Tidak diragukan lagi, Jepang atau yang sering disebut Negara Matahari
Terbit memiliki kehidupan keberagamaan yang unik. Keunikannya terletak pada
sikap yang bertentangan terhadap agama atau kehidupan agamis, ketika sebelum
dan setelah Perang Dunia II (PD II).
Pada tulisan ini, titik tekan pembahasan lebih kepada hubungan erat agama
dan negara, yang merupakan tema keenam dari enam corak keberagamaan
masyarakat Jepang sebelum PD II.
Pada masa awal sejarah, Jepang mulai memasuki masa sejarahnya sebagai
sebuah negara yang bersatu dan berdaulat, pengaruh paling utama terhadap
kehidupan spiritual bangsa Jepang berasal dari agama Buddha. Agama Buddha
menguasai istana. Pangeran Shotoku (574—622) adalah orang Jepang pertama
yang bersungguh-sungguh mempelajari pemikiran agama Buddha dan memeluknya
dengan penuh keyakinan. Pada tahun 604, agama Buddha dapat dikatakan sudah
menjadi agama negara. Perkembangan agama Buddha mencapai puncaknya pada
masa Nara (710—794). Pengaruh agama Buddha terhadap tata administrasi
kepemerintahan juga cukup besar.
Pada zaman pertengahan, agana Buddha yang semula dianggap asing, diubah
menjadi agama asli Jepang. Pada zaman Tokugawa, agama Jepang menjadi satu-
satunya agama negara. Pemerintah melakukan pengawasan terhadap agama
tersebut dan mempergunakannya untuk tujuan memelihara tertib sosial maupun
untuk mengatur kehidupan spiritual bangsa. Setiap penduduk diwajibkan
mencatatkan diri ke kelenteng-kelenteng sebagai pengikut agama Buddha.
Kegiatan lain, seperti perkawinan, perpindahan kerja, kelahiran, kematian,
perjalanan juga harus dilaporkan ke kelenteng-kelenteng. Dengan demikian, selain
tugas-tugas keagamaan, kelenteng-kelenteng tersebut juga menyelenggarakan
berbagai tugas kepemerintahan.
Masa modern dimulai sejak masa Meiji hingga meletusnya PD II. Pada
masa ini, kehidupan agama di Jepang sangat erat hubungannya dengan politik
kepemerintahan. Ada empat hal utama yang menjadi ciri pokok kehidupan agama
di Jepang, terutama terkait dengan agama shinto :
4. Militerisasi Agama
Akan tetapi, hubungan erat antara agama dan negara di Jepang berakhir
bersamaan dengan berakhirnya PD II. Kekalahan tersebut memaksa Jepang
menerapkan bentuk pemerintahan yang memisahkan kehidupan agama dari negara
(sekuler).