Anda di halaman 1dari 10

PENDAHULUAN

Sejarah islam adalah sejarah yang dipenuhi dengan peristiwa-peristiwa besar dan berpengaruh
terhadap peradapan manusia. Kehadiran islam tidak dapat dipungkiri telah memberikan sebuah warna
baru yang menawan, bahkan mengagumkan dalam episode-episode sejarah anak manusia. Setelah
sebelumnya sejarah manusia adalah sejarah yang kelam, maka Islam adalah cahaya baru yang
menyinari kisah anak cucu adam selanjutnya.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa dibalik setiap sejarah gemilang ataupun tidak, pasti ada sosok-
sosok yang menjadi pemain dan pelaku dari setiap peristiwanya. Jika sejarah itu adalah sekumpulan
catatan kegemilangan, maka para pelakunya berarti juga adalah ssekumpulan sosok-sosok yang
gemilang. Sebab sejarah yang terhormat tidak mungkin dibangun kecuali oleh mereka yang terhormat.
Sebagaimana juga sebaliknya sejarah yang kelam dapat menjadi parameter terhadap tokoh-tokoh yang
melakoni sejarah itu.

Kaum muslimin tentu saja mengalami perputaran yang sama dengan sejarah umat lain: hari
diatas, namun esok mungkin harus berada dibawah. Hari-hari dunia memang akan selalu dipergilirkan
oleh Sang penciptanya.Tapi satu hal yang pasti, Islam akan terus melahirkan orang-orang besar yang
menorehkan nama mereka dalam lembar sejarah manusia.

Seperti halnya sejarah umat islam pada masa nabi, sahabat dan dinasti umayyah. Dinasti
Abbasiyah juga memiliki peranan yang besar dalam kemajuan Islam, tidak diragukan lagi pada masa ini
umat islam mencapai masa kegemilangan yang luar biasa yang dicatat oleh tinta emas sepanjang
sejarah manusia. Oleh karena itu menarik untuk diketahui bagaimana sejarah berdirinya dinasti
abbasiyah, siapa sajakah khalifah-khalifah yang ada di dalamnya, masa keemasan islam sepanjang
sejarah dan apa saja penyebab kemunduran dinasti abbasiyah?.

PEMBAHASAN

A. Sejarah berdirinya Dinasti Abbasiyah

Nama dinasti Abbasiyah diambilkan dari nama salah seorang dari paman Nabi Muhammad SAW
yang bernama al-abbas ibn abd al-muthalib ibn hasyim. Orang abbasiyah merasa lebih berhak dari pada
bani umayyah atas kekhilafahan Islam ,sebab mereka adalah dari cabang bani hasyim yang secara nasab
keturunan lebih dekat dengan nabi. Menurut mereka, orang umayyah secara paksa menguasai khilafah
melalui tragedi perang siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah mereka mengadakan
gerakan yang luar biasa melakukan pemberontakan terhadap dinasti Umayyah.
Telah dijelaskan, bahwa saat kekhalifahan Umayyah dipegang Umar II, gerakan bawah tanah
yang merupakan rival politiknya menyusun kekuatan.Salah satu kekuatan politik yang kontra dengan
kebijakan model umayyah adalah para pengikut nabi dari keturunan Bani Abbas. Akan tetapi, sebagai
sarana propaganda mereka tidak menyebutkan diri sebagai keluarga abbas, namun menggunakan jargon
dan symbol Bani Hasyim. Dengan demikian mereka dapat merangkul baik kelompok syi’ahtu ali maupun
syi’ahtu abbas. Kedua kelompok inilah akhirnya melandasi berdirinya Khilafah Abbasiyah.
Dalam peperangan di Dzab II yang terjadi pada februari 750 M, gerakan abbasiyah mencapai
hasil, dengan mengalahkan khalifah marwan II yang melarikan diri ke Mesir. Tahun itu juga,di Masjid
Kufah (Irak) Abu al-Abbas al-Safah mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah pertama Dinasti
Abbasiyah.Pada januari 750 M/132 H, Marwan II dibunuh oleh pasukan Abbasiyah, maka mulai saat
itulah secara de facto berdiri dinasi baru, Dinasti Abbasiyah. Setelah menjadi Khalifah, Abu al-Abbas
bergelar al-saffah(penumpah darah/peminum darah) mengeluarkan dekrit kepada para gubernur ,
supaya tokoh-tokoh Umayyah yang memiliki darah biru semuanya dibunuh. Ia sendiri juga membunuh
banyak rival dari dinasti itu. Bukan hanya diam disitu saja,Saffah menggali kuburan para khalifah
umayyah kecuali Umar II dan tulang-tulangnya dibakar.
Faktor-faktor pendorong berdirinya Dinasti Abbasiyah dan penyebab suksesnya.
1. Banyak terjadi perselisihan antara intern bani Umayyah pada dekade terakhir pemerintahannya hal
ini di antara penyebabnya: merebutkan kursi kekhilafahan dan harta
2. Pendeknya masa jabatan khalifah di akhir-akhir pemerintahan Bani Umayyah, seperti khalifah yazid
bin al-walid lebih kurang memerintah sekitar 6 bulan.
3. Dijadikan putra mahkota lebih dari jumlah satu oang seperti yang dikerjakan oleh marwan bin
Muhammad yang menjadikan anaknya Abdullah dan Ubaidillah sebagai putra mahkota.
4. Bergabungnya sebagian afrad bani Umayyah kepada madzhab-madzhab agama yang tudak benar
menurut syari’ah seperti Al-Qadariyah
5. Hilangnya kecintaan rakyat pada akhir-akhir pemerintahan bani umayyah
6.Kesombongan pembesar-pembesar bani Umayyah pada akhir pemerintahannya.
7. Timbulnya dukungan dari al-Mawali (non Arab).
Dari berbagai penyebab diatas dan dengan ketidaksenangan Mawali pada Dinasti Umayyah
mengakibatkan runtuhnya Dinasti Umayyah dan berdiri dinasti Abbasiyah hal ini dapat dilihat dengan
bantuan para mawali dari Khurasan dan persia.

B. Khalifah-khalifah Dinasti Abbasiyah


Pemerintahan Abbasiyah berlanjut dari tahun 132 H-656 H, kurang lebih selama 524 tahun.
Pemerintahan Abbasiyah menurut pandangan ahli sejarah membagi kepada periode :
1. Periode khalifah pertama Abdul Abbas Al-Saffah 132H-136H/750M-754M

Periodisasi Dinasti Abbasiyah
Mei 19, 2008 · Disimpan dalam Muslim

 
 
4 Votes

Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-


beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. berdasarkan perubahan pola
pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani
Abbasiyah menjadi lima periode, yaitu:
1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M)
Periode ini disebut periode pengaruh Persia pertama. Pada periode ini, pemerintahan Bani
Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang
kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran
masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir,
pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu
pengetahuan terus berkembang. Dinasti Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pada
pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Walaupun demikian
pada periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari
kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar.
2. Periode Kedua (232 H/ 847 M – 334 H/ 945 M)
Periode ini disebut masa pengaruh Turki pertama. Untuk mengontrol kekhalifahannya Al-
Ma’mun bergantung kepada dukungan Tahir, seorang bangsawan Khurasan yang sebagai
imbalan diangkat sebagai gubernur di Khurasan (820-822) dan jenderal bagi seluruh pasukan
Abbasiyah dengan janji bahwa jabatan ini akan diwarisi oleh keturunannya. Al-Ma’mun dan Al-
Mu’tashim mendirikan dea kekuatan bersenjata yaitu; pasukan syakiriyah yang dipimpin oleh
pemimpin lokal dan pasukan Gilman yang terdiri dari budak-budak belian Turki. Yang penting
dicatat disini adalah kalau pada masa kejayaannya bani Abbasa mendapat dukungan militer dari
rakyatnya sendiri, pada masa kemunduran ini mereka bergantung kepada pasukan asing untuk
dapat berkuasa atas rakyatnya sendiri, sehingga pemerintahan pusat menjadi lemah. .Masa-masa
berikutnya sampai kedatangan kekuatan Bani Buwaih.
3. Periode Ketiga (334 H/ 945 M – 447 H/ 1055 M)
Periode ini adalah periode masa kekuasaaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah
Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua. Abu Syuja’ Buwaih adalah
seorang berkebangsaan Persia dari Dailam. Ketiga anaknya : Ali (‘Imad al-Daulah), hasan (Rukn
al-Daulah), dan Ahmad (Mu’izz al-Daulah) merupakan pendiri dinasti Bani Buwaih.
Kemunculan mereka dalam panggung sejarah Bani Abbas bermula dari kedudukan panglima
perang yang diraih Ali dan Ahmad dalam pasukan Makan ibn kali dari dinasti saman, tetapi
kemudian berpindah ke kubu Mardawij. Kemudian ketiga orang bersaudara ini menguasai bagian
barat dan barat daya Persia, dan pada tahun 945, setelah kematian jenderal Tuzun (penguasa
sebenarnya atas Baghdad) Ahmad memasuki Baghdad dan memulai kekuasaan Bani Buwaih atas
khalifah Abbasiyah.
Dengan berkuasanya Bani Buwaih, aliran Mu’tazilah bangkit lagi, terutama diwilayah Persia,
bergandengan tangan dengan kaum Syi’ah. Pada masa ini muncul banyak pemikir Mu’tazilah
dari aliran Basrah yang walaupun nama mereka tidak sebesar para pendahulu mereka dimasa
kejayaannya yang pertama, meninggalkan banyak karya yang bisa dibaca sampai sekarang.
Selama ini orang mengenal Mu’tazilah dari karya-karya lawan-lawan mereka, terutama kaum
Asy’ariyah. Yang terbesar diantara tokoh Mu’tazilah periode kebangkitan kedua ini adalah al-
Qadi Abd al-jabbar, penerus aliran Basra setelah Abu Ali dan Abu Hasyim.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/ 1194 M)
Periode ini adalah masa kekuasaan dinasti Bani Saljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah
atau disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua. Saljuk (Saljuq) ibn Tuqaq adalah seorang
pemimpin kaum Turki yang tinggal di Asia Tengah tepatnnya Transoxania atau Ma Wara’ al-
Nahar atau Mavarranahr. Thughril Beg, cucu Saljuq yang memulai penampilan kaum Saljuk
dalam panggung sejarah. Pada tahun 429/1037 ia tercatat sudah menguasai Merv. Kekuasaannya
makin bertambah luas dari tahun ke tahun dan pada tahun 1055 menancapkan kekuasaannya atas
Baghdad.
Tughril meninggal tanpa meninggalkan keturunan dan digantikan kemenakannya Alp Arselan
yang kemudian digantikan puteranya Maliksyah yang merupakan penguasa terbesar dari dinasti
Saljuk. Sesudah itu bani Saljuk mengalami kemunduran sebelum kekuasan mereka di Baghdad
pudar sama sekali pada tahun 552 H/ 1157 M. Dalam bidang keagamaan, masa ini ditandai
dengan kemenangan kaum Sunni, terutama dengan kebijakan Nidham al-Muluk mendirikan
sekolah-sekolah yang disebut dengan namanya Madaris Nidhamiyyah. Hal lain yang perlu
dicatat dari masa ini dan masa sebelumnya adalah munculnya berbagai dinasti di dunia Islam
yang menggambarkan mulai hilangnya persatuan dunia Islam di bidang politik. Seperti dinasti
Fatimiyah lahir di Mesir (969) dan bertahan sampai tahun 1171. Dari segi budaya dan pemikiran
keagamaan, terdapat berbagai wilayah dengan pusatnya sendiri yang masing-masing mempunyai
peran sendiri dalam mengekspresikan Islam, sesuai dengan kondisi masing-masing. Misal,
Andalus dan Afrika Utara mengembangkan seni yang mencapai puncaknya pada al-Hambra dan
pemikiran filsafat denngan tokoh Ibn Tufail dan Ibn Rusyd.
5. Periode Kelima (590 H/ 1194 M – 656 H/ 1258 M)
Periode ini adalah masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya
efektif di sekitar kota Baghdad. Sesudah Saljuk, para khalifah tidak lagi dikuasai oleh kaum
tertentu. Tetapi, negara sudah terbagi-bagi dalam berbagai kerajaan kecil yang merdeka.
Khalifah al-Nashir (1180-1255) yang berusaha untuk mengangkat kewibawaan kekhalifahan
Abbasiyah. Untuk itu ia mencari dukungan atas kedudukannya dengan bekerja sama dengan
suatu gerakan dari orang-orang yang memuja Ali. Dari kalangan pengrajin dan pedagang
meyakini Ali sebagai pelindung korporasi. Anggota dari gerakan ini bertemu secara teratur, dan
tidak jarang melakukan latihan-latihan spiritual dibawah pimpinan seorang pir. Al-Nashir
menempatkan dirinya sebagai pelindung dari gerakan ini. Sementara itu, kekuatan Mongol Tartar
mulai merayap dari arah timur dan pada tahun 656 H/1258 H, Hulagu dengan pasukannya
memasuki Baghdad dan membunuh khalifah al-Musta’shim dan membunuh penduduk kota ini.
Mereka menjarah harta, membakar kitab-kitab dan menghancurkan banyak bangunan. Dengan
demikian berakhirlah kekhalifahan Bani Abbas di Baghdad.

Masa Kemunduran dan Kehancuran


Dinasti Abbasiyah
Written by Admin   
Friday, 14 May 2010 09:30

Oleh : Lukman bin Ma'sa

A. Faktor Internal

Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak
periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara
tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada
periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani
Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala
pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.

Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah
menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa
diantaranya adalah sebagai berikut:[1]

1. Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan

Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia.
Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani
Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti
Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti
Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-
orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu.
Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan
demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.

Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti
dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah
yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah
bangsa non-Arab ('ajam) di dunia Islam.

Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para
khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan
pegawai dan tentara.
Adalah Khalifah Al-Mu’tashim (218-227 H) yang memberi peluang besar kepada bangsa Turki
untuk masuk dalam pemerintahan. Mereka di diangkat menjadi orang-orang penting di
pemerintahan, diberi istana dan rumah dalam kota. Merekapun menjadi dominan dan menguasai
tempat yang mereka diami, sehingga khalifah berikutnya menjadi boneka mereka.[2]

Setelah al-Mutawakkil (232-247 H), seorang Khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara
Turki semakin kuat, mereka dapat menentukan siapa yang diangkat jadi Khalifah. Sejak itu
kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang
Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga (334-
447), dan selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljuk, bangsa Turki pada periode keempat (447-
590H).[3]

2. Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil Yang Memerdekakan Diri

wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama hingga masa keruntuhan sangat luas,
meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan
India. Walaupun dalam kentaannya banyak daerah yang tidak dikuasai oleh Khalifah, secara riil,
daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaaan gubernur-gubernur bersangkutan. Hubungan
dengan Khalifah hanya ditandai dengan pembayaran upeti.[4]

Ada kemungkinan penguasa Bani Abbas sudah cukup puas dengan pengakuan nominal, dengan
pembayaran upeti. Alasannya, karena Khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk,
tingkat saling percaya di kalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah dan juga
para penguasa Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada
politik dan ekspansi.[5] Selain itu, penyebab utama mengapa banyak daerah yang memerdekakan
diri adalah terjadinya kekacauan atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan
oleh bangsa Persia dan Turki.[6]

Akibatnya propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani
Abbas. Ini bisa terjadi dengan dua cara, pertama, seorang peminpin lokal memimpin suatu
pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti daulat Umayyah di
Spanyol dan Idrisiyah di Marokko. Kedua, seorang yang ditunjk menjadi gubernur oleh Khalifah
yang kedudukannya semakin kuat, seerti daulah Aghlabiyah di Tunisiyah dan Thahiriyyah di
Khurasan.

Dinasti yang lahir dan memisahkan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah,
di antaranya adalah:

1.Yang berkembasaan Persia: Thahiriyyah di Khurasan (205-259 H), Shafariyah di Fars (254-290
H), Samaniyah di Transoxania (261-389 H), Sajiyyah di Azerbaijan (266-318 H), Buwaihiyyah,
bahkan menguasai Baghdad (320-447).

2.Yang berbangsa Turki: Thuluniyah di Mesir (254-292 H), Ikhsyidiyah di Turkistan (320-560
H), Ghaznawiyah di Afganistan (352-585 H), Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya

3.Yang berbangsa Kurdi: al-Barzukani (348-406 H), Abu Ali (380-489 H), Ayubiyah (564-648
H).

4.Yang berbangsa Arab: Idrisiyyah di Marokko (172-375 h), Aghlabiyyah di Tunisia (18-289 H),
Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H), Alawiyah di Tabaristan (250-316 H), Hamdaniyah di
Aleppo dan Maushil (317-394 H), Mazyadiyyah di Hillah (403-545 H), Ukailiyyah di Maushil
(386-489 H), Mirdasiyyah di Aleppo 414-472 H).

5.Yang Mengaku sebagai Khalifah : Umawiyah di Spanyol dan Fatimiyah di Mesir.[7]

3. Kemerosotan Perekonomian

Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang
masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Perekonomian
masyarakat sangat maju terutama dalam bidang pertanian, perdagangan dan industri. Tetapi
setelah memasuki masa kemunduran politik, perekonomian pun ikut mengalami kemunduran
yang drastis.[8]

Setelah khilafah memasuki periode kemunduran ini, pendapatan negara menurun sementara
pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin
menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu
perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang
memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara
lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran
makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.[9]

Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya,
kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini
saling berkaitan dan tak terpisahkan.

4. Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Keagamaan

Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai untuk menjadi penguasa, maka
kekecewaan itu mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme,
Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini
menggoda rasa keimanan para khalifah.

Adalah khalifah Al-Manshur yang berusaha keras memberantasnya, beliau juga memerangi
Khawarij yang mendirikan Negara  Shafariyah di Sajalmasah pada tahun 140 H[10]. setelah al
Manshur wafat digantikan oleh putranya Al-Mahdi yang lebih keras dalam memerangi orang-
orang Zindiq bahkan beliau mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan mereka serta
melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak
menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut
mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik
bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah
adalah contoh konflik bersenjata itu.

Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah,
sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh
penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang
berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-
kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam
Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali
memperkenankan orang syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut.[11] Syi'ah pernah berkuasa
di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di
Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri
dari Baghdad yang Sunni.

Selain itu terjadi juga konflik dengan aliran Islam lainnya seperti perselisihan antara Ahlusunnah
dengan Mu'tazilah, yang dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-
833 M), dengan menjadikan mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah.
Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan
golongan ahlusunnah kembali naik daun. Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Bani
Buwaih. Namun pada masa dinasti Seljuk yang menganut paham Asy'ariyyah penyingkiran
golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa, aliran
Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya.[12]

B. Faktor Eksternal

Selain yang disebutkan diatas, yang merupakan faktor-faktor internal kemunduran dan
kehancuran Khilafah bani Abbas. Ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah
Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur.

1. Perang Salib

Kekalahan tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang dari pasukan Alp Arselan yanag hanya
berkekuatan 15.000 prajurit telah menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang
kristen terhadap ummat Islam. Kebencian itu bertabah setelah Dinasti Saljuk yang menguasai
Baitul Maqdis menerapkan beberapa peraturan yang dirasakan sangat menyulitkan orang-orang
Kristen yang ingin berziarah kesana. Oleh karena itu pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II
menyerukan kepada ummat kristen Eropa untuk melakukan perang suci, yang kemudian dikenal
dengan nama Perang Salib.

Perang salib yang berlangsung  dalam beberapa gelombang atau peride telah banyak menelan
korban dan menguasai beberapa wilaya Islam. Setelah melakukan peperangan antara tahun 1097-
1124 M mereka berhasil menguasai Nicea, Edessa, Baitul Maqdis, Akka, Tripoli dan kota Tyre.
[13]

Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan,
panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang
Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol
yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahlul-kitab. Tentara Mongol, setelah
menghancur leburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerussalem.[14]

2. Serangan Mongolia Ke Negeri Muslim dan Berakhirnya Dinasti Abbasiyah

Orang-orang Mongolia adalah bangsa yang berasal dari Asia Tengah. Sebuah kawasan terjauh di
China. Terdiri dari kabilah-kabilah yang kemudian disatukan oleh Jenghis Khan (603-624 H).
mereka adalah orang-orang Badui-sahara yang dikenal keras kepala dan suka aberlaku jahat.

Sebagai awal penghancuran Bagdad dan Khilafah Islam, orang-orang Mongolia menguasai
negeri-negeri Asia Tengah Khurasan dan Persia dan juga menguasai Asia Kecil.[15] Pada bulan
September 1257, Hulagu mengirimkan ultimatum keada Khalifah agar menyerah dan mendesak
agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi Khalifah tetap enggan memberikan jawaban.
Maka pada Januari 1258, asuakn Hulagu bergerang untuk mengahncurkan tembok ibukota.[16]
Sementara itu Khalifah al-Mu’tashim langsung menyerah dan berangkat ke base pasukan
mongolia. Setelah itu para pemimpin dan fuqaha juga keluar, sepuluh hari kemudian mereka
semua dibunuh. Hulagu mengzinkan pasukannya untuk melakukan aa saja di Baghdad. Mereka
menghancurkan kota Baghdad dan membakarnya. Pembunuhan berlangsung selama 40 hari
dengan jumlah korban sekitar dua juta orang.

Perlu juga disebutkan disini peran busuk yang dimainkan oleh seorang Syi’ah Rafidhah yaitu Ibn
’Alqami, menteri al-Mu’tashim, yang bekerjasama dengan orang-orang Mongolia dan membantu
pekerjaan-pekerjaan mereka.[17]

 
[1] Badari yatim , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II, Jakarta: Raja Grapindo
Persada, 2000. hlm.80

[2] Yusuuf al-Isy, Tarikh ‘Ashr Al-Khilafah Al-‘Abbasiyyah, Terj. Arif Munandar, Jakarta
Pustaka Al-Kautsar, 2007. hlm. 102-104

[3] Badari yatim , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II. Hlm. 50

[4] Sir William Muir, The Caliphat, New York: AMS Inc, 1975. hlm.432 yang dikutip Badari
yatim , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II. Hlm 63

[5] Badari yatim , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II. Hlm. 63

[6] Yusuuf al-Isy, Tarikh ‘Ashr Al-Khilafah Al-‘Abbasiyyah, Terj. Arif Munandar. hlm. 137

[7] Badari yatim , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II. Hlm.65-66. lihat juga Yusuuf
al-Isy, Tarikh ‘Ashr Al-Khilafah Al-‘Abbasiyyah, Terj. Arif Munandar, hlm. 261- 297

[8] Philip K. Hitti, History Of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi, 2008.
hlm. 436 dan 618

[9] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Jil. 1, Kairo, Lajnah al-Ta’lif wa al-Nasyr. yang dikutip
Badari yatim , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II. Hlm. 82

[10] Ahmad al-Usyairy, Attarikh al-Islami, Terj. Samson Rahman, Jakarta: Akbar, 2003. hlm.
224

[11] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang,
1989. yang dikutip Badari yatim , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II. Hlm. 83

[12]Ibid. Hlm. 84

[13] Ibid. hlm. 76-79

[14] Sir William Muir, The Caliphat, New York: AMS Inc, 1975. Ibid, hlm. 85

[15] Ahmad al-Usyairy, Attarikh al-Islami, Terj. Samson Rahman, Jakarta: Akbar, 2003. hlm.
258

[16] Philip K. Hitti, History Of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin. hlm. 619

[17] Ahmad al-Usyairy, Attarikh al-Islami, Terj. Samson Rahman, hlm.259

Anda mungkin juga menyukai