Anda di halaman 1dari 7

Dec 24, '05 10:37 AM

Sejarah Singkat Politik Islam untuk


Prolog
 
Pada masa Nabi Muhammad Saw, Islam dan pemahaman terhadapnya masih dalam bingkai
kesatuan, Islam tumbuh berkembang dalam komunitas Arab yang hidup di alam sederhana
dengan dikelilingi oleh daratan padang pasir. Secara tidak langsung hal tersebut mempengarui
pola pikir dan kecenderungan psikis masyarakat setempat.[1] Keselarasan dalam memahami
Islam dan ajarannya, disebabkan adanya tokoh sentral yang menjadi pijakan bagi masyarakat
pada umumnya. Nabi Muhammad Saw, sebagai top leadermampu menghadirkan wajah Islam
secara sempurna, sehingga dengan waktu yang begitu cepat dan singkat, Islam tersebar keseluruh
jazirah Arab.
 
Islam terus tumbuh seiring dengan perubahan jaman. namun sejak masa khalifah, Islam
mengalami berbagai tantangan sehingga agama Islam dan pemahaman terhadapnya menjadi
terpecah-pecah. Sejarah mencatat bahwa pemahaman tentang Islam telah terbagi menjadi
beberapa disiplin keilmuan diantaranya; filsafat, teologi, sosiologi, fikih, optik dan sebagainya.
Dalam bidang filsafat, kita mengenal sosok al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dan sebagainya. Dalam
bidang teologi, kita juga dihadapkan pada beberapa aliran yang secara platform memiliki
perbedaan yang mendasar, diantaranya; Mu’tazilah, Asy’ariyah, Khawarij dan sebaginya. Dalam
bidang sosiologi, kita dihadapkan pada sosok seperti Ibn Khaldun, al-Masudi, Miskawaih. Dalam
bidang fikih kita mengenal beberapa tokoh seperti; Malik ibn Anas, Ibn Hambal, Imam Syafi’i,
al-Laits ibn Sa’ad. Sementara dalam bidang optik kita mengenal sosok Ibnu Sina, Ibnu al-Haitam
atau al-Hazm, al-Biruni dan sebagainya.[2]
 
Perubahan-perubahan tersebut tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur kepentingan. Salah satu
unsur dari kepentingan adalah merai kekuasaan. Sementara, kekuasaan tidak akan tercapai
kecuali dengan penuntutan(muthâlabah), tujuan dari tuntutan tersebut adalah kemenangan dan
kekuasaan, sehingga setelah tujuan tercapai maka usaha kearah kekuasaan tersebut berakhir.[3]
 
Dalam batas-batas perkembangan sejarah dunia, agama memiliki keterkaitan kuat dengan politik.
Apalagi politik telah menjadi persoalan yang serius dengan menyebabkan seseorang bersedia
mati untuk membelanya. Hal tersebut tentunya dipengaruhi oleh dorongan-dorongan kuat yang
bersumber dari agama atau sebuah ideologi, demikian yang diungkapkan oleh W. Montgomery
Watt.[4]
 
Politik dalam hal tersebut dilihat dari perspektif tindakan sosial yang memandang politik sebagai
tindakan yang dipedomani oleh serangkaian pemikiran, keyakinan dan kesadaran yang
menimbulkan sikap dan tindakan yang diyakini sebagai kebenaran. Sehingga dengan demikian,
politik dapat dilihat sebagai tindakan manusia dalam berinteraksi dengan lainnya.[5]
 
Pada makalah sederhana ini, penulis akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengetengahkan
pergolakan politik Islam. Hal ini penulis rasa sangat penting untuk kembali menemukan ranah
perpolitikan umat Islam sebagai sumbangsing pemikiran sebagai jawaban tantangan realita.
 
Politik Islam Masa Nabi
 
Islam adalah agama pembaharu yang terasingkan dari tempat di mana ia diturunkan. Kota
Makkah dengan berbagai corak kehidupan masyarakat sosial belum mampu menerima
sepenuhnya kehadiran agama Islam. Hal itu dikarenakan sikap fanatisme yang mengakar untuk
mempertahankan esensi kabilah-kabilah. Penolakan masyarakat sosial Makkah dapat kita lihat
dari penindasan-penindasan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy terhadapa Nabi Muhammad
dan para pengikutnya.
 
Peristiwa tersebut menjadikan umat Islam merasa pesimis akan diterima oleh kabilah-kabilah
yang ada, apalagi dengan ditolaknya seruan Nabi Muhammad oleh kabilah Thaqif dari Ta’if
yang kemudian disusul dengan penolakan-penolakan yang dilakukan oleh kabilah-kabilah Kinda,
Kalb, Banu ‘Amir dan Banu Hanifa.[6]
 
Sejarah perkembangan Islam mencatat, bahwa Islam tumbuh berkembang pesat di wilayah
Yatsrib. Wilayah ini dihuni oleh beberapa kabilah diantaranya, kabilah Aus, Khazraj[7] dan
Yahudi. Perkembangan Islam di Yatsrib dipengaruhi oleh adanya pertentangan perebutan
kedaulatan dan kekuasaan antara kabilah Aus, Khazraj dan Yahudi. Selain itu, perkembangan
Islam juga didukung oleh adanya keyakinan pada tubuh kaum Yahudi dengan aliran
monotheismenya yang mencelah para penyembah berhala dan berkeyakinan bahwa akan datang
suatu saat seorang Nabi yang akan mendukung mereka (Yahudi) dengan memberantas para
penyembah berhala.[8]
 
Langkah politik Nabi Muhammad untuk mencari dukungan dari penduduk Yatsrib pertama kali
nampak pada peristiwa Ikrar Aqabah[9], peristiwa tersebut menandai akan adanya kebebasan
menyebarkan agama  Islam sehingga secara otomatis akan berdampak pada kekuatan Islam. Hal
itu bisa kita lihat dari sikap kaum kafir Qurasy yang terus-menerus menyelidiki para
pengikut Ikrar Aqabah untuk diperlakukan secara tidak manusiawi. Peristiwa itu terjadi karena
kehawatiran kaum Qurasy akan munculnya kekuatan baru pada tubuh umat Islam sehingga akan
mengganggu eksistensi kekuasaan kaum kafir Qurasy.
 
Setelah peristiwa Ikrar Aqabah,  Nabi Muhammad kembali memikirkan langkah politik
selanjutnya dengan mengizinkan para pengikutnya melakukan hijrah ke kota Yatsrib. Sementara
Nabi Muhammad masih memilih berdomisi di Kota Makkah mencari masa-masa tenang
sekaligus menunggu perintah dari Allah Swt.
 
Para pakar berpendapat bahwa gerakan politik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad merupakan
langkah yang cerdas dan penuh dengan perhitungan. Hal itu terbukti dengan adanya keberhasilan
Nabi Muhammad dan para pengikutnya dalam melakukan perintah hijrah.
 
Kehidupan Yatsrib (kemudian terkenal dengan sebutan Madinah) pada masa Nabi Muhammad
menjadi batu pijakan utama dalam mencatat sejarah perpolitikan umat Islam. Para pakar sejarah
berpendapat bahwa politik Islam dalam konteks negara, pertama kali muncul dan berkembang di
Madinah.
 
Perpolitikan Islam di Madiah terbentuk secara prural dengan kolaborasi dari berbagai kalangan
dan aliran, antara umat Islam, kaum Yahudi, para penyembah berhala (kabilah Aus dan Khazraj).
Secara garis besar, suasana politik pada waktu itu dipengarui oleh dua imperium besar yaitu
Romawi dan Persia.
 
Langkah politik Nabi Muhammad pertama kali adalah menyatukan kaum
muslimin muhajirin dan ansor.Langkah ini bisa dikatakan cukup cerdas, karena untuk
membentuk kekuatan komunitas, syarat utama yang harus dipenuhi adalah solidaritas antar
penduduk. Kemudian Nabi Muhammad membentuk sebuah nota kesepakatan antara penduduk
Madinah secara umum yang tercatat sebagai piagam Madinah.
Piagam ini merupakan dokumen politik yang telah ditinggalkan oleh Nabi Muhammad selama
kurun waktu seribu empat ratus dua puluh lima tahun lamanya. Piagam ini pulalah yang telah
menetapkan adanya kebebasan beragama, menyatakan pendapat, berserikat, dan pelarangan akan
tindak kejahatan. Dengan piagam itu, kota Madinah menjadi tempat yang memiliki peradapan
tinggi karena benar-benar telah menghormati seluruh penduduk yang berdomosili di dalamnya.
Madinah yang semula dipenuhi dengan tindak kejahatan, kekerasan dan peperangan menjadi
kota yang menjunjung tinggi hak dan egaliter.[10]
Menurut al-Sayyid Muhammad Ma’ruf  al-Dawalibi seorang pengajar di universitas Paris
mengatakan bahwa yang paling menakjubkan tentang piagam Madinah adalah memuat tentang
prinsip-prinsip perpolitikan umat Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
 
Para sejarawan berselisih pendapat dalam menentukan ketokohan Nabi Muhammad dalam
menjalankan roda perpolitikan di kota Madinah. Hal itu disebakan adanya perbedaan
pemahaman akan tugas seorang nabi. Apakah sikap politik yang diambil oleh Nabi Muhammad
sebagai aplikasi dari perintah yang berupa wahyu atau merupakan hasil dari ijtihat sebagai
seorang pemimpin atau hakim sebagai jawaban dari kebutuhan dan situasi masyarakat?[11]
 
Pebedaan pandangan dalam menafsirkan tugas-tugas kenabian dalam bidang politik
menyebabkan perdepatan yang tak kunjung usai. Apakah Islam memiliki sistem politik, apakah
Islam merupakan agama yang menjunjung demokrasi? Kalau kita mau jujur untuk kembali
membuka lembaran-lembaran sejarah, maka kita akan menemukan berbagai peristiwa yang
bersifat duniawi seperti; politik, ekonomi dan sebagainya, berawal dari problema masyarakat
masa Nabi, kemudian wahyu datang sebagai upaya penyelesaian akan kebutuhan masyarakat.
Berbeda dengan unsur akidah yang secara langsung turun dari langit tanpa melihat pada kondisi
masyarakat!
 
Terlebih, sepeninggal nabi Muhammad, umat Islam tidak memiliki sistem tatanan sosial politik
yang baku sehingga peristiwa perebutan kekuasaan untuk menggantikan posisi nabi Muhammad
sebagai pimpinan menyebabkan umat Islam terbelah menjadi berbagai golongan. Demikan
halnya dengan persoalan demokrasi, kalau kita menilik makna demokrasi sebagai sebuah sistem
yang mengedepankan asas musyawarah mufakat, maka Islam adalah agama yang paling
demokrasi. Namun, jika kita menilik makna demokrasi sebagai sebuah sistem yang berasal dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka Islam bukan agama demokrasi karena secara hukum
syari’ah Islam berasal dari Tuhan untuk kemaslahatan manusia!
 
Politik Islam Masa Khalifah al-Râsyidîn
 
Sejarah perkembangan umat Islam yan mengalami pancaroba dan maju-mundur sebenarnya
dimulai setelah Nabi wafat. Periode ini ditandai oleh berbagai peristiwa uji coba sistem
perpolitikan dan keagamaan dalam membangun wilayah Islam, dalam bentuk konkret dengan
berdasarkan pada landasan-landasan yang telah dibagun dan diletakkan oleh Nabi Muhammad.
Sejarah perkembangan umat Islam yang berjalan secara gradual dan terseok-seok dimulai dengan
munculnya masa khalifah al-Râsyidîn.
 
Pada masa khalifah al-Rasyidin, sistem politik umat Islam berbentuk khilafah, dengan proses
pemilihan pemimpin melalui jalur musyawarah mufakat atau melalui sistem perwakilan. 
Pada waktu Nabi Muhammad wafat, konflik ditubuh umat Islam dalam menentukan pemimpin
sebagai pengganti Nabi tidak terbendung. Sebelum Nabi Muhammad dimakamkan, kaum
muslimin anshar berkumbul di serabi bani Sa’ad untuk memilih dan menentukan pemimpin.
Dalam musyawarah tersebut terdapat beberapa nama yang akan diajukan kepada umat Islam,
antara lain; Abu Bakar al-Siddiq, Umar ibn Khathab, Abu Ubaid ibn Jarah. Kaum muslim anshar
berpendapat bahwa syarat menjadi seorang pemimpin adalah harus berasal dari kaum anshar,
karena Nabi Muhammad telah melakukan misi dakwanya di Makkah selama kurang lebih 13
tahun namun dengan pengikut yang sedikit, tidak ada yang mampu melindunginya dari siksaan
kaum kafir Qurasy. Semenatara ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, ia dengan leluasa
bisa melakukan misi dakwahnya dengan atas bantuan kaum muslimin anshar, sehingga Nabi
Muhammad dan umat Islam mampu menaklukkan Jazirah Arab.
 
Sedangkan kaum muslim muhajirin berpendapat bahwa syarat menjadi seorang pemimpin
pengganti Nabi Muhammad harus berasal dari Kota Makkah, karena kaum muslimin Makkah
adalah orang yang pertama kali percaya akan kenabian nabi Muhammad. Setelah melalui
perdebatan yang sangat panjang, akhirnya diputuskan bahwa tiap-tiap golongan kaum muslimin
mengajukan perwakilannya dan berakhir dengan terpilihnya Abu Bakar al-Shiddiq sebagai
pemimpin (khalifah) umat Islam pengganti Nabi Muhammad.[12]
 
Namun, dalam salah satu sumber mengatakan bahwa peistiwa pengangkatan Abu Bakar al-
Siddiq sebagai khalifah tidak dihadiri oleh Ali ibn Abi Thalib karena sibuk menyiapkan proses
pemakaman Nabi Muhammd. Setelah Ali ibn Abi Thalib mendengar pengangkatan Abu Bakar
al-Siddiq sebagai khalifah, ia tidak menyetujui kecuali setelah beberapa waktu yang cukup lama.
Menurut riwayat dikatakan bahwa  Ali ibn Abi Thalib adalah sahabat yang paling dekat dengan
Nabi Muhammad karena ia adalah orang yang pertama kali masuk Islam dan menjadi suami dari
Fatimah, putri Nabi Muhammad., sehingga lebih berhak menjadi seoarang khalifah dibanding
Abu Bakar al-Siddiq. [13]
 
Pidato kenegaraan yang dilontarkan Abu Bakar al-Siddiq merupakan statemen politik yang maju
dengan menggunakan prinsip-prinsip moderen yang partisipatif dan egaliter.[14] Abu Bakar al-
Siddiq merupakan khalifah yang mampu menyelesaikan pertikayan-pertikayan yang terjadi
ditubuh umat Islam. Perbedaan-perbedaan yang muncul cenderung mengarah pada unsur politik
bukan pada unsur agama. Salah satu gerakan politik Abu Bakar al-Siddiq adalah memerangi
orang-orang yang ingkar zakat atau lebih dikenal denganhurûb al-riddah.[15]
 
Sosio politik umat Islam pada masa Abu Bakar al-Siddiq berjalan stabil. Prinsip-prinsip
perpolitikan dalam membentuk sebuah khilafah yang digunakan berpedoman pada ajaran-ajaran
agama Islam berupa al-Qur’an dan Hadis. Keberanian Abu Bakar ibn al-Siddiq dalam
mengambil kebijakan-kebijakan tidak populer menjadikan ia sebagai khalifah yang tangguh dan
berwibawa.
 
Perlawanan dan pertentang dalam pengankatan Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah,
menjadikan khalifah pertama ini bertindak preventif dalam menentukan dan memilih khalifah ke
dua. Sebelum Abu Bakar al-Siddiq wafat, ia telah menyiapkan komite pemilihan khalifah untuk
menggantikannya. Dengan rekomendasi dari Abu Bakar al-Siddiq dan persetujuan kaum
muslimin pada umumnya, Umar ibn Khattab terpilih secara aklamasi sebagai khalifah Islam ke
dua setelah Abu Bakar al-Siddiq.
 
Persoalan yang terjadi pada masa khalifah Umar ibn Khatthab cenderung mengarah pada
persoalan politik luar, pada masa tersebut, umat Islam melakukan ekspansi perluasan daerah.
salah satu contoh dengan diutusnya Amr ibn Ash untuk memimpin pembukaan kota Mesir.
Sementara dalam tubuh umat Islam sendiri cenderung setabil, hal itu didukung oleh keberanian
dan kewibawaan yang dimiliki oleh Umar ibn Khathab.
 
Perpecahan terbesar terjadi ketika pada masa khalifah Utsman ibn Affan, hal itu muncul karena
para pengikut Ali ibn Abi Thalib dan kaum anshar merasa jenuh akan kepemimpinan kaum
muhajirin. Kejenuhan dan kebosanan itu memuncak ketika khalifah Utsman ibn Affan lebih
mementingkan kedekatan (kerabat) dalam pengangkatan para penguasa. Khalifah Utsman ibn
Affan yang notabeni berasal dari keturunan bani umayyah, mendapat tantang keras dari kaum
Syi’ah dan keturunan bani Hasyim. Perselisihan politik semakin memanas sebagaimana
pertikayan yang pernah terjadi antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah pada masa jahiliah
(sebelum kedatangan Islam).
 
Gerakan makar oleh sebagian golongan dilancarkan secara sembunyi-sembunyi. Mereka
menentang kebijakan politik khalifah Utsman ibn Affan dengan menjadikan Ali ibn Abi Thalib
sebagai justifikasi dari gerakannya, salah satu tokoh provokatif dalam peristiwa tersebut adalah
Abdullah ibn Saba, seorang Yahudi dari Yaman dan kemudian masuk Islam. Abdullah ibn Saba
terkenal sebagai tokoh yang getol menyuarakan agar umat Islam berpaling dari khalifah Utsman
ibn Affan dan bersatu memilih Ali ibn Thalib. [16]
 
Setelah khalifah Utsman ibn Affan wafat dalam keadaan terbunuh, maka kaum muslimin
memilih dan mengangkat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah selanjutnya. Dalam proses
pemilihan Ali ibn Abi Thalib, kaum muslimin terbagi menjadi tiga golongan. Pertama; golongan
yang menerima dan mengangkat Ali ibn Abi Thalib, golongan ini didukung oleh sebagian besar
para pembesar kaum muhajirin. Kedua; golongan yang menolak pengangkatan Ali ibn Abi
Thalib sebagai khalifah, diantaranya; Thalha, al-Zubair[17] dan Mua’wiyah[18], mereka
beranggapan dan menuduh bahwa Ali ibn Abi Thalib ikut terlibat dalam pembunuhan khalifah
Utsman ibn Affan. Ketiga; golongan yang memilih netral dengan tidak bepihak pada kedua
golongan di atas. Golongan ini didukung oleh sebagian besar para pembesar umat Islam dari
kalangan para sahabat diantaranya; Abdullah ibn Umar ibn Khathab, Muhammad ibn Maslamah,
Sa’id ibn Abi Waqqash, Asamah ibn Zaid, Husnan ibn Tsabit dan Abdullah ibn Salamah.
[19] Dari berbagai golongan di atas, muncullah beberapa aliran dalam tubuh umat Islam
diantaranya; Khawarij, Syi’ah dan Murjiah.
 
Masa perpolitikan umat Islam dalam ranah khilafah berakhir pada masa khalifah Ali ibn Thalib.
Masa khilafah merupakan pengalaman perpolitikan umat Islam yang mampu mengenal
perbedaan terkecil antara gagasan dan realita. Namun diantara keempat khalifah tersebut, hanya
khalifah Abu Bakar Al-Siddiq yang wafat secara wajar. Umar ibn Khathab dibunuh oleh budak
gubenur Basrah yang beragama nasrani, Utsman ibn Affan dibunuh oleh lawan politiknya,
kemudian rumahnya diserang dengan tuduan pemerintah yang tirani, dan Ali ibn Thalib terbunuh
ketika sedang dalam perjalanan menuju masjid.[20]
 
Dari Khilafah Menuju Daulah
 
Jika kita mengkaji secara teliti sejarah perkembangan Islam, maka kita akan menemukan
beberapa pola atau perubahan yang sering kali dilandaskan pada realita yang ada. Dengan analisa
yang bersifat instan, maka kita akan mampu memprediksi hal-hal yang  akan terjadi di masa
mendatang.[21]
 
Di sinilah kita akan menemukan pola perpindahan sistem perpolitikan Islam. Dalam catatan
sejarah, Muawiyah (pendiri Dinasti Umawiyah) menyatakan dirinya sebagai khalifah pada tahun
660, pada masa khalifah Ali ibn Thalib masih berkuasa. Peristiwa tersebut menyebabkan
perpecahan daerah kekuasaan Islam menajadi dua bagian, pertama; Kuffah sebagai pusat
pemerintahan khalifah Ali ibn Abi Thalib, kedua; Demaskut sebagai pusat pemerintahan
Mua’wiyah.[22]
 
Namun secara garis besar, kepemimpinan Mu’awiyah disahkan secara general setelah khalifah
Ali ibn Abi Thalib meninggal. Masa kepemimpinan Mu’awiyah merupakan starting
point perubahan sistem perpolitikan umat Islam dari sistem khilafah menuju sistem daulah.
 
Dalam sejarah tercatat bahwa Mu’awiyah dengan kreasi politiknya mampu menanggulangi
suasana ricuhdalam tubuh umat Islam. Keberanian Mu’awiyah merubah sistem perpolitikan
khilafah dengan sistem daulah telah menyatukan kembali umat Islam yang bertikai sehingga
terkenal dengan masa ‘âmul jamâ’ah (tahun rekonsiliasi). Mu’awiyah merubah pola perpolitikan
umat Islam dengan membangun infra struktural pemerintah seperti kantor-kantor.
 
Sosio perpolitikan umat Islam di masa dinasti Umawiyah dihiyasi oleh berbagai pertempuran
ideologi antara ahlul hadis, theolog, filosof dan sebagainya. Para tokoh berusaha untuk
memperoleh dukungan dari para penguasa sehingga ideologi yang diajarkan bisa dengan muda
diterima oleh masyarakat. Pada masa dinasti Umawiyah, perkonomian umat Islam maju dengan
pesat terbukti dengan adanya mata uang khusus yang disahkan oleh dinasti Umawiyah sebagai
alat transaksi jual beli. Pergantian pimpinan pada masa ini berdasarkan pada garis keturunan,
sehingga jauh berbeda bila dibandingkan dengan masa khilafah. Dinasti ini bertahan dari tahun
661-750 M.
 
Setelah dinasti Umawiyah runtuh, dinasti Abbasiah muncul dengan pola dan sistem politik yang
sama. Bani Abbasiah yang secara garis keturunan berasal dari Bani Hasyim secara otomatis
mendapatkan dukungan penuh dari kaum Syi’ah. Pada masa dinasti Abbasiah, berbagai disiplin
ilmu pengetahuan dan budaya berkembang secara pesat. Budaya Yunani tersebar luas pada masa
dinasti ini, dengan ditandai dengan banyaknya buku-buku yang diterjemahkan dari bahasa
Yunani. Dinasti ini bertahan dari tahun 750-1517 M, dengan pembagian dua
wilayah, pertama; Dinasti Abbasiah di Bagdad yang dipelopori oleh oleh Abu al-Abbas Al-
Saffah dan berakhir pada masa al-Musta’sim. Kedua; Dinasti Abbasiyah di Kairo yang didirikan
oleh al-Mustansir dan berakhir pada masa al-Mutawakkil III. Sebagaimana dinasti Umawiyah,
dinasti ini juga menerapkan sistem keturunan dalam proses peralihan kekuasaan.
 
Epilog
 
Sejarah perpolitikan umat Islam yang seringkali mengalami perubahan menyebakan adanya
perbedaan dikalangan sejarawan dan pengamat politik dalam menentukan sistem atau pola
politik Islam. Apakah dengan pola yang sering kali berubah, Islam masih memiliki sistem
perpolitikan yang patut dibanggakan dan menjadi jawaban dari kebutuhan realita kontemporer?
Mari kita diskusikan bersama. Wallahua’lam!

Anda mungkin juga menyukai