PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
BAB II
Prosedur normal.
Prosedur normal ini timbul sesudah revolusi Prancis, yaitu timbulnya negara-
negara demokrasi dimana parlemen memegang peranan penting dalam pembuatan
undang-undang dan juga pembuatan treaty (treaty making). Dalam prosedur normal
ini kita menemukan serangkaian ketentuan-ketentuan Konvensi Wina sebagaimana
yang akan dijelaskan dalam pembahasan berikut ini.
ad. 3. Ratifikasi.
Tindakan selanjutnya sesudah penandatanganan oleh wakil berkuasa penuh,
para delegasi meneruskan naskah perjanjian tersebut kepada pemerintahnya untuk
meminta persetujuan. Untuk ini dibutuhkan penegasan oleh pemerintah yang
bersangkutan setelah mereka mempelajari dan setelah diajukan kepada Parlemen
bilamana perlu. Penegasan tersebut dinamakan dengan ratifikasi atau pengesahan,
kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian bahwa perjanjian itu akan mengikat
tanpa harus diratifikasi terlebih dahulu.
Dalam pasal 2 Konvensi Wina 1969, Ratifikasi didefinisikan sebagai tindakan
internasional dimana suatu negara menyatakan kesediaannya atau melahirkan
persetujuan untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional. Oleh karena itu
ratifikasi tidak berlaku surut, melainkan baru mengikat sejak tanggal
penandatanganan ratifikasi.
A. Pentaatan Perjanjian.
Dalam hal pentaatan perjanjian dikenal suatu prinsip yang sangat penting,
yaitu “Pacta Sunt Servanda” (perjanjian harus ditepati). Prinsip ini sangat
fundamental dalam hukum internasional dan menjadi norma imperatif dalam praktek
perjanjian internasional. Prinsip ini merupakan jawaban mengapa perjanjian
internasional itu mempunyai kekuatan mengikat.
Dalam pasal 26 Konvensi Wina dirumuskan pengertian Pacta Sunt Servanda,
bahwa setiap perjanjian mengikat terhadap pihak-pihak pada perjanjian itu harus
dilaksanakan dengan iktikad baik.
Prinsip iktikad baik ini tidak hanya berlaku dalam pelaksanaan perjanjian-
perjanjian yang bersifat khusus, tetapi juga berlaku terhadap perjanjian
internasional yang berlaku umum seperti Piagam PBB. Penegasan kembali prinsip
iktikad baik dalam penyusunan Konvensi ini adalah penting untuk menjamin
ditaatinya suatu perjanjian internasional yang dibuat itu. Prinsip Pacta Sunt
Servanda berkaitan erat dengan “the sanctity of treaties” (keagungan perjanjian)
suatu azas yang dalam abad-abad yang lalu masih dipegang teguh, tetapi dalam
perkembangan internasional modern azas ini mulai kehilangan pamornya. Dengan
timbulnya negara-negara yang baru merdeka dan pandangan-pandangan yang kritis
terhadap masalah “uneqal treaties” sehingga diragukan apakah prinsip “the sanctity
of treaties” masih dianut (preambul PBB Covenant).
Pada waktu diadakan konperensi Wina, berbagai pihak mengkonstatir adanya
usaha-usaha untuk melemahkan prinsip Pacta Sunt Servanda dengan diterimanya
prinsip “rebus sic stantibus” dan prinsip “jus Cogens”.
Prinsip-prinsip ini dijadikan dasar-dasar yang dipergunakan oleh suatu negara
untuk menyatakan diri tidak terikat terhadap suatu perjanjian internasional karena
bertentangan dengan hukum nasional. Terhadap hal ini atas usul negara peserta
konperensi diterima suatu pasal baru yang mengatur hubungan hukum nasional dan
pentaatan terhadap kewajiban-kewajiban perjanjian internasional.
Sebagaimana yang disebut dalam pasal 27 Konvensi (prinsip “rebus sic
stantibus”) bahwa pihak-pihak perjanjian tidak boleh mengemukakan ketentuan-
ketentuan hukum nasionalnya sebagai alasan untuk membenarkan tindakan suatu
negara tidak melaksanakan perjanjian internasional. Dan disebutkan lebih lanjut
bahwa pasal 27 ini tidak merugikan pasal 46 Konvensi. Dapat diambil pengertian dari
pasal 46, bahwa suatu negara mempunyai kewenangan untuk menutup suatu
perjanjian sebagai ketidak setujuannya karena telah melanggar hukum nasionalnya
yang penting dan sangat mendalam sekali.
Untuk menentukan peraturan hukum nasional suatu negara yang sangat
penting/fundamental diserahkan kepada penilaian negara yang bersangkutan. Oleh
karena itu agar pasal 46 konvensi/perjanjian internasional dapat berjalan efektif,
agar negara-negara bersungguh-sungguh bertindak dengan beriktikad baik dan tidak
menggunakan kesempatan ini untuk kepentingan politik nasionalnya.
C. Interpretasi Perjanjian
KESIMPULAN
Dari apa yang dijelaskan dalam pembahasan perkuliahan ini, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
Buku-buku
Komar Mike., 1981, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina Tahun 1969 Mengenai
Hukum Perjanjian Internasional, Diktat.
Lord, Mac Nair., 1967., Law of Treaties, Clorendon Press, Oxford, London.
Syahmin, AK., 1985, Hukum Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina 1969,
Armico, Bandung.
Dokumen