MASYARAKAT DEMOKRATIS
LP P
M D
UNIVERSITAS PADJADJARAN
(LPPMD Unpad)
Penegasan bahwasannya pendidikan merupakan hak yang dimiliki oleh tiap warga
Negara tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945, paragraf 4 alenia 3 dan 4: ”...,
mencerdaskan kehidupan bangsa...”, yang kemudian diterangkan secara lebih lanjut pada
batang tubuh dari UUD 1945 lewat pasal 28 C ayat 1: ”Setiap orang berhak mengembangkan
diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Dan pasal 28 E ayat 1 dari UUD 1945:
”..., memilih pendidikan dan pengajaran, ...”. Untuk kemudian ditegaskan kembali lewat
pasal 31 ayat 1 dari UUD 1945: “Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan”.
Ketiga pasal dari UUD 1945 seperti yang telah dijelaskan diatas, bersifat memberikan
penegasan atas hak dari setiap warga negara atas pendidikan, khususnya pada jenjang
pendidikan dasar sebagai prioritas, seperti yang dijelaskan pada pasal 31 ayat 2 dari UUD
1945: Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya. Sedangkan untuk tingkat pendidikan tinggi melalui perguruan tinggi, UUD
1945 tidak mencantumkannya secara jelas.
Didalam UUD 1945, juga diamanatkan kepada pemerintah untuk mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang bertujuan meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
diatur dengan undang-undang (pasal 31 ayat 3). Maka dari itu lahirlah UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (lebih dikenal sebagai UU Sisdiknas).
Keberadaan UU Sisdiknas sendiri adalah guna menjelaskan secara lebih detail akan
tugas dan kewajiban dari penyelenggara pemerintah dalam menjamin hak atas pendidikan
secara substantif dan juga hak atas pendidikan yang bersifat prosedural, khususnya pada
aspek pelayanan yang diberikan di sektor pendidikan.
Dengan begitu apa yang telah diamanatkan di dalam UUD 1945 mengenai hak atas
pendidikan bagi setiap warga negara terpenuhi baik secara substantif maupun prosedural dan
menghasilkan individu-individu yang berkualitas.
1. Sebagian besar (50% lebih) perguruan tinggi negeri yang ada di Indonesia
belum mempunyai standar pelayanan publik dan prosedur baku (SOP2)
sebagai acuan bagi pemberian jasa layanan publik sektor pendidikan tinggi
yang sesuai dengan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
2. Dengan belum mempunyainya standar pelayanan publik dan prosedur baku
(SOP2) di sektor layanan publik pada pendidikan tinggi yang diselenggarakan
oleh perguruan tinggi negeri sebagai badan publik, menyebabkan masih
banyaknya terjadi kasus-kasus maladministrasi. Sedangkan yang termasuk
maladminsitrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah:
a. Perilaku atau perbuatan dari penyelenggara layanan publik yang melawan
hukum (tidak sesuai dengan UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri
Terkait, Peraturan Pemerintah Daerah/Surat Keputusan Kepala Daerah dan
KUH Pidana/Perdata)
b. Perilaku atau perbuatan dari penyelenggara layanan publik yang
melampaui kewenangannya
menyimpang dari konstitusi dasar (UUD 1945). Ketentuan yang paling banyak diperdebatkan
adalah mengenai realisasi sekurang-kurangnya dua puluh persen anggaran bagi pendanaan
pendidikan.
Bab XIII mengenai pendanaan pendidikan dari UU No. 20 Tahun 2003, ditegaskan
kembali bahwasannya pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan
anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 (pasal 46 ayat 2
UU No. 20 Tahun 2003). Sedangkan di pasal 49 ayat 1 dari UU No. 20 Tahun 2003, memberi
penegasan mengenai alokasi dua puluh persen dari dana pendidikan haruslah selain gaji
pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. Dengan memisahkan gaji pendidik dan biaya
pendidikan kedinasan, maka UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(UU Sisdiknas) sebenarnya telah memberi porsi biaya cukup layak untuk sektor pendidikan.
Namun penegasan dari pasal 49 ayat 1 UU Sisdiknas, dikaburkan oleh penjelasannya sendiri
yang menyatakan bahwa pemenuhan dana pendidikan itu dapat dilakukan secara bertahap.
Judicial review yang diajukan oleh Fahtul Hadie dan kawan-kawan di Tahun 2005
terhadap UU Sisdiknas kepada Mahkamah Konstitusi, sebenarnya masih meninggalkan
“pekerjaan rumah”. Ini dikarenakan adanya permohonan lain dari Fahtul Hadie dan kawan-
kawan atas judicial review dari UU Sisdiknas yang ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Permohonan judicial review dari UU Sisdiknas yang ditolak oleh Mahkamah Konstitusi,
adalah berkaitan dengan pasl 17 dari UU Sisdiknas. Pada Bab VI, Bagian Kedua dari UU
Sisdiknas mengenai pendidikan dasar, dimana pada pasal 17 ayat 1 disebutkan “pendidikan
dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah”. Pasal
tersebut merancukan antara pengertian jenjang pendidikan dengan pendidikan dasar.
Pendidikan dasar itu sendiri adalah jenjang pendidikan yang wajib diperoleh setiap warga
Negara, sedangkan jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan
berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan
yang dikembangkan atau bisa diartikan sebagai tingkatan-tingkatan pendidikan, seperti:
penerimaan mahasiswa baru, diluar pola penerimaan mahasiswa baru secara nasional. Pola
penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri/khusus ini di Universitas Padjadjaran
dikenal dengan SMUP. Diterapkannya pola penerimaan mahasiswa baru melalui jalur
mandiri/khusus oleh perguruan tinggi negeri, seringkali mendorong perguruan tinggi negeri
bersangkutan melakukan penyusutan atas quota pola penerimaan mahasiswa baru yang
dilakukan secara nasional. Hal ini berdampak kepada semakin sulitnya lulusan jenjang
pendidikan menengah yang berasal dari keluarga miskin/tidak mampu (keluarga pra sejahtera
I dan II), mengakses jenjang pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri. Selain itu
keberadaan pola penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri/khusus bertentangan
dengan pasal 4 ayat 1 dari UU No. 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas), yang mana seharusnya
pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagaamaan, nilai cultural dan
kemajemukan bangsa dan pasal 5 ayat 1 dari UU yang sama, dimana setiap warga Negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
tersebut, paling sedikit diberikan 20% dari jumlah seluruh peserta didik (pasal
53A ayat 4)
Akan tetapi, terkait dengan pola penerimaan siswa baru secara mandiri oleh perguruan
tinggi negeri, ternyata masih mendapatkan kekuatan hukum (legalitas) oleh pemerintah, hal
ini ditegaskan melalui Permendiknas No. 34 Tahun 2010 tentang Pola Penerimaan
Mahasiswa Baru Program Sarjana Pada Perguruan Tinggi Yang Diselenggarakan Oleh
Pemerintah, khususnya pada pasal 6 dari Permendiknas ini. Hal ini membuktikan
bahwasannya pemerintah masih membiarkan dan memberikan jaminan hukum bagi
perguruan tinggi negeri untuk melakukan komersialisasi pendidikan tinggi
Akibat lain yang ditimbulkan dari pola pengajaran di jenjang pendidikan tinggi dalam
bentuk satuan kredit semester, menjadikan mahasiwa-mahasiswa yang cenderung
mementingkan hasil (output), tanpa mau menjalan proses dalam meraih output tersebut (jalan
pintas dan instan, seperti mencontek atau memplagiat hasil yang sudah ada)
Selain itu paradigma pembelajaran “banking system” belum hilang, di mana dosen
masih menjadi penguasa yang memiliki otoritas tinggi terhadap kemajuan mahasiswanya.
Paradigma konvensional ini yang menyebabkan mahasiswa kesulitan untuk menuntut haknya.
Seperti hak untuk mendapatkan transparansi nilai atau hak untuk mendapatkan bimbingan.
bersumber dari APBN dan/atau APBD, masihlah belum dikenal masyarakat/warga Negara,
khususnya mahasiswa sebagai penerima manfaat dari layanan public yang diberikan oleh
perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi negeri.
Open minded juga wajib ada pada masing-masing stakeholder, dalam menerima kritik
dan otokritik, bukan malah bersikap defensif dan saling menyalahkan antar satu pihak dengan
pihak lainnya. Sifat dan sikap berani mengakui kesalahan atau kelalaian dalam diri masing-
masing individu yang diberi kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan (baik pusat
maupun daerah) dan satuan pendidikan wajib ada. Sifat dan sikap berani mengakui kesalahan
dan kelalaian dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya selaku penyelenggara
pemerintahan (baik pusat dan daerah) atau satuan pendidikan, wajib diwujudkan dengan
kerelaan mendapatkan sanksi dan mengundurkan diri dari jabatan.
(Rendra Priatno, Ketua Divisi Pengabdian LPPMD UNPAD masa kepengurusan 2010 - 2011,
mahasiswa Teknik Geologi UNPAD)