Anda di halaman 1dari 5

HIDUP DEVOSIONAL 'KATOLIK' SENANTIASA 'KRISTIANI'?

"Tuhan, tunjukkanlah Bapa Itu kepada kaml." (I "oh. 14:9)

PENDAHULUAN
Judul agak provokatif buku sederhana ini - juga judul pendahuluan ini - mungkin
kurang lazim bila mclihat jumlah tak terbatas dari buku-buku devosi vang setiap
tahun diterbitkan di Indonesia. Judul buku ini ingin mengajak pembaca untuk
berefleksi mcngenai apakah semua karangan, buku, gambar, atau patung yang
biasa didaftarkan sebagai "devosionalia Katolik", bisa juga disebut "devosionalia
kristiani".
Sava berpendapat bahwa ada sejumlah karangan, renungan, dan khotbah tentang
devosi (Devosi Maria atau Doa Rosario) yang sudah agak jauh dari ajaran Kristiani
dan Katolik yang sehat (dengan akibat samping bahwa penvimpangan itu agak
menyulitkan hubungan ekumenis dengan orang Kristen lain, vang sering tidak
mengerti).
Agama kita sudah berumur dua ribu tahun. Setiap tahun, setiap dekade, setiap abad
ada perayaan liturgi, khotbah, ketetapan dari pimpinan Gereja, renungan, ekspresi
dan penghayatan iman oleh seluruh kaum beriman atau kelompok, menurut
dorongan rahmat, pengaruh kebudavaan, bakat dan kecenderungan mereka
masing-masing. Adakalanya ekspresi itu hanya berasal dari kepentingan pribadi.
Misalnya, para pemilik toko devosionalia di Lourdes membuat patung dan rosario
dengan sekian banyak variasi, bukan karena cinta mereka akan Maria tetapi karena
mereka mengharapkan tertambahnya rejeki lewat peziarah-penziarah.
Seringkali, penghayatan religius tertentu tidak berumur panjang dan tidak
berpengaruh terhadap sesama. Misalnya, doa pribadi dan renungan batinku di
depan Gua Maria di Lourdes pada beberapa kunjungan saya, tidak dikerahui orang
lain. Namun, sering juga penghayatan itu dilihat, didengar, ditulis, dan direkam
orang lain sehingga akan mempengaruhi kehidupan religrius sesama. Lama--
kelamaan, penghayatan religius yang mula-mula agak subyektif dan - pribadi itu,
mulat ditiru dan diikuti orang lain.
Pada suatu langkah berikutnva, cara penghayatan itu malah mulai dianggap
normatif. Artinnya, banyak umat menyangka bahwa agama Kristen-Katolik memang
semestinya diekspresikan dan dihayati menurut pola itu. Misalnya, pada zaman
modern ini, banyak orang Katolik berpendapat bahwa seorang Katolik yang tidak
membuat tanda salib, tidak berdoa Rosario atau tidak sambut hosti kudus pada hari
jumat pertama, sebenarnya hidup di bawah standar resmi. Apalagi, jika la tidak
merayakan Natal. Padahal, keempat ekspresi religius ini belum ditemukan dalam
praktek devosional Gereja Purba dan tidak dilaporkan dalam Kitab Suci. Bahkan
Yesus sendiripun tidak pernah melaksanakan empat hal tadi yang kini dipandang
sebagai standar minimal bagi seorang kristen-katolik. Akibatnya, Yesus tidak lulus
dalam agama yang la sendiri dirikan.
Ternyata, cara menghayati ajaran asli Yesus, lama kelamaan, bertambah pada
lapisan kedua, ketiga, keseribu dan seterusnva. Apa yang terdapat pada lapisan
keseribu satu kadangkala dianggap lebih mewajibkan daripada apa yang dahulu
kala dibuat Yesus dan para Rasul sendiri.
Contoh: banvak orang Katolik sekarang menyangka bahwa Sakramen Baptisan
semestinya diterimakan dengan menuangkan air di dahi si calon; sedangkan cara
pembaptisan dari Gereja Pentekosta yang mencelupkan si calon ke dalam air,
sering dianggap aneh, malah tidaklah sah. Padahal, Yesus dan para rasul tidak
pernah menuangkan air di dahi orang melainkan mencelupkan dia ke dalam air.
Baru beberapa abad kemudian, ketika agama Kristen mulai dipraktekkan di daerah
dingin, misalnya di Eropa Barat, mulai terasa bahwa pencelupan seorang anak ke
dalam air dingin bisa menghasilkan kehidupan kekal, namun serentak pula kematian
fisik. Jalan keluar yang ditempuh adalah mengambil sedikit air dan hanva
dituangkan di dahi. Praktek Eropa Barat ini menjadi suatu kebiasaan yang -
bagaikan sebuah selimut - menutupi praktek asli pada zaman para rasul.
Contoh lain: sampai Konsili Vatikan II ada anggapan pada mayoritas umat katolik
bahwa hanya para imam boleh sambut dalam dua rupa. Padahal, pada lapisan
induk agama kita terdapat kata begitu jelas dari Yesus sendiri: "Aku berkata
kepadamu, sesunguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan
minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa
makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku
akan membangkitkan dia pada akhir zaman" Yoh. 6:53-54).
lngat juga bahwa cara untuk sambut Roti Surgawi pada abad pertengahan, yaitu
Hosti diletakkan di atas lidah, sampai sekarang masih dianggap normal dan wajib
oleh cukup banyak orang Kristen tradisional. Mereka tidak berani menerima Hosti itu
pada tangan mereka. Ketika sepuluh tahun lalu saya mengikuti Misa di basilik St.
Petrus dan mengulurkan tangan untuk sambut Hosti, imam yang membagikan
komuni berteriak dengan nada kurang simpatik: "Buka mulutmu!" Hal ini terjadi di
Basilik St. Petrus 30 tahun sesudah Konsili Vatikan II secara resmi membenarkan
cara "baru" ini - yang sebenarnya merupakan cara tradisional sejak Yesus sampai
abad pertengahan.
Inilah tanda bukti jelas bagaimana dalam peredaran sejarah, suatu ekspresi baru,
lama-kelamaan mulai dianggap lebih kuat dan lebih halal daripada apa yang terjadi
pada lapisan induk seribu tahun sebelumnya oleh Yesus dan para rasul-Nya.
Buku sederhana dan kecil ini tidak menyelidiki bagaimanakah praktek devosional
umat Kristen-Katolik di seluruh dunia. Saya tidak memiliki data dan penyelidikan itu
jauh melampaui kemampuan dan kompetensi saya. Saya hanya mengambil sebagai
titik tolak beberapa kutipan dan praktek devosional yang kebetulan muncul akhir-
akhir ini di Indonesia. Lantas, saya coba mengevaluasi kutipan dan praktek aktual
ini dalam terang dua batu uji.
Batu uji pertama adalah beberapa kutipan inti dari Perjanjian Baru tentang Allah
Bapa sebagai Sumber Induk segala cinta yang tidak perlu dibujuk-bujuk dengan
perantaraan orang kudus, bahkan oleh Yesus atau Maria sekalipun. Kutipan lainnya
adalah ajaran Yesus tentang perlunya salib dalam hidup setiap murid Kristus, pun
dalam hidup orang yang dengan gampang percaya bahwa lewat devosi tertentu dia
bisa luput dari penderitaan dan sengsara di dunia ini. Kutipan lain adalah ajaran
Yesus tentang syarat untuk masuk surga yang tidak menyebut satupun doa atau
devosi melainkan menuntut bahwa murid-Nya yang ingin lulus, harus memberi
makanan kepada yang lapar (Mat. 25:31-45).
Batu uji kedua adalah Liturgi resmi Gereja Kristen-Katolik. Supaya lebih praktis,
saya coba menganalisa beberapa Doa Syukur Agung agar si pembaca budiman
sendiri bisa menilai sampai sejauh mana bermacam-macam devosi, novena, ziarah
yang akhir-akhir ini muncul di bumi Indonesia, masih tinggal dalam koridor Kristen-
Katolik. Bahkan cukup banyak lagu indah dan benar dalam buku Madah Bakti dan
Puji Syukur sudah mampu membuka mata kita bagi suatu spiritualitas lebih Kristen-
Katolik daripada adakalanya diwartakan dalam beberapa praktek devosional aktual.

DUA CATATAN TAMBAHAN


Pertama, buku kecil ini merupakan bunga rampai, kumpulan beberapa karangan
dan meditasi singkat yang masing-masing saya tulis untuk keperluan khusus. Jadi,
jangan mengharapkan suatu terangan sistematis tentang hidup devosional. Saya
mengandaikan bahwa setiap orang yang membeli sebuah buku tentang hidup
devosional Katolik, mengetahui arti judul itu. Kalau artinya masih agak kabur,
gunakan rumusan singkat ini: Devosi adalah suatu kesalehan khusus terhadap
Allah, orang kudus atau barang yang berhubungan dengan orang kudus itu.
Misalnya, devosi ada Hati Kudus Yesus, kepada Roh Kudus, kepada St. Maria yang
berdukacita, kepada Mahkota Duri, kepada St. Fransiskus dari Asisi, dan
sebagainya. Kita semua adalah manusia terbatas yang mustahil menghayati
SELURUH bobot dan kekayaan agama kita. Terpaksa, kita memilih oknum atau
bagian tertentu saja yang agak mewarnai dan mengkhususkan seluruh hidup rohani
kita.
Kedua, pembaca budiman perlu mengetahui latar belakang saya yang sudah 40
tahun lamanya menjadi dosen di Sekolah tinggi Filsafat Seminari Pineleng
(Sulawesi Utara). Kesimpulan normal: pengarang buku ini adalah orang yang
otaknya lebih besar pada perasaan dan hatinya. Kesimpulan apriori lain: rupanya
pengarang ingin membasmi segala perasaan dan kehangatan dari hidup devosional
umat biasa dan menggantikannya dengan praktek religius dari suatu elite
intelektual.
Hendak memasang payung sebelum hujan kritik itu turun, di bagian-bagian akhir,
saya menulis mengenai Mazmur, Magnificat dan Kidung Zakharia. Saya
berkeberatan terhadap banyak mazmur dan kedua kidung itu karena manusia di
sana lebih banyak berbicara TENTANG Allah daripada berbicara DENGAN Allah.
Saya insyaf bahwa karangan ini sebenarnya bertentangan dengan batu uji yang
kedua tadi, yakni Liturgi resmi Gereja. Namun, saya mengambil risiko
"inkonsistensi" ini agar risiko kesimpulan apriori tadi dijauhkan. Saya bukan
promotor hidup religius serebral, rasional dan dingin melainkan ingin melanjutkan
pewartaan Yesus tentang hal yang paling penting dalam hidup manusia, yakni,
"Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu
dan dengan segenap akal budimu" (Mat. 19:22). Bahkan Markus 12:30 menambah
satu potensi lain lagi: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan
dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap
kekuatanmu. " Jadi, kita mengasihi Allah bukan hanya dengan otak melainkan
dengan segala potensi yang ada pada kita, tidak terkecuali perasaan dan emosi
kita.

Anda mungkin juga menyukai