Anda di halaman 1dari 9

Peran Keris dalam Perjalanan Sejarah Bangsa

Indonesia
08 May

Keris adalah salah satu senjata adat suku –suku bangsa di Nusantara , yang
merupakan senjata penusuk jarak pendek dikenal dan dipakai oleh sebagian
masyarakat di Asia Tenggara. Keris merupakan senjata penusuk yang dimuliakan,
dihormati bahkan dianggap keramat. Tidak hanya suku bangsa di Indonesia, juga
bangsa lain di sebagian Asia Tenggara juga mengenal dan memakainya. Misalnya saja
bangsa Malaysia, Brunai, Sabah, Tailand, Kamboja, Laos, Suku Moro di Pilliphina
Selatan juga mengenal atau memakai Keris.

Selain senjata penusuk, keris merupakan benda yang berfungsi sebagai senjata yang
dianggap mempunai daya magis, benda Pusaka, sebagai benda kehormatan, sebagai
benda sejarah, sebagai benda komoditi perdagangan, sebagai symbol, sebagai tanda
kehormatan,  sebagai benda pelengkap upacara, dan sebagai benda pelengkap busana.

Bagaimana kedudukan keris keris dalam sejarah bangsa, tidak dapat dipungkiri lagi,
dalam ceritera, babad maupun sejarah modern, keris banyak berfungsi sebagai  obyek 
sejarah, bahkan keris kadang- kadangdapat menjadi benda penentu sejarah.

Keris selalu muncul dalam  legenda, ceritera tutur atau oral tradisi, babad atau sejarah
tradisi, sampai pada sejarah modern. Ternyata  bila dicari dalam ceritera tutur atau
penulisan sejarah, keterangan mengenai keris  banyak yang dapat diketahui. Seperti
misalnya dalam ceritera legenda Ajisaka, Pararaton, Babad Tanah Jawi sampai
penulisan  sejarah modern De Graaf,  perang Diponegoro.  Bahkan keris masih juga
hadir dalam masyarakat modern masa kemerdekaan  contohnya  panglima besar besar
Soedirman dan Bung Karno sampai kepada pak Harto.

Ceritera Jawa yang paling tua, yaitu Serat Ajisaka, walaupun ini masih merupakan
ceritera tutur yang bersifat legenda menghadirkan keterangan tentang keris. Pada masa
Sang Aji Saka telah menjadi raja menguasai tanah Jawa, maka berkenan mengambil
pusaka keris yang ditinggalkan di Gunung Kendil. Keris itu dibawa  dan dikuasakan
kepada abdinya yang bernama Sambada. Sang Ajisaka  mengutus abdinya yang
bernama Dora untuk mengambil pusaka keris itu. Setelah sampai  di Gunung Kendhil,
Sambada tidak mau memberikan keris pusaka itu, karena dia mendapat pesan dari Sang
Ajisaka, bahwa keris itu tidak boleh diberikan kepada siapapapun kecuali sang Aji saka.
Maka terjadi percekcokan meningkat menjadi perkelahian, dua abdi tersebut mati
bersama. Sang  Aji saka telah menunggu lama tetapi utusannya tak kunjung datang,
kemudian menyusul ke Gunung Kendhil. Ajisaka  kemudian merasa berdosa karena
mati bersama ( sampyuh ),  maka sebagai peringatan akan dosanya diciptakan aksara
yang kelak kemudian menjadi huruf   Jawa , ha, na, ca , ra , ka .  da ,ta, sa, wa, la . Pa,
da, ja,   ya , nya .   ma, ga, ba, tha, nga. Artinya :  ada utusan , sama –sama berkelahi  ,
sama – sama saktinya  , sama- sama menjadi bangkai.

Walaupun serat Ajisaka ini merupakan legenda atau ceritera tutur, tetapi cerita ini
sampai masa sekarang masih menjadi  dasar pandangan masyarakat Jawa atau Bali, ini
merupakan  mantifac  atau facta mental yang masih hidup dalam kehidupan masyarakat
sampai masa sekarang.

Ceritera dari Babad Tanah Jawi  menyebutkan bahwa Ciung Wanara setelah dewasa 
diserahkan oleh Ki Buyut  untuk mengabdi pada pandai besi istana, setelah tahu cara
kerja pandai besi kemudian membuat banyak senjata keris, pedang, kudi, kujang.
Kemudian Ciung Wanara membuat tempat tidur kantil yang dibuat dengan terali besi,
yang dinamakan Balai Sawo. Setelah itu Ciung Wanara mengabdi pada raja Pajajaran 
Arya Bangah. Karena banyak berjasa Ciung wanara dianugerahi nama Banyak Wide.
Kelak  dengan  tempat tidur berterali besi ini dapat membalas dendamnya kepada raja
Pajajaran Arya Bangah, yang kemudian dihanyutkan ke sungai Karawang. Ciung
Wanara menjadi raja besar di Pajajaran, begelar Harya Banyak Wide.  Kemudian
berperang dengan adik Arya Bangah yang bernama Jaka Sesuruh. Jaka Sesuruh yang
kalah melarikan diri  dari Pajajaran menuju ke Jawa Timur.

Dalam serat -serat Panji  yang terdiri atas beberapa versi, Panji Inu Kertapati Pangeran
dari Kerajaan Jenggala yang kemudian menjadi  raja dan dapat menjatukan  kerajaan
Jenggala dan  kerajaan Kediri, setelah menjadi raja bergelar Kameswara , adalah
seorang yang pandai  mengolah curiga, atau bermain silat dengan keris. Walaupun
ceritera ini sekedar hanya sastra sejarah, atau ceritera tutur,  ceritera Panji  pangeran dari
Panjalu ini masa lampau menjadi suri tauladan dan menjiwai kehidupan masyarakat
Jawa  yang agraris feodal. Ceritera Panji ini bahkan tersiar sampai Vietnam dan
Kamboja .

Dalam masa kerajaan di Jawa Timur dari masa Kediri sampai Singhasari sejarah keris
tampak kelam, tetapi diketahui  bahwa akibat adanya  kepercayaan baru yaitu
Tantrayana, keris  pada masa itu berkembang mencapai bentuknya. Keris yang tadinya
berbentuk gemuk pendek berbadan lebar cenderung seperti keris Budha  atau Katga
pada masa ini berubah ramping walaupun uga masihtampak dempakdan sangkuk.
Contohnya keris- keris Jenggala  dan Singhasari, dalam relief di Candi  Panataran, keris
sudah lebih ramping bentuknya.

Baru dalam kitab Pararaton didapatkan  keterangan yang  luar biasa  tentang keris.
Kemelut Tumapel dengan tokoh Ken Angrok  seorang  rakyat jelata anak Ken Endog 
yang dipercaya titisan Dewa Brahma,  membuat sejarah besar. Kitab  Pararaton
memberi keterangan yang banyak tentang keris. Karena Ken Angrok  jatuh cinta dengan
Ken Dedes, wanita yang secara paksa menjadi istri Akuwu Tunggul Ametung. Untuk
membunuh tunggul Ametung Ken Angrok memesan keris sakti kepada Empu Gandring,
Keris Empu Gandring kemudian mulai memakan korban, pertama adalah Empu
Gandring, kemudian Tunggul Ametung, Keboijo, Ken Anggrok sendiri, Panji
Anusapati, Panji Tohjaya, dan Ranggawuni, Jadi keris Empu Gandring, telah memakan 
tujuh korban diantaranya Ken Angrok sendiri dan keturunanya. Tetapi  Ken Angrok
sendiri telah berhasil merebut Kerajaan Singhasari, yang  kelak kemudian keturunanya
akan meneruskan menjadi raja- raja sesudahnya. Oleh sebab kitab yang memuat ceritera
itu disebut kitab Pararaton. Dalam peristiwa ini keris yang merupakan senjata penusuk
berperan serta dalam penentuan sejarah. Serat pararaton yang menghebohkan ini
ditemukan ditulis pada keropak atau Ron Tal dalam bahasa kawi. Ceritera ini menjadi
penelitian  sarjana Belanda  yang bernama Brandes , dan pernah diterjemahkan dalam
bahasa Belanda.
Peristiwa – peristiwa besar yang melibatkan peran keris dalam masa  kerajaan
Majapahit apabila dikaji dari sejarah formal  maupun ceritera tutur akan banyak
ditemukan. Raja Jayanegara terbunuh oleh keris Ra Tancha yang masih termasuk
keluarga raja atau Darmaputra. Ra Tancha  kemudian ditangkap dan dibunuh oleh Gajah
mada. Peristiwa ini selanjutnya  mengakibatkan Hayam wuruk mewarisi takhta,  dan
kebesaran kerajaan Majapahit mencapai  puncaknya.

Begitu juga dalam ceritera tutur atau babad, banyak peran keris dalam sejarah yang
hadir. Ceritera Bondan Kejawan atau pangeran Lembu Peteng. Diperintahkan oleh
prabu Brawijaya untuk belajar dan mengabdi pada ki Gede Tarub. Sang Prabu
memberikan dua keris pusaka. Setelah berkelahi dengan perampok salah satu kerisna
patah  tetapi mengalami  kemenangan. Bondan kejawan ini kemudian dikawinkan
dengan  putri  ki Gede satu-satunya yang benama  Nawangsih. Selanjutnya Bondan
Kejawan menurunkan sederetan nama besar  dalam sejarah masa kerajaan Demak. 
Cerita ini banyak ditulis dalam Babad Tanah Jawi babad Pajang, dan  Babad Para Wali.

Dalam Babad Tanah Jawi Terdapat sebuah bagian khusus yang memuat banyak
keterangan  tentang keris  yaitu riwayat hidup dari empu – empu pande keris. Dalam
babad diceriterakan riwayat  empu  Supa Gati, Supa Jigja, Supa Driya,  Supa Pangeran
Sendang, empu Pitrang, Empu ki Sura, dan  ki Supa Anom .

Dalam babad Tanah Jawi  itu diceriterakan  tentang raja Majapahit,  yang memesan
keris pada para empu, begitu juga para Wali yang membuat keris dapur-dapur yang
baru. Muncul nama nama keris Pusaka seperti Condong Campur, Sabuk inten,
Nagasasra, Sengkelat,  Carubuk, Kala munjeng, pedang kyai lawang, kendali rangah
macan guguh, dan lain sebagainya  yang kelak menjadi pusaka raja – raja Jawa
selanjutnya.  Pusaka tersebut sedikit banyak ikut berperan dalam sejarah.

Pada  masa kerajaan Islam di Demak begitu banyak keterangan tentang keris. Dan keris
merupakan benda sebagai penentu sejarah. banyak ceritera tutur,  serat, babad, bahkan
sejarah modern tulisan H.J de Graaf menulis tentang peristiwa pembunuhan, perebutan
takhta, dan balas dendam di masa  kerajaan Demak. Pembunuhan dengan keris pada
masa ini ternyata merajalela. Raja Demak pertama adalah Raden Patah atau Sultan Jim
Bun sebenarnya putra  Bra Wijaya raja Majapahit, yang dipelihara oleh Harya Damar,
adipati Palembang.  Setelah Sultan Fatah  meninggal digantikan oleh Puteranya yang
tertua yaitu Pangeran Sabrang Lor, tetapi pangeran ini meninggal pada masa mudanya,
belum menikah dan belum mempunyai putera.  Seharusnya yang menggantikan adalah
putra yang kedua yaitu Sekar Seda Lepen. Tetapi Sekar Seda Lepen dibunuh ditusuk
dengan keris dari belakang, sewaktu pulang dari sholat Jumat di masjid Demak. 
Sepulang dari sholat Jumat, Seda Lepen dikutit dari belakang dan kemudian ditusuk
pingangnya dengan keris . Seda lepen meninggal di tepian sungai, oleh sebab disebut
Sekar Seda Lepen. Pembunuhan itu dilakukan oleh seorang prajurit pejineman atau
prajurit sandi bernama Surawiyata , orang suruhan atau abdi  dari Raden Mukmin, yaitu 
nama muda Sunan Prawata .

Putera  laki laki Sekar Seda Lepen  bernama Haryo Penangsang, yang masih kecil
diangkat menjadi murid terkasih Sunan Kudus. Haryo Penangsang kelak kemudian
setelah menjadi Adipati di Jipang akan membalas dendam. Kerajaan Demak  jatuh ke
tangan putra ketiga bernama Sultan Trenggana. Tetapi Sultan Trenggana gugur waktu
berperang melawan Kerajaan Brang Wetan atau Blambangan di Beteng Panarukan.
Yang menggantikan menjadi raja kemudian adalah putra Trenggana  yaitu Sunan
Prawata. Tetapi masa pemerintahanya dipenuhi oleh kemelut persaingan kekuatan dan
perebutan takhta.  Harya Penangsang, putra Seda Lepen mulai membalas dendam.
Pertama kali yang menjadi korban adalah Sunan Prawata sendiri, sewaktu Sunan
Prawata  sedang sakit tiduran duduk dipangku atau di” sundang “ oleh Permaisurinya,
datanglah dua orang prajurit Sureng yang berhasil menyelinap ke  tempat tidurnya. 
Prajurit sureng  suruhan Arya Penangsang ini segera menusuk Sunan Prawata, tusukan
begitu kuat sehingga menembus dada sampai kepunggung,  permaisuri yang
memangkunya ikut tertusuk dan langsung mati.  Sunan Prawata  yang sakti walaupun
terluka belum juga mati. Sunan Prawata meraih kerisnya Kyahi Bethok, dilemparkan
kearah  prajurit Sureng.  Sureng  itu hanya tersentuh keris sedikit  pada  kakinya  luka
tergores, prajurit Sureng itu kemudian  segera mati. Sunan Prawata kemudian mati
menebus dosanya karena telah membunuh Sekar Seda lepen .

Haryo Penangsang belum puas membalas dendam, maka terjadilah pembunuhan


selanjutnya terhadap  Sunan Hadiri. Sewaktu Sunan Hadiri dengan isterinya Ratu
Kalinyamat melaporkan peristiwa itu dan minta pengadilan pada Sunan Kudus,
kepulanganya ke Kalinyamat dihadang oleh prajurit Sureng utusan Harya Penangsang.
Sunan Hadiri terbunuh di jalan ditikam dengan keris namun untungnya Ratu
Kalinyamat berhasil selamat.  Balas dendam Harya Penangsang juga belum berhenti
ingin menumpas habis keturunan Trenggana sampai menantu – menantunya.

Sasaran ketiga adalah  Hadiwijaya ( Jaka Tingkir )  Adipati Pajang, yang merupakan
menantu Sultan Trenggana paling muda. Hadiwijaya  pada masa itu telah menjadi
Adipati di Pajang. Harya Penangsang kembali mengutus dua orang prajurit Sureng
untuk membunuh Hadiwijaya. Para Sureng berhasil masuk ke tempat  tidur 
menemukan Hadiwijaya yang baru tidur. Kemudian  Sureng itu menusuk dengan keris. 
Hadiwijaya  memang sakti, tidak mempan ditusuk dengan keris,  bahkan kedua Sureng
terjengkang pingsan karena kibasan kain dodot  selimut sakti Hadiwijaya. Para Sureng
kemudian diampuni disuruh kembali ke Jipang, bahkan diberi uang yang banyak. Para
Sureng kemudian melapor kepada Harya Penangsang. Harya Penangsang marah besar
dan membunuh dua Sureng  dengan kerisnya Kyai Brongot Setan Kober. Kedua Sureng
telah mempermalukan Penangsang dan gagal dalam melakukan  tugas .

Harya Penangsang kemudian gugur ditangan kerabat Sela. Ki gede Pemanahan, Ki gede
Penjawi, dan putra Pemanahan. Danang Sutawijaya yang berperang dengan segala
taktik dan tipu daya. Akhirnya Adipati Jipang  Haryo penagsang gugur  . Maka
tinggallah hanya satu orang terkuat pewaris kerajaan Demak.  Jaka Tingkir atau Adipati
Hadiwijaya  kemudian menjadi Sultan di Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya.

Pada jaman kerajaan Mataram Islam  yang ber ibukota di Kotagede kemudian berpindah
ke Plered,  sejak pemerintahan Panembahan Senapati sampai Amangkurat Agung,
diketahui keterangan yang banyak tentang keris.

Beberapa peristiwa penting  terjadi masa Panembahan Senapati mulai berkuasa di


Mataram. Pada awal pemerintahan Senapati mulai membangun istana Kotagede, telah
membelokkan rombongan Mantri Pemajegan dari daerah Bagelen yang akan
menyampaikan  hasil pajak daerah Bagelen dan Banyumas  ke Pajang. Di Istana
Mataram mereka diundang mampir dan dijamu makan- makan besar dan melihat  tari –
tarian. Ada seorang mantri Pemajegan yang bernama Ki Bocor,  yang membenci
Senapati dan ingin mencoba kesaktiannya.  Pada malam hari  waktu Panembahan
Senapati  baru duduk di  atas tikar di pendapa, bersantai menghadapi meja pendek,
datanglah ki Bocor dari belakang. Dengan cepat Ki Bocor  menusuk punggung
Panembahan Senapati dengan keris  pusaka  yang bernama Kyai Kebo Dengen. Tetapi
setelah ditusuk berkali – kali Panembahan Senapati sama sekali tidak terluka . Ki Bocor
kehabisan tenaga dan jatuh duduk berlutut minta ampun. Panembahan Senapati
membalik kebelakang dan memaafkan perilaku ki Bocor. Ki Bocor segera pergi,
meninggalkan kerisnya ang masih tertancap di tanah. Sejak saat itu para mantri dan
pejabat dari Bagelen dan Banyumas sangat kagum dan menghormati Senapati. Peristiwa
ini banyak ditulis dalam Babad Tanah Djawi, Babad Pajajaran , Babad Baron Sekender,
Dari babad Pajajaran diketahui bahwa Mantri Pamajegan Ki Bocor adalah Bebahu desa
Bocor di Banyumas, keturunan Pangeran Tole yang membenci Mataram karena mulai
berkembang menjadi kota yang ramai.

Peristiwa yang besar  sesudah itu menyusul lagi. Pangeran Alit, atau Pangeran Mas
saudara ipar sultan Hadiwijaya yang menjabat Adipati Madiun, yang bernama
Panembahan Madiun, memberontak terhadap kekuasaan Mataram. Setelah Panembahan
Senapati memimpin perang ke Madiun, Adipati Madiun  merasa takut karena
perajuritnya selalu kalah. Adipati Madiun mundur dan melarikan diri. Kadipaten
dipertahankan oleh para prajurit yang dipimpin oleh Retna Jumilah, putri Adipati
Madiun yang gagah berani. Panembahan Senapati berhasil menyeberangi bengawan
Madiun, langsung memasuki Kadipaten. Kedatangan Senapati dihadapi oleh Retna
Jumilah, yang telah siaga dengan para prajuritnya. Retna jumilah membawa keris sakti
pusaka Madiun yang bernama kyahi Gumarang  ( keris dapur Kala Gumarang adalah
keris berdapur sepang dengan sogokan dan grenengan pada kedua kepet ganjana ).
Senapati menghentikan para prajurit pengawalnya di bawah pohon beringin, dan
sendirian memasuki Pendapa Kadipaten.  Kedatangan senapati dihadapi oleh Retna
jumilah sendiri. Retna Jumilah menusuk – nusuk  Senapati dengan keris Kyahi
Gumarang tetapi Senapati tidak terluka sedikitpun.  Kemudian Retna Jumilah kehabisan
tenaga, berlutut minta ampun . Senapati mengampuni Retna Jumilah, akhirnya Retna
Jumilah  putri Madiun kemudian diambil sebagai isteri Senapati. Senapati kagum pada
kecantikan dan keberaniannya. Sejarah ini banyak ditulis dalam babad, terutama Babad
Tanah Jawi, Babad Matawis, dan buku sejarah  tulisan  De Graaf.  Peristiwa ini terjadi
pada tahun  1590.

Setelah Panembahan Senapati wafat, kemudian  berkuasa Susuhunan Seda Krapyak


atau  Raden mas Jolang  bergelar  Susuhunan Hadi Hanyakrawati.  Digantikan oleh
raden Mas Rangsang, yang kemudian menjadi raja besar di Jawa bergelar  Sultan Agung
Hanyakra Kusuma. Pada masa awal pemerintahanya Sultan Agung  mempersiapkan
ekspansi ke Jawa Timur, atau daerah Brang Wetan,  Sultan Agung mempersiapkan diri
melengkapi peralatan perang. Sultan agung mengumpulkan  empu – empu dan pande
besi yang ada didaerah kekuasaan Mataram. Para empu diharuskan membuat senjara
perang, tombak pedang, keris, bahkan sampai meriam Jawa.  Ratusan empu dan pandai
besi bekerja keras dibawah koordinasi tujuh orang empu ternama  (tindih empu pitu).
Peristiwa ini disebut sebagai peristiwa  Pakelun. Pada masa itu banyak dibuat keris, 
keris – keris itu dinamakan tangguh Mataram  Pakelun. Sampai masa sekarang keris-
keris itu masih banyak dijumpai. Sedangkan meriam ang dibuat masa itu masih dapat
dijumpai di keraton Kasunanan Surakarta.
Setelah  Berhasil menaklukkan Blambangan  sampai Madura, Maka terjadi
pemberontakan  kadipaten Pati, Adipati Pragola II, atau Adipati Pragolapati penguasa
daerah Pati  memberotak. Dalam ceritera tutur Jawa, dikatakan orang orang Pati kebal
senjata. Kekebalan itu  hanya dapat ditawarkan kalau senjata orang- orang Mataram
diberi susuk emas. Setelah rahasia itu diketahui, maka keris Mataram diberi tatahan
emas untuk menawarkan kekebalan orang  dari Pati. Maka kadipaten  Pati segera jatuh
dan dikuasai Mataram. Setelah jatuhnya  blambangan dan Pati, Sultan Agung berkenan
memberi pada para prajurit dan perwira yang berjasa dengan keris bertatah emas. Maka
pada masa itu keris keris penghargaan banyak diberikan kepada para abdi dalem yang
berjasa. Keris tanda penghargaan tersebut adalah keris bertatah emas Gajah Singa, Keris
Gana Gajah Singa  sebenarnya adalah cronogram ( sengkalan) tahun jatuhnya Pati.
Tatahan emasnya disesuaikan dengan  besarnya jabatan atau jasa dari para pahlawan
yang ikut berperang menaklukkan  Blambangan dan Pati. Tahun Keruntuhan Pati
menurut catatan Belanda adalah tahun 1627.

Setelah  Sultan Agung Surut, maka raja yang menggantikan adalah Susuhunan
Amangkurat I  atau Amangkurat Agung. Masa pemerintahan Amang -kurat ini diliputi
suasana yang mencekam, penuh kekerasan dan pembunuhan. Begitu banak peristiwa 
sejarah yang melibatkan keris sebagai alat pembunuh .

Pertama kali adalah peristiwa Pangeran Alit. Pangeran Alit sebenarnya adalah adik
Sunan sendiri, yang dicurigai akan memberontak karena banyak merekrut  dan dicintai
para lurah yang menjadi bawahannya. Lurah – lurah dan para pengikut Pangeran Alit
dibunuh satu persatu dengan jalan pembunuhan politis yang rahasia. Karena marah,
Pangeran Alit  memprotes dengan datang di Alun- alun Plered membawa para lurah
yang hanya sedikit jumlahnya.  Terjadi perkelahian di alun- alun, para lurah bayak yang
terbunuh. Pangeran Alit kemudian mengamuk di alun -lun dengan kerisnya yang sakti.
Beberapa  orang telah menjadi korban keris Pangeran Alit. Demang Malaya atau juga
disebut Cakraningrat I dari Madura membujuk agar Pangeran Alit menghentikan 
pertumpahan darah, berlutut dihadapan Pangeran Alit dan memohon dengan menangis.
Karena marah yang tak tekendalikan, Demang Malaya ditusuk keris  lehernya oleh
Pangeran Alit, Demang Malaya meninggal seketika. Pengikut Demang Malaya
kemudian mengeroyok pangeran alit, sampai pangeran Alit  gugur. Orang-oang Madura
yang mengeroyok Pangeran Alit juga dibunuh dengan keris oleh Prajurit Amangkurat. 
Peristiwa ini terjadi  pada tahun 1647 Masehi.

Peristiwa kedua adalah pembunuhan kaum ulama. Amangkurat Agung selalu curiga dan
khawatir terhadap para ulama, yang masa itu jumlah dan pengaruhnya semakin  besar
di  kerajaan  Mataram. Maka  Amangkurat Agung menugaskan empat orang terkemuka
membentuk kesatuan prajurit rahasia khusus, yang menyelidiki kaum ulama terkemuka
di wilayah Mataram. Setiap jumat para perajurit rahasia ini mengutit para ulama ang
sedang sholat Jumat. Setelah  sholat Jumat, dibunyikan meriam Sapujagad sebagai tanda
rahasia. Maka pada saat per tanda itu ratusan bahkan ribuan santri dan ulama dihabisi
dengan keris.

Meriam  besar sebagai tanda itu sebenarnya bernama Kyahi Pancawara dibuat masa
Sultan Agung, yang kemudian diganti nama dengan Kyahi Sapu Jagad. Meriam besar
itu  masih dapat dilihat sampai sekarang  terdapat dimuka  Pagelaran Alun -alun utara
Kraton Surakarta, Peristiwa  ini tidak tertulis pada ceritera tutur dan babad  Jawa, tetapi
terdapat pada sejarah Banten, Cirebon dan Belanda, Peristiwa ini terjadi kira – kira
seputar tahun 1648.

Peristiwa ketiga adalah pembunuhan Kai Dalem. Kyai Wayah di Pajang adalah seorang
dhalang Wayang Gedhog yang mempunyai anak yang amat cantik tapi sudah bersuami,
Suami anak Ki Wayah benama Kyahi Dalem.  Sunan menginginkan wanita tersebut
menjadi isterinya. Sekonyong – konyong Ki Dalem meninggal terbunuh oleh keris, dan
tidak ketahuan pembunuhnya. Wanita istri ki Dalem kemudian diboyong ke kraton dan
dinikahi Sunan Amangkurat  walaupun telah hamil dua bulan. Wanita cantik ini
kemudian terkenal sebagai Ratu Mas Malang yang kemudian meninggal dicurigai telah
diracun. Sunan setelah kematian Ratu Malang  menjadi tertekan jiwanya seperti orang
tidak waras. Bersama kematian  Ratu Malang telah dihukum  mati  43 orang wanita 
dayang, pelayan,  emban dari keputren, sebagai hukuman karena keteledoran mereka
melayani Ratu Malang.

Peristiwa besar terjadi lagi, gudang mesiu  Mataram meledak meninmbulkan


malapetaka dan kematian yang banyak.  Yang dituduh bertanggung jawab atas
meledaknya gudang peluru tersebut adalah  Raden Wiramenggala atau  Riya menggala
dan  Raden Tanureksa. Bersama kerabat mereka sejumlah 27 orang mereka dihukum
mati dengan ditusuk keris. Lebih menyedihkan lagi Raden Wiramenggala yang 
diperintah  membunuh adalah kakanya sendiri, yaitu Pangeran Purbaya. Peristiwa ini
terjadi pada pertengahan tahun 1670 Beberapa babad  telah menuliskan  peristiwa itu,
yaitu  Babad Tanah Jawi, Babad Momana, dan catatan Belanda (raporten).

Peristiwa lain adalah pembunuhan  Pangeran Selarong, Pangeran Selarong adalah putra 
Sunan Seda Krapyak dengan Putri Lungayu dari Ponorogo. Karena Pangeran Selarong
dituduh menggunakan racun Anglung Upas, maka Pangeran Selarong dihukum mati
dengan ditusuk keris, peristiwa ini terjadi didesa Bareng, Kuwel  ( dekat Delanggu )
pada tahun 1669. Peristiwa itu ditulis dalam Sedjarah Dalem, Babad momana, Babad
Tanah Jawi dan catatan atau laporan Van Goens kepada Gubernur Jendral di Batavia .

Peristiwa kekejaman dengan keris muncul lagi, raja mempunyai  simpanan gadis kecil
yang sangat cantik  namanya Rara Oyi. Karena belum haid , maka gadis cantik itu
dititipkan kepada  Pangeran Pekik, Adipati Surabaya.  Sampai nanti dewasa akan
dijadikan isteri.  Pangeran Pekik kemudian menyuruh Ngabehi Wirareja dan
keluarganya untuk mengasuh  anak gadis itu. Setelah menanjak dewasa Rara Oyi  yang
sangat cantik kebetulan berjumpa  dengan Pangeran Dipati Anom, putera raja. Pangeran
Adipati Anom  segera jatuh cinta pada Rara Oyi. Rara Oyi kemudian dilarikan Pangera
Dipati Anom.  Amangkurat Agung sangat murka, memerintahkan membunuh Pangeran
Pekik dengan seluruh keluarganya, sejumlah 40 orang. Mereka dihukum mati dengan
ditusuk keris. Wirareja juga dihukum mati beserta keluargana jumlah korban dalam
peristiwa ini adalah 60 Orang. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1670 .

Betapun pada masa pemerintahan  Amangkurat I telah sering terjadi pembunuhan 


pembunuhan dengan keris. Ketidak puasan, ketakutan,  dan keresahan menyelimuti
Mataram, dan akhirnya terjadi Pemberontakan Trunajaya yang bersekutu dengan
mertuanya Pangeran Kajoran, sehingga kerajaan Mataram menjadi runtuh dan
Amangkurat  melarikan diri , wafat di Tegalwangi.
Setelah Wafatnya Amangkurat  Agung di Tegalwangi, maka  Pangeran Adipati Anom
menjadi  raja.  Amangkurat II atau Amangkurat Amral  ( Admiral )  memindah kan 
ibukota mataram ke Wana Karta, kemudian diganti nama Kartasura. Amangkurat Amral
berhasil mengalahkan Pemberontak Trunajaya dengan bantuan Kompeni dan  para
adipati.  Trunajaya ditangkap di Gunung Antang  Kediri . Trunajaya ditawan  dibawa ke
Surabaya , di Alun – alun  Amangkurat Admiral menghukum Trunajaya dengan keris
Kyahi Blabar , Maka berakhirlah pemberontakan Trunajaya.

Masih begitu banyak peran keris dalam sejarah, misalnya Untung Surapati yang selalu
membawa keris kecil yang disembunyikan dalam cadik untaian daun  sirih, apabila
berjumpa dengan Belanda cadik itu disabetkan pada orang Belanda, karena kesaktian
keris  orang Belanda itu mati .

Begitu Juga Paku Buwana II telah memberikan keris Kyahi Kopek kepada pangeran
Mangkubumi yang kemudian menjadi Sultan Hamengku Buwana I  di  Kasultanan
Yogyakarta. Ini tertulis dengan jelas pada sejarah sesudah perjanjian Gianti. Keris
Kyahi Kopek menjadi lambang pengakuan kedaulatan Kasultanan Yogyakarta oleh
Paku Buwana II.

Pangeran Diponegoro, yang mengorbankan perang Jawa ( Java oorlog  1825-1830 ),


selalu memakai  dan membawa keris pusaka  dipinggangnya. Dalam gambar kuno akan
selalu tampak Diponegoro memakai keris warangka gayaman gaya Yogyakarta.

Bagaimanapun juga keris keris tunggul, dan pusaka kraton Jawa tentunya mempunai
karisma sendiri-sendiri, kedudukanya, dan sejarahnya masing-masing.

Sejarawan keris masih harus banyak menggali latar belakang  dan sejarah tentang keris
– keris pusaka seperti , Kyai Joko Piturun , Kyai Mahesa Nempuh , Kyahi Mega
Mendhung , Kyahi Banjir, Kyai Babar Layar, Kanjeng Ki ageng , Kyahi Kebo Nengah,
Kyai Karawelang , dan masih banyak  lagi keris pusaka yang harus dikaji sejarahnya
lebih lanjut.

Keris juga masih saja berperan, dan muncul dalam sejarah modern. Pada masa revolusi
fisik Panglima Besar Soedirman memimpin perang gerilya melawan pendudukan 
Belanda.  Jendral Soedirman tidak memakai seragam militer modern dengan pistol atau
senapan. Jendral Soerdirman justru memakai udheng ikat kepala , dan memakai  jubah
di pinggangnya  terselip keris. Jendral Soedirman lebih suka memakai pakaian rakyat
seperti pendeta atau kyai  pedesaan, karena akan terasa lebih akrab berintegrasi dengan
rakyat pedesaan.

Bung Karno, Presiden pertama Republik Indonesia. pada masa kejayaanya selalu
membawa keris.  Keris yang dibawa  Bung Karno sebenarnya bukan keris melainkan
pedang suduk yang memakai ganja, atau keris dapur Cengkrong  yang diberi warangka
perak yang ditatah. Menurut  ceritera pedang tangguh Belambangan itu pusaka dari
ayah Bung Karno. Raden Mas Sosro  pemberian Sunan Paku Buwana ke X. Menurut
kepercayaan pada masa itu, Bung Karno menjadi sangat berani, berwibawa dan
ditakuti , karena pusaka kerisnya. Keris atau pedang suduk ini sering terlihat pada  foto
– foto Bung Karno.
Pak Harto, semasa menjadi Presiden Republik Indonesia, dalam  hubungan diplomasi
denbgan negara sahabat, sering memberikan tanda mata untuk kepala negara atau wakil
negara sahabat  cideramata  berupa keris. Keris yang diberikan  adalah keris  Bali dan
ada juga  keris  Jawa.  Peristiwa ini berlangsung berkali kali, dan pada masa itu sering
ditayangkan oleh media masa .

Begitu banyaknya peran keris dalam sejarah bangsa ini.  Tulisan ini dibuat sebenarnya
hanya menghadirkan serba sedikit peran keris dalam sebagian besar sejarah bangsa
Indonesia. Untuk mengkajinya diperlukan waktu yang panjang, tenaga dan biaya yang
besar. Tentunya para ahli dan pecinta keris sangat memaklumi masalah itu. Terlebih lagi
masa kini, keris sudah dianggap menjadi milik dunia .

Keris adalah salah satu senjata adat suku –suku bangsa di Nusantara , yang merupakan
senjata penusuk jarak pendek dikenal dan dipakai oleh sebagian masyarakat di Asia
Tenggara . Keris merupakan senjata penusuk yang dimuliakan , dihormati bahkan
dianggap keramat. Tidak hanya suku bangsa di Indonesia , juga bangsa lain di sebagian
Asia Tenggara juga mengenal dan memakainya. Misalnya saja bangsa Malaysia ,
Brunai , Sabah , Tailand , Kamboja , Laos, Suku Moro di Pilliphina Selatan juga
mengenal atau memakai Keris .
 

Anda mungkin juga menyukai