Anda di halaman 1dari 8

Angklung

Dalam rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu dikenal jenis
kesenian yang disebut angklung. Adapun jenis bambu yang biasa digunakan
sebagai alat musik tersebut adalah awi wulung (bambu berwarna hitam) dan
awi temen (bambu berwarna putih). Purwa rupa alat musik angklung; tiap nada
(laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk wilahan
(batangan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya
sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai
pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan,
itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat
menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung
menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.

2/21/2010
Oleh:
-Nesya .D.
-Candra Rea.F.
-Geo Rizky.K.
-Sylvester Ronaldo W.O.
Angklung Kanekes
Angklung di daerah Kanekes digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-
mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di
huma (ladang). Menabuh angklung ketika menanam padi ada yang hanya dibunyikan bebas
(dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu
di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, masih bisa ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap
mempunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar
tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak
boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung
dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan)
angklung setelah dipakai.

Dalam sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan
angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain:
Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-
oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-ayunan, Pileuleuyan, Gandrung Manggu, Rujak
Gadung, Mulung Muncang, Giler, Ngaranggeong, Aceukna, Marengo, Salak Sadapur, Rangda
Ngendong, Celementre, Keupat Reundang, Papacangan, dan Culadi Dengdang. Para penabuh angklung
sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan
dalam formasi lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu
yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan
masyarakat Daduy Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan; tabu),
tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan
untuk keperluan ritual.

Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong, gunjing,
engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari 2 buah angklung dipegang oleh seorang.
Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen bedug
terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3 buah. Di
Kajeroan; kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan,
kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk.

Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero). Kajeroan
terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang
bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di samping adanya
syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di
Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut.

Angklung Dogdog Lojor


Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten
Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan jakarta, Bogor, dan Lebak). Meski
kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga
digunakan angklung karena kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh
masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat
sebagai tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.

Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat
yang masih memegang teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat
dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan (prajurit bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini
telah menganut agama Islam dan agak terbuka akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan
kesenangan duniawi bisa dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang
sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk
memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya. Instrumen yang digunakan
dalam kesenian dogdog lojor adalah 2 buah dogdog lojor dan 4 buah angklung besar. Keempat buah
angklung ini mempunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan
inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam orang.

Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya Bale Agung, Samping Hideung, Oleng-oleng Papanganten, Si
Tunggul Kawung, Adulilang, dan Adu-aduan. Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog dan

Angklung Gubrag
Angklung gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia
tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal
pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung).

Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami musim
paceklik.

Angklung Badeng
Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan angklung sebagai
alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut.
Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Tetapi diduga badeng
telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang
berhubungan dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya
berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau 17. Pada masa itu
penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar agama Islam ke kerajaan Demak. Setelah
pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana
penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.

Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu 2 angklung roel, 1 angklung kecer, 4
angklung indung dan angklung bapa, 2 angklung anak; 2 buah dogdog, 2 buah terbang atau
gembyung, serta 1 kecrek. Teksnya menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan
bahasa Arab. Dalam perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa Indonesia. Isi teks
memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta menurut keperluan acara. Dalam
pertunjukannya selain menyajikan lagu-lagu, disajikan pula atraksi kesaktian, seperti
mengiris tubuh dengan senjata tajam.

Lagu-lagu badeng: Lailahaileloh, Ya’ti, Kasreng, Yautike, Lilimbungan, Solaloh.

Lagu yang disajikan dalam kesenian angklung gubrag, dibagi ke dalam dua katagori yaitu lagu
yang disajikan untuk ritual dan lagu yang disajikan untuk hiburan. Agar lebih jelas dibawah
ini dijelaskan pembagian dari dua katagori te4rsebut: 1.Lagu yang disajikan untuk ritual

Menurut Ikin Sodikin, lagu yang disajikan untuk upacara ritual adalah kidung Sri Lima
(wawancara, 24 April, tahun 2004), yang berfungsi sebagai doa atau rajah pembuka yang
dinyanyikan oleh seniman angklung gubrag atau juru pantun setelah bercerita tentang asal-
usul kesenian angklung gubrag.

Proses ketika menyanyikan rajah pembuka (Foto: Dokumentasi pribadi) Kidung Sri Lima yang
dinyanyikan berfungsi sebagai rajah pembuka, bertujuan meminta maaf kepada arwah dan
keramat serta memohon doa pengampunan kepada Allah SWT dengan ucapan astagfirullah
haladzim sebanyak 3 kali. Lirik atau rumpaka yang terdapat dalam kidung sri lima,
mengungkapkan rasa hormat dan memikat dewi padi/ dewi sri, yaitu “Sri Bodas”, “Sri
Beureum”, “Sri Koneng”, “Sri Hejo”, dan “Sri Hideung”

B. Struktur Penyajian Kesenian Angklung Gubrag Pada bahasan tentang struktur penyajian
ini, akan dikupas mengenai susunan penyajian dari awal sampai akhir. Apabila dilihat dengan
seksama, kesenian angklung gubrag ini, memiliki struktur pertunjukkan yang hampir mirip
dengan kesenian angklung buhun di Baduy, Banten, terutama dalam pola lantai tarian, dan
adu kekuatan yang dimainkan oleh dua orang laki-laki, atau ngadu angklung. Sebagai contoh,
gambar penyajian ngadu angklung dalam kesenian angklung gubrag.
Penyajian ngadu angklung (Foto: Dokumentasi Pribadi) Dalam penyajian kesenian angklung
gubrag terdiri dari tiga tahapan, yaitu : bagian awal disebut bubuka, bagian kedua iring-
iringan, dan bagian akhir atau penutup ngadu angklung dan hiburan. Agar lebih jelas, penulis
akan menjelaskan bagian-bagian tersebut. 1. Bagian awal atau bubuka Diawali dengan
melakukan ziarah kemakam Aki Muhtar, yang dipimpin oleh seorang Ustadz dari Kampung
Cipining, serta melakukan doa kepada Allah SWT, agar seluruh pertunjukan terlaksana
dengan baik dan tanpa hambatan. Lokasi jalan menuju makam, sekitar 4 km dari Desa
Argapura, melalui sawah- sawah, dan bukit turun naik.

Lokasi Makam Aki Muhtar (Foto: Dokumentasi pribadi) Setelah itu, para pemain/ nayaga
kembali ke Desa, menuju tempat penyimpanan perangkat waditra kesenian angklung gubrag.
Yang berlokasi dirumah kediaman Bapak Sahari (Pemimpin kesenian angklung gubrag
generasi ke-6), serta membawa perangkat waditra tersebut ke tengah lapangan terbuka.
Mulailah pemimpin angklung membuka pertunjukan tersebut, dikemukakan pula sejarah
keberadaan kesenian angklung gubrag dan tujuan dari pelaksanan pertunjukan angklung
gubrag. Kemudian menyanyikan “Kidung Sri Lima”.

Pertunjukkan bubuka kidung Sri Lima (Foto: Dokumntasi pribadi) 2.. Bagian ke-2, iring-
iringan Pada bagian ini merupakan helaran/ iring-iringan para nayaga dengan memainkan
angklung, serta tari-tarian dengan pola lantai vertical dua jajar, dan lingkaran dengan
maksud mengelilingi sawah dan kampung, selanjutnya grup dibagi menjadi dua bagian grup
kecil. (wawancara, Rusen Dzuhada, 23 April 2004). 3. Bagian ke-3, ngadu angklung Pada
bagian ini, adalah bagian penutup dari pertunjukkan. Setelah grup dibagi menjadi dua
bagian, kemudian dilakukan atraksi ngadu angklung.dan adu kekuatan sampai akhirnya bagian
yang satu atau bagian yang tua jatuh oleh bagian yang kedua atau yang muda. Karena prinsip
mereka yang tua harus mengalah dengan yang muda. Dan yang tua harus memberikan
kesempatan kepada yang muda. (wawancara, Rusen Dzuhada, 23 April, 2004). C. Repertoar
(lagu-lagu) Yang Disajikan Dalam Pertunjukan Angklung Gubrag. Lagu yang disajikan dalam
pertunjukan angklung gubrag dalam pembukaan yaitu “Kidung Sri Lima”. Lagu ini dibawakan
oleh pemain dalang I, dengan lirik atau rumpaka lagu mengungkapkan rasa hormat, dan
pujian, agar dewi sri turun ke bumi, yaitu : Sri Bodas, Sri Beureum, Sri Koneng, Sri Hejo,
dan Sri hideung. Kidung dinyanyiakan oleh pemain dalang I, bait demi bait, artinya sesudah
satu bait diteruskan dengan permainan angklung, dan begitu seterusnya, sampai semua bait
lagu selesai dinyanyikan. Kidung tersebut dinyanyikan dengan cara anggana sekar dan
rampak sekar. Syair kidung tersebut adalah sebagai berikut:

_Adulilang lalalea badan rasa digoyong-goyong, digoyong-goyong. Allohuma aci banari itiseng
rasa aci larang aci putih sri anten sri manganten kakasihna, nama Sri Bodas, lungguhna dina
balung terusna kana urat, manah aya pangawasa mangka runtut mangka rapih jeung kaula.

_ adililang lalalea badan rasa digoyong-goyong, digoyong-goyong allohuma aci banari itiseng
rasa aci larang aci putih sri anten sri manganten kakasihna, nama Sri Beureum, lungguhna
dina daging terusna kana getih, manah aya rasa jeung cahaya, mangka runtut mangka rapih
jeung kaula.

_ Adulilang lalalea badan rasa digoyong-goyong, digoyong-goyong Allohuma aci banari itiseng
rasa aci larang aci putih sri anten sri manganten kakasihna, nama Sri Hideung, lungguhna
dina janjantung terusna kana sumsum, manah aya pangarti. Mangka runtut mangka rapih
jeung kaula

_ Adulilang lalalea, badan rasa digoyong-goyong, digoyong-goyong. Allohuma itiseng rasa aci
larang aci putih sri anten sri manganten kakasihna, nama Sri Hejo, lungguhna kana hamperu
terusna kana rambut, manah aya sir jeung pikir, mangka runtut mangka rapih jeung kaula.

_ Adulilang lalalea badan rasa digoyong-goyong, digoyong-goyong Allohuma aci banari itiseng
rasa aci larang aci putih sri anten sri mangantenten kakasihna, nama Sri Koneng, lungguhna
dina roh dopi terusna kana soca manah aya paninggal, mangka runtut mangka rapih jeung
kaula

. Selain kidung lagu tersebut di atas, disajikan pula lagu-lagu hiburan dalam pementasan
yang berfungsi sebagai hiburan sesudah pementasan ngadu angklung . juga diringi tari-
tarian yang perkembangannnya masih tetap itu-itu saja sampai sekarang serta tidak bisa
dimodifikasi. D. Perangkat Waditra Yang Dipergunakan Dalam Kesenian Angklung Gubrag.
Yang dimaksud dengan perangkat waditra di sini adalah gabungan alat-alat musik tradisional
yang dipergunakan dalam pementasan kesenian angklung gubrag. Perangkat waditra tersebut
seluruhnya tidak difungsikan sebagai melodi, tetapi difungsikan sebagai pengiring, sebagai
ritmis, baik dalam lagu atau taria-tariannya. Dalam penyajiannya waditra tersebut berfungsi
sebagai sarana upacara yang berkaitan dengan tradisi setelah panen padi. Adapun perangkat
waditra yang dipergunakan dalam kesenian angklung gubrag adalah : 1. Tiga buah angklung
kecil yang disebut Roel, atau angklung Corolot, angklung ini berfungsi sebagai pengiring lagu
Kidung sri Lima. 2. Dua buah angklung besar yang disebut kurulung I dan kurulung II. 3. Dua
buah angklung besar yang disebut engklok I dan engklok II 4. Dua buah angklung besar
disebut gancling I dan gancling II 5. Dua buah dog-dog lojor E. Bentuk Waditra Kesenian
Angklung Gubrag Menurut kedudukannnya, bentuk angklung di Sunda mempunyai simbol
kasih sayang antara orang tua dan anak. Bahwa yang tua harus mengasuh yang muda. jadi
yang tua harus selalu menjadi pengayom bagi yang muda. Angklung oleh masyarakat
tradisional dijadikan simbol yang bermakna seperti terungkap pada peribahasa “ulah ngelmu
angklung” artinya: ….. bahwa kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya sangat besar,
namun anaknya kurang memperhatikan orang tuanya; bahkan anak itu perhatiannnya lebih
besar kepada anaknya lagi. Tegasnya pribahasa tersebut memberi nashat kepada para
remaja jangan sampai mengabaikan orang tuanya masing- masing. (Juju Masunah dkk, hal 21,
2004).

Hal inipun terdapat dalam pertunjukan kesenian angklung gubrag, pada bagian ngadu
angklung bahwa yang tua harus mengalah dengan yang muda artinya yang tua harus memberi
kesempatan kepada yang muda. Angklung asli yang diciptakan oleh Aki Muhtar dan
masyarakat Kampung Cipining disebut

angklung corolot (roel) berjumlah tiga buah, dengan hiasan dari bulu ayam leuweung atau
ayam bekisar. Angklung asli ini dalam setiap pertunjukan tidak pernah digunakan, yang
digunakan adalah angklung duplikat.(wawancara, Ikin sodikin, 23 april, 2004).

Apabila ditinjau dari kepentingan bunyi yang dihasilkan, maka angklung ini termasuk jenis
atau golongan alat musik idiophon. Penempatan atau bentuk tabung yang besar akan
menghasilkan nada yang rendah atau besar, sedangkan bentuk tabung yang kecil akan
menghasilkan nada yang kecil atau tinggi. Seperti halnya bentuk waditra angklung gubrag,
sebagian besar memiliki bentuk tabung besar, maka bunyi yang dihasilkan dari angklung
tersebut bernada besar atau rendah. Sedangkan angklung corolot memiliki tabung kecil,
maka suara atau bunyi yang dihasilkannya pun memiliki nada yang kecil atau tinggi. Menurut
hasil penilitian penulis, waditra angklung gubrag memiliki jenis ukuran paling besar dari pada
lainnya, yang terdiri dari beberapa jenis angklung, yaitu: 1. Jenis Angklung Kurulung I.
Angklung ini terdiri dari tiga ruas bambu. Angklung yang ruas bambunya tinggi dan besar
disebut indung, memiliki ukuran 108 Cm. Anak I, memiliki ukuran 80 Cm, sedangkan anak II
memiliki ukuran 38 Cm. Tinggi keseluruhan dari jenis angklung kurulung ini adalah 135 Cm,
dengan diameter tabung 20 Cm. Contoh bentuk angklung kurulung I.

2. Jenis Angklung Kurulung II. Angklung ini terdiri dari tiga ruas bambu, memiliki tinggi
keseluruhan 162 cm, ukuran tabung indung 147 Cm, ukuran tabung anak I 74 cm, ukuran
anak II 43 cm.

SELESAI

Anda mungkin juga menyukai