Anda di halaman 1dari 14

HIPERBILIRUBINEMIA PADA NEONATUS

(HYPERBILIRUBINEMIA IN NEONATE)

Risa Etika, Agus Harianto, Fatimah Indarso, Sylviati M. Damanik


Divisi Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK Unair/RSU Dr. Soetomo - Surabaya

Korespondensi:
Risa Etika, dr. SpA.
Divisi Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr. Soetomo – Surabaya
Jl. Mayjen.Prof.Dr.Moestopo 6-8 Surabaya.
Telepon: 031-5501689, 031-3810380, 031-70583524, 081235 25920.
Fax.: +62 31 550 1748 (IDAI Cab. Jatim). E-mail :risa_etika@pediatrik.

ABSTRACT
Neonatal jaundice is the yellowish discoloration of the skin and/or sclerae of newborn infants caused by tissue
deposition of bilirubin. Physiologic jaundice is mild uncojugated (indirect-reacting) bilirubinemia and affects nearly
all newborns. The peak level in physiologic jaundice typically is 5 to 6 mg/dL (86 to 103 µmol/L), occurs at 48 to 120
hours of age. The peak may not be reached until seven days of age in Asian infants or infants who are born at 35 to
37 weeks gestation. Higher level of unconjugated hyperbilirubinemia are pathologic and occur in variety of
conditions. Unconjugated bilirubin that is not bound to albumin (free bilirubin) can enter the brain and cause focal
necrosis of neurons and glia, either acutely (acute bilirubin encephalopathy) or chronically with permanent sequelae
(kern icterus). Term infants are at risk for bilirubin toxity when Total Serum Bilirubin (TSB) concentration exceed 25
to 30 mg/dL (428 to 513 µmol/L). Phototherapy contist of exposing the infant’s skin to light. It is a safe and efficient
method to reduce the toxicity of bilirubin and increase it’s elimination. Exchange transfusion is used to remove
bilirubin from the circulation when intensive phototherapy fails. Pharmacologics agents including IVIG (Intra
Venous Immuno Globulin), phenobarbital and mettaloporphyrins can be used to inhibit hemolysis, increase
conjugation and excretion of bilirubin, or inhibit the formation of bilirubin.
Key word: Neonatal Jaundice, hyperbilirubinemia, acute bilirubin encephalopathy/kernicterus.

ABSTRAK
Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila
serum bilirubin > 2 mg/dL (> 17 µmol/L, sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin sudah > 5
mg/dL (> 86 µmol/L). Pada sebagian besar neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya
(60% pada bayi cukup bulan dan 80% pada bayi kurang bulan). Oleh karenanya harus selalu waspada, khususnya
terhadap bilirubin indirek karena sifatnya yang toksik dan merusak jaringan (ensefalopati bilirubin/kernikterus).
Serum bilirubin pada ikterus fisiologis berkisar 5-6 mg/dL (86-103 µmol/L), timbul 48-120 jam setelah bayi lahir,
dan pada bayi-bayi Asia atau bayi-bayi dengan usia kehamilan 35-37 minggu, level serum bilirubin tidak meningkat
sampai bayi berusia 7 hari. Peningkatan level bilirubin indirek yang lebih tinggi lagi tergolong patologis yang
dapat disebabkan oleh berbagai keadaan.
Bayi cukup bulan dengan bilirubin total 25-30 mg/dL (428-513 µmol/L) mempunyai risiko tinggi terserang toksisitas
bilirubin. Terapi sinar di mana kulit bayi terpapar sinar terbukti aman dan efektif menurunkan toksitas bilirubin
dengan cara meningkatkan ekskresi bilirubin. Transfusi tukar ditujukan untuk menghilangkan bilirubin dari
sirkulasi, apabila dengan terapi sinar gagal. Beberapa obat-obatan (IVIG = Intra Venous Immuno Globulin,
phenobarbital, metalloporphyrins) dipakai untuk menghambat hemolisis, meningkatkan konjugasi dan ekskresi
bilirubin serta menghambat pembentukan bilirubin.
Kata kunci: Ikterus Neonatorum, hiperbilirubinemia, ensefalopati bilirubin/ kernikterus

PENDAHULUAN
Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian besar
neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukakan bahwa
angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan. Di

1
RSU Dr. Soetomo Surabaya ikterus patologis 9,8% (tahun 2002) dan 15,66% (tahun 2003).
RSAB Harapan Kita Jakarta melakukan transfusi tukar 14 kali/bulan (tahun 2002). Di Hospital
Bersalin Kualalumpur dengan ‘tripple phototherapy’ tidak ada lagi kasus yang memerlukan
tindakan transfusi tukar (tahun 2004), demikian pula di Vrije Universitiet Medisch Centrum
Amsterdam dengan ’double phototherapy’ (tahun 2003).
Ikterus ini pada sebagian penderita dapat bersifat fisiologis dan pada sebagian lagi mungkin
bersifat patologis yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan
kematian. Oleh karena itu, setiap bayi dengan ikterus harus mendapatkan perhatian, terutama
apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau bila kadar bilirubin
meningkat > 5 mg/dL (> 86µmol/L) dalam 24 jam. Proses hemolisis darah, infeksi berat, ikterus
yang berlangsung lebih dari 1 minggu serta bilirubin direk >1 mg/dL juga merupakan keadaan
yang menunjukkan kemungkinan adanya ikterus patologis. Dalam keadaan tersebut
penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat
dihindarkan. Walaupun pada tahun 1970-an kasus kernikterus sudah tidak ditemukan lagi di
Washington, namun pada tahun 1990-an ditemukan 31 kasus kernikterus (data Georgetown
University Medical Centre Washington D.C. tahun 2002). 1
Tujuan membahas topik ini adalah agar dapat menyikapi kasus-kasus ikterus secara
maksimal sehingga kasus kernikterus, gangguan otak yang sifat menetap serta terjadinya
kematian dapat dihindarkan.

DEFINISI
Ikterus (‘jaundice’) terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah,
1-4
sehingga kulit (terutama) dan atau sklera bayi (neonatus) tampak kekuningan. Pada
orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin > 2 mg/dL (> 17 µmol/L),
sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin > 5 mg/dL ( >86µmol/L).
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah
ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin.
Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non
patologis sehingga disebut ‘Excessive Physiological Jaundice’.1-4 Digolongkan sebagai
hiperbilirubinemia patologis (‘Non Physiological Jaundice’) apabila kadar serum bilirubin
terhadap usia neonatus > 95 0/00 menurut Normogram Bhutani. 5,6

2
Gambar 1. Normogram Bhutani (di kutip dari Rennie J.M and Roberton NRC. Neonatal Jaundice In : A
Manual of Neonatal Intensive Care 4th Ed, Arnold, 2002 : 414-432)

METABOLISME BILIRUBIN
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh.
Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari
hem bebas atau proses eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai
dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah
yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX α (Gbr. 2). Zat ini sulit
larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit
diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak. 1,4,6,7
Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar.
Dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh reseptor membran sel
hepar dan masuk ke dalam hepar. Segera setelah ada dalam sel hepar terjadi persenyawaan
ligandin (protein Y), protein Z dan glutation hepar lain yang membawanya ke retikulum
endoplasma hepar, tempat terjadinya konjugasi. Proses ini timbul berkat adanya enzim
glukoronil transferase yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin direk. Jenis bilirubin ini
dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresi melalui ginjal. Sebagian besar
bilirubin yang terkonjugasi ini diekskresi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan
dan selanjutnya menjadi urubilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus,
sebagian di absorpsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses absorpsi entero hepatik.
1,4,6,7

3
Gambar 2. Metabolisme Bilirubin pada Neonatus. (Dikutip dari Rennie J.M and Roberton NRC. Neonatal
Jaundice In : A Manual of Neonatal Intensive Care 4th Ed, Arnold, 2002 : 414-432)

IKTERUS FISIOLOGIS vs IKTERUS PATOLOGIS


Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari
pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologis tertentu pada neonatus.
Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang
lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar.
Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2 – 3 dan mencapai puncaknya pada hari
ke 5 – 7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10 – 14. Kadar bilirubinpun biasanya
tidak > 10 mg/dL (171 µmol/L) pada bayi kurang bulan dan < 12 mg/dL (205 µmol/L) pada
bayi cukup bulan. 5,6,7
Masalah timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjungasi hepar
menurun sehingga terjadi kumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan
dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh tertentu, misalnya kerusakan sel otak yang akan
5,6,7
mengakibatkan gejala sisa dikemudian hari, bahkan terjadinya kematian . Karena itu bayi
ikterus sebaiknya baru dianggap fisiologis apabila telah dibuktikan bukan suatu keadaan
patologis. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada hiperbilirubinemia, pemeriksaan lengkap
harus dilakukan untuk mengetahui penyebabnya, sehingga pengobatanpun dapat dilaksanakan
dini. Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologis tersebut tidak selalu
sama pada tiap bayi. Di RS Dr. Soetomo Surabaya, bayi dinyatakan menderita bilirubinemia

4
apabila kadar bilirubin total > 12 mg/dL (> 205 µmol/L) pada bayi cukup bulan, sedangkan
pada bayi kurang bulan bila kadarnya > 10 mg/dL (>171 µmol/L). 8

ETIOLOGI
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh berbagai keadaan:
A. Penyebab yang sering:
1. Hiperbilirubinemia fisiologis
2. Inkompatibilitas golongan darah ABO
3. ‘Breast Milk Jaundice’
4. Inkompatibilitas golongan darah rhesus
5. Infeksi
6. Hematoma sefal, hematoma subdural, ‘excessive bruising’
7. IDM (‘Infant of Diabetic Mother’)
8. Polisitemia / hiperviskositas
9. Prematuritas / BBLR
10. Asfiksia (hipoksia, anoksia), dehidrasi – asidosis, hipoglikemia
11. Lain-lain
B. Penyebab yang jarang:
1. Defisiensi G6PD (Glucose 6 – Phosphat Dehydrogenase)
2. Defisiensi piruvat kinase
3. Sferositosis kongenital
4. Lucey – Driscoll syndrome (ikterus neonatorum familial)
5. Hipotiroidism
6. Hemoglobinopathy 2,3,4,6

DIAGNOSIS
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium terdapat beberapa faktor
risiko terjadinya hiperbilirubinemia berat.
1. Ikterus yang timbul dalam 24 jam pertama (usia bayi < 24 jam)
2. Inkompatibilitas golongan darah (dengan ‘Coombs test’ positip)
3. Usia kehamilan < 38 minggu
4. Penyakit-penyakit hemolitik (G6PD, ‘end tidal’ CO µ)
5. Ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya
6. Hematoma sefal, ‘bruising’
7. ASI eksklusif (bila berat badan turun > 12 % BB lahir)
5
8. Ras Asia Timur, jenis kelamin laki-laki, usia ibu < 25 tahun
9. Ikterus sebelum bayi dipulangkan
10. ‘Infant Diabetic Mother’, makrosomia
11. Polisitemia
Anamnesis
1. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin, malnutrisi
intra uterin, infeksi intranatal)
2. Riwayat persalinan dengan tindakan / komplikasi
3. Riwayat ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya
4. Riwayat inkompatibilitas darah
4,5,7,9
5. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.
Pemeriksaan Fisik
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa hari
kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat
lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama
pada neonatus yang kulitnya gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita
sedang mendapatkan terapi sinar.
Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit dan jaringan
subkutan. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan
penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan
kemungkinan penyebab ikterus tersebut. 5,9
Tabel 1. Perkiraan klinis derajat ikterus
Usia Ikterus terlihat pada Klasifikasi
Hari 1 Setiap ikterus yang terlihat
Hari 2 Lengan dan tungkai Ikterus berat
Hari 3 dst. Tangan dan kaki
(Dikutip dari Peter Cooper, A.Suryono, Indarso F, et al. Jaundice. In : Managing Newborn Problems : a
guide for doctor, nurses and midwives, WHO, 2003 : F-77-F-89)

Tabel 2. Klasifikasi Ikterus


Tanya dan Lihat Tanda / Gejala Klasifikasi
Mulai kapan ikterus ? Ikterus segera setelah lahir
Ikterus pada 2 hari pertama
Ikterus pada usia > 14 hari
Daerah mana yang ikterus ? Ikterus lutut/ siku/ lebih Ikterus patologis
Bayinya kurang bulan ? Bayi kurang bulan
Warna tinja ? Tinja pucat
Ikterus usia 3-13 hari Ikterus fisiologis
Tanda patologis (-)
(Dikutip dari Depkes RI. Klasifikasi Ikterus Fisiologis dan Ikterus Patologis. Dalam : Buku Bagan
MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode Tepat Guna untuk Paramedis, Bidan dan
Dokter. Depkes RI, 2001)

6
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan serumbilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus yang
mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong risiko
tinggi terserang hiperbilirubinemia berat (lihat ‘point-point’ faktor risiko pada bab
DIAGNOSIS). Namun pada bayi yang mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera
mungkin, jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar
serumbilirubin.4,5,9
‘Transcutaneous bilirubin (TcB)’ dapat digunakan untuk menentukan kadar serum bilirubin
total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin
total < 15 mg/dL (<257 µmol/L), dan tidak ‘reliable’ pada kasus ikterus yang sedang mendapat
terapi sinar. 5,11
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus
antara lain :
• Golongan darah dan ‘Coombs test’
• Darah lengkap dan hapusan darah
• Hitung retikulosit, skrining G6PD atau ETCOc
• Bilirubin direk
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan
tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan pilihan
terapi sinar ataukah tranfusi tukar.4,5,9
Algoritme ikterus neonatorum dapat dilihat dalam lampiran.

PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk mengendalikan agar
kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menbimbulkan kern-ikterus/ensefalopati
bilirubin, serta mengobati penyebab langsung ikterus tadi. Pengendalian kadar bilirubin dapat
dilakukan dengan mengusahakan agar konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini
dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukoronil transferase dengan pemberian
obat-obatan (luminal).
Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau albumin),
mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau transfusi tukar,
merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin. Dikemukakan
pula bahwa obat-obatan (IVIG : Intra Venous Immuno Globulin dan Metalloporphyrins) dipakai
dengan maksud menghambat hemolisis, meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin. 4,5

7
Tabel 3. Penanganan ikterus berdasarkan kadar serum bilirubin
Terapi sinar Transfusi tukar
Usia Bayi sehat Faktor Risiko* Bayi sehat Faktor Risiko*
mg/dL µmol/L mg/dL µmol/L mg/dL µmol/L mg/dL µmol/L
Hari 1 Setiap ikterus yang terlihat 15 260 13 220
Hari 2 15 260 13 220 25 425 15 260
Hari 3 18 310 16 270 30 510 20 340
Hari 4 20 340 17 290 30 510 20 340
dst
(Dikutip dari American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Hyperbilirubinemia. Management of
hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004 ; 114 : 294)

Terapi Sinar
Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958. Banyak teori
yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori terbaru mengemukakan bahwa
terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang
berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan
bentuk isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi
oleh hepar ke dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu menyebabkan
bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat
dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus. 9,12,13
Di RSU Dr. Soetomo Surabaya terapi sinar dilakukan pada semua penderita dengan kadar
bilirubin indirek >12 mg/dL dan pada bayi-bayi dengan proses hemolisis yang ditandai dengan
adanya ikterus pada hari pertama kelahiran. Pada penderita yang direncanakan transfusi tukar,
terapi sinar dilakukan pula sebelum dan sesudah transfusi dikerjakan. 9,12,13
Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa buah lampu neon yang
diletakkan secara pararel dan dipasang dalam kotak yang berfentilasi. Agar bayi mendapatkan
energi cahaya yang optimal (380-470 nm) lampu diletakkan pada jarak tertentu dan bagian
bawah kotak lampu dipasang pleksiglass biru yang berfungsi untuk menahan sinar ultraviolet
yang tidak bermanfaat untuk penyinaran. Gantilah lampu setiap 2000 jam atau setelah
penggunaan 3 bulan walau lampu masih menyala. Gunakan kain pada boks bayi atau inkubator
dan pasang tirai mengelilingi area sekeliling alat tersebut berada untuk memantulkan kembali
sinar sebanyak mungkin ke arah bayi. 9,12,13
Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat seluas-luasnya,
yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 6-8 jam agar
8
bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh. Kedua mata ditutup namun gonad tidak
perlu ditutup lagi, selama penyinaran kadar bilirubin dan hemoglobin bayi di pantau secara
berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin <10 mg/dL (<171 µmol/L). Lamanya
penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam. 9,12,13
Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efek
samping terapi sinar. Beberapa efek samping yang perlu diperhatikan antara lain : enteritis,
hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit, gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping ini
biasanya bersifat sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan
yang menyertainya diperbaiki. 9,12,3

Transfusi Tukar
Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan dengan cepat bilirubin
indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat dalam mengganti eritrosit yang telah
terhemolisis dan membuang pula antibodi yang menimbulkan hemolisis. Walaupun transfusi
tukar ini sangat bermanfaat, tetapi efek samping dan komplikasinya yang mungkin timbul perlu
di perhatikan dan karenanya tindakan hanya dilakukan bila ada indikasi (lihat tabel 3). Kriteria
melakukan transfusi tukar selain melihat kadar bilirubin, juga dapat memakai rasio bilirubin
terhadap albumin (Tabel 4)

9
Tabel 4. Kriteria Transfusi Tukar Berdasarkan Berat Bayi dan Komplikasi
Berat Bayi Tidak Komplikasi Rasio Ada Komplikasi Rasio
(gram) (mg/dL) Bili/Alb (mg/dL) Bili/Alb
< 1250 13 5.2 10 4
1250 – 1499 15 6 13 5.2
1500 – 1999 17 6.8 15 6
2000 – 2499 18 7.2 17 6.8
≥ 2500 20 8 18 7.2
Konversi mg/dL menjadi mmol/L dengan mengalikan 17.1
(Dikutip dari American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Hyperbilirubinemia. Management of
hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004 ; 114 : 294)

Yang dimaksud ada komplikasi apabila :


1. Nilai APGAR < 3 pada menit ke 5
2. PaO2 < 40 torr selama 1 jam
3. pH < 7,15 selama 1 jam
4. Suhu rektal ≤ 35 O C
5. Serum Albumin < 2,5 g/dL
6. Gejala neurologis yang memburuk terbukti
7. Terbukti sepsis atau terbukti meningitis
8. Anemia hemolitik
9. Berat bayi ≤ 1000 g 12,15

Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah yang akan diberikan
dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila hiperbilirubinemia yang terjadi
disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO, darah yang dipakai adalah darah
golongan O rhesus positip. Pada keadaan lain yang tidak berkaitan dengan proses aloimunisasi,
sebaiknya digunakan darah yang bergolongan sama dengan bayi. Bila keadaan ini tidak
memungkinkan, dapat dipakai darah golongan O yang kompatibel dengan serum ibu. Apabila
hal inipun tidak ada, maka dapat dimintakan darah O dengan titer anti A atau anti B yang
rendah. Jumlah darah yang dipakai untuk transfusi tukar berkisar antara 140-180 cc/kgBB.12,13,14
Macam Transfusi Tukar:
1. ‘Double Volume’ artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan dapat mengganti
kurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 % mengganti Hb bayi.
2. ‘Iso Volume’ artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi, dapat mengganti 65
% Hb bayi.
3. ‘Partial Exchange’ artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada kasus polisitemia
atau darah pada anemia. 10,15

10
Tabel 5. Volume Darah pada Transfusi Tukar
Kebutuhan Rumus*
‘Double Volume’ BB x volume darah x 2
‘Single Volume’ BB x volume darah
Polisitemia BB x volume darah x (Hct sekarang – Hct yang diinginkan)
Hct sekarang
BB x volume darah x (Hb yang diinginkan – Hb sekarang)
Anemia (Hb donor – Hb sekarang)
BB x volume darah x (PCV yang diinginkan – PCV sekarang)
(PCV donor)

* Volume darah bayi cukup bulan 85 cc / kg BB


* Volume darah bayi kurang bulan 100 cc /kg BB
(Dikutip dari American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Hyperbilirubinemia. Management of
hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004; 114 : 294)

Dalam melaksanakan transfusi tukar tempat dan peralatan yang diperlukan harus
dipersiapkan dengan teliti. Sebaiknya transfusi dilakukan di ruangan yang aseptik yang
dilengkapi peralatan yang dapat memantau tanda vital bayi disertai dengan alat yang dapat
mengatur suhu lingkungan. Perlu diperhatikan pula kemungkinan terjadinya komplikasi
transfusi tukar seperti asidosis, bradikardia, aritmia, ataupun henti jantung. 12,13,14
Untuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia berat dimana fasilitas sarana dan tenaga tidak
memungkinkan dilakukan terapi sinar atau transfusi tukar, penderita dapat dirujuk ke pusat
rujukan neonatal setelah kondisi bayi stabil (‘transportable’) dengan memperhatikan syarat-
syarat rujukan bayi baru lahir risiko tinggi. 15

UCAPAN TERIMA KASIH


1. Dr. Lusyati Setyadewi, SpA. Staf Perinatologi RSAB Harapan Kita Jakarta (Sedang studi di
Beatrix Hospital-Academische Ziekenhuis Groningen).
2. Prof. W. Fetter, PhD. Neonatologie Unit-Vrije Universitiet Medisch Centrum Amsterdam.
3. Dr. Ferdy P. Harahap, SpA. Staf Perinatologi RSAB Harapan Kita Jakarta.
Untuk konstribusinya dalam penyusunan makalah ini. .

KEPUSTAKAAN

1. Jayashree Ramasethu (Division of Neonatology Georgetown University MC. Washington DC). Neonatal
Hyperbilirubinemia. Dalam: Neonatal Intensive Care Workshop, RSAB Harapan Kita Jakarta, 2002.
2. Camilia R.M, Cloherty J.P. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty J.P et al Manual of Neonatal Care 5th
Ed., Lippincott Williams & Wilkins, 2004 : 185-221.

11
3. Gomella T.L. Hyperbilirubinemia Direct (Conjugated) & Indirect (Unconjugated). Dalam: Neonatology,
Management, Procedures, On call Problems, Diseases & Drugs 4th Ed, A Lange clinical manual/Mc Graw-Hill,
1999 : 230-6.
4. Maisels MJ. Neonatal Hyperbilirubinemia. Dalam: Klaus MH and Fanaroff AA. Care of the High-Risk Neonate
5th Ed, WB Saunders Co. 2001 : 324-62.
5. Madam A., Wong R.J and Stevenson D.K. Clinical features and management of unconjugated
hyperbilirubinemia in term and near term infants. https://store.utdol.com/app/index.asp.uptodate, Sept 7, 2004.
6. Rennie J.M, Roberton NRC. Neonatal Jaundice Dalam: A Manual of Neonatal Intensive Care 4th Ed, Arnold,
2002 : 414-32.
7. Nelson textbook of Pediatric. Hyperbilirubinemia Dalam: Nelson textbook of Pediatric , 17th Ed, Philadelphia
WB Saunders, Co, 2004.
8. Sylviati MD, Fatimah I, Agus H, Risa E. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian / SMF. Ilmu Kes. Anak FK
UNAIR-RSU Dr. Soetomo Surabaya, 2004 (Sedang dicetak)
9. Peter Cooper, A.Suryono, Indarso F, et al. Jaundice. In : Managing Newborn Problems : a guide for doctor,
nurses and midwives, WHO, 2003 : F-77-F-89.
10. Depkes RI. Klasifikasi Ikterus Fisiologis dan Ikterus Patologis. Dalam : Buku Bagan MTBM (Manajemen
Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode Tepat Guna untuk Paramedis, Bidan dan Dokter. Depkes RI, 2001.
11. Maisels M.J, Ostrea E.W, Touch S., et al. Evaluation of a new transcutaneous bilirubinometer. Pediatrics 2004 ;
113 : 1628.
12. American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Hyperbilirubinemia. Management of hyperbilirubinemia in
the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004 ; 114 : 294.
13. Ebbesen F, Agati G and Pratesi R. Phototherapy with turquoise vs blue light. Arch Dis Child Fetal-Neonatal
2003; 88 : 430-1.
14. Jayashree Ramasethu. Exchange Transfusions. In : Mac Donald MG, et. al. Atlas of Procedures in Neonatology
3th Ed, Lippincott Williams & Wilkins, 2002 : 348-56.
15. Sylviati MD, Fatimah I, Agus H, Risa E. Manajemen Rujukan Bayi Baru Lahir Risiko Tinggi, Pertemuan
Koordinasi RS dan Depkes Kab. Dalam Rangka Pemantapan Sistem Rujukan Maternal dan Neonatal Tahun
2003, Surabaya, November 2003 : 1-6.

ANJURAN
1. A list of frequently asked questions and answers for parents is available in English & Spanish through the AAP.
www.aap.org/familiy/jaundice fag.htm.
2. Sendut H and Zulkifli I. Jaundice In: A New Handbook for Parents. Asian Ed. 1999 : 12-17.

12
Lampiran

13
14

Anda mungkin juga menyukai