. Dalam SK Mentan
No.503/kpts/Um/7/1980 ini merinci tentang jaring trawl sebagai berikut:
- Trawl adalah jaring berbentuk kantong yang ditarik oleh sebuah kapal
bermotor dan menggunakan alat pembuka mulut jaring yang disebut gawang
( beam ) atau sepasang alat pembuka ( otter board ) dan jaring yang ditarik
oleh dua buah kapal bermotor
- Jenis-jenis jaring trawl dikenal dengan nama-nama seperti Pukat Harimau,
Pukat Tarik, Jaring Tarik, Jaring Trawl Ikan, Pukat Appolo, Pukat Langgei dan
sebagainya

Beberapa Surat Keputusan Mengenai Trawl


 Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian, Menteri Dalam Negri
dan Mneteri Perdagangan dan Koperasi Nomor: 596/Kpts/Um/8/1980;
183 tahun 1980 dan 345/Kpb/VIII/80 Tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pengalihan Kapal-kapal Eks Trawl
 Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 633/Kpts/Um/9/1980
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Presiden RI Nomor 39
tahun 1980
 Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 694/Kpts/Um/9/1980
Tentang Pembatasan daerah Penangkapan Ikan Bagi Usaha
Perikanan Yang Menggunakan Jaring Trawl
 Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 542/Kpts/Um/6/1981
Tentang Penetapan Jumlah Kapal Trawl di Daerah Tk I Di Luar Jawa,
Bali dan Sumatera

3. Instruksi Presiden Nomor 11 tahun 1982


Untuk mempercepat tercapainya tujuan sebagaimana dimaksud dalam
penghapusan jaring trawl berdasarkan Keppres 39/80, maka dikeluarkan
Instruksi Presiden Nomor 11 tahun 1982 tentang pelaksanaan Keputusan
Presiden No 39/80 yang menginstruksikan kepada Menteri Pertanian, Menteri
Dalam Negeri, Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri Perhubungan,
Menteri Keuangan, Menteri Pertahanan dan Keamanan, Ketua Badan Koordinasi
Penanaman Modal dan para Gubernur Kepala Daerah untuk melanjutkan
penghapusan sisa jumlah kapal perikanan yang menggunakan jaring trawl
seperti yang tercantum dalam pasal 4 bahwa terhitung mulai tanggal 1 Januari
1983 di seluruh Indonesia sudah tidak ada lagi kapal perikanan yang
menggunakan jaring trawl.
Keluarnya Instruksi Presiden Nomor 11 tahun 1982, ditindaklanjuti dengan
keluarnya Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 545/Kpts/Um/8/1982
Tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 1982 kemudian
ditindaklanjuti dengan keluarnya Surat Keputusan Direktorat Jenderal Perikanan
Nomor 420/S3.4946/82 K tanggal 30 Agustus 1982 tentang JukLak Instruksi
Presiden Nomor 11 tahun 1982.

4. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1988


Hal ini dapat dihubungkan juga dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No 3
tahun 1988 tentang penafsiran secara luas terhadap istilah ‘menggunakan’
dalam Keppres 39 tahun 1980 tentang penghapusan trawl yang ditujukan
kepada seluruh ketua pengadilan negeri di seluruh Indonesia agar dalam
mengadili perkara tindak pidana yang terdakwanya didakwa telah melanggar
keputusan Presiden No. 39 tahun 1980 tentang penghapusan Jaring Trawl juncto
ordonasi perikanan pantai ( staatsblad No 144 tahun 1927 ), diberikan penafsiran
yang lebih luas terhadap istilah ‘menggunakan’ yang dimuat dalam keputusan
presiden tersebut sehingga tindak pidana yang dimaksud termasuk juga
perbuatan membuat, menguasai, ( membawa, menyimpan, menggunakan )
dan memperdagangkan jaring trawl dan menghukum seberatnya demi
tercapainya sasaran kebijakan pemerintah.
Meskipun dalam surat edaran yang disahkan tahun 1988 masih menuliskan
sanksi hukum keppres 39/80 yang sebenarnya sudah dicabut dalam UU No 9
tahun 1985 tentang perikanan tetapi dapat disimpulkan bahwa Penggunaan
Jaring Trawl dapat membahayakan kelestarian sumber daya ikan, lingkungan
khususnya laut dan faktanya dalam surat edaran ini adalah bahwa pelanggaran
terhadap Keppres 39 tahun 1980 adalah perbuatan tindak Pidana.

Anda mungkin juga menyukai