A. Definisi
Lafadz ³jarh´, menurut muhadditsin ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilan
dan kedhabitanya. Men-jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan
sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkan nya.
Men-ta¶dil seorang rawi berarti memberikan sifat-sifat terpuji kepada seorang rawi hingga apa
yang diriwayatkanya dapat diterima . Rawi yang dikatakan adil adalah orang yang dapat
mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agama dan keperwiraannya.
Apabila seorang rawi dijarh oleh para ahli sebagai seorang rawi yang cacat, maka
periwayatannya harus ditolak dan apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang yang adil, maka
periwayatannya diterima selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits dipenuhi.
Ilmu jarh wa ta¶dil berarti ilmu yang membahas tentang kritik adanya aib (cacat) atau
memberikan pujian pujian adil kepda seorang rawi.
Faedah mengetahui ilmu Jarh wa Ta¶dil ialah untuk menetapkan apakah periwayatan seorang
rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabilah seorang rawi sudah di tarjih
sebagai rawi yang cacat maka periwayatanya ditolak dan apabilah seorang rawi dita¶dil sebagi
orang yang adil maka periwayatanya diterima, selama memenuhi syarat-syarat yang lain untuk
menerima hadits dipenuhi.
Cacat (keaiban) rawi itu banyak. Akan tetapi umumnya berkisar pada 5 macam, yaitu :
Rawi yang disifati dengan bid¶ah adakalanya tergolong orang-orang yang di anggap kafir dan
adakalanya tergolong orang yang difasikan. Mereka yang dianggap kafir adalah golongan
Rafidhah yang mempercayai bahwa Tuhan itu menyusup (bersatu) pada sayyidina µAli dan pada
imam-imam yang lain , dan mempercayai bahwa Ali akan kembali lagi ke dunia sebelum hari
kiamat.
Sedangkan orang-orang yang dianggap fasiq ialah orang yang mempunyai I¶tikad bertentangan
dengan dasar syari¶at.
2. Mukhalafah (meriwayatkan hadits yang berbeda dengan periwayatan rawi yang lebih tsiqah).
Apabila rawi yang bagus ingatannya dan jujur meriwayatkan suatu hadits yang berlawanan
maknanya dengan orang yang lebih kuat ingatannya atau berlawanan dengan kebanyakan orang,
yang kedua periwayatan tersebut tidak dapat disatukan/digabungkan maknanya. Periwayatan
demikian disebut "Syadz", dan kalau perlawanan itu berkesangatan atau rawinya lemah sekali
hapalannya, periwayatannya disebut "Munkar".
Ghalath (slaah) itu kadang-kadnag banyak dan kadang-kadnag sedikit. Seorang rawi yang disifati
banyak kesalahan dalam riwayatanya maka hendaknya diadakan peninjauan kembali terhadap
hadits-hadits yang telah diriwayatkannya, akan tetapi jika periwayatnya tadi juga terdapat dalam
periwatan rawi yang disifati dengan ghalath, maka haditsnya tsb dapat di pakai melalui sanad
hadits kedua ini tapi apabila tidak ada maka haditsnya di tawaqufkan.
Jahalatul hal merupakan pantangan untuk diterimanya haditsnya, selama belum jelas identitas
rawinya. Apabila sebagian orang telah mengenal identitasnya dengan baik, kemudian ada yang
mengingkarinya, dalam hal ini didahulukan penetapan orang yang telah mengenalnya, sebab
tentu ia lebih tahu dari orang yang mengingkarinya.
Keadilan seorang rawi daat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan berikut :
a. Bi-Syuhrah, karena kepopulerannya di kalangan ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang
yang adil. Seperti: Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu¶bah bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi¶I,
Ahmad dan lain sebagainya. Mereka yang sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan
para ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk diperbincangkan keadilannya.
b. Pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah). Yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang
yang adil, yang semula rawi yang dita'dilkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil.
Begitupun kebalikannya dengan jarh.
a) Berilmu pengetahuan
b) Takwa
c) Wara¶ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, doea kecil, dan makruhat)
d) Jujur
e) Menjauhi fanatik glongan
f) Mengetahui sebab-sebab menta¶dil dan dan mentajrih. (Mufassar)
Disini terdapat perselisihan pendapat tapi yang dianut oleh para muhadditsin seperti Bukhari
Muslim, Abu Dawud, dll adalah bahwa Menta¶dil tanpa menyebutkan sebab-sebabnya itu boleh
karena sebab-sebanya itu banyak sekali dan jika disebutkan bisa menyibukkan kerja saja tapi
kalau dalam hal tajrih tidak boleh kerena setiap pentarjih mempunyai sebab-sebab yang berbeda-
beda, padahal jarh dapat berhasil dengan satu sebab, maka perlu diterangkan cacat seorang rawi.
3. Jumlah orang yang di pandang cukup untuk menta¶dil dan mentarjih rawi-rawi
a) Pedapat fuqoha¶ Madinah minimal 2 orang baik dalam syahadah maupun riwayah
b) Cukup 1 orang dalam riwayah dan bukan dalam soal syahadah, sebab bilangan tidak jadi
syarat dalam penerimaan hadits.
c) Cukup 1 orang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah.
Apabila terjadi pertentangan antara jarh dan ta'dil pada seraong rawi, dimana sebagian ulama¶
menta¶dil dan sebagian yang lain mentakhrij maka dalam hal ini terdapat ada 4 pendapat :
i. Jarhi harus didahulukan secara mutlak walau jumlah mu¶addil lebih banyak dari pada jarhnya.
Sebab bagi rajih tentu lebih mengetahui tentang sisi batin dari rawi daripada mu¶addil. Pendapat
ini dianut oleh Jumhur 'ulama.
Karena jarihh bisa salah dalam mencacatkan rawi apalagi kalau ada rasa benci maka pasti sebab
pentarjihanya bersifat subyektif berbeda dengan mu¶addil dalam menilai rawi mereka lebih
mendahulukan kelogisan atau obyektif
iii. Bila jumlah mu¶addilnya lebih banyak dari rajih maka didahulukan ta¶dil
iv. Masih tetap dalam pertentangan selama belum ditentukan yang menjarhnya.
Pengarang at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya khilaf ini ialah jika jumlah mu'adiil lebih
banyak dari jarih, tetapi kalau jumlahnya seimbang atau lebih sedikit antara mu'addil dan jarih,
maka didaulukan jarh, dan ini merupaka putusan 'ijma.
1) Berbentuk af¶alut tafdhil atau ungkapan lain yang setara maknanya dengan af¶alut tafdhil.
Contoh :
ΔϟΪϋϭ ΎψϔΣ αΎϨϟ ΖΒΛ (orang yang paling mantap hafalan dan keadilanya)
ΖΒΜϟ ϰϓ ϲϬΘϨϤϟ Ϫϴϟ· (orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya)
ΔϘΜϟ ϕϮϓ ΔϘΛ (orang yang tsiqoh melebihi orang yang tsiqoh)
Contoh:
Contoh:
4) Menggunakan Lafadz yang tidak menggunakan arti kuat ingatan dan adil Contoh:
Contoh:
ΚϳΪΤϟ ΏέΎϘϣ (orang yang haditsnya berdekatan dengan hadits-hadits orang lain yang tsiqoh)
6) Menggunakan lafadz yang menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat diatas yang
diikuti kafadz ³inssaAllah´, atau ditashghitkan, atau lafadz tersebut dikaitkan dengan
pengharapan .
Contoh:
1) Menggunakan lafadz ±lafadz af¶alut tafdhil atau ungkapan-ungkapan lain yang serupa
denganya menunjukkan amat cacatnya rawi.
Contoh:
Contoh:
Contoh:
Contoh:
Contoh:
6) Menggunakan lafadz-lafadz yang dekat dengan sifat adil tapi menunjukkan kelemahanya.
Contoh:
ΔΠΤϟ ΎΑ βϴϟ ϥϼϓ (orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya)
2. Ad-Dhu¶afa¶, karya Imam Muhammad bin Isma¶il Al-Bukhpri . Dicetak di Hindia tahun 320
H
3. At-Tsiqat, karya Abu Hatim bin Hibban Al-Busty (wafat tahun 304 H). Ingat bahwa beliau ini
sangat muda menta¶dil rawi jadi hati-hati atas pendapatnya. Naskah asli kitab ini ditemukan di
Darul Kutub Al-Mishriyah dengan tidak lengkap.
4. Al-jarhu wa ta¶dil, karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razy (240-326 H), kitab ini
merupakan kitab yang terbesar dan mempunyai banyak faidah bagi kita. Terdiri dari 4 jilid yang
memuat 18.055 rawi, sering di setak berkali-kali dan terakhir dicetak di India pada tahun 1373 H
menjadi 9 jilid, 1 jilid I dijadikan mukaddimah dan jilid yang lainya dijadikan 2.
5. Mizanul I¶tidad, karya Imam Syamsuddin Muhammad Ad-Dzahabi (673-748), terdi dari 3
jilid, sudah dicetak berkali-kali dan terakhir dicetak di Mesir tahun 1325 H mencakup
10.907oran rijalus sanad.
6. Lisanul Mizan, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalany (773-852 H) memuat 14.343 rijalus
sanad, dicetak di India pada th 1329-1331 dalam 6 jilid.
--------
Dikutip dari : Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Drs. Fatchur Rahman, "PT. AlMa'arif Bandung",
Bab IV, hal. 307 dengan peringkasan.
ibnumaulay
07-04-2010, 09:07
Menambahkan ........
Sesungguhnya ilmu al-jarh wat ta¶dil adalah khusus untuk para perawi yang bermasalah dalam
periwayatan haditsnya. Dan apa yang dipraktikkan oleh para ulama salaf dalam hal ini sama
sekali bukan ghibah. Ketika hadits-hadits telah dibukukan dan masa para perawi telah berlalu,
maka selesailah sudah al-jarh wat ta¶dil. Ia sama sekali tidak bisa diterapkan pada seorang
muslim yang bukan perawi, apalagi diterapkan terhadap para ulama dan syuhada yang sangat
dimuliakan Allah dan dicintai oleh kaum muslimin.
Ø Syaikh Abdul Aziz bin Abdilah Ar-Rajihi berkata, ³Ilmu al-jarh wat ta¶dil suah selesai, karena
ia sekarang telah terbukukan rapi dalam berbagai kitab. Begitu pula dengan hadits-hadits Nabi, ia
telah terbukukan dalam berbagai kitab shahih, sunan, musnad, dan mu¶jam«sehingga sekarang
tidak ada lagi al-jarh wa ta¶dil. Dan, al-jarh wat ta¶dil itu memang khusus untuk para ahli
hadits.´2
Ø Syaikh Hasan bin Falah Al-Qahthani berkata, ³Besar sekali bedanya antara ilmu al-jarh wat
ta¶dil yang dipraktikkan oleh para ulama salaf dalam kitab-kitab dan karya-karya mereka, dengan
pelecehan terhadap para ulama dan da¶I, pencemaran nama baik, dan penyebaran aib serta
kesalahan seseorang dengan mengatasnamakan al-jarh wat ta¶dil yang terjadi sekarang ini.´3
Ø Syaikh Ridha Ahmad Shamadi berkata, ³Tidak usah dijarh orang yang tidak perlu dijarh,
seperti para ulama yang periwayatan hadits mereka tidak dibutuhkan.´4
Ø Ibnul Murabith (w. 485 H) berkata, ³Hadits-hadits telah dibukukan dan tajrih pun sudah tidak
ada faedahnya lagi.´5
Ø Syaikh Athiyah bin Muhammad Salim berkata,6 ³« Dan tidak termasuk dalam hal itu apa
yang disebut al-jarh wat ta¶dil. Seperti orang yang mengatakan; si fulan mudallis,7 atau si fulan
sifatnya begini« Sebab, yang semacam ini terdapat faedah di dalamnya bagi kaum muslimin,
agar mereka berhati-hati terhadap hadits-hadits yang diriwayatkannya.´8
Dan yang lebih luar biasa lagi adalah pendapat Syaikh yang sangat mereka banggakan [terlebih
diriku: peny.] yaitu Syaikh Shalih Fauzan. Sebenarnya aku juga mau menampilkan pendapat
Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq. Tapi karena beliau sangat dibenci oleh orang-orang µSalafi
Ekstrim¶, maka aku cukupkan saja dengan pendapat Syaikh Shalih Fauzan berikut ini:
Syaikh Shalih Fauzan: Tidak Ada Ulama Al-Jarh wat Ta¶dil Pada Masa Ini
Dalam satu kesempatan, terjadi dialog tanya jawab antara Syaikh Dr. Al-Alamah Shalih bin
Fauzan hafizhahullah dengan seorang thalibul ilmi (Pelajar/Penuntut ilmu) :
Penanya: Syaikh yang mulia, siapakah yang dimaksud dengan ulama al-jarh wat ta¶dil pada masa
kita sekarang ini?
Syaikh: Demi Allah, kami tidak mengetahui seorang pun ulama al-jarh wat ta¶dil pada saat ini.
Sekarang ini para ulama al-jarh wat ta¶dil telah berada di dalam kubur. Akan tetapi, perkataan
mereka tetap ada di dalam kitab-kitab mereka, kitab al-jarh wat ta¶dil. Al-jarh wat Ta¶dil itu
hanya ada dalam ilmu sanad dan riwayat hadits. Dan mencela manusia serta menjatuhkannya
bukanlah bagian dari ilmu al-jarh wat ta¶dil. Mengatakan si fulan begini« si fulan begitu«
memuji sebagian orang dan mencela sebagian yang lain adalah ghibah dan namimah. Dan itu
bukan al-jarh wat ta¶dil.
Penanya: Anda mengatakan bahwa al-jarh wat ta¶dil pada zaman ini sudah tidak ada lagi, hal ini
akan membuat sebagian orang memahami Anda tidak memandang perlunya membantah ahlu
bid¶ah dan para penyeleweng agama?
Syaikh: Al-jarh wat ta¶dil itu bukan ghibah dan namimah seperti yang banyak terjadi sekarang
ini,9 khususnya di sebagian kalangan penuntut ilmu. Wahai saudaraku, al-jarh wat ta¶dil itu
adalah bagian dari ilmu isnad dalam hadits, dan ini adalah spesialisasi para imam dan ahli hadits.
Dan, kami tidak tahu siapa yang termasuk ulama al-jarh wat ta¶dil sekarang ini, dimana ulama
tersebut menguasai sanad-sanad hadits dan mampu memilah mana yang shahih dan mana yang
dha¶if. Kami tidak mengetahui seorang pun sekarang! Ya¶ inilah dia yang dimaksud dengan al-
jarh wat ta¶dil.´10
Footnote:
[1] Http://www.almanhaj.net/vb/showthead.php?p=34223
[2] Ibid.
[3] An-Naqd; Adabuhu wa Dawafi¶uh/Syaikh Hasan bin Falah Al-Qahthani/Hlm 34/Penerbit Dar
Al-Humaidhi, Riyadh/Cetakan pertama/1993m-1414H.
[4] Lihat artikel; Al-Jarh wat Ta¶dil µIndal Muhadditsin/Syaikh Ridha Ahmad Shamadi, di
http://saaid.net/doat/rida-samadi/5.doc
[5] Ibid. Menukil dari; Ar-Raf¶u wat Takmil fil Jarhi wat Ta¶dil/Syaikh Abdul Hayy Al-
Laknawi/Tahqiq:Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah/Hlm 50. Buku ini juga bisa didownload di
http://www.waqfeya.com/open.php?cat=12&book=623 atau
http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=9&book=1415 dan beberapa situs lain.
[6] Beliau menyampaikan ini ketika membahas masalah ghibah terhadap orang yang sudah
meninggal.
[7] Mudallis, yaitu: Seorang perawi yang tidak menyebutkan dari siapa dia mendengar hadits
yang diriwayatkannya, namun dia menyebutkan perawi (syaikh) yang di atasnya sehingga
mengesankan dia mendengar langsung dari syaikh tersebut. Meski banyak ulama tsiqah yang
melakukan tadlis, tetapi mayoritas imam hadits mengatakan bahwa hal ini tidak bisa diterima.
Imam Asy-Syafi¶I mengatakan, ³Tadlis adalah saudaranya dusta.´ Adapun Al-Hafizh Ibnu Ash-
Shalah berkata, ³Tadlis itu bukan dusta, tetapi dia itu semacam perkataan yang mengesankan
sesuatu dengan lafal yang tidak tegas.´ (Lihat lebih rinci tentang tadlis, mudalis, dan dua macam
tadlis di: Muqaddimah Ibnu As-Shalah; Al-Baits Al-Hatsits fi Ikhtishar µUlum Al-Hadits/Ibnu
Katsir; Al-Mukhtashar fi Ushul Al-Hadits/As-Syarif Al-Jurjuni; Al-Muqizhah fi µIlmi
Mushthalah Al-Hadits/Imam Adz-Dzahabi; Tadbir Ar-Rawi/Imam As-Suyuthi; Al-Kifayah fi
µIlmi Ar-Riwayah/Al-Khathib Al-Baghdadi; dan kitab-kitab lain yang sejenis.
[8] Syarh Bulugh Al-Maram/Syaikh Atihyah bin Muhammad Salim/Pelajaran nomor 123.
Sumber: http://www.islamweb.net. Kitab yang bersumber dari ceramah hadits ini terdapat dalam
Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.
[9] Syaikh Shalih Fauzan benar, sesungguhnya ghibah yang banyak terjadi sekarang ini memang
tidak termasuk dalam al-jarh wat ta¶dil.
[10] http://www.almanhaj.net/vb/showthread.php?p=34223