Anda di halaman 1dari 5

Tugas Mata Kuliah Multikultur

Judul : Kegagalan Multikuturalisme di Jerman

Nama : Budhi Priyadarshakti (210220100506)

Bobry Primasyahrizal (210320100505)

KASUS :

Pernyataan Kanselir Jerman, Angela Merkel, mengenai gagalnya upaya membangun


masyarakat multikultural di Jerman cukup mengejutkan. Ditambah lagi dengan pernyataan
bahwa para imigran yang hidup di Jerman harus mempelajari bahasa Jerman dan mempelajari
budaya lokal. Apa yang sebenarnya terjadi pada penduduk asli Jerman?

Paragraf diatas secara tidak langsung menyiratkan ada rasa etnosentrisme pada
penduduk Jerman. Suatu rasa yang menjadi tembok penghalang antara suatu kelompok
masyarakat dengan kelompok yang lain. Etnosentrisme bisa mengindikasikan hal negatif
ataupun positif. Sisi negatifnya tentu saja dapat kita lihat dari sikap “enggan” penduduk
Jerman menerima budaya yang dibawa oleh para imigran.

1
Namun etnosentris ini dapat menjadi indikasi positif . Keengganan tersebut
menandakan bahwa penduduk Jerman masih terikat pada etnik mereka sendiri. Sikap
etnosentris ini dapat dilihat dari bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang
realita dari sudut pandang budaya mereka sendiri.

Jika dirunut dari sejarah yang ada, sikap etnosentris ini bisa dikatakan sebagai sisa dari
politik rasial yang pernah dianut oleh Adolf Hitler. Hitler pernah menggebrak dunia dengan
holocaust. Sebuah upaya pemusnahan besar-besaran bangsa Yahudi yang dipandang oleh
Nazi sebagai suatu permasalahan yang teramat besar setidaknya telah menyimbolkan rasa
etnosentris yang terpatri. Anggapan bahwa Yahudi adalah masalah tentu saja dipandang dari
sudut pandang Nazi –atau Hitler-. Entah dari mana datangnya rasa kebencian itu berasal,
namun secara turun temurun rasa ini telah menjadi nilai di dalam masyarakat. Nilai yang
dimaksud tentunya bukan lagi kebencian terhadap Yahudi melainkan kebanggaan yang
berlebihan pada budaya, etnik ataupun pandangan hidup mereka sendiri.

1
Sebagian besar imigran yang datang ke Jerman berasal dari Turki 2. Masyarakat Turki
sebagian besar berasal menganut agama Islam, dan itu artinya para imigran ini membawa
Islam –termasuk budaya, pandangan hidup serta ritual keagamaan- ke dalam Jerman. Dan
pada kenyataannya sebagian besar penduduk Jerman sulit menerima apa yang mereka bawa.
Penduduk Jerman sebagian besar beragama beragama protestan dan katolik. Dari 81,7 juta
penduduk Jerman, 55 juta diantaranya adalah penganut dua agama tersebut 3. Uniknya, di
Jerman gereja dan negara terpisah. Itu artinya gereja bebas mengembangkan sayapnya dalam
penyebaran agama. Bahkan gereja pun diperbolehkan mengambil pajak dari jemaatnya. Dan
ini merupakan pertanda bahwa gereja memiliki kekuasaan yang tak ternilai harganya.

Di bawah kultur seperti ini, imigran Turki tentu akan merasa terasing. Lima juta dari
81,7 juta merupakan angka yang sangat kecil. Terlebih lagi dengan sikap “enggan” menerima
budaya ataupun kelompok dari penduduk Jerman akan semakin memperuncing jarak diantara
pribumi dengan pendatang.

Para imigran yang sebagian besar berasal dari Turki datang ke Jerman ini memang
cukup beralasan. Mereka tergiur dengan welfare state yang dijalankan pemerintah Jerman.
Welfare state ala Jerman dipelopori oleh Otto Van Bismarck. Secara sederhana welfare state
dapat dikatakan sebagai konsep dimana pemerintah mengambil peran utama dalam
melindungi perekonomian negara dan menjamin kesejahteraan sosial penduduknya. Welfare
state menjamin kesetaraan dalam pendistribusian kekayaan, tanggung jawab publik dalam
meningkatkan kesejahteraan kaum papa dan peluang dalam menjalankan perekonomian.

Welfare state yang dipromosikan oleh Bismarck memang sangat menggiurkan. Sekitar
tahun 1880 Bismarck memundurkan masa pensiun, asuransi kecelakaan, jaminan kesehatan
dan asuransi bagi para pengangguran. “Kebaikan” Jerman ini telah memikat jutaan pendatang
untuk tinggal dan menetap di Jerman.

Sementara di Amerika konsep pendidikan multikultural, bukanlah hal yang baru lagi.
Mereka telah melaksanakannya dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara kulit
putih dengan kulit hitam yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional.

Amerika Serikat ingin membentuk masyarakat baru pasca kemerdekaan mereka tahun
1776 dan baru disadari bahwa masyarakat mereka terdiri dari berbagai ras dan asal negara
yang berbeda. Oleh karena itu Amerika menjadikan sekolah sebagai media sosialisasi dan
pemberdayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan. Melalui pendekatan inilah, dari semenjak

2
SD hingga Perguruan Tinggi menyebabkan Amerika Serikat berhasil membentuk bangsanya
yang dalam perkembangannya melampaui Eropa. Intinya toleransi tidak hanya diperuntukkan
untuk kepentingan bersama akan tetapi juga menghargai kepercayaan dan interaksi dengan
anggota masyarakat.

Dalam sejarahnya, multikulturalisme diawali dengan teori melting pot yang sering
diwacanakan oleh J Hector seorang imigran asal Normandia. Dalam teorinya Hector
menekankan penyatuan budaya dan melelehkan budaya asal, sehingga seluruh imigran
Amerika hanya memiliki satu budaya baru yakni budaya Amerika, walaupun diakui bahwa
monokultur mereka itu lebih diwarnai oleh kultur White Anglo Saxon Protestant (WASP)
sebagai kultur imigran kulit putih berasal Eropa.

Kemudian, ketika komposisi etnik Amerika semakin beragam dan budaya mereka
semakin majemuk, maka teori melting pot kemudian dikritik dan muncul teori baru yang
populer dengan nama salad bowl sebagai sebuah teori alternatif dipopulerkan oleh Horace
Kallen. Berbeda dengan melting pot yang melelehkan budaya asal dalam membangun budaya
baru yang dibangun dalam keragaman, Teori salad bowl atau teori gado-gado tidak
menghilangkan budaya asal, tapi sebaliknya kultur-kultur lain di luar WASP diakomodir
dengan baik dan masing-masing memberikan kontribusi untuk membangun budaya Amerika,
sebagai sebuah budaya nasional. Pada akhirnya, interaksi kultural antar berbagai etnik tetap
masing-masing memerlukan ruang gerak yang leluasa, sehingga dikembangkan teori Cultural
Pluralism, yang membagi ruang pergerakan budaya menjadi dua, yakni ruang publik untuk
seluruh etnik mengartikulasikan budaya politik dan mengekspresikan partisipasi sosial politik
mereka. Dalam konteks ini, mereka homogen dalam sebuah tatanan budaya Amerika. Akan
tetapi, mereka juga memiliki ruang privat, yang di dalamnya mereka mengekspresikan
budaya etnisitasnya secara leluasa.

3
TEORI :

Teori Melting Pot (J. Hector) : Kebudayaan imigran/asing berbaur dan bergabung dengan
kebudayaan asli tanpa campur tangan pemerintah.

Teori Salad Bowl (Horace Kallen) : Kebudayaan imigran/asing tidak perlu berbaur namun
diakomodir dengan baik dan masing-masing memberikan kontribusi untuk membangun.

Teori Cultural Pluralism (Berkson) : Masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang
berlatar agama, etnik, bahasa, dan budaya memiliki hak untuk mengekspresikan identitas
budayanya secara demokratis, sehingga masing-masing identitas individu dan kelompok
dapat hidup dan membentuk mosaik yang indah.

SOLUSI :

Seharusnya Jerman bisa meniru apa yang dilakukan oleh Amerika untuk mengatasi
berbagai permasalahan seperti ini. Walaupun kasus yang dihadapi tidak sama dan bangsa
yang mengalami masalah ini pun tidak sama. Jerman harus bisa mengatasi permasalahan ini
tanpa harus bersikap rasial kepada imigran dan berhasil mengendalikan imigran karena
memang sudah bagian dari Jerman itu sendiri.

Istilah "pendidikan multikultural" dapat digunakan baik pada tingkat deskriftif dan
normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan
dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang
pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam
masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriftif ini, maka kurikulum pendidikan
multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi; tema-tema tentang
perbedaan ethno-kultural dan agama: bahaya diskriminasi: penyelesaian konflik dan mediasi:
HAM; demokratis dan pluralitas; kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.

Dengan demikian multikulturalisme menyediakan wadah untuk penampakan “yang


lain”. Kehadiran “yang lain” itu harus dipahami tanpa reduksi, atau distorsi. “Yang lain” itu
harus tampil dalam soliditas dan keutuhannya masing-masing. Identitas adalah fakta yang
eksotis dan dengan demikian mustahil digeneralisasi atau disimplifikasi. Perbedaan diterima
sebagai sarana relasi, bukan ancaman desktruktif atau dijadikan alasan untuk menjalankan
represi.

4
CATATAN
1. http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/08/etnosentrisme.html, diakses pada tanggal 28
Maret 2011, pukul 20.42 WIB
2. http://id.wikipedia.org/wiki/Jerman, diakses pada tanggal 28 Maret 2011, pukul 20.51
WIB
3. http://id.wikipedia.org/wiki/Jerman, diakses pada tanggal 28 Maret 2011, pukul 21.10
WIB
4. http://widijanto.wordpress.com/2010/06/26/multikulturalisme-sebuah-titik-temu-
postmodernisme/, diakses pada tanggal 29 Maret 2011, pukul 20.36 WIB
5. http://re-searchengines.com/muhaemin6-04.html, diakses pada tanggal 29 Maret 2011,
pukul 21.00 WIB
6. http://marzanianwar.wordpress.com/2008/03/12/rangkuman-hasil-penelitian-
multikulturalisme-dan-kehidupan-beragama/, diakses pada tanggal 29 Maret 2011, pukul
21.23 WIB
7. http://rinosusilodewantara.blogspot.com/2010/02/pendidikan-multikultural-dalam-
tinjauan.html, diakses pada tanggal 30 Maret 2011, pukul 20.22 WIB

Anda mungkin juga menyukai