Anda di halaman 1dari 8

LEMBAGA PENGKAJIAN & PENGABDIAN

MASYARAKAT DEMOKRATIS
LP P
M D
UNIVERSITAS PADJADJARAN
(LPPMD Unpad)

Pers Rilis Pasca Diskusi Panel

HAK MAHASISWA DAN REALITA


“Tunaikan kewajiban baru menuntut hak”, kalimat tersebut seringkali kita dengar saat
guru menyampaikan materi dari mata pelajaran PKN atau Kewarganegaraan di tingkat
pendidikan dasar (wajib belajar 9 tahun), tingkat pendidikan menengah (SMA/SMK/MA,
baik Negeri maupun Swasta) dan perguruan tinggi (negeri atau swasta). Dan memang
merupakan suatu kewajiban sebagai warga Negara yang baik, kita harus mendahulukan dan
melaksanakan kewajiban sesuai dengan peran dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Akan tetapi kemudian timbul pertanyaan, apa yang kemudian kita dapat
setelah kewajiban sebagai warga Negara telah terpenuhi? Dan sejauh mana penyelenggara
Negara atau pemerintahan telah menunaikan kewajiban mereka dalam memenuhi hak warga
negaranya dan memberikan perlindungan terhadap hak warga negaranya, khususnya hak
mahasiswa sebagai peserta didik di tingkat pendidikan tinggi negeri (perguruan tinggi
negeri).

Melalui Diskusi Panel bertemakan “Hak Mahasiswa dalam Perbincangan”, yang


diselenggarakan oleh Lembaga Pengkajian dan Pengabdian Masyarakat Demokratis
(LPPMD) Universitas Padjadjaran pada Hari Rabu, 16 Maret 2011, mencoba membedah
realita yang terjadi terhadap pemenuhan hak-hak dalam pendidikan, khususnya hak
mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi.

Penegasan bahwasannya pendidikan merupakan hak yang dimiliki oleh tiap warga
Negara tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945, paragraf 4 alenia 3 dan 4: ”...,
mencerdaskan kehidupan bangsa...”, yang kemudian diterangkan secara lebih lanjut pada
batang tubuh dari UUD 1945 lewat pasal 28 C ayat 1: ”Setiap orang berhak mengembangkan
diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Dan pasal 28 E ayat 1 dari UUD 1945:
”..., memilih pendidikan dan pengajaran, ...”. Untuk kemudian ditegaskan kembali lewat
pasal 31 ayat 1 dari UUD 1945: “Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan”.

Ketiga pasal dari UUD 1945 seperti yang telah dijelaskan diatas, bersifat memberikan
penegasan atas hak dari setiap warga negara atas pendidikan, khususnya pada jenjang
pendidikan dasar sebagai prioritas, seperti yang dijelaskan pada pasal 31 ayat 2 dari UUD
1945: Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya. Sedangkan untuk tingkat pendidikan tinggi melalui perguruan tinggi, UUD
1945 tidak mencantumkannya secara jelas.

Didalam UUD 1945, juga diamanatkan kepada pemerintah untuk mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang bertujuan meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
diatur dengan undang-undang (pasal 31 ayat 3). Maka dari itu lahirlah UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (lebih dikenal sebagai UU Sisdiknas).

Student Center Universitas Padjadjaran Jatinangor - Sumedang


085730161440.085659958549
E-mail : lppmd.unpad@yahoo.co.id
LEMBAGA PENGKAJIAN & PENGABDIAN
MASYARAKAT DEMOKRATIS
LP P
M D
UNIVERSITAS PADJADJARAN
(LPPMD Unpad)

Keberadaan UU Sisdiknas sendiri adalah guna menjelaskan secara lebih detail akan
tugas dan kewajiban dari penyelenggara pemerintah dalam menjamin hak atas pendidikan
secara substantif dan juga hak atas pendidikan yang bersifat prosedural, khususnya pada
aspek pelayanan yang diberikan di sektor pendidikan.

Idealnya hak-hak prosedural atas pendidikan yang tercantum di dalam UU Sisdiknas,


guna memberikan jaminan atas:

1. Hak atas administrasi yang baik (right to good administration)


2. Hak-hak untuk menyampaikan keluhan atau keberatan (right to be
complain)
3. Hak untuk di dengar (right to be heard)
4. Hak untuk mendapatkan ganti rugi, apabila mengalami kerugian akibat
tindakan dari penyelenggara pemerintahan atau layanan publik (right to
have correction action)
(Roy Gregory dan Philip Giddings: 2001)

Dengan begitu apa yang telah diamanatkan di dalam UUD 1945 mengenai hak atas
pendidikan bagi setiap warga negara terpenuhi baik secara substantif maupun prosedural dan
menghasilkan individu-individu yang berkualitas.

Akan tetapi dalam realitanya, pemenuhan hak-hak prosedural di sektor pendidikan,


khususnya pendidikan tinggi masih jauh dari kata memuaskan. Ini dibuktikan dari hasil riset
yang dilakukan oleh Zainal Muttaqien dan kawan-kawan pada Tahun 2010 di beberapa
perguruan tinggi negeri yang ada di Indonesia terhadap aspek dari: pelayanan akademik,
pelayanan administrasi dan pelayanan bagian kemahasiswaan yang diberikan oleh tiap-tiap
perguruan tinggi negeri yang menjadi responden dari penelitian tersebut. Hasil riset tersebut
menyimpulkan bahwasannya:

1. Sebagian besar (50% lebih) perguruan tinggi negeri yang ada di Indonesia
belum mempunyai standar pelayanan publik dan prosedur baku (SOP2)
sebagai acuan bagi pemberian jasa layanan publik sektor pendidikan tinggi
yang sesuai dengan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
2. Dengan belum mempunyainya standar pelayanan publik dan prosedur baku
(SOP2) di sektor layanan publik pada pendidikan tinggi yang diselenggarakan
oleh perguruan tinggi negeri sebagai badan publik, menyebabkan masih
banyaknya terjadi kasus-kasus maladministrasi. Sedangkan yang termasuk
maladminsitrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah:
a. Perilaku atau perbuatan dari penyelenggara layanan publik yang melawan
hukum (tidak sesuai dengan UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri
Terkait, Peraturan Pemerintah Daerah/Surat Keputusan Kepala Daerah dan
KUH Pidana/Perdata)
b. Perilaku atau perbuatan dari penyelenggara layanan publik yang
melampaui kewenangannya

Student Center Universitas Padjadjaran Jatinangor - Sumedang


085730161440.085659958549
E-mail : lppmd.unpad@yahoo.co.id
LEMBAGA PENGKAJIAN & PENGABDIAN
MASYARAKAT DEMOKRATIS
LP P
M D
UNIVERSITAS PADJADJARAN
(LPPMD Unpad)

c. Penyalahgunaan wewenang dari penyelenggara layanan publik untuk


tujuan lain yang tidak sesuai dengan prosedur baku dan peraturan yang ada
d. Bertindak lalai atau abai atas kewajiban hukum dalam penyelenggaraan
pelayanan publik yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil
bagi masyarakat khususnya pengguna dari jasa layanan publik tersebut
3. Sebagian besar (50% lebih) perguruan tinggi negeri yang ada di Indonesia
belum memiliki mekanisme yang memberikan akses kepada mahasiswa dan
orangtua guna memberikan aduan dan/atau mengajukan keberatan terhadap
layanan pendidikan yang diberikan
4. Ketiadaan mekanisme yang memberikan akses kepada mahasiswa dan
orangtua mahasiswa guna memberikan aduan dan/atau mengajukan keberatan,
menyebabkan perguruan tinggi negeri “seakan-akan” memiliki kekebalan dari
hak untuk mendapatkan tindakan korektif diluar audit keuangan yang
dilakukan oleh BPK dan BPKP.
5. Masing-masing perguruan tinggi negeri memiliki statute, yang sifatnya
memberikan jaminan normatif, bahwasannya mahasiswa akan mendapatkan
pengajaran, pelatihan dan bimbingan sebaik-baiknya sesuai dengan minat,
bakat, kegemaran dan kemampuan dari masing-masing mahasiswa
bersangkutan. Akan tetapi realita yang terjadi dalam proses pendidikan yang
terjadi pada jenjang pendidikan tinggi adalah proses dehumanisasi. Dimana
mahasiswa yang seharusnya diposisikan sebagai subjek dari proses pendidikan
itu sendiri, malah ditempatkan sebatas sebagai objek dari proses pendidikan.
Proses pendidikan yang terjadi di jenjang pendidikan tinggi hanya bersifat
mentransfer ilmu pengetahuan yang juga terkesan jauh dari realitas
masyarakat dan/atau budaya bangsa Indonesia itu sendiri. Contoh paling
sering ditemui, disaat mahasiswa akan mulai menyusun tugas akhir atau
skripsinya. Seringkali dosen yang bertanggung jawab sebagai pembimbing
skripsi mahasiswa, membatasi kesadaran kritis dari mahasiswa bimbingannya
dalam mengajukan permasalahan sebagai hasil analisis dari realitas
problematika masyarakat yang sebenarnya terjadi

Dunia pendidikan Indonesia (secara keseluruhan) sendiri masih diliputi banyak


permasalahan. Hal ini disebabkan adanya implementation gaps, yakni penyimpangan dari apa
yang seharusnya ditegakkan sesuai dengan apa yang diamanatkan didalam UUD 1945 (dari
mulai pembukaan sampai dengan pasal-pasal yang terkait dengan pendidikan di batang
tubuhnya), dengan peraturan perundang-undangan/peraturan lain yang ada dibawahnya.
Misalnya pada pasal 31 ayat 4 UUD 1945, guna mendukung terpenuhinya hak setiap warga
Negara untuk memperoleh pendidikan secara layak, maka Negara diamanatkan
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran
pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Akan tetapi ketika amanat dari
UUD 1945 tersebut dijabarkan secara lebih operasional kedalam UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (menggantikan UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang berlaku sebelumnya), terdapat beberapa ketentuan yang dinilai

Student Center Universitas Padjadjaran Jatinangor - Sumedang


085730161440.085659958549
E-mail : lppmd.unpad@yahoo.co.id
LEMBAGA PENGKAJIAN & PENGABDIAN
MASYARAKAT DEMOKRATIS
LP P
M D
UNIVERSITAS PADJADJARAN
(LPPMD Unpad)

menyimpang dari konstitusi dasar (UUD 1945). Ketentuan yang paling banyak diperdebatkan
adalah mengenai realisasi sekurang-kurangnya dua puluh persen anggaran bagi pendanaan
pendidikan.

Bab XIII mengenai pendanaan pendidikan dari UU No. 20 Tahun 2003, ditegaskan
kembali bahwasannya pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan
anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 (pasal 46 ayat 2
UU No. 20 Tahun 2003). Sedangkan di pasal 49 ayat 1 dari UU No. 20 Tahun 2003, memberi
penegasan mengenai alokasi dua puluh persen dari dana pendidikan haruslah selain gaji
pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. Dengan memisahkan gaji pendidik dan biaya
pendidikan kedinasan, maka UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(UU Sisdiknas) sebenarnya telah memberi porsi biaya cukup layak untuk sektor pendidikan.
Namun penegasan dari pasal 49 ayat 1 UU Sisdiknas, dikaburkan oleh penjelasannya sendiri
yang menyatakan bahwa pemenuhan dana pendidikan itu dapat dilakukan secara bertahap.

Dengan demikian, penjelasan pasal 49 ayat 1 dari UU Sisdiknas, bukannya


memperjelas, malah membuat kabur dan cenderung mereduksi amanat konstitusi (pasal 31
ayat 4 UUD 1945 dan pasal 49 ayat 1 dari UU Sisdiknasnya sendiri). Letak reduksinya
berada pada tidak adanya keselarasan antara diksi “memprioritaskan” yang tercantum dalam
kostitusi (pasal 49 ayat 1 UU Sisdiknas) dengan diksi “bertahap” yang tercantum dalam
penjelasan atas pasal yang sama. Perbedaan diksi dalam penjelasan dengan pasal yang
dijelaskannya, melunturkan daya paksa dari pasal 49 ayat 1 UU Sisdiknas itu sendiri.

Permasalahan mengenai perbedaan diksi antara penjelasan dari pasal 49 ayat 1 UU


Sisdiknas dengan diksi yang tercantum pada pasal 49 ayat 1 nya sendiri, telah dijawab lewat
keputusan dari Mahkamah Konstitusi di Tahun 2005 atas judicial review terhadap UU
Sisdiknas yang diajukan oleh pemohon Fathul Hadie dan kawan-kawan. Putusan Mahkamah
Konstitusi di Tahun 2005 atas judicial review dari UU Sisdiknas tersebut, mewajibkan
pemerintah sebagai pelaksana dari UU, harus memenuhi anggaran pendidikan 20% setiap
tahunnya dan tidak lagi dilakukan secara bertahap sebagaimana yang disebutkan dalam
penjelasan dari pasal 49 ayat 1 UU Sisdiknas.

Judicial review yang diajukan oleh Fahtul Hadie dan kawan-kawan di Tahun 2005
terhadap UU Sisdiknas kepada Mahkamah Konstitusi, sebenarnya masih meninggalkan
“pekerjaan rumah”. Ini dikarenakan adanya permohonan lain dari Fahtul Hadie dan kawan-
kawan atas judicial review dari UU Sisdiknas yang ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Permohonan judicial review dari UU Sisdiknas yang ditolak oleh Mahkamah Konstitusi,
adalah berkaitan dengan pasl 17 dari UU Sisdiknas. Pada Bab VI, Bagian Kedua dari UU
Sisdiknas mengenai pendidikan dasar, dimana pada pasal 17 ayat 1 disebutkan “pendidikan
dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah”. Pasal
tersebut merancukan antara pengertian jenjang pendidikan dengan pendidikan dasar.
Pendidikan dasar itu sendiri adalah jenjang pendidikan yang wajib diperoleh setiap warga
Negara, sedangkan jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan
berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan
yang dikembangkan atau bisa diartikan sebagai tingkatan-tingkatan pendidikan, seperti:

Student Center Universitas Padjadjaran Jatinangor - Sumedang


085730161440.085659958549
E-mail : lppmd.unpad@yahoo.co.id
LEMBAGA PENGKAJIAN & PENGABDIAN
MASYARAKAT DEMOKRATIS
LP P
M D
UNIVERSITAS PADJADJARAN
(LPPMD Unpad)

Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah/Sederajat,


SMA/SMK/MA dan perguruan tinggi. Selain kerancuan pengertian, pasal 17 dari UU
Sisdiknas juga terkesan adanya pemaksaan batasan dari pendidikan dasar, hanyalah sampai
SMP/MTs/Sederajat (pasal 17 ayat 2 UU Sisdiknas), dan hal tersebut bertentangan dengan
hak warga Negara untuk mendapatkan pendidikan yang pastinya akan dan harus meningkat.
Selain itu keberadaan pasal 17 ayat 1 dan 2 dari UU Sisdiknas juga tidak sesuai dengan
realitas di dunia kerja, dimana lulusan SMP/MTs/Sederajat saat ini sudah tidak berguna.
Batas jenjang pendidikan yang sesuai dengan dunia kerja saat ini minimal adalah
SMA/SMK/MA/Sederajat.

Kembali kepada permasalahan-permasalahan yang terjadi pada jenjang pendidikan


tinggi di perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi negeri, adalah mengenai kelembagaan,
pemerataan kesempatan, transparansi informasi, pengelolaan kualitas pendidikan hingga
rendahnya jumlah dari hasil-hasil penelitian dan karya-karya pengabdian riil kepada
masyarakat.

Terkait mengenai permasalahan pemerataan kesempatan untuk menempuh jenjang


pendidikan tinggi pada perguruan tinggi negeri, belumlah merata, khususnya jika melihat
antara perbandingan jumlah penduduk dengan jumlah perguruan tinggi negeri yang ada di
Indonesia. Sampai dengan Tahun 2010, tercatat jumlah perguruan tinggi negeri (baik yang
berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut atau universitas) yang ada di Indonesia
sebanyak 77 buah, sedangkan jumlah penduduk Indonesia di tahun yang sama, hampir
mencapai 228 juta jiwa (belum diklasifikasikan berdasarkan usia). Selain itu permasalahan
pemerataan sendiri bukan hanya sekedar perbandingan antara jumlah perguruan tinggi negeri
yang ada dengan jumlah penduduk di Indonesia, akan tetapi terkait juga dengan pemerataan
sebaran dari perguruan tinggi negeri itu sendiri. Faktanya, 77 buah perguruan tinggi negeri
yang ada di Indonesia, rata-rata berkedudukan di masing-masing ibukota provinsi. Misalnya
untuk Provinsi Jawa Barat sendiri, ada sekitar 8 perguruan tinggi negeri dan kesemuanya
berdomisili di Kota Bandung dan sekitarnya (termasuk Kabupaten Sumedang). Sementara
Provinsi Jawa Barat sendiri memiliki 27 Kota/Kabupaten. Idealnya untuk Provinsi Jawa Barat
ada 2 atau 3 perguruan tinggi negeri baru yang didirikan, diluar 8 perguruan tinggi negeri
yang sudah ada dan berdomisili di Kota Bandung (termasuk Kabupaten Sumedang).
Pemerataan sebaran dari perguruan tinggi negeri dengan memperhatikan luas geografis suatu
wilayah merupakan tanggung jawab dari pemerintah sebagai perwujudan dari pemenuhan hak
warga Negara atas pendidikan, khususnya jenjang pendidikan tinggi. Selain itu pemerataan
sebaran dari perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi negeri, dapat mengurangi beban
biaya yang harus dikeluarkan orangtua mahasiswa, khususnya living cost dari mahasiswa
bersangkutan.

Pemerataan kesempatan untuk menempuh jenjang pendidikan tinggi, khususnya pada


perguruan tinggi negeri terkait juga dengan memperbesar akses bagi lulusan jenjang
pendidikan menengah yang berasal dari keluarga miskin/tidak mampu (keluarga pra sejahtera
I dan II) untuk dapat melanjutkan tingkat pendidikannya ke jenjang pendidikan tinggi. Sejak
UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan diberlakukan, beberapa perguruan
tinggi negeri yang ada di Indonesia berlomba-lomba membuka jalur mandiri/khusus untuk

Student Center Universitas Padjadjaran Jatinangor - Sumedang


085730161440.085659958549
E-mail : lppmd.unpad@yahoo.co.id
LEMBAGA PENGKAJIAN & PENGABDIAN
MASYARAKAT DEMOKRATIS
LP P
M D
UNIVERSITAS PADJADJARAN
(LPPMD Unpad)

penerimaan mahasiswa baru, diluar pola penerimaan mahasiswa baru secara nasional. Pola
penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri/khusus ini di Universitas Padjadjaran
dikenal dengan SMUP. Diterapkannya pola penerimaan mahasiswa baru melalui jalur
mandiri/khusus oleh perguruan tinggi negeri, seringkali mendorong perguruan tinggi negeri
bersangkutan melakukan penyusutan atas quota pola penerimaan mahasiswa baru yang
dilakukan secara nasional. Hal ini berdampak kepada semakin sulitnya lulusan jenjang
pendidikan menengah yang berasal dari keluarga miskin/tidak mampu (keluarga pra sejahtera
I dan II), mengakses jenjang pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri. Selain itu
keberadaan pola penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri/khusus bertentangan
dengan pasal 4 ayat 1 dari UU No. 20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas), yang mana seharusnya
pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagaamaan, nilai cultural dan
kemajemukan bangsa dan pasal 5 ayat 1 dari UU yang sama, dimana setiap warga Negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu

Lewat putusan Mahkamah Konstitusi No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009


tertanggal 31 Maret 2010, maka UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan,
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sebagai pengganti dari UU No. 9
Tahun 2009, khususnya berkenaan dengan pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan,
maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 yang kemudian
dirubah kembali menjadi Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan.

Keberadaan PP No. 66 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan


Pendidikan, secara tertulis memberikan jaminan hak warga Negara Indonesia tanpa
membedakan latar belakang agama, ras, etnis, gender, status social dan kemampuan
ekonomi untuk dapat mengakses layanan pendidikan yang disediakan satuan pendidikan
(pasal 53 ayat 1). Selain memberikan jaminan hak warga Negara Indonesia tanpa adanya
perbedaan, PP No. 66 Tahun 2010 juga menegaskan kewajiban bagi pemerintah dan
pemerintah daerah untuk:

1. Kewajiban bagi pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengalokasikan paling


sedikit 20% dari jumlah keseluruhan peserta didik baru di tingkat pendidikan
menengah dan pendidikan tinggi, bagi calon peserta didik berkewarganegaraan
Indonesia yang memiliki potensi akademik memadai dan kurang mampu secara
ekonomi (pasal 53A ayat 1).
2. Kewajiban menyediakan beasiswa bagi peserta didik berkewarganegaraan
Indonesia yang berprestasi di jenjang pendidikan menengah dan tinggi (pasal
53A ayat 2).
3. Kewajiban menyediakan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik
berkewarganegaraan Indonesia yang mengikuti jenjang pendidikan menengah
dan tinggi yang tidak mampu secara ekonomi dan yang orang tua dan/atau pihak
yang membiayai tidak mampu secara ekonomi (pasal 53A ayat 3). Kewajiban
pemerintah dan pemerintah daerah memberikan bantuan biaya pendidikan

Student Center Universitas Padjadjaran Jatinangor - Sumedang


085730161440.085659958549
E-mail : lppmd.unpad@yahoo.co.id
LEMBAGA PENGKAJIAN & PENGABDIAN
MASYARAKAT DEMOKRATIS
LP P
M D
UNIVERSITAS PADJADJARAN
(LPPMD Unpad)

tersebut, paling sedikit diberikan 20% dari jumlah seluruh peserta didik (pasal
53A ayat 4)

Akan tetapi, terkait dengan pola penerimaan siswa baru secara mandiri oleh perguruan
tinggi negeri, ternyata masih mendapatkan kekuatan hukum (legalitas) oleh pemerintah, hal
ini ditegaskan melalui Permendiknas No. 34 Tahun 2010 tentang Pola Penerimaan
Mahasiswa Baru Program Sarjana Pada Perguruan Tinggi Yang Diselenggarakan Oleh
Pemerintah, khususnya pada pasal 6 dari Permendiknas ini. Hal ini membuktikan
bahwasannya pemerintah masih membiarkan dan memberikan jaminan hukum bagi
perguruan tinggi negeri untuk melakukan komersialisasi pendidikan tinggi

Selain masalah pemeratan kesempatan bagi warga Negara untuk mengakses


pendidikan tinggi, khususnya melalui perguruan tinggi, permasalahan lain yang ada di
pendidikan tinggi di Indonesia terkait dengan kurikulum yang diterapkan. Walaupun
pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional, telah memberikan keleluasaan kepada
masing-masing perguruan tinggi negeri untuk menetapkan kurikulum inti pendidikan tinggi
kepada masing-masing perguruan tinggi (Kepmendikans No. 232/U/2000 tentang Pedoman
Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa, serta
Kepmendiknas No. 045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi), akan tetapi
kurikulum yang ada dan berlaku di tiap-tiap perguruan tinggi tetap tidak mampu untuk
mendorong kreatifitas dan softskill dari mahasiswanya. Ini dikarenakan pola pengajaran
dalam bentuk satuan kredit semester, ibarat kejar setoran yang mengakibatkan ruang bagi
mahasiswa untuk berkembang diluar kelas menjadi terbatas.

Akibat lain yang ditimbulkan dari pola pengajaran di jenjang pendidikan tinggi dalam
bentuk satuan kredit semester, menjadikan mahasiwa-mahasiswa yang cenderung
mementingkan hasil (output), tanpa mau menjalan proses dalam meraih output tersebut (jalan
pintas dan instan, seperti mencontek atau memplagiat hasil yang sudah ada)

Selain itu paradigma pembelajaran “banking system” belum hilang, di mana dosen
masih menjadi penguasa yang memiliki otoritas tinggi terhadap kemajuan mahasiswanya.
Paradigma konvensional ini yang menyebabkan mahasiswa kesulitan untuk menuntut haknya.
Seperti hak untuk mendapatkan transparansi nilai atau hak untuk mendapatkan bimbingan.

Kendala ketersediaan akses informasi-informasi akademik pun masih terjadi. Semisal


informasi masalah biaya pendidikan, pengadaan peneletian, dan beasiswa, hanya sedikit
mahasiswa yang dapat mengaksesnya. Kultur birokrasi yang ada di perguruan tinggi pun,
khususnya pada perguruan tinggi negeri, mempersulit mahasiswa dalam mengakses
informasi-informasi diatas. Lalu pada siapa kita mengadu jika terjadi hal semacam itu?

Keberadaan Ombudsman sebagai lembaga negara yang mempunyai kewenangan


mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik (dimana perguruan tinggi negeri termasuk
kedalam salah satu yang disebut sebagai badan publik), baik yang diselenggarakan oleh
penyelenggara Negara dan pemerintah, termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD
dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang telah diberikan
tugas untuk menyelenggarakan pelayanan public tertentu yang sebagian atau seluruh dananya

Student Center Universitas Padjadjaran Jatinangor - Sumedang


085730161440.085659958549
E-mail : lppmd.unpad@yahoo.co.id
LEMBAGA PENGKAJIAN & PENGABDIAN
MASYARAKAT DEMOKRATIS
LP P
M D
UNIVERSITAS PADJADJARAN
(LPPMD Unpad)

bersumber dari APBN dan/atau APBD, masihlah belum dikenal masyarakat/warga Negara,
khususnya mahasiswa sebagai penerima manfaat dari layanan public yang diberikan oleh
perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi negeri.

Untuk membangun pendidikan Indonesia yang berkualitas memerlukan partisipasi


aktif dari masing-masing stakeholder (bukan hanya pemerintah, pemerintah daerah dan
pengelola satuan pendidikan). Pembenahan pendidikan di Indonesia harus dimulai dari
tataran konsep hingga teknis pelaksanaan dari konsep tersebut, sehingga tujuan dari
pendidikan nasional, yaitu: mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab, dapat tercapai.

Open minded juga wajib ada pada masing-masing stakeholder, dalam menerima kritik
dan otokritik, bukan malah bersikap defensif dan saling menyalahkan antar satu pihak dengan
pihak lainnya. Sifat dan sikap berani mengakui kesalahan atau kelalaian dalam diri masing-
masing individu yang diberi kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan (baik pusat
maupun daerah) dan satuan pendidikan wajib ada. Sifat dan sikap berani mengakui kesalahan
dan kelalaian dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya selaku penyelenggara
pemerintahan (baik pusat dan daerah) atau satuan pendidikan, wajib diwujudkan dengan
kerelaan mendapatkan sanksi dan mengundurkan diri dari jabatan.

Pengoptimalan badan atau lembaga Negara yang melayani pengaduan tindak


maladministrasi pelayanan publik (termasuk perguruan tinggi di dalamnya) wajib terus
ditingkatkan, karena badan ini turut berperan penting dalam memberikan feedback terhadap
pelayanan publik tersebut. Namun, jangan sampai badan atau lembaga Negara yang melayani
pengaduan maladministrasi hanya sebatas menerima lalu mengajukan permintaan klarifikasi
atau rekomendasi kepada badan publik yang dilaporkan. Lembaga atau badan Negara tersebut
harus bertindak lebih aktif dalam membangun kesadaran warga Negara akan arti penting
dipenuhinya hak sebagai warga Negara dengan baik. Lembaga atau badan Negara tersebut
juga harus lebih aktif dalam melakukan investigasi terhadap badan public yang
diidentifikasikan melakukan maladministrasi

(Rendra Priatno, Ketua Divisi Pengabdian LPPMD UNPAD masa kepengurusan 2010 - 2011,
mahasiswa Teknik Geologi UNPAD)

Contact Person: 085659755903

Student Center Universitas Padjadjaran Jatinangor - Sumedang


085730161440.085659958549
E-mail : lppmd.unpad@yahoo.co.id

Anda mungkin juga menyukai