Ibadah Akhlaq
Ibadah Akhlaq
3G
JURUSNAN FARMASI
JAKARTA
2010
1. Akhlaq al-Karimah
Segala macam perbuatan yang baik, yang tampak dalam keseharian
dari sifat dan sikap seseorang adalah akhlaq al-karimah atau akhlaq al-
mahmudah, yaitu akhlaq yang terpuji. Macam-macam akhlaq yang terpuji
ini banyak, sebanyak sifat dan sikap manusia yang melakukan perbuatan
baik. Menurut istilah Ibn Miskawih pokok-pokok akhlaq yang baik akhlaq
yang utama, yaitu akhlaq yang dalam posisi tengah.
Pemahaman terhadap posisi tengah adalah keadaan jiwa yang
sedemikian rupa, sehingga jiwa dapat menempati posisi yang utama (al-
fadhilah). Namun yang dimaksud dengan posisi tengah adalah suatu standar
atau prinsip hidup umum yang berlaku bagi manusia. Posisi tengah yang
sebenarnya adalah satu, yaitu yang disebut juga al-khath al-mustaqim (garis
lurus.
Pokok keutamaan akhlaq ini ada empat, yaitu: al-hikmah
(kebijaksanaan), al-syaja’ah (keberanian), al-‘iffah (menjaga kesucian),
dan al-‘adalah (keadilan).Masing-masing posisi tengah ini mempunyai
lawan-lawannya, yang dapat pula disebut pokok kejelekan atau keburukan
dan tercela. Pokok keburukan ini adalah sikap ekstrem, dan sikap ekstrem
ini ada yang kurang ada yang lebih, maka lawan-lawan dari pokok
keutamaan akhlaq ada delapan macam, empat macam ekstrem kelebihan,
yakni: al-safah (lancang), al-tahawur (nekad), al-syarah (rakus), dan al-
jaur atau al-zhulm (zalim/aniaya), dan empat macam ekstrem kekurangan,
yaitu: al-balah (dungu), al-jubn (pengecut), al-khumud (dingin hati, cuek),
dan al-muhadat atau al-inzhilam (teraniaya).
a. Kebijaksanaan
Kebijaksanaan adalah keutamaan al-nathiqah (jiwa rasional) yang
mengetahui secara maujud, baik hal-hal yang bersifat umur al-insaniyyah
(kemanusiaan). Kebijaksanaan yang mampu member keputusan antara yang
wajib dilaksanakan dengan yang wajib ditinggalkan. Kebijaksanaan juga
merupakan pertengahan antara kelancangan dan kedunguan. Yang dimaksud
dengan kelancangan disini adalah penggunaan daya pikir yang tidak tepat.
Adapun yang dimaksud dengan kedunguan ialah membekukan dan
mengesampingkan daya pikir tersebut, walau sebetulnya memiliki
kemampuan.
Al-Ghazali memberikan pengertian yang hampir sama dengan Ibnu
Miskawih, menurutnya al-hikmah (kebijaksanaan) merupakan keutamaan
jiwa rasional (al-‘aqilah) yang memelihara jiwa al-syahwaniyyah (nafsu)
dan jiwa al-ghadhabiyyah (buas), yang memungkinkan seseorang mampu
membedakan yang benar dan yang salah dalam semua perbuatan yang
disengaja. Ibn Miskawih menyebutkan, kebijaksanaan itu memiliki tujuh
cabang, yaitu: ketajamaan intelegensi, kekuatan ingatan,rasionalitas,
ketangkasan, kejernihan ingatan atau pemahaman, kejernihan pemikiran,
dan kemudahan dalam belajar. Al-Ghazalipun menyebutkan jenis-jenis
keutamaan akhlaq dibawah kebijaksanaan ini,sbb: pemikiran yang baik,
pemikiran yang jernih, pendapatan yang cemerlang, praduga yang benar
dan selalu sadar terhadap sekecil apapun perbuatan serta sehalus apapun
kejahatan jiwa. Sedangkan Ibn Sina lebih banyak lagi menyebut jenis
keutamaan akhlaq yang di bawah kebijaksanaan, yakni: kefasihan lidah
dalam berbicara, kecerdasan, keyakinan pendapat, keteguhan hati, kondisi
selalu benar iman yang kokoh, kesukaan bersahabat, kemurahan hati,
ketenangan, ketepatan janji dan kerendahan hati.
Kebijaksanaan di sini adalah kemampuan dan kemauan seseorang
dalam menggunakan daya pikirnya secara benar untuk memperoleh
pengetahuan apa saja, sehingga mendapatkan pengetahuan yang rasional.
Pengetahuan rasional tersebut kemudian diaplikasikan dalam wujud
perbuatan berupa keputusan untuk wajib melaksanakan atau meninggalkan
sesuatu.
b. Keberanian
Keberanian merupakan keutaman jiwa yang muncul pada diri manusia
selagi nafsunya dibimbing oleh jiwa al-nathiqah. Artinya, ia tidak takut
terhadap hal-hal yang besar jika pelaksanaannya membawa kebajikan, dan
mempertahankannya merupakan hal yang terpuji. Sifat dan sikap ini
merupakan pertengahan antara al-jubn (pengecut), yaitu sikap takut yang
seharusnya tidak perlu ditakuti, dan al-tahawur (nekad), adalah berani
terhadap sesuatu yang tidak seharusnya diperlakukan sikap itu.
Ibn Miskawih berpendapat bahwa seorang pemberani sekurang-
kurangnya mempunyai enam ciri berikut:
a. Dalam soal kebaikan, ia memandang ringan terhadap sesuatu yang
hakekatnya berat.
b. Ia sabar terhadappersoalan yang menakutkan.
c. Memandang ringan terhadap sesuatu yang umumnya dianggap berat
oleh orang lain, sehingga ia rela mati memilih persoalan yang paling
utama.
d. Tidak bersedih terhadap sesuatu yang tidak bias dicapainya.
e. Tidak gundah apabila ia menerima berbagai percobaan; dan
f. Kalau ia marah dan mengadakan pembalasan, maka kemarahan dan
pembalasannya dilakukan sesuai ukuran, obyek dan waktu yang
diwajibkannya.
d. Keadilan