Anda di halaman 1dari 25

Coal Bed Methane: Dari Dalam Bumi Membawa Solusi

Sebuah Tinjauan Singkat Dari Segi Teknis dan Keekonomian

Oleh : Safrian Adam Farizi, Teknik Perminyakan ITB

Kondisi keenergian Indonesia saat ini berada di ujung tanduk. Berdasarkan data dari Kapusdatin
ESDM pada Pertemuan Tahunan Pengelolaan Energi Nasional (PT-PEN) 2008[15], pertumbuhan
pasokan energi primer adalah 1.5% per tahun, sementara pertumbuhan konsumsi energi final per
sektor naik 4% per tahun, dengan pemakai terbesar adalah sektor transportasi sebesar 42,67%.
Jelas terlihat dalam hal ini bahwa pertumbuhan pasokan tidak dapat memenuhi pertumbuhan
konsumsi. Sebagai solusi hal tersebut, pemerintah menetapkan target pendayagunaan EBT 25%
pada bauran energi primer tahun 2025. Sejalan dengan hal tersebut, Agenda 21 Sektor Energi[4]
juga membahas tentang problematika keenergian secara umum. Dalam dokumen tersebut antara
lain disebutkan bahwa salah satu problem utama perkembangan EBT terletak pada asimetri
informasi, yaitu kurang pahamnya masyarakat terhadap teknologi dan pengembangan EBT di
Indonesia. Tentunya sebagai masyarakat terpelajar, mahasiswa harus menjadi elemen yang
mampu mengatasi hal tersebut, sehingga penting untuk memahami EBT sebagai solusi jangka
panjang keenergian Indonesia.

EBT Sebagai Solusi Masalah Keenergian Indonesia

Pada prinsipnya, energi merupakan penggerak utama dari aktivitas manusia. Sekalipun energi
kekal, keterbatasan teknologi manusia menghasilkan klasifikasi energi berdasarkan
keterbaruannya, yaitu energi terbarukan dan energi tak terbarukan. Energi terbarukan merupakan
energi yang tingkat pembaruannya mampu mengimbangi laju pemakaiannya, sedangkan energi
tak terbarukan adalah energi yang tingkat pembaruannya tidak mampu mengimbangi tingkat
konsumsinya.[22]

Selain energi terbarukan dan energi tak terbarukan, terdapat pula istilah energi baru. Energi baru
ini adalah sumber energi yang ditemukan dengan teknologi baru (recent technology) dan dapat
berasal dari energi tak terbarukan maupun terbarukan. Contoh dari energi baru adalah Coal Bed
Methane (CBM) dan nuklir. Energi baru dan energi terbarukan inilah dua komponen yang
menyusun EBT, yang dapat menjadi solusi masalah keenergian di Indonesia apabila dikelola
dengan baik.
Berdasarkan data ESDM[14] pada tahun 2010, bauran energi primer masih bertumpu pada minyak
bumi, yaitu sebesar 43.9%, sementara EBT baru menempati 4.4%. Hal ini jelas memperlihatkan
ketimpangan bauran energi primer, dengan akibat makin cepatnya laju konsumsi salah satu
sumber energi yang dalam hal ini minyak, melebihi dari laju pembaruannya. Laju pembaruan
minyak dalam hal ini adalah penemuan cadangan-cadangan baru, menggantikan cadangan yang
telah dieksploitasi. Cadangan terbukti (proven reserve) minyak bumi Indonesia sendiri terdapat
pada angka 4.4 milyar barrel, dengan produksi kurang lebih 350 juta barrel per tahun, maka rasio
cadangan-produksi ada pada angka 12.4.[1] Sekalipun nantinya ditemukan cadangan-cadangan
baru, diprediksi penemuan ini tidak sebanding dengan pertumbuhan kebutuhan energi dari
masyarakat Indonesia.

Pertimbangan tersebut merupakan salah satu pendorong pemerintah untuk melakukan


diversifikasi energi, dan juga optimalisasi. Pada bauran energi primer tahun 2025, persentase
minyak bumi dibatasi sebanyak 20%, dan optimalisasi cadangan batubara dan gas menyebabkan
keduanya akan memiliki persentase 32% dan 23%. EBT akan menempati persentase 25%,
direvisi dari target bauran energi pemerintah tahun 2007 sebesar 17%. EBT sendiri memiliki
banyak macam seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sehingga persentasenya pun bervariasi
antara sumber energi yang satu dan yang lain. Dari sekian macam EBT yang ada, CBM
merupakan salah satu dari sumber energi yang menarik karena potensinya yang mumpuni di
Indonesia untuk dikembangkan lebih lanjut.

CBM: Sebuah Gambaran Umum

CBM, yang dikenal juga sebagai Gas Metana Batubara (GMB) merupakan sumber energi tak
terbarukan yang ditemukan dengan recent technology, sehingga diklasifikasikan sebagai EBT
dan termasuk dalam kategori cadangan gas non konvensional. Perbedaan cadangan konvensional
dan non konvensional terletak pada tingkat teknologi yang digunakan untuk mengambilnya, serta
perbedaan pola pikir yang dibutuhkan. Sebagai cadangan gas non konvensional, CBM
merupakan gas dengan kandungan metana tinggi, mencapai 88-98% dan terjebak pada pori-pori
batubara, dimana batubara ini tergenangi oleh air.[2] Kandungan metana yang tinggi
menguntungkan untuk dipakai secara langsung, karena tidak mengandung zat lain yang
merugikan dalam pengolahan semisal H2S, sehingga disebut sweet gas. Dengan sedikitnya
jumlah pengotor seperti H2S maka biaya pengolahan bisa diminimalisasi, berbeda dengan gas
alam pada umumnya. Berdasar beberapa sampel yang diambil di lapangan, kandungan panas dari
CBM mencapai 900-1100 BTU/SCF (British Thermal Unit / Standard Cubic Feet). [19]Sebagai
perbandingan, dengan laju alir gas 1000 SCF/day, maka dapat terbangkitkan listrik sebesar 100
kWh. [9]

Berdasarkan segitiga sumberdaya Holditch (Gambar 1), cadangan non konvensional memiliki
jumlah yang lebih besar dari cadangan konvensional, sehingga ketika permintaan energi
meningkat dan teknologi telah mumpuni, eksplorasi dan eksploitasinya tidak terhindarkan. Untuk
minyak, cadangan konvensionalnya adalah minyak ringan, sementara cadangan non
konvensionalnya adalah minyak berat, minyak ekstra berat, serta oil shale. Untuk gas, cadangan
konvensionalnya adalah gas kualitas tinggi (high quality gas), sedangkan cadangan non
konvensionalnya adalah CBM, shale gas, gas mutu rendah, dan tight gas.

Gambar 1: Segitiga sumberdaya Holditch[18]

Berdasarkan data ESDM, cadangan batubara Indonesia adalah sekitar 18-22 miliar ton, sehingga
berimpilikasi cukup besarnya potensi CBM. Potensi CBM di cekungan batubara Indonesia
berkisar pada angka 337-450 TCF (Trillion Cubic Feet), yang tersebar dengan detil sebagai
berikut :

Nama Daerah Potensi (TCF) Cadangan (TCF)


Kabupaten Berau 8.4 4
Pasir/Asem 3 0.75
Tarakan 17.5 5
Kutai 80.4 10
Kalimantan Timur (subtotal) 109.3 19.75
Barito, Kalimantan Tengah 101.6 10
Sumatera Tengah 52.5 5
Sumatera Selatan 183 10
Ombilin - 0.7
Sumatra Barat Daya - 0.5
Bengkulu 3.6 0.5
Jatibarang (Jawa Barat) 0.8 0.5
Sulawesi 2 -
Total 452.8 46.95
Tabel 1: Persebaran potensi dan cadangan CBM
Indonesia[10][4]

Dari Tabel 1 dapat terlihat bahwa potensi CBM yang paling besar terdapat di Sumatera dan
Kalimantan, yang merupakan konsekuensi yang wajar sebagai wilayah yang memiliki cadangan
batubara terbesar di Indonesia. Perbedaan utama cadangan dan potensi terletak pada tingkat
kepastiannya, dimana cadangan memiliki tingkat kepastian lebih besar. Untuk mengetahui
cadangan dibutuhkan investasi lebih lanjut dalam bentuk pemboran atau penambangan langsung.

Apabila dibandingkan dengan potensi gas alam pada tahun 2005 sebesar 384 TCF[14], maka CBM
memiliki keunggulan dalam jumlah potensi. Namun, cadangan gas alam pada 2005 telah
mencapai 180 TCF sedangkan proyek-proyek CBM baru dimulai di Indonesia pada tahun 2008.
Meskipun demikian, prospek CBM dapat dikatakan lebih baik dari gas alam, karena secara
prinsip “dimana ada batubara, disitu terdapat CBM”. Prinsip ini dikembangkan dengan acuan
teori pembentukan CBM dari lapisan batubara yang ada.

Tinjauan Singkat Proses Pembentukan CBM

Sebelum CBM dihasilkan oleh lapisan batubara, terdapat suatu proses yang mendahuluinya,
disebut coalification (pembentukan batu bara). Coalification dimulai dengan pemendaman
materi organik yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Pemendaman selama ratusan juta tahun
mengakibatkan meningkatnya suhu dan tekanan, dan menyebabkan perubahan fisik dan kimiawi
pada materi organik. Tergantung pada waktu pemendaman dan utamanya suhu, terdapat
tingkatan-tingkatan dalam batubara yang terbentuk, dengan lignit merupakan batubara paling
muda dan antrasit batubara yang paling tua. Tingkatan-tingkatan tersebut adalah sebagai berikut :
Kelas Sub kelas Singkatan
Meta Antrasit Ma
Antrasit Antrasit An
Semi Antrasit Sa
Low Volatile Lvb
Medium Volatile Mvb
Bitumen High Volatile A hvAb
High Volatile B hvBb
High Volatile C hvCb
Sub Bitumen A subA
Sub Bitumen Sub Bitumen B subB
Sub Bitumen C subC
Lignit A ligA
Lignit
Lignit B ligB
Tabel 2: Klasifikasi batubara ASTM[2]

Gas metana yang merupakan komponen terbesar CBM terbentuk berdasar dua proses yaitu
biogenik dan termogenik. Proses biogenik adalah proses produksi metana dari aktivitas bakteri,
dan terjadi pada saat awal proses pembentukan batubara, yaitu pada saat di tingkat lignit dan
subbitumen. Proses termogenik adalah proses produksi metana berdasarkan temperatur, waktu,
tekanan, dan komposisi kimia materi organik, dimulai saat sudah melewati tingkat lignit.
Sebagian besar CBM merupakan hasil dari proses termogenik, karena metana yang terbentuk
pada saat proses biogenik di awal akan cepat hilang ke permukaan. Perkecualian kasus ini
contohnya ada di Montana, AS pada formasi Fort Union dimana kebanyakan CBM berasal dari
proses biogenik.[2]

Secara umum makin tinggi tingkatan batubaranya, semakin banyak gas metana yang terproduksi.
Lapisan antrasit sebagai contoh, dapat memproduksi 7000-30000 scf/ton gas metana, namun
pada tingkat batubara ini, pori-pori batubara sudah tidak maksimal karena rusak akibat tekanan
dan temperatur sehingga kebanyakan dari gas yang terproduksi akan hilang ke permukaan
ataupun bermigrasi ke tempat lain.[2] Sedangkan pada saat batubara pada tingkatan hvAb hingga
lvb, pori-porinya masih optimal untuk menampung metana yang terproduksi, yang secara rata-
rata berada pada kisaran 100-600 scf/ton. Berikut grafik yang dapat membantu mendeskripsikan
hal tersebut :

Gambar 2: Grafik jumlah metana terakumulasi untuk tiap


batubara vs kedalaman[19]

Setelah CBM terbentuk, sebagian besar gas ini akan lolos menuju permukaan atau lapisan lain,
dan hanya sekitar 5-20% yang tersimpan dalam batubara. Terdapat empat mekanisme
penyimpanan gas dalam batubara yaitu absorpsi, adsorpsi, gas bebas, dan gas larut dalam air.[9]
Absorpsi merupakan masuknya molekul gas ke dalam susunan molekul batubara. Adsorpsi
merupakan menempelnya lapisan molekul gas metana ke permukaan batubara, sehingga jumlah
metana tergantung dari luas daerah adsoprsi. Gas bebas akan menempati pori-pori berukuran
besar dalam batubara. Mekanisme terakhir merupakan larutnya gas dalam air yang menggenangi
lapisan batubara. Dari empat mekanisme tersebut, mekanisme yang memiliki kontribusi paling
besar adalah adsorpsi, yaitu sebesar 98% dari total kandungan metana.[2]

Terdapat beberapa perbedaan antara CBM dan gas alam konvensional. Dari segi asal, CBM
merupakan gas metana yang berasal dari batubara, sedangkan gas alam konvensional berasal dari
lapisan batupasir ataupun batuan berpori lainnya. Dengan demikian, sering kali terjadi bahwa
letak CBM lebih dangkal daripada letak gas alam (Gambar 3), sekalipun CBM kebanyakan
diambil dari lapisan batubara yang tidak dapat dijangkau pertambangan batubara saat ini, yang di
Indonesia berkisar pada kedalaman 1000ft.
Gambar 3: Perbedaan terminologi gas alam[8]

Pada CBM, asal gas dan tempat gas terjebak merupakan batuan yang sama, sedangkan pada gas
alam, gas berasal dari tempat lain dan kemudian bermigrasi menuju reservoir (jebakan) gas
tersebut. Sehingga Dari segi sistem penyimpanan, gas alam tersimpan dalam sistem pori yang
terhubung satu sama lain, dan berada dalam suatu tekanan dan temperatur tertentu. CBM
tersimpan dalam suatu sistem gabungan antara micropores dan cleat seperti terdapat pada
Gambar 4.

Micropores dalam sistem CBM ini merupakan kunci utama tersedianya jumlah gas 3-10 kali
lipat dari batupasir, karena luas area adsorpsi gas menjadi 1000000-1500000 ft2/lb batubara[21]
atau sekitar 16-25 kali luas lapangan sepakbola dalam 1 pound batubara. Alasan terjadinya
adsorpsi pada permukaan batubara adalah karena ukuran dari porinya, yang hanya sebesar
beberapa lapisan molekul saja (5-20 Å) sehingga daya tarik lapisan batubara mampu mengikat
molekul metana yang ada. Sedangkan cleat lebih mirip rekahan yang memiliki prinsip dasar
yang sama dengan pori-pori biasa. Secara umum jumlah gas yang akan teradsorpsi akan semakin
banyak seiring dengan makin besarnya tekanan dalam batubara.
Gambar 4: Idealisasi struktur pori batubara[2]

CBM yang terikat dengan tiga mekanisme yang telah disebutkan diatas akan tersimpan dalam
lapisan batubara selama ada tekanan yang menahannya. Tekanan ini dapat berasal dari tekanan
lapisan tanah diatasnya (tekanan overburden) dan juga berasal dari kolom air yang merendam
lapisan batubara, yaitu tekanan hidrostatik. Air dalam lapisan batubara dapat berasal dari akuifer
terdekat maupun air lain yang terperangkap ketika coalification. Semakin besar tekanannya,
semakin banyak metana yang dapat tersimpan, namun dapat juga berakibat pada semakin
sulitnya metana keluar dari lapisan batubara, karena pori-pori batubara sendiri menyempit akibat
tekanan tersebut.[2] Dengan demikian, diperlukan teknik tersendiri untuk mengambil CBM dari
batubara sebelum dapat digunakan.

Mengangkat CBM ke Permukaan

Setelah diputuskan tempat yang potensial untuk dilakukan pemboran CBM berdasarkan
pertimbangan ahli geologi dan geofisika, maka pemboran sumur CBM dilakukan. Inti dari
pemboran sendiri adalah membuat sambungan berdasarkan perbedaan tekanan antara lapisan
batubara yang mengandung CBM dengan permukaan, sehingga gas dapat mengalir. Pemboran
sumur CBM harus mempertimbangkan kekuatan batubara yang cukup lemah dibandingkan
batuan lain.
Sebelum produksi CBM dapat dilakukan, dewatering harus dilakukan terlebih dahulu (Gambar
5). Dewatering merupakan proses mengurangi ketinggian air dalam lapisan batubara, hingga
ketinggian air ini tidak lebih tinggi dari lapisan batubara terbawah yang ingin diproduksi
(dimungkinkan lebih dari satu lapisan batubara yang ingin diproduksi). Fungsi utama dari
dewatering adalah menginisiasi terjadinya desorbsi dari micropores yang ada, yang terjadi
apabila tekanan akibat ketinggian air berkurang. Proses ini dilakukan dengan menggunakan
pompa tertentu, misalnya pompa angguk, dimana sumur CBM yang dangkal biasanya tidak dapat
mengangkat air secara optimal karena kurangnya tekanan bawah permukaan. Pada Gambar 5
terlihat bahwa dewatering dilakukan dengan pompa, dan air melewati pipa kecil bernama tubing,
sementara CBM akan melewati anulus, yaitu ruang kosong diantara formasi (atau pipa selubung)
dan tubing. Gas secara umum tidak akan masuk melalui tubing, karena terhalang oleh kolom
hidrostatik air setinggi tubing.

Gambar 5: Proses dewatering, open hole completion[9]

Selain proses dewatering, terdapat juga proses yang dinamakan komplesi, yaitu untuk
melengkapi sumur dengan peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan produksi. Problem utama
dalam komplesi CBM adalah permeabilitas (ukuran kemudahan untuk mengalir) batubara yang
sangat kecil, yaitu 0.1-1 md. Selain itu, seringkali terakumulasi kepingan-kepingan kecil
batubara (coal fines) yang dapat menghambat produksi CBM. Untuk mengatasi hambatan
tersebut, secara umum dilakukan dua jenis komplesi dalam produksi CBM. Jenis pertama adalah
open hole completions dan jenis kedua adalah cased hole completions. Masing-masing tipe
komplesi memiliki pertimbangannya sendiri, dan memiliki kekurangan dan kelebihan masing-
masing.

Komplesi open hole memiliki artian komplesi dilakukan tanpa adanya casing (pipa selubung) di
sekitar lapisan batubara yang ingin diproduksi, sehingga gas CBM langsung masuk ke dalam
lubang bor. Secara umum ada tiga keunggulan komplesi jenis ini, yaitu :

1. Tidak ada casing yang ditinggalkan yang dapat menghalangi penambangan batubara
apabila dilakukan setelahnya.

2. Penyemenan casing seperti pada Gambar 5, tidak merusak permukaan lapisan batubara.

3. CBM dapat masuk tanpa halangan apapun.[2]

Sejalan dengan perkembangan, maka juga dilakukan multi-zone open hole completion, yaitu
komplesi open hole yang dilakukan pada beberapa lapisan batubara sekaligus. Meskipun cukup
murah, dan juga memiliki laju alir yang besar, komplesi ini memiliki beberapa kekurangan,
yaitu:

1. Batubara akan memproduksi kepingan kecil-kecil dan terakumulasi sepanjang waktu


tertentu dan apabila tidak dibersihkan akan mengurangi produksi CBM.

2. Hanya dapat dilakukan apabila lapisan-lapisan batubara cukup berdekatan letaknya


(untuk multi zone open hole).

3. Banyaknya lapisan batubara yang terhubung akan menyulitkan apabila lapisan yang lebih
diatas memiliki tekanan yang justru lebih besar daripada di bawah, sehingga akan terjadi
back flow yang merugikan karena dapat mematikan lapisan yang tekanannya lebih kecil,
dan akan mengurangi produksi total dari sumur.

Dalam komplesi open hole juga sering dilakukan cavity completion, yaitu proses meruntuhkan
sebagian lapisan batubara sehingga tercipta gerowong yang memperlancar produksi CBM.
Peruntuhan yang dimaksud adalah peledakan terkontrol, yang dilakukan dengan proses
penurunan tekanan secara tiba-tiba selama jangka waktu tertentu. Berdasarkan pengalaman
perusahaan Amoco di cekungan San Juan yang terletak di Colorado, AS, peningkatan dari 22
MCFD (Metric Cubic Feet per Day)menggunakan open hole completion biasa menjadi 108
MCFD dengan cavity completion, atau sekitar lima kali dari semula. Namun perlu diingat bahwa
teknik ini hanya dapat dilakukan dengan kondisi lapisan batubara yang tebal dan memiliki
kelebihan tekanan dibandingkan keadaan normal.[2]

Komplesi jenis kedua adalah cased hole completions, dimana seluruh lapisan termasuk lapisan
batubara dilapisi dengan casing (Gambar 7). Casing merupakan pipa pelindung yang direkatkan
pada batuan dengan menggunakan semen. Komplesi ini sering dilakukan pada sumur yang
memiliki beberapa lapisan batubara yang ingin diproduksi batubaranya sehingga CBM dari
lapisan-lapisan yang berbeda dapat diproduksi baik bergantian maupun bersamaan sesuai
keinginan. Setelah dicasing dan dilakukan penyemenan, maka dilakukan perforasi untuk
membuka jalur masuk CBM ke lubang sumur. Perforasi merupakan proses menembak casing
hingga berlubang.

Gambar 7: Komplesi cased hole pada sumur gob[16]

Pada komplesi cased hole sering juga dilakukan hydraulic fracturing, yaitu merekahkan lapisan
batuan batubara, dengan tujuan mempermudah CBM untuk mengalir. Prosesnya adalah dengan
penyuntikan fluida perekah dengan tekanan tinggi sehingga batuan rekah, dan selanjutnya
diganjal dengan suatu bahan tertentu (proppant) sehingga rekahan tidak tertutup kembali. Secara
umum, cased hole tidak perlu dilakukan fracturing, hanya perforasi saja, apabila CBM cukup
mudah untuk mengalir. Namun demikian, baik perforasi maupun fracturing dapat menimbulkan
kerusakan bagi lapisan batubara.

Selain dua jenis komplesi diatas, terdapat pula perkembangan lain dalam pengambilan CBM,
misalnya adalah sumur gob dan pemboran horizontal di Gambar 8. Sumur gob adalah
pengambilan gas metana setelah pengambilan CBM menyebabkan pilar batubara runtuh, dan
ruang kosongnya akan diisi oleh metana, dimana biasanya kandungan metannya lebih rendah.[19]
Pemboran horizontal merupakan suatu cara pemboran dimana lapisan batubara ditembus dengan
cara sejajar lapisan tersebut dimana dengan cara ini luas permukaan batubara yang terekspos
oleh lubang sumur akan lebih besar, sehingga CBM pun akan lebih banyak mengalir ke dalam
sumur. Selain pemboran horizontal, juga terdapat ERD (Extended Reach Drilling) dimana
dengan teknologi ini, satu lubang bor akan dapat menguras lebih banyak CBM dari lapisan
batubara yang ditargetkan.

Gambar 8: Fracture, pemboran horizontal, dan sumur gob[20]

Lingkungan yang Lebih Sehat Serta Produksi CBM yang Meningkat


Seperti telah dibahas sebelumnya, metana menempel (teradsorpsi) di permukaan batubara pada
micropores. Demikian halnya dengan molekul gas lain juga memiliki kesempatan untuk
menempel pada permukaan batubara, bahkan ada yang lebih besar kesempatannya, dan ada pula
yang lebih kecil. Perbedaan diantara keduanya adalah diameter molekul, karena gaya yang
bekerja adalah gaya van der Waals. Prinsip ini yang digunakan untuk mengusir metana dari
permukaan batubara, yang akan berimplikasi pada peningkatan jumlah metana yang bisa diambil
dari lapisan batubara. Teknik ini disebut Enhanced Gas Recover (EGR), dan gas yang dipakai
adalah karbondioksida (CO2) dan nitrogen (N2). Kedua gas ini dipilih karena selain harganya
murah, juga inert (tidak merusak lapisan batubara).

Terdapat dua skema yang dapat dipakai dimana masing-masing skema memiliki subskema,
sebagai berikut :

1. Injeksi gas inert dari sumber lain

a. Injeksi karbondioksida

b. Injeksi nitrogen

c. Injeksi campuran nitrogen karbondioksida

2. Injeksi gas inert yang terintegrasi dengan CCS (Carbon Capture and Storage)

Untuk skema pertama, injeksi gas inert dilakukan dari sumber lain, dimana gas-gas ini dapat
dibeli ataupun dengan kerjasama dengan perusahaan tertentu diluar kontraktor yang
mengusahakan lapangan CBM. Semua gas diinjeksikan dengan tekanan tinggi sehingga pada
saat masuk ke dalam tanah berada dalam kondisi cair. Kemudian karbondioksida maupun
nitrogen akan melakukan “pengusiran” terhadap metana, yaitu untuk karbondioksida, ia akan
lebih melekat pada batubara dibandingkan metana dan akan menggantikan posisi metana di
lapisan batubara. Sedangkan untuk nitrogen, ia bertindak untuk menurunkan fraksi tekanan
metana, sehingga metana akan lebih mudah mengalami desorbsi.

Jamshidi dan Jessen[3] menunjukkan bahwa untuk injeksi karbondioksida murni akan
menunjukkan peningkatan perolehan yang semakin besar saat kemudahan mengalir
(permeabilitas) semakin kecil. Sebagai contoh untuk permeabilitas 1md (mili darcy) maka
peningkatan produksi mencapai 275% dari keadaan awal yang mencapai faktor perolehan sekitar
85%, sementara pada saat permeabilitas semakin besar maka peningkatan ini menjadi penurunan,
yaitu faktor perolehan hanya 10%. Injeksi nitrogen murni akan menghasilkan peningkatan
sebesar sekitar 200% dari perolehan awal, dengan tambahan akan memberikan penurunan
produksi air. Untuk injeksi campuran nitrogen-oksigen akan menghasilkan peningkatan faktor
perolehan yang sama dengan injeksi karbondioksida murni, dengan pengurangan produksi air.
Perlu diperhatikan bahwa diperlukan laju injeksi dua kali lebih besar dari laju metana yang
diinginkan untuk kasus karbondioksida, sementara dibutuhkan laju injeksi yang sama dengan
laju produksi metana yang diinginkan untuk nitrogen. Sedangkan injeksi nitrogen akan
breakthrough lebih cepat daripada injeksi karbondioksida.[17] Breakthrough merupakan kejadian
dimana gas yang diinjeksikan ikut terproduksi bersama metana yang diinginkan. Breakthrough
yang diinginkan adalah yang lebih lambat.

Skema kedua adalah sumber gas yang diintegrasikan menjadi satu dengan lapangan CBM. Disini
merupakan letak solusi terhadap masalah lingkungan. Walsh[7] menyarankan agar dalam instalasi
terintegrasi ini, pembangkit listrik tenaga batubara dan CBM, disatukan pula instalasi produksi
bahan bakar hidrogen dan metanol (gambar 9). Selama ini, instalasi-instalasi produksi bahan
bakar hidrogen dan metanol memang memproduksi bahan bakar yang lebih ramah lingkungan,
namun dalam proses produksinya sendiri menghasilkan sangat banyak karbondioksida. Sehingga
dicari suatu cara untuk membatasi karbondioksida yang terlepas, dengan melakukan
penangkapan karbondioksida dari sumber-sumber yang sangat kaya akan elemen tersebut,
misalnya instalasi produksi metanol dan hidrogen. Setelah ditangkap, dalam bentuk cair ia akan
diinjeksikan ke bawah, sehingga prosesnya disebut CCS (Carbon Capture and Storage). Sumber
kaya karbondioksida lain misalnya adalah pembangkit tenaga listrik batubara + CBM. Pada
pembangkit tenaga listrik sengaja dipakai batubara untuk menambah jumlah karbondioksida dari
pembangkit, dan batubara ini kemungkinan besar berasal dari daerah sekitar proyek tersebut.
Diperlukannya sumber kaya karbondioksida ini adalah karena belum adanya teknologi untuk
menangkap karbondiosksida dari udara bebas.
Gambar 9: Skema CCS yang terintegrasi dengan produksi
metanol,hidrogen dan lapangan CBM[7]

Dengan adanya sistem lapangan CBM dan CCS yang terintegrasi ini, maka emisi karbondioksida
maupun emisi metana sebagai gas rumah kaca akan jauh berkurang, dan akan menghasilkan
energi yang lebih banyak lewat pembangkit listrik, hydrogen fuel cell, dan metanol serta
menghasilkan udara yang lebih layak hirup dengan penangkapan 80% karbondioksida buangan
instalasi-instalasi diatas.

CBM di Indonesia : Problematika dan Keekonomian

Proyek CBM di Indonesia telah dimulai sejak tahun 2008. Sejak itu pula, banyak Kontraktor
Kontrak Kerja Sama (KKKS) telah ambil bagian dalam bisnis ini. Berdasarkan data dari ESDM,
untuk tahun 2011, tercatat 5 KKKS yang ditargetkan untuk memulai produksi gasnya (selesai
fasa dewatering), yaitu Selain West Sangatta, kontraktor lainnya adalah (Wilayah Kerja) WK
CBM Sekayu (Medco Energy International), Tanjung Enim (Arrow PTE), Barito Banjar
(Indobarambai) dan Sanga-Sanga (VICO). Masing-masing produksi direncanakan satu
MMSCFD, kecuali Sanga-Sanga yang produksinya 1,5 MMSCFD. Total produksi kelimanya
sekitar 5,5 juta kaki kubik per hari atau listrik yang dihasilkan setara dengan 13,75 megawatt.
Sedangkan untuk realisasi listrik dari CBM yang terdekat adalah dari WK West Sangatta I yang
direncanakan pada Mei 2011 menghasilkan 1 Million Cubic Feet per Day (MMSCFD) yang
diproyeksikan menghasilkan listrik 2.5 MW.[11]

Hingga saat ini, pemerintah telah memiliki 23 WK CBM yang merupakan bagian dari rencana
pemerintah untuk memanfaatkan potensi CBM Indonesia. Pada tahun 2011, rencana WK yang
ditawarkan berjumlah 13 buah sehingga diharapkan 2011 menjadi tahun awal pemenuhan listrik
skala kecil, sedangkan masing-masing pada 2015, 2020 dan 2025 akan diproduksi CBM
sebanyak 500, 1000, 1500 MMSCFD. [11]
Menilik potensi CBM di Indonesia, maka hal ini cukup menarik minat para investor untuk
mengembangkannya. Walaupun demikian, masih terdapat problem yang belum selesai dalam
kegiatan pengusahaan CBM di Indonesia. Untuk lebih menarik minat investor, harus terdapat
kajian lebih mendalam dari aspek teknis maupun ekonomis sehingga investor berani untuk
menanamkan modalnya pada proyek CBM yang belum pasti resikonya, dan juga akan melihat
kondusif tidaknya pasar gas bumi domestik, jangka waktu kontrak, dan harga gas.[1] Sementara
ini, pola kontrak yang dipakai masih memakai Production Sharing Contract (PSC) tradisional
yang dimodifikasi, dimana bagi keuntungan pemerintah-kontraktor adalah 55:45.[10]

Terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara keekonomian gas konvensional dan CBM.
Berikut grafik yang menggambarkan produksi CBM dan air hasil dewatering :

Gambar 9: Produksi air dan gas vs waktu[12]

Dari gambar 9 terlihat karakteristik khusus yang dimiliki sumur CBM, yaitu produksi air yang
sangat banyak pada awal proyek. Air ini berasal dari dewatering yang berfungsi untuk
menurunkan muka air dari lapisan batubara. Sekalipun CBM sudah mulai terproduksi di awal,
produksinya baru mencapai puncak saat air sudah makin sedikit terproduksi, setelah itu mulai
menurun secara alamiah. Puncak produksi dari CBM kebanyakan hanya berkisar pada ratusan
MCFD. Disinilah terdapat permasalahan, dimana produksi gas yang sangat kecil pada awal,
maka investor kesulitan untuk mendapatkan modalnya kembali dalam waktu yang cepat.
Berbeda dengan gas alam, yang pada saat awal dimana tekanan reservoir masih sangat besar,
produksi gas akan sangat besar, sehingga dalam waktu singkat investor kembali mendapatkan
modalnya. Karakteristik ini merupakan karakteristik khusus CBM.

Karakteristik CBM (alami, tanpa ERG) Gas Alam


Produksi Awal Kebanyakan air Gas
Puncak laju produksi Berada di tengah-tengah proyek Berada di awal proyek
setelah dewatering selesai (1-3
tahun)

Jumlah Sumur Rata- 5-10 1


rata*

Biaya per Sumur 0.5 juta US$ 2.5-5 juta US$


Faktor Perolehan 45-60% 60-70%
Bagi hasil (Pemerintah : 55 : 45 70 :30
Kontraktor)
Biaya Tambahan Fracturing Kompresor
Cavity completion Scrubber
Kompresor
Fasilitas pengolahan air
Pompa (dewatering)
* Jumlah sumur CBM yang dibutuhkan untuk menyamai produksi 1 sumur gas alam

Tabel 3: Perbandingan beberapa faktor keekonomian CBM dan


gas alam

Tabel 9 meringkas perbandingan CBM dengan gas alam dari faktor keekonomiannya. Dari tabel
terlihat bahwa CBM memiliki beberapa perbedaan karakteristik dengan gas alam. Produksi air
merupakan perbedaan karakteristik yang cukup mencolok dibanding gas alam, dimana pada saat
awal produksi air dapat berkisar 170-700 barel per hari[1], namun dapat menurun hingga hanya 10
barel per hari saat gas sudah banyak terproduksi. Kuantitas air yang besar ini memerlukan
penanganan lebih dengan fasilitas khusus karena secara alami mengandung ion klorida,
bikarbonat, mangan, maupun besi dalam jumlah besar. Terdapat beberapa opsi untuk menangani
hal ini, yaitu : (1) diinjeksikan kembali; (2) digunakan langsung; (3) digunakan dengan
pemrosesan terlebih dulu; (4) dibuang ke badan air; (5) diuapkan di permukaan. Pemilihan
proses ini sangat tergantung oleh baku mutu lingkungan, pertimbangan ekonomi, lapisan batuan
yang cocok untuk injeksi kembali, iklim, dan komposisi kimia dari air itu sendiri.[2] Saat ini di
Indonesia belum ada baku mutu khusus untuk air buangan lapangan CBM, sehingga hal ini
sering mempersulit turunnya izin melakukan produksi. Untuk karakteristik keekonomiannya,
biaya operasi pengolahan air akan menurun dengan sendirinya ketika produksi air menurun.

Untuk jumlah sumur dan biaya sumur, diasumsikan untuk suatu jumlah tertentu produksi gas
alam, dibutuhkan 5-10 sumur CBM untuk memproduksi gas dalam jumlah yang sama. Hal ini
karena memang faktor alami tekanan sumur CBM yang rendah (500-1000 psi) dibanding sumur
gas alam (1000-3000 psi), sehingga sumur gas akan berproduksi lebih banyak. Namun, karena
sumur CBM rata-rata lebih dangkal, biaya per sumurnya pun lebih rendah. Tergantung dari
produksi per sumur CBM, maka untuk memproduksi gas dengan jumlah yang sama, biaya
totalnya bisa 2 kali lebih mahal[1], namun juga bisa lebih murah. Perlu diingat untuk jumlah
sumur, perbanyakan jumlah sumur yang berdekatan di lapangan CBM tidak akan mengganggu
produksi (fenomena yang terjadi di sumur minyak dan gas) namun dapat lebih mempercepat
proses dewatering. Gambar 10 dan Gambar 11 dapat lebih memperjelas perbedaan antara proyek
gas konvensional dan CBM.

Gambar 10: Perbandingan CBM vs gas alam dari segi jumlah


sumur, pembiayaan, dan produksi[5]
Gambar 11: Perbandingan CBM vs gas alam dari segi
ketidakpastian volume sumberdaya[5]

Dari gambar 10 cukup terlihat perbedaan antara gas konvensional dan CBM, misalkan pada
jumlah sumur, seperti yang telah ditabulasikan pada Tabel 3. Jumlah sumur CBM akan makin
banyak seiring waktu untuk memperthankan laju produksi yang diinginkan. Namun, umur
proyek CBM lebih panjang karena lajunya yang kecil dibandingkan gas konvensional. Hal ini
sebenranya juga tergantung pada GIP (Gas In Place) atau cadangan awal dari CBM itu sendiri.
Untuk biaya (expenditure), kebanyakan sumur gas konvensional lebih mahal di awal proyek
karena sumur yang lebih dalam dan peralatan lain, namun akan segera berkurang sejalan dengan
perkembangan proyek. Sementara untuk CBM, justru bertambah seiring makin banyaknya sumur
yang harus dibuat, sekalipun lebih murah di awal proyek. Sedangkan pada gambar 11
karakteristik paling mencolok adalah selisih ketidakpastian antara skenario high estimate dan
low estimate yang lebih besar pada awal proyek CBM. Hal ini disebabkan oleh belum jelasnya
informasi teknis tentang kelakuan CBM pada awal proyek, misalnya model aliran dua fasa (air
dan gas) pada lapisan batubara. Sejalan dengan makin banyaknya informasi, maka ketidakpastian
akan semakin kecil.[5]

Terdapat lima tahapan penting[1] yang seyogyanya dilakukan dalam pengembangan lapangan
CBM, tahapan tersebut adalah berikut :
a) Identifikasi prospek CBM, menghasilkan potensi CBM.

b) Eksplorasi, untuk menemukan cadangan CBM. Digunakan untuk mengambil data


geologi, komposisi gas. Pemboran eksplorasi biasanya menggunakan 3-4 sumur
pemboran dengan analisa datanya adalah 750 ribu hingga 1 juta US$.

c) Pemboran pilot, sering disebut micro pilot. Digunakan untuk mengetahui kemampuan
produksi gas dari lapisan batubara. Biaya untuk 4-5 sumur dengan analisanya adalah 2-
2.5 juta US$.

d) Tes produksi. Merupakan langkah terakhir sebelum produksi skala besar, mengetahui
profil produksi air dan gas. Biaya untuk 10-25 sumur termasuk fasilitas pendukung
adalah 5-10 juta US$.

e) Pengembangan komersial.

Untuk evaluasi skenario keekonomian proyek CBM di Indonesia, terdapat beberapa pilihan yang
bisa dipakai, dimana masih mengacu pada PSC yang sekarang dengan modifikasi perbandingan
bagi hasil pemerintah-kontraktor adalah 55:45. Hal ini dilakukan karena pada bagi hasil
pemerintah kontraktor 70:30—sementara terdapat biaya tambahan sumur yang lebih banyak dan
fasilitas pengolahan—kontraktor mengalami penundaan waktu pengembalian modal awal,
karena Internal Rate of Return (IRR) yang lebih rendah dibanding proyek gas alam dengan bagi
hasil tersebut. Sebagai perbandingan, IRR proyek gas alam dengan perbandingan 70:30 adalah
20% sedangkan IRR CBM dengan perbandingan yang sama adalah 14%. Terdapat juga faktor
harga gas yang dipatok terlalu rendah dalam pasar domestik, sehingga menyebabkan investor
tidak mau menjual gasnya ke pasar domestik. Rangkuman skenario[1] yang memberikan IRR
20% (IRR yang sesuai dengan IRR gas alam pada perbandingan 70:30) pada proyek CBM
adalah:

a) Harga gas US$ 4.5/MCF, royalti 5%, perbandingan bagi hasil 70:30

b) Harga gas US$ 4/MCF, royalti 5%, perbandingan bagi hasil 55:45

c) Harga gas US$ 4.7/MCF, royalti 10%, perbandingan bagi hasil 70:30

d) Harga gas US$ 4.2/MCF, royalti 10%, perbandingan bagi hasil 55:45
Untuk harga gas saat ini US$ 3.5/MCF, hal ini jelas tidak akan menarik investor pada proyek
CBM karena lebih merugikan dari pengembangan gas alam, apalagi apabila diperparah oleh bagi
hasil 70 :30 dengan royalti 10%. Partowidagdo[1] menyarankan, seyogyanya royalti dibuat
fleksibel sesuai harga jual gas, sehingga contohnya apabila diterapkan bagi hasil 55:45 dengan
harga gas US$ 3.5 /MCF, royaltinya 0%, sementara untuk harga gas US$ 4/MCF diberlakukan
royalti 10%. Selain itu, Indonesia seyogyanya menerapkan harga yang lebih tinggi pada gas,
minimal US$ 4/MCF atau US$ 5 MCF, karena pada harga yang disebutkan terakhir, setara
dengan US$ 30/ barel minyak, jauh dengan harga minyak saat ini yang diatas US$ 100/barel.
Dengan demikian, investor akan lebih tertarik untuk mengembangkan CBM di Indonesia,
termasuk mendayagunakan jalur pipa yang telah ada, misalnya jalur pipa Sumsel-Jabar dan
Kalsel-Jateng.

Hambatan lain dalam pengembangan CBM di Indonesia adalah masih tingginya subsidi Bahan
Bakar Minyak (BBM) di Indonesia. Sebagai sumber energi yang masih dipandang sebagai
sumber energi alternatif, tentu saja CBM dan EBT lainnya akan kesulitan untuk menembus pasar
domestik, ditambah paradigma masyarakat yang menganggap bahwa energi itu murah. Mengutip
pernyataan Prof. Rudi Rubiandini bahwa masyarakat tidak akan dapat menghemat energi, yang
bisa dihemat adalah uang. Implikasi dari pernyataan ini adalah bahwa selama masyarakay masih
menganggap energi mudah didapat, maka tidak akan pernah terjadi konservasi energi.
Masyarakat akan terus menerus memakai energi tanpa adanya budaya hemat energi. Budaya
hemat energi ini tidak akan timbul hanya dengan sosialisasi Earth Hour, Bike to Work dan lain
sebagainya. Budaya ini akan timbul apabila harga energi mulai dianggap mahal oleh masyarakat.
Memang, tidak dapat dipungkiri hal ini akan menimbulkan inflasi pada perekonomian kita,
dimana akan lebih terasa oleh masyrakat kalangan menengah bawah. Namun demikian apabila
sebagian dana subsidi tersebut dipakai untuk pengembangan hal-hal lain yang lebih bermanfaat,
lama kelamaan masyarakat akan terbiasa, contohnya adalah kebijakan pemakaian tabung gas 3kg
untuk menggantikan minyak tanah.

Salah satu alokasi pengalihan dana ini terutama dari bidang migas dinamakan Depletion
Premium (DP). Apabila dijelaskan dengan singkat, DP adalah suatu dana yang berasal dari
pendapatan sektor energi tak terbarukan dimana dana ini harus dialokasikan untuk menemukan
dan meneliti pengganti dari energi yang akan habis tersebut.[6] Dana ini merupakan insentif yang
diperlukan oleh kalangan pelaku pengembangan dan pengusahaan EBT, misalnya kontraktor
yang berminat dalam CBM, maupun badan-badan usaha lain yang mengusahakan mikrohidro
maupun biofuel. Dengan adanya DP, maka pengembangan EBT diharapkan lebih cepat karena
ketiadaan insentif merupakan salah satu akar permasalahan EBT di Indonesia.

Apabila kita kembali pada falsafah PSC yang dikembangkan oleh Presiden Soekarno setelah
melihat buruh di ladang yang dimiliki oleh seorang pemilik lahan, sistem ini adalah sistem
belajar dari kontraktor asing. Pemilik lahan adalah Indonesia, sedangkan buruhnya adalah
kontraktor asing. Pada saat PSC dikembangkan, Indonesia belum memiliki teknologi dan
pemikiran yang diperlukan untuk mengangkat migas dari dalam buminya sendiri, sehingga pada
saat itu banyak kontraktor diundang, dan dengan sistem dimana kontraktor harus melaporkan
setiap kegiatannya pada pemerintah, maka kita juga melakukan transfer ilmu dan teknologi.
Namun tentu saja tidak selamanya seorang murid belajar, dan tidak selamanya Indonesia
membutuhkan transfer teknologi tersebut. Faktanya pada saat ini posisi engineer muda di
sebagian besar kontraktor asing telah diisi oleh anak bangsa, sehingga transfer ilmu seharusnya
sudah terjadi. Umur PSC juga sudah sangat cukup sebagai sistem pembelajaran yang terjadi
selama 30-40 tahun.

Saat ini problem utamanya terjadi pada teknologi dan modal. Pemecahan dari masalah ini sangat
jelas. Perusahaan dalam negeri belum mampu untuk membuat peralatan-peralatan dasar dalam
eksplorasi dan ekploitasi migas, sebut saja casing yang selalu buatan luar negeri. Pemerintah
sebagai pihak yang memiliki otoritas harus melakukan langkah-langkah untuk mengkondusifkan
pasar dalam negeri agar perusahaan lebih tertarik untuk memproduksi peralatan-peralatan
tersebut. Langkah nyata yang dapat dilakukan misalnya adalah menambah pajak masuk bagi
barang-barang eksplorasi migas luar negeri, dan mengurangi pajak bagi peralatan produksi dalam
negeri. Dengan sistem ini diharapkan kemandirian teknologi dapat terjadi. Sedangkan untuk
modal, kenyataannya di Indonesia banyak terdapat dana dengan jumlah besar yang mengendap
di bank-bank dimana dana ini tidak liquid.[1] Persoalan yang sering terjadi adalah lembaga
keuangan seringkali tidak ingin mencairkan dana tersebut apabila resiko besar dan tidak
diketahui, yang justru merupakan karakteristik dunia energi khususnya migas. Hal ini dapat
diatasi dengan melakukan konsorsium untuk pembiayaan dana tersebut dimana pinjaman
terhadap kegiatan migas ditanggung bersama oleh beberapa lembaga. Selain itu, ketidakpastian
resiko ini dapat ditanggulangi dengan menggunakan DP dari migas, untuk melakukan pencarian
data geologi dan geofisik dengan kualitas yang lebih baik, sehingga badan keuangan lebih
mengetahui resiko yang ada. Langkah ini harus diimbangi dengan duduk bersamanya seluruh
stakeholder yang ada, sehingga permasalahan modal dapat diatasi.

CBM yang saat ini juga memakai PSC dapat memakai solusi yang mirip dengan yang telah
dipaparkan diatas. Namun perlu diketahui bahwa resiko awal CBM lebih besar dari proyek migas
konvensional. Meskipun pada saat ini beberapa diantara WKP yang telah ada menggunakan
bantuan kontraktor asing, sedapat mungkin dimasa yang akan datang Indonesia mampu untuk
mengeksplorasi cadangan CBM yang dimilikinya sendiri. Pelaku pengusahaannya telah jelas,
yaitu mendayagunakan perusahaan nasional seperti PHE (Pertamina Hulu Energy), juga Medco
E&P dan perusahaan dalam negeri lainnya. Skema bagi hasil yang mendatangkan IRR besar bagi
kontraktor dalam proyek CBM memang dapat menjaring investor asing, namun hal ini tidak
dapat berlangsung terus menerus, karena dapat membuat negara kita menjadi tergantung oleh
asing seperti pada migas saat ini. Kerjasama dalam ilmu dan teknologi memang akan diperlukan
kedepannya baik dalam ekplorasi maupun ekploitasi CBM sebagai sumber energi yang baru,
namun prinsip yang perlu diingat adalah dalam tiap kerjasama tersebut Indonesia tidak boleh
sebagai posisi yang lebih rendah, harus benar-benar setara. Alih ilmu dan teknologi harus
menghasilkan sumber daya manusia dan korporasi nasional yang siap untuk mandiri tanpa
bantuan luar lagi. Dengan demikian, CBM akan segera didayagunakan dengan teknologi, ilmu,
dan modal dalam negeri demi kemandirian energi Indonesia.

Kesimpulan

CBM merupakan salah satu jenis EBT yang berasal dari sisa proses pembentukan batubara di
bawah permukaan, sehingga gas ini adalah 88-98% metana yang terperangkap dalam pori
batubara dengan sistem adsorbsi. Produksinya dilakukan dengan pertama kali dewatering agar
gas bisa terdesorbsi dan terproduksi ke permukaan. Sebelum dapat diproduksi, sumur harus
dikomplesi dengan pertimbangan yang tepat. Karakteristik produksinya yang kecil menyebabkan
dilakukan injeksi karbondioksida maupun nitrogen dengan pilihan integrasi dengan sistem
pembangkit listrik dan metanol-hydrogen fuel cell dan akan berimplikasi pada berkurangnya
emisi karbondioksida dan bertambahnya produksi metana. Dari sisi keekonomian, perbedaan
karakteristik bisnis CBM dan gas konvensional menyebabkan digunakannya bagi hasil yang
berbeda dari PSC gas, yaitu 55:45. Namun demikian, harga domestik dan royalti seharusnya juga
dibuat lebih fleksibel untuk menarik investor. PSC sendiri merupakan sistem belajar sehingga
alih teknologi dan ilmu seharusnya sudah terjadi, sementara modal dapat menggunakan dana
dalam negeri, dengan opsi konsorsium. Kerjasama teknologi seharusnya dilakukan dengan tidak
mengubah posisi Indonesia sebagai pemilik sumber daya. Sehingga pada akhirnya Indonesia
akan mencapai kemandirian pengusahaan energi pada sektor CBM dengan menggunakan modal,
ilmu, teknologi, dan sumber daya dalam negeri.

Pustaka

1. Partowidagdo, Widjajono, Migas dan Energi di Indonesia : Permasalahan dan Analisis Kebijakan,
Development Studies Foundation, 2009

2. Rogers, Rudy E., Coalbed Methane: Principles and Practice, Prentice Hall Petroleum Engineering Series,
1994

3. Jamshidi, M. dan Jessen, K., Impact of Reservoir Characteristics on Water Production in Enhanced
Coalbed Methane Operations, Paper SPE No. 132521, SPE, 2010

4. Partowidagdo, W., Dicky E. Hindarto, Asclepias Rachmi S.I., dan Arsegianto, Agenda 21 Sektor Energi:
Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia Melalui Pembangunan Sektor Energi yang
Berkelanjutan, Jakarta, 2000

5. Atkins, Bruce, Coal Bed Methane-From Resource to Reserves, Issue No. 34, Gaffney,Cline & Associates,
2003

6. Wijaya, Agus Rendi, Kajian Penerapan Depletion Premium Dalam Analisis Keekonomian Proyek Minyak
dan Gas Bumi

7. Walsh, John H., The Linkage of Coal Bed Methane Production to Energy Conversion Technologies
Equipped for Capture of Carbon Dioxide, http://pages.ca.inter.net/

8. Dongeng Geologi : Sumberdaya Gas Alam – 2 : CBM,


http://rovicky.wordpress.com/2010/07/27/sumberdaya-gas-alam-2-cbm/

9. De Bruin, Rodney H., Robert M. Lyman, Richard W. Jones, dan Lance W. Cook, Coalbed Methane in
Wyoming, Black Diamond Energy, Inc.

10. Dira, Bisnis CBM Indonesia: All About CBM Business in Indonesia, http://cbm-indonesia.blogspot.com/,
2009

11. Listrik Dari CBM, Kuartal II 2011 Ditargetkan Capai 2,5 MW, http://www.reffburn.org/energy/, 2011

12. Lubis, Ibrahim, Potensi Coal Bed Methane (CBM) Sebagai Energi Alternatif di Indonesia,
http://ibrahimlubis.wordpress.com/, 2009

13. Coal Bed Methane, Energy Justice Network, http://www.energyjustice.net/naturalgas


14. Blueprint Pengelolaan Energi Nasional, Sekretariat Panitia Teknis Sumber Energi, 2006

15. Ringkasan Ekseskutif Pertemuan Tahunan Pengelolaan Energi Nasional, 2008

16. Schwoebel, Jeff, “Applications of Current CBM Technology for Enhanced CMM Drainage”,
dipresentasikan pada 26-27 September 2006 , Colorado, AS

17. Coal Bed Methane Development in The Midcontinent Area, Petroleum Technology Transfer Council, 1999

18. Ertekin, T, “Coalbed Methane as Unconventional Gas ” dipresentasikan pada September 2006, Bandung,
Indonesia

19. Ertekin, T, “Coal Seam as A Natural Gas Reservoir”, dipresentasikan pada September 2006, Bandung,
Indonesia

20. Ertekin, T, “Field Operations in Coalbed Methane Reservoir”, dipresentasikan pada September 2006,
Bandung, Indonesia

21. Ertekin, T, “Reservoir Engineering of Coalbed Methane Reservoirs”, dipresentasikan pada September
2006, Bandung, Indonesia

22. Farizi, Safrian A., Mahasiswa dan Energi Baru Terbarukan Sebagai Solusi Permasalahan Energi di
Indonesia, essay tata kelola energi KENMI, 2011

Anda mungkin juga menyukai