Anda di halaman 1dari 5

Argumentasi, Lelaki Shalih, dan Cinta

Suara Pembaca
30/9/2010 | 21 Syawal 1431 H | Hits: 28.200
Oleh: Shabra Syatila
Kirim Print
3diggsdigg
7
(fanpop)
dakwatuna.com Bila seorang laki-laki yang kamu ridhai agama dan akhlaqnya meminan
g, kata Rasulullah mengandaikan sebuah kejadian sebagaimana dinukil Imam At Tirmi
dzi, Maka, nikahkanlah dia. Rasulullah memaksudkan perkataannya tentang lelaki sha
lih yang datang meminang putri seseorang.
Apabila engkau tidak menikahkannya, lanjut beliau tentang pinangan lelaki shalih i
tu, Niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas. Di sini Ra
sulullah mengabarkan sebuah ancaman atau konsekuensi jika pinangan lelaki shalih
itu ditolak oleh pihak yang dipinang. Ancamannya disebutkan secara umum berupa
fitnah di muka bumi dan meluasnya kerusakan.
Bisa jadi perkataan Rasulullah ini menjadi hal yang sangat berat bagi para orang
tua dan putri-putri mereka, terlebih lagi jika ancaman jika tidak menurutinya ad
alah fitnah dan kerusakan yang meluas di muka bumi. Kita bisa mengira-ngira jeni
s kerusakan apa yang akan muncul jika seseorang yang berniat melamar seseorang k
arena mempertahankan kesucian dirinya dan dihalang-halangi serta dipersulit urus
an pernikahannya. Inilah salah satu jenis kerusakan yang banyak terjadi di dunia
modern ini, meskipun banyak di antara mereka tidak meminang siapapun.
Mari kita belajar tentang pinangan lelaki shalih dari kisah cinta sahabat Rasulu
llah dari Persia, Salman Al Farisi. Dalam Jalan Cinta, Salim A Fillah mengisahka
n romansa cintanya. Salman Al Farisi, lelaki Persia yang baru bebas dari perbuda
kan fisik dan perbudakan konsepsi hidup itu ternyata mencintai salah seorang mus
limah shalihah dari Madinah. Ditemuinya saudara seimannya dari Madinah, Abud Dar
da , untuk melamarkan sang perempuan untuknya.
Saya, katanya dengan aksen Madinah memperkenalkan diri pada pihak perempuan, Adalah
Abud Darda .
Dan ini, ujarnya seraya memperkenalkan si pelamar, Adalah saudara saya, Salman Al F
arisi. Yang diperkenalkan tetap membisu. Jantungnya berdebar.
Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan
amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah, sampai
-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili sau
dara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya, tutur Abud Darda dengan fa
sih dan terang.
Adalah kehormatan bagi kami, jawab tuan rumah atas pinangan Salman, Menerima Anda b
erdua, sahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini be
rmenantukan seorang sahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sep
enuhnya saya serahkan pada putri kami. Yang dipinang pun ternyata berada di sebal
ik tabir ruang itu. Sang putri shalihah menanti dengan debaran hati yang tak pas
ti.
Maafkan kami atas keterusterangan ini , kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu ya
ng bicara mewakili putrinya. Tapi, karena Anda berdua yang datang, maka dengan me
ngharap ridha Allah, saya menjawab bahwa putri kami menolak pinangan Salman.
Ah, romansa cinta Salman memang jadi indah di titik ini. Sebuah penolakan pinang
an oleh orang yang dicintainya, tapi tidak mencintainya. Salman harus membenturk
an dirinya dengan sebuah hukum cinta yang lain, keserasaan. Inilah yang tidak di
miliki antara Salman dan perempuan itu. Rasa itu hanya satu arah saja, bukan sep
asang.
Salman ditolak. Padahal dia adalah lelaki shalih. Lelaki yang menurut Ali bin Ab
i Thalib adalah sosok perbendaharaan ilmu lama dan baru, serta lautan yang tak p
ernah kering. Ia memang dari Persia, tapi Rasulullah berkata tentangnya, Salman A
l Farisi dari keluarga kami, ahlul bait. Lelaki yang bertekad kuat untuk membebas
kan dirinya dari perbudakan dengan menebus diri seharga 300 tunas pohon kurma da
n 40 uqiyah emas. Lelaki yang dengan kecerdasan pikirnya mengusulkan strategi pe
rang parit dalam Perang Ahzab dan berhasil dimenangkan Islam dengan gemilang. Le
laki yang di kemudian hari dengan penuh amanah melaksanakan tugas dinasnya di Ma
da in dengan mengendarai seekor keledai, sendirian. Lelaki yang pernah menolak pem
bangunan rumah dinas baginya, kecuali sekadar saja. Lelaki yang saking sederhana
dalam jabatannya pernah dikira kuli panggul di wilayahnya sendiri. Lelaki yang
di ujung sekaratnya merasa terlalu kaya, padahal di rumahnya tidak ada seberapa
pun perkakas yang berharga. Lelaki shalih ini, Salman Al Farisi, ditolak pinanga
nnya oleh perempuan yang dicintanya.
Salman ditolak. Alasannya ternyata sederhana saja. Dengarlah. Namun, jika Abud Da
rda kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka putri kami telah menyiapkan jaw
aban mengiyakan, kata si ibu perempuan itu melanjutkan perkataannya. Anda mengert
i? Si perempuan shalihah itu menolak lelaki shalih peminangnya karena ia mencint
ai lelaki yang lain. Ia mencintai si pengantar, Abud Darda . Cinta adalah argument
asi yang shahih untuk menolak.
Ada juga kisah cinta yang lain. Abu Bakar Ash Shiddiq meminang Fathimah binti Mu
hammad kepada Rasulullah. Ia ingin mempererat kekerabatannya dengan Sang Rasul d
engan pinangan itu. Saat itu usia Fathimah menjelang delapan belas tahun. Ia men
jadi perempuan yang tumbuh sempurna dan menjadi idaman para lelaki yang ingin me
nikah. Keluhuran budi, kemuliaan akhlaq, kehormatan keturunan, dan keshalihahan
jiwa menjadi penarik yang sangat kuat.
Saya mohon kepadamu, kata Abu Bakar kepada Rasulullah sebagaimana dikisahkan Anas
dalam Fatimah Az Zahra, Sudilah kiranya engkau menikahkan Fathimah denganku. Dalam
riwayat lain, Abu Bakar melamar melalui putrinya sekaligus Ummul Mukminin Aisya
h.
Mendapat pinangan dari lelaki shalih itu, Rasulullah hanya terdiam dan berpaling
. Sesungguhnya, Fathimah masih kecil, kata beliau dalam riwayat lain. Hai Abu Bakar
, tunggulah sampai ada keputusan, kata Rasulullah. Yang terakhir ini diriwayatkan
oleh Ibnu Sa d dalam Ath Thabaqat. Maksud Rasulullah dengan menunggu keputusan ad
alah keputusan dari Allah atas kondisi dan keadaan itu, apakah menerima pinangan
itu atau tidak.
Ketika Umar bin Khathab mendengar cerita ini dari Abu Bakar langsung, ia mengata
kan, Hai Abu Bakar, beliau menolak pinanganmu.
Kemudian Umar mengambil kesempatan itu. Ia mendatangi Rasulullah dan menyampaika
n pinangannya untuk menikahi Fathimah binti Muhammad. Tujuannya tidak terlalu be
rbeda dengan Abu Bakar. Bahkan jawaban yang diberikan Rasulullah kepada Umar pun
sama dengan jawaban yang diberikan kepada Abu Bakar. Sesungguhnya, Fathimah masi
h kecil, ujar beliau. Tunggulah sampai ada keputusan, kata Rasulullah.
Ketika Abu Bakar mendengar cerita ini dari Umar bin Khathab langsung, ia mengata
kan, Hai Umar, beliau menolak pinanganmu.
Kita bisa membayangkan itu? Dua orang lelaki paling shalih di masa hidup Rasulul
lah pun ditolak pinangannya. Abu Bakar adalah sahabat paling utama di antara sel
uruh sahabat yang ada. Kepercayaannya kepada Islam dan kerasulan begitu murni, t
anpa reverse ataupun setitis keraguan. Karena itulah ia mendapat julukan Ash Shi
ddiq. Ia adalah lelaki yang disebutkan Al Qur an sebagai pengiring jalan hijrah Ra
sulullah di dalam gua. Ia adalah dai yang banyak memasukkan para pembesar Mekah
dalam pelukan Islam. Ia adalah pembebas budak-budak muslim yang senantiasa terti
ndas. Ia adalah lelaki yang menginfakkan seluruh hartanya untuk jihad, dan hanya
menyisakan Allah dan Rasul-Nya bagi seluruh keluarganya. Ia adalah orang yang i
ngin diangkat sebagai kekasih oleh Rasulullah. Ia adalah salah satu lelaki yang
telah dijamin menginjakkan tumitnya di kesejukan taman jannah. Namun, lelaki sha
lih ini ditolak pinangannya secara halus oleh Rasulullah.
Sementara, siapa tidak mengenal lelaki shalih lain bernama Umar bin Khathab. Ia
adalah pembeda antara kebenaran dan kebathilan. Ia dan Hamzah lah yang telah men
gangkat kemuliaan kaum muslimin di masa-masa awal perkembangannya di Mekah. Ia l
elaki yang seringkali firasatnya mendahului turunnya wahyu dan ayat-ayat ilahi k
epada Rasulullah. Ia adalah lelaki yang dengan keberaniannya menantang kaum musy
rikin saat ia akan berangkat hijrah, ia melambungkan nama Islam. Ia lelaki yang
sangat mencintai keadilan dan menegakkannya tatkala ia menggantikan posisi Rasul
ullah dan Abu Bakar di kemudian hari. Ia pula yang di kemudian hari membuka kunc
i-kunci dunia dan membebaskan negeri-negeri untuk menerima cahaya Islam. Namun,
lelaki shalih ini ditolak pinangannya secara halus oleh Rasulullah.
Mari kita simak kenapa pinangan dua lelaki shalih ini ditolak Rasulullah. Ketika
itu, Ali bin Abi Thalib datang menemui Rasulullah. Shahabat-shahabatnya dari An
shar, keluarga, bahkan dalam sebuah riwayat termasuk pula dua lelaki shalih terd
ahulu mendorongnya untuk datang meminang Fathimah binti Muhammad kepada Rasulull
ah. Ia menemui Rasulullah dan memberi salam.
Hai anak Abu Thalib, sapa Rasulullah pada Ali dengan nama kunyahnya, Ada perlu apa?
Simaklah jawaban lugu yang disampaikan Ali kepada Rasulullah sebagaimana dinukil
Ibnu Sa d dalam Ath Thabaqat. Aku terkenang pada Fathimah binti Rasulullah, katanya
lirih hampir tak terdengar. Dengar dan rasakan kepolosan dan kepasrahan dari se
tiap diksi yang terucap dari Ali bin Abi Thalib itu. Kepolosan dan kepasrahan se
orang pecinta akan cintanya yang demikian lama. Ia menggunakan pilihan kata yang
sangat lembut di dalam jiwa, Terkenang. Kata ini mewakili keterlamaan rasa dan ge
lora yang terpendam, bertunas menembus langit-langit realita, transliterasi rasa
.
Ahlan wa sahlan! kata Rasulullah menyambut perkataan Ali. Senyum mengiringi rangka
ian kata itu meluncur dari bibir mulia Rasulullah. Kita tidak usah sebingung Ali
memahami jawaban Rasulullah. Jawaban itu bermakna bahwa pinangan Ali diterima o
leh Rasulullah seperti yang dipahami rekan-rekan Ali.
Mari kita biarkan Ali dengan kebahagiaan diterima pinangannya oleh Rasulullah. M
ari kita melihat dari perspektif yang lebih fokus untuk memahami penolakan pinan
gan dua lelaki shalih sebelumnya dan penerimaan lelaki shalih yang ini. Kita bol
eh punya pendapat tersendiri tentang masalah ini.
Ketika Rasulullah menjelaskan alasan kepada Abu Bakar dan Umar berupa penolakan
halus, kita tidak bisa menerimanya secara letter lijk. Sebab bisa jadi itu adala
h bahasa kias yang digunakan Rasulullah. Misalnya ketika Rasulullah mengatakan b
ahwa Fathimah masih kecil, tentu saja ini tidak bisa diterjemahkan sebagai kecil
secara harfiah, sebab saat itu usia Fathimah sudah hampir delapan belas tahun.
Sebuah usia yang cukup matang untuk ukuran masa itu dan bangsa Arab. Sementara R
asulullah sendiri berumah tangga dengan Aisyah pada usia setengah usia Fathimah
saat itu. Maka, kita harus memahami kalimat penolakan itu sebagai bahasa kias.
Saat Rasulullah meminta Abu Bakar dan Umar bin Khathab untuk menunggu keputusan,
ini juga diterjemahkan sebagai penolakan sebagaimana dipahami dua lelaki shalih
itu. Jadi, pernyataan Rasulullah itu bukan pernyataan untuk menggantung pinanga
n, sebab jika pinangan itu digantung, tentu saja Umar dan Ali tidak boleh memina
ng Fathimah. Pernyataan itu adalah sebuah penolakan halus.
Atau bisa jadi, saat itu Rasulullah punya harapan lain bahwa Ali bin Abi Thalib
akan melamar Fathimah. Beliau tahu sebab sejak kecil Ali telah bersamanya dan ba
nyak bergaul dengan Fathimah. Interaksi yang lama dua muda mudi sangat potensial
menumbuhkan tunas cinta dan memekarkan kuncup jiwanya. Ini dibuktikan dari pern
yataan Rasulullah untuk meminta dua lelaki shalih itu menunggu keputusan Allah t
entang pinangannya. Jadi, dalam hal ini kemungkinan Rasulullah mengetahui bahwa
putrinya dan Ali telah saling mencintai. Sehingga Rasulullah pun punya harapan p
ada keduanya untuk menikah. Rasulullah hanya sedang menunggu pinangan Ali. Di ma
sa mendatang sejarah membuktikan ketika Ali dan Fathimah sudah menikah, ia berka
ta kepada Ali, suaminya, Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang
pemuda. Saya yakin kita tahu siapa yang dimaksud oleh Fathimah. Ini perspektif sa
ya.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan singkat Ali, Aku terkenang pada Fathimah binti
Rasulullah. Satu kalimat itu sudah mewakili apa yang diinginkan Ali. Rasulullah s
angat memahami ini. Beliau adalah seseorang yang sangat peka akan apa-apa yang d
iinginkan orang lain dari dirinya. Beliau memiliki empati terhadap orang lain de
ngan demikian kuat. Beliau memahami bentuk sempurna keinginan seseorang seperti
Ali dengan beberapa kata saja.
Dan jawaban Rasulullah pun menunjukkan hal yang serupa, Ahlan wa sahlan! Ungkapan
sambutan selamat datang atas sebuah penantian.
Jadi, dengan perspektif ini, kita akan memahami bahwa lelaki shalih yang datang
untuk meminang bisa ditolak pinangannya, tanpa akan menimbulkan fitnah di muka b
umi ataupun kerusakan yang meluas. Wanita shalihah yang dipinang Salman Al Faris
i telah menunjukkan kepada kita, bahwa ia mencintai Abud Darda dan menolak pinang
an lelaki shalih dari Persia itu. Rasulullah pun telah menunjukkan pada kita bah
wa ia menolak pinangan dua lelaki tershalih di masanya karena Fathimah mencintai
lelaki shalih yang lain, Ali Bin Abu Thalib. Di sini, kita belajar bahwa cinta
adalah argumentasi yang shahih untuk menolak, dan cinta adalah argumentasi yang
shahih untuk mempermudah jalan bagi kedua pecinta berada dalam singgasana pernik
ahan.
Mari kita dengarkan sebuah kisah yang dikisahkan Ibnu Abbas dan diabadikan oleh
Imam Ibnu Majah. Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah. Wahai Rasulullah, ka
ta lelaki itu, Seorang anak yatim perempuan yang dalam tanggunganku telah dipinan
g dua orang lelaki, ada yang kaya dan ada yang miskin.
Kami lebih memilih lelaki kaya, lanjutnya berkisah, Tapi dia lebih memilih lelaki y
ang miskin. Ia meminta pertimbangan kepada Rasulullah atas sikap yang sebaiknya d
ilakukannya. Kami, jawab Rasulullah, Tidak melihat sesuatu yang lebih baik dari per
nikahan bagi dua orang yang saling mencintai, lam nara lil mutahabbaini mitslan
nikahi.
Cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak. Di telinga dan jiwa lelaki i
ni, perkataan Rasulullah itu laksana setitis embun di kegersangan hati. Menumbuh
kan tunas yang hampir mati diterpa badai kemarau dan panasnya bara api. Seakan-a
kan Rasulullah mengatakannya khusus hanya untuk dirinya. Seakan-akan Rasulullah
mengingatkannya akan ikhtiar dan agar tiada sesal di kemudian hari.
Cinta itu, kata Prof. Dr. Abdul Halim Abu Syuqqah dalam Tahrirul Ma rah fi Ashrir Ris
alah, Adalah perasaan yang baik dengan kebaikan tujuan jika tujuannya adalah meni
kah. Artinya yang satu menjadikan yang lainnya sebagai teman hidup dalam bingkai
pernikahan.
Dengan maksud yang serupa, Imam Al Hakim mencatat bahwa Rasulullah bersabda tent
ang dua manusia yang saling mencintai. Tidak ada yang bisa dilihat (lebih indah)
oleh orang-orang yang saling mencintai, kata Rasulullah, Seperti halnya pernikahan
. Ya, tidak ada yang lebih indah. Ini adalah perkataan Rasulullah. Dan lelaki ini
meyakini bahwa perkataan beliau adalah kebenaran. Karena bagi dua orang yang sa
ling mencintai, memang tidak ada yang lebih indah selain pernikahan. Karena cint
alah yang menghapus fitnah di muka bumi dan memperbaiki kerusakan yang meluas, i
nsya Allah.
Cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak, dan cinta adalah argumentasi
yang shahih untuk mempermudah jalan bagi kedua pecinta berada dalam singgasana
pernikahan.

Anda mungkin juga menyukai