Anda di halaman 1dari 2

• 27 OKTOBER 1979

Ramalan ekonomi: langit berawan ...

BAGI orang yang mengunjungi Amerika Serikat dan Eropa baru-baru ini, kesan yang dibawa
pulang adalah scsuatu yang bercampuran. Musim panas lalu umumnya ramai. Kota-kota besar
meluap oleh para pengunjung, hotel-hotel penuh, orang yang berbelanja di berbagai pusat
pertokoan ramai sekali, pesawat-pesawat terbang penuh. Garuda pun sesak oleh penumpang
turis yang bepergian ke Asia. Tapi, kalau surat-surat kabar dan majalah dibaca halaman-halaman
ekonomi dan keuangannya, maka timbul kesan yang berlainan. Udara yang cerah sama sekali
tidak ada. Langit mendung melulu. Terutama di Amerika Serikat. Kabar dari beberapa negara
Eropa juga mineur, tak begitu menggembirakan. Angka pengangguran cukup besar dan naik.
Inflasi masih merigamuk. Untuk bulan Agustus, misalnya. baik di Amerika Serikat, maupun di
Jepang, angkanya melebihi satu persen. Angka pertumbuhan ekonomi juga rendah. Amerika
Serikat untuk triwulan kedua tahun 1979 sudah mengalami angka pertumbuhan negatip, dan
angka pertumbuhan untuk triwulan ketiga kalau tidak negatif lagi pasti hanya kecil sekali. Ada
orang yang mengatakan Amerika secara teknis sudah masuk resesi (suatu ukuran: pertumbuhan
GNP yang negatif selama dua triwulan). Akhir-akhir ini kepercayaan terhadap dollar, dan juga
terhadap mata uang lain, merosot lagi. Dan orang lari pada emas, int lan logam yang mahal
seperti timah, tembaga dan sebya. Lonjakan harga emas menandakan dua hal: lemahnya dllar
dan kurang kepercayaan kepada kesehatan ekonomi dunia yang masih saja dijangkiti oleh
penyakit inflasi. Harga minyak bumi yang masih saja meningkat tidak menambah kestabilan
ekonomi dan kepercayaan orang. Kenaikan harga minyak ini akan menyulitkan neraca
pembayaranAmerika Serikat, Eropa dan Jepang, dan kekuatan mata uang mereka akan
terganggu. Naikkan bunga deposito Mengenai pasar minyak bumi anggapan orang juga
bercampuran. Ada kalangan yang memperkirakan dewasa ini ada keseimbangan yang pas
antara penawaran dan permintaan. Artinya tidak ada kekurangan. emang, di Amerika Serikat
gejala mobil-mobil antri bensin sudah tidak ada lagi. Di Eropa bensin juga cukupan dan orang
masih banyak bepergian musim panas yang lalu. Tapi pasaran minyak yang disebut spot market
(pasaran bukan kontrak, atau partai kecil) memungut harga tinggi, yakni rata-rata $ 35 per barrel,
mungkin lebih tinggi. Pasaran spot ini jumlahnya terbatas. Mungkin harga terpecut ke atas oleh
mereka yang ingin menukarkan uangnya dengan suatu barang yang mereka yakin akan lebih
tahan harga juga masih cukup banyak kalangan yang mengadakan stock-piling, menghadapi
musim salju yang bisa dingin. Suku bunga juga melonjak tinggi. Di Amerika bunga yang dipungut
oleh Bank Sentral kepada bank yang meminjam dinaikkan lagi dan sudah melebihi sepuluh
persen. Malahan tingkat bunga dari bank besar kepada langganan mereka yang baik (prime rate)
slldah mencapai 141 %. Belum pernah hal demikian terjadi. Bagaimana orang nanti dapat
mengadakan investasi jangka panjang dan yang memerlukan modal besar? Tingkat bunga yang
tinggi ini mencerminkan dua hal: pertama, suatu kebijaksanaan Bank Sentral Amerika untuk
mengerem inflasi dengan membuat mahal kredit kedua, anggapan orang bahwa inflasi tetap
akan berlangsung. Kepada para penabung kecil, misalnya pemegang deposito atau
rekening/checking account), bank-bank di Amerika juga sudah berani menawarkan bunga yang
tinggi. (Suatu pertimbangan untuk pemerintah RI: untuk mengembalikan kepercayaan orang
terhadap Rupiah tingkat bunga deposito mungkin juga harus dinaikkan, sesuai dengan tinka
inflasi). Inflasi turun, tapi Demikianlah gejala-gejala di bidang ekonomi dan keuangan yang cukup
meresahkan. Banyakorang memperkirakan di Amerika kelak akan muncul resesi yang dalam dan
panjang. Hal demikian akan menjadi akibat justru dari usahaPemerintah untuk mengendalikan
inflasi yang keras. Kalau Pemerintah berhasil, maka ongkosnya sering berupa resesi. Dalam
resesi demikian benar inflasi turun, tapi pendapatan nasional juga turun. Produksi industri turun,
pengangguran meningkat, impor turun, dan sebagainya. Apakah ini pasti akan terjadi? Kita tidak
bisa tahu dengan pasti. Ramalan konjungtur masih seperti ramalan cuaca saja, bisa kena, bisa
meleset. Tapi karena cukup banyak pertandanya, para ahli ekonomi pada umumnya sangat
khawatir. Keadaan politik di Amerika Serikat juga tidak membantu. Kepercayaan pada
Kepemimpinan Presiden Carter dewasa ini rendah dan kemungkinan besar ia tidak akan terpilih
kembali sebagai calon Partai Demokrat. Dalam keadaan demikian Pemerintah Amerika
umumnya berkedudukan lemah, juga dalam program anti inflasi dan program konservasi
energinya. Keadaan ekonomi Jepang sebetulnya tidak terlalu buruk, walaupun juga tidak terlalu
bagus. Ekonomi negeri industri ini kait-mengait, dan semuanya sedang menghadapi ancaman
harga minyak bumi. Ekonomi Jepang malahan lebih banyak tergantung dari impor minyak bumi
daripada ekonomi Amerika. Kembali kepada keadaan pasar minyak dunia. Dewasa ini ada suatu
"rough balance" antara penawaran dan permintaan. Namun orang sadar keseimbangan ini
mudah terganggu, misalnya oleh suatu kejadian di Timur Tengah, oleh suatu kebijaksanaan
OPEC ataupun oleh satu negara: Arab Saudi. Pengaruh kepada ekonomi Indonesia Bagaimana
pengaruh semua ini kepada ekonomi Indoneia? Kalau ada resesi yang dalam dan panjang di
dunia industri, apakah ekononli Indonesia juga akan terpukul? Ekonomi Indonesia sangat
tergantung kepada konjungtur dunia. Kalau konjungtur dunia membalik dan memburuk,
pengaruhnya kepada Indonesia juga kurang baiknya. Walaupun demikian, justru karena
Indonesia mengekspor minyak mungkin masih akan ada semacam "schokbreker" Cadangan
devisa kita juga cukup banyak. Kalau timbul resesi berat di dunia industri, maka harga komoditi
Indonesia, seperti karet, timah, nikel, minyak sawit dan sebagainya akan jatuh pula. Harga
komoditi itu beberapa tahun ini baik, malahan ada yang baik sekali, misalnya timah. Dalam
keadaan resesi yang serius maka tingkat harga demikian tidak akan bertahan. Sebaliknya
hargabarang impor akan menurun pula. Juga harga bahan pangan yang masih kita impor.
Sehingga, asal cadangan devisa kita cukup banyak, ini juga dapat merupakan schokbreker yang
penting untuk menampung akibat resesi. Sebagai negara OPEC Indonesia juga memegang
peranan dalam percaturan dunia untuk mempengaruhi kesehatan ekonomi dunia ini. Kesehatan
ini tergantung pada perkembangan harga dan suplai minyak bumi. Tentu masih ada sebab-sebab
lain yang jatuh di luar pertanggungan negara-negara pengekspor minyak itu. Indonesia pasti
akan beruntung kalau harga minyak dinaikkan. Pasar kelihatannya memungkinkan. Tentu tidak
sampai tingkat harga di pasaran spot, karena pasar ini kecil. Tapi kenaikan beberapa dollar per
barrel pasti bisa. Sekalipun konsekwensi dunia, kalau semua negara pengekspor minyak
melakukan yang sama, juga besar. Maka yang paling bijaksana mungkin adalah jangan bertindak
sendiri. Lebih baik ada konsultasi dengan negara OPEC lain. Senjata minyak ini oleh OPEC juga
dapat digunakan sekarang untuk "memaksa" atau membujuk negara industri untuk memberi
konsesi mengenai perombakan Orde Ekonomi Lama untuk menuju kepada Orde Ekonomi Dunia
yang Baru. Ketika KTT di Havana sudah ada usul ke arah itu.

Anda mungkin juga menyukai