Anda di halaman 1dari 12

Tugas Hukum ketenagakerjaan

Tugas ini di buat untuk memenuhi mata kuliah ketenagakerjaan

Dosen : H.Haneda Sri Lastoto, S.H.

Nama : Dadang Solihin Natamihardja

Kelas : C

NPM : 091000098

UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG

FAKULTAS HUKUM

2010/2011
A. PENGERTIAN HUKUM KETENAGAKERJAAN

Menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan,


yang dimaksud dengan ketenagakerjaan itu sendiri adalah segala hal yang
berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah
masa kerja. Jadi hukum ketenagakerjaan dapat diartikan sebagai peraturan-peraturan
yang mengatur tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan
sesudah masa kerja.

B. FUNSI HUKUM KETENAGAKERJAAN

Menurut Profesor Mochtar kusumaatmadja, fungsi hukum itu adalah sebagai


sarana pembaharuan masyarakat. Dalam rangka pembangunan, yang dimaksud
dengan sara pembaharuan itu adalah sebagai penyalur arah kegiatan manusia kearah
yang diharapkan oleh pembangunan.

Sebagaimana halnya dengan hukum yang lain, hukum ketenagakerjaan


mempunyai fungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat yang menyalurkan arah
kegiatan manusia kearah yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh
pembangunan ketenagakerjaan.
Pembangunan ketenagakerjaan sebagai salah satu upaya dalam mewujudkan
pembangunan nasional diarahkan untuk mengatur, membina dan mengawasi segala
kegiatan yang berhubungan dengan tenaga kerja sehingga dapat terpelihara adanya
ketertiban untuk mencapai keadilan. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan yang
dilakukan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di bidang
ketenagakerjaan itu harus memadai dan sesuai dengan laju perkembangan
pembangunan yang semakin pesat sehingga dapat mengantisipasi tuntutan
perencanaan tenaga kerja, pembinaan hubungan industrial dan peningkatan
perlindungan tenaga kerja.

Sebagaimana menurut fungsinya sebagai sarana pembaharuan, hukum


ketenagakerjaan merubah pula cara berfikir masyarakat yang kuno kearah cara
berfikir yang modern yang sesuai dengan yang dikehendaki oleh pembangunan
sehingga hukum ketenagakerjaan dapat berfungsi sebagai sarana yang dapat
membebaskan tenaga kerja dari perbudakan, peruluran, perhambaan, kerja paksa dan
punale sanksi, membebaskan tenaga kerja dari kehilangan pekerjaan, memberikan
kedudukan hukum yang seimbang dan kedudukan ekonomis yang layak kepada
tenaga kerja.

Jadi, hukum ketenagakerjaan sangat penting untuk diterapkan pada industri yang ada saat ini.
Jika diterapkan dengan benar maka tidak akan ada permasalahan yang berkepanjangan antara
hak dan kewajiban perusahaan dan tuntutan tenaga kerja. Praktek-praktek mafia kasus, mafia
peradilan dan monopoli hukum harus ditiadakan, agar para pekerja di industri indonesia tidak
selalu dirugikan oleh peraturan hukum yang tidak diterapkan secara benar dan adil.

C. POSISI PENGUSAHA DALAM PERUSAHAAN

Dalam sistem ekonomi kapitalis, pengusaha dan buruh menempati kedudukan yang pokok
(fundamental). Keduanya berada dalam hubungan produksi yang khas. Menyebut sistem
kapitalis, yang dimaksudkan bukanlah tujuan dan kepentingan orang seorang pengusaha,
melainkan keseluruhan pengusaha. Sistem berarti bangunan, kekuatan dan fungsinya secara
keseluruhan.

Dalam hubungan produksi (kerja), dengan membanting tulang atau bekerja seharian penuh
pun, buruh sama sekali tidak mendapatkan apa-apa, kecuali penat, lelah dan capek. Seluruh
hasil produksi, sepenuhnya (absolut) menjadi milik pengusaha. Tak satu pun menjadi milik
buruh dari produk yang sudah diciptakannya.

Dalam hubungan pasar (pertukaran), buruh mendapatkan upah. Artinya, buruh menukarkan
tenaga kerjanya dengan sejumlah uang: upah atau gaji. Pengusaha membayar upah setelah
mendapatkan tenaga kerja yang digunakan dalam kegiatan kerja. Dengan begitu, tenaga kerja
telah diubah hanya sekadar komoditas, persis seperti pakaian yang diproduksi buruh-buruh
pakaian jadi.

Pengusaha memiliki alat-alat produksi. Untuk menjalankannya, pengusaha butuh tenaga kerja,
karena ia tak bisa bekerja sendiri atau hanya sekeluarganya saja. Sedangkan buruh butuh
uang (upah) untuk membeli komoditas lain bagi kebutuhan hidupnya, dengan cara menjual
tenaganya untuk bekerja pada pengusaha. Hubungan keduanya jelas saling membutuhkan.

Sebaliknya, dalam hubungan produksi, buruh tak mendapatkan apa-apa. Buruh bekerja dengan
mengeluarkan segenap tenaganya, tapi seluruh hasilnya justru dimiliki pengusaha. Buruh
menghendaki upah atau gaji yang layak, tapi pengusaha justru menekan upah serendah
mungkin demi untung sebanyak mungkin.

Dengan begitu, jelaslah terlihat bahwa hubungan keduanya justru saling bertentangan atau
berlawanan. Karena, kepentingan antara pengusaha dan buruh memang tidak sejalan dan
karena itu saling berlawanan.
Setidaknya prasangka buruk akibat buruknya hubungan antara pengusaha dan pekerja
dapat dihindari apabila para pihak memahami posisi dan tanggung jawabnya masing-
masing. Oleh sebab itu, masalah manajemen hubungan industrial dalam sebuah
perusahaan menjadi sangatlah penting.

Hubungan industrial atau disebut juga dengan industrial relation adalah hubungan yang
terjadi antara semua pihak yang tersangkut atau berkepentingan atas proses produksi
barang atau jasa di suatu perusahaan. Pihak-pihak tersebut antara lain adalah pihak yang
langsung terkait dengan proses produksi atau pohak yang paling berkepentingan yakni
antara pengusaha dengan pekerja. Selain itu ada masyararakat yang secara tidak langsung
memiliki kepentingan dengan dunia usaha baik sebagai pemasok faktor produksi yaitu
berupa barang dan jasa untuk kebutuhan perusahaan, atau sebagai konsumen atau
pengguna hasil-hasil perusahaan tersebut. Pihak ketiga adalah pemerintah yang
berkepentingan atas pertumbuhan perekonomian secara umum dan dunia usaha
khususnya. Kepetingan pemerintah ini antara lain adalah perusahaan sebagai salah satu
sumber penerimaan pajak. Jadi hubungan industrial secara luas dipahami sebagai
hubungan antara semua pihak yang berkepentingan tersebut. Namun secara sempit
hubungan industrial diartikan sebagai hubungan antara pengusaha dengan pekerja
management-employees relationship.

Hubungan tersebut harus dipelihara dan dikembangkan dalam rangka menjamin


kepentingan semua pihak yang terkait. Tujuan pemeliharaan dan pengembangan
hubungan tersebut adalah untuk memberikan pembinaan guna menciptakan hubungan
yang nyaman, aman dan harmonis antara pihak-pihak tersebut sehingga dapat
meningkatkan produktifitas usaha. Dengan kata lain manajemen hubungan industrial
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan sekaligus adalah seni pengembangan dari
manajemen sumber daya manusia.

Menejemen hubungan industrial sebagai salah satu bagian dari menejemen sumber daya
manusia harus dipahami sebagai hubungan antar manusia (inter personal) terutama antara
pengusaha atau pimpinan sebagai pihak yang memiliki perusahaan dengan pekerja
sebagai pihak yang menjalankan operasional perusahaan. Oleh karena manajemen
hubungan industrial merupakan menejemen antar orang yang terkait dengan jalannya
perusahaan maka sangat rentan terjadi perselisihan antar pihak dalam menjalankan roda
perusahaan tersebut. Dengan demikian salah satu wujud menejemen hubungan industrial
di setiap perusahaan adalah merumuskan peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama yang memuat hak dan kewajiban pekerja serta kewenangan dan kewajiban
pengusaha. Yangmana hal tersebut diharapkan dapat menjadi rujukan yang obyektif
ketika terjadi perselisihan antar pihak.

Hak pekerja merupakan tanggungjawab perusahaan dan kewajiban pekerja didasarkan


pada kewenangan perusahaan untuk mengaturnya. Demikian pula hak perusahaan adalah
kewajiban pekerja untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan penugasan pimpinan
perusahaan menurut disiplin kerja dan waktu kerja yang diaturnya, sedangkan kewajiban
perusahaan adalah hak pekerja untuk memperoleh upah, tunjangan dan jaminan social
lainnya, beristirahat, cuti memperjuangkan haknya secara langsung maupun tidak
langsung melalui serikat pekerja.

Untuk memberikan jaminan terlaksananya hak dan kewajiban tersebutu, maka ditetapkan
berbagai bentuk peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan baik dalam
bantuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden maupu keputusan
menteri.

Perusahaan Sebagai Kepentingan Bersama

Terjadi kekeliruan persepsi bahwa perusahaan hanyalah kepentingan bagi pengusaha atau
pemiliki perusahaan semata, masyarakat mengganggap tidak merasa memiliki
kepentingan terhadap perusahaan. Sebenarnya banyak pihak memiliki kepentingan
terhadap perusahaan, termasuk tenaga kerja, masyarakat maupun pemerintah.

Pengusaha memiliki banyak kepentingan dalam perusahaan antara lain (i) menjaga atau
mengamankan asetnya, (ii) mengembangkan modal atau asetnya supaya memberikan
nilai tambah yang tinggi, (iii) meningkatkan penghasilannya, (iv) dapat meningkatkan
kesejahteraan pekerja dan keluarganya, dan (v) bukti aktualisasi diri sebagai pengusaha
yang berhasil

Demikian pula pekerja juga memiliki kepentingan terhadap perusahaan yang tidak kalah
banyaknya, antara lain : (i) sebagai sumber kesempatan kerja, (ii) sebagai sumber
penghasilan, (iii) sebagai sarana melatih diri, memperkaya pengalaman kerja serta
meningkatkan keahlian dan keterampilan, (iv) tempat mengembangkan karir dan (v)
tempat mengaktualisasikan keberhasilan

Sedangkan kepentingan masyarakat dan pemerintah dalam perusahaan antara lain : (i)
bahwa perusahaan merupakan sumber kesempatan kerja yang akan mengurangi
banyaknya pengangguran yang jumlahnya semakin banyak di Indonesia, (ii) perusahaan
merupakan sumber pertumbuhan ekonomi, kemakmuran serta ketahanan nasional, (iii)
perusahaan merupakan sumber devisa, (iv) perusahaan merupakan sumber utama
pendapatan Negara melalui system pajak, (v) dan masih banyak lagi manfaat atau
kepentingan pemerintah/masyarakat dalam perusahaan.

Enam Prinsip Hubungan Industrial

Mengingat sedemikian banyak kepentingan dari berbagai pihak terhadap perusahaan,


maka sangat penting untuk menjamin keberlangsungan usaha yang didukung oleh adanya
hubungan industrial yang baik, terutama antara pengusaha dengan pekerja.

Di atas segalanya, haruslah dibangun kesadaran bahwa hubungan industrial harus


didasarkan atas kepentingan bersama, kepentingan semua unsure atas keberhasilan dan
keberlangsungan perusahaan. Berikut ini adalah enam prinsip hubungan industrial:
Pertama, pengusaha dan pekerja, demikian pula pemerintah dan masyarakat pada
umumnya, sama-sama memiliki kepentingan atas keberhasilan dan keberlangsungan
perusahaan. Oleh sebab itu pengusaha dan pekerja harus mampu untuk melakukan
tanggung jawabnya secara maksimal dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sehari-
hari. Pekerja atau serikat pekerja harus dapat membuang jauh-jauh kesan bahwa
perusahaan hanya untuk kepentingan pengusaha. Demikian pula pengusaha harus
menempatkan pekerja sebagai partner dan harus membuang jauh-jauh kesan
memberlakukan pekerja hanya sebagai faktor produksi.

Kedua, perusahaan merupakan sumber penghasilan bagi banyak orang. Semakin banyak
perusahaan yang membuka usaha baru, maka semakin banyak pula kesempatan lapangan
kerja yang akan memberikan penghasilan bagi banyak pekerja. Semakin banyak
perusahaan yang berhasil meningkatkan produktifitasnya, maka semakin banyak pula
pekerja yang meningkat penghasilannya. Dengan demikian pendapatan nasional akan
meningkat dan kesejahteraan masyarakat akan meningkat pula.

Ketiga, pengusaha dan pekerja mempunyai hubungan fungsional dan masing-masing


mempunyai fungsi dan tugas yang berbeda dengan pembagian kerja dan tugas. Pengusaha
memiliki tugas dan fungsi sebagai penggerak, membina dan mengawasi, pekerja
memiliki tugas dan fungsi melakukan pekerjaan operasional. Pengusaha tidak melakukan
eksploitasi atas pekerja dan sebaliknya pekerja juga bekerja sesuai dengan waktu tertentu
dengan cukup waktu istirahat dan sesuai dengan beban kerja yang wajar bagi
kemanusiaan. Dalam hal ini pekerja tidak mengabdi kapada pengusaha akan tetapi pada
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab.

Keempat, pengusaha dan pekerja merupakan anggota keluarga perusahaan. Sebagaimana


pola hubungan sebuah keluarga, maka hubungan antara pengusaha dengan pekerja harus
dilandasi sikap saling mengasihi, saling membantu dan saling mengerti. Pengusaha harus
berusaha sejauh mungkin mengetahui kesulitan-kesulitan dan keadaan yang dihadapi oleh
pekerja, serta berusaha semaksimal mungkin untuk dapat membantu dan menjadi solusi
bagi kesulitannya. Bukan hanya menuntut pekerja memberikan yang terbaik bagi
perusahaan tanpa mau tahu segala keadaan dan kondisi yang dihadapi oleh pekerja.
Sebaliknya, pekerja harus juga memahami keterbatasan pengusaha. Apabila muncul
permasalahan atau perselisihan antara pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja
hendaknya diselesaikan secara kekeluargaan dan semaksimal mungkin harus dihindari
penyelesaian secara bermusuhan.

Kelima, perlu dipahami pula bahwa tujuan dari pembinaan hubungan industrial adalah
menciptakan ketenangan berusaha dan ketentraman dalam bekerja supaya dengan
demikian dapat meningkatkan produktivitas perusahaan. Untuk itu masing-masing pihak,
perusahaan dan pekerja harus mampu menjadi mitra social yang harmomis, masing-
masing harus mampu menjaga diri untuk tidak menjadi sumber masalah dan
perselisihan.seandainya pun terjadi perbedaan pendapat, perbedaan persepsi dan
perbedaan kepentingan, haruslah diselesaikan secara musyawarah mufakat, secara
kekeluargaan tanpa mengganggu proses produksi. Karena setiap gangguan pada proses
produksi akhirnya akan merugikan bukan hanya bagi pengusaha, namun juga bagi
pekerjan itu sendiri maupun masyarakat pada umumnya.

Keenam, peningkatan produktivitas perusahaan haruslah mampu meningkatkan


kesejahteraan bersama, yakni kesejahteraan pengusaha maupun kesejahteraan pekerja.
Biasa kita temui pekerja yang bermalas-malasan, ketika ditanya kenapa? Maka
jawabannya, “karena gajinya hanya untuk pekerjaan yang seperti ini, tidak lebih”.
Padahal semestinya pekerja yang berkeinginan untuk mendapatkan upah lebih tinggi,
maka ia harus bekerja keras untuk mampu meningkakan produktivitas perusahaan
sehingga perusahaan akhirnya mampu memberikan upah yang sepadan dengan usahanya
itu. Jangan berharap perusahaan akan memberikan lebih dari kontribusi yang telah
diberikan pekerja terhadap perusahaannya.

Buruh dan industri, adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Tanpa Buruh,
mesin-mesin di pabrik sana, hanyalah besi tua yang berkarat. Maka, sungguh naïf jika Negara
menafikan posisi kaum buruh sebagai tulang punggung perekonomian. Demikian ujar-ujar yang
paling tepat untuk mengambarkan nasib kaum buruh Indonesia hari ini. Perubahan dalam
penerapan hasil teknologi modern dewasa ini banyak disebut-sebut sebagai salah satu sebab
bagi terjadinya perubahan sosial, termasuk di bidang hukum ketenagakerjaan. Termasuk logika
ekonomi kapitalistik, dimana hubungan produksi serta tenga kerja, dikembangkan secara
ekspolitatif, telah memberikan perubahan mendasar pada tatanan sistem masyarakat dunia.

Robert A. Nisbet dalam bukunya: “Social Change and History”, menyebutkan bahwa,
“perubahan di dalam susunan masyarakat yang disebabkan oleh munculnya golongan buruh.
Demikian halnya dengan pengertian hak milik yang semula mengatur hubungan yang langsung
dan nyata antara pemilik dan barang, juga mengalami perubahan karenanya”. Sifat-sifat
kepemilikan menjadi berubah, oleh karena sekarang “Barang siapa yang memiliki alat-alat
produksi bukan lagi hanya menguasai barang, tetapi juga menguasai nasib ribuan manusia yang
hidup sebagai buruh” .

Dari sinilah landasan awal mengapa dan kenapa nasib pekerja hingga hari ini masih menjadi hal
yang mutlak ditentukan sepenuhnya oleh pengusaha. Pekerja menjadi manusia yang tidak
bebas, pekerja menjadi layaknya seorang budak yang hidup matinya ditentukan oleh pemiliki
modal. Bahkan dewasa ini, muncul trend baru ketengakerjaan yang hakikatnya merupakan
wujud legal dari perdagangan manusia oleh manusia layaknyanya barang dagangan (trafficking).
Inilah yang sering diistilahkan dengan model dan bentuk sistem kerja fleksibel yang kita sebut
dengan, “Outsourcing”.

Istilah outsourcing belakangan ini memang sering diperbincangkan oleh berbagai kalangan, baik
mereka yang menganjurkan sistem kerja ini dipraktekkan dalam perusahaan, maupun mereka
yang menolaknya dengan anggapan outsourcing merupakan wujud dari pengingkaran serta
penghilangan hak-hak dasar pekerja. Outsourcing sendiri mulai ramai diperdebatkan d
Indonesia, pasca diterbitkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan,
dimana aturan tersebut ditengarai sebagai palang pintu lahirnya sistem kerja outsourcing yang
sekarang dipraktekkan dimana-mana. Sebenarnya, didalam undang-undang ini, tidaklah
mengenal penyebutan istilah outsourcing. Akan tetapi, pengertian dari outsourcing itu sendiri
dapat dilihat dalam bebera ketentuan. Salah satunya adalah yang tertuang dalam pasal 64
Undang-undang ketengakerjaan ini, yang isinya menyatakan bahwa outsourcing merupakan
suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan
tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.

Sementara dalam konteks hukum, pada pasal 1601 b KUH-Perdata, outsoucing disamakan
dengan perjanjian pemborongan pekerjaan. Sehingga pengertian outsourcing secara tersirat
dapat diartikan sebagai sebuah perjanjian, dimana pemborong mengikat diri untuk membuat
suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu
dan pihak yang lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan
kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu.

Outsourcing sendiri secara harfiah berasal dari kata “out” yang berarti keluar dan “source” yang
berarti sumber. Dari pengertian tersebut, maka dapat ditarik suatu definisi operasional
mengenai outsourcing yaitu ; suatu bentuk perjanjian kerja sama antara perusahaan A sebagai
pengguna jasa dengan perusahaan B sebagai penyedia jasa, dimana perusahaan A meminta
kepada perusahaan B untuk menyediakan tenaga kerja yang diperlukan untuk bekerja di
perusahaan A dengan membayar sejumlah uang, namun upah atau gaji tetap dibayarkan oleh
perusahaan B kepada tenga kerja yang disuplay. Tenaha kerja inilah yang disebut dengan pekerj
outsourcing. Nah, yang menjadi pertanyaan mendasar sekarang adalah, perusahaan mana yang
bertanggung jawab terhadap pekerja outsourcing? Pekerja outsourcing memang disalurkan oleh
penyedia jasa, akan tetapi pekerja outsourcing tersebut berhadapan dengan resiko pekerjaan
yang akan dialami ditempat dia bekerja. Untuk itu, tulisan ini mencoba sedikit memberikan
alasan-alasan mengapa dan kenapa system kerja outsourcing dan kontrak harus kita tolak dalam
praktek ketenegakerjaan di Negara kita.

Menelanjangi Kebohongan Pendukung Outsourcing

Berbagai argumentasi yang mengarah kepada pembenaran praktek outsourcing, telah


mengemuka dalam masyarakat kita. Bahkan tak sedikit yang terpengaruh, dan berujung dengan
kepasrahan untuk menerimanya. Untuk itu, diperlukan sebuah upaya untuk menelanjangi,
“bahwa system kerja outsourcing seperti pembenaran yang mereka lakukan, adalah salah
didepan keadilan dan kebebasan pekerja”. Mari kita lihat satu persatu argumen-argumen
tersebut.

Pertama, mereka mengatakan bahwa dengan praktek outsourcing, maka akan mampu
menyerap lapangan kerja dan mengatasi pengangguran. Argumen ini berdasarkan asumsi bahwa
jika pola system kerja outsourcing yang diterapkan, maka secara langsung membuka
kesempatan bagi siapa saja untuk berkompetisi. Bahkan bagi mereka yang sebelumnya berada
pada sektor informal, dapat terseret kedalam sector formal yang lebih terproteksi dan
menjanjikan. Pertanyaannya kemudian, apakah pola ini tidak memerlukan pola adaptasi kerja
yang lama?. Inilah salah satu kelemahan system kerja outsourcing ini. Harapan untuk
meningkatkan kinerja dan keuntungan perusahaan, justru akan menjadi boomerang dikemudian
hari. Misalnya saja seorang pekerja tekstil dengan status outsourcing, tentu akan menjadi gagap
ketika harus dengan tiba-tiba disalurkan keperusahaan pertambangan atau alat berat.
Begitupun sebaliknya, seorang pekerja tambang, tentu akan merasa terasing ketika tiba-tiba
harus dislaurkan kesektor jasa atau retail. Bukankah pola ini justru akan berakibat kontra-
produktif terhadap kinerja perusahaan?. Apakah ini yang disebut dengan efektifitas kerja dari
pola outsourcing?. Sama sekali tidak…….!!!

Kedua, mereka menganggap bahwa dengan praktek kerja outsourcing, maka pendapatan
perusahaan akan lebih maksimal, sehingga tingkat upah pekerja akan lebih terjamin (balance of
salary). Ukuran stabilitas internal perusahaan ini lebih dititik beratkan pada asumsi bahwa
perusahaan tidak lagi dibebankan untuk memikirkan upah pekerja, namun akan lebih focus
untuk mengejar target pasar komoditasnya.

Ketiga, outsourcing akan lebih mampu menyerap tenaga kerja tanpa diskriminasi. Alasan ini
lebih kepada mengugat pola praktek perusahaan keluarga (closed corporation) yang lebih
mengukur serapan tenaga kerja suatu perusahaan berdasarkan garis keturunan dan hubungan
kekeluargaan . Hal ini dianggap menghalangi perusahaan untuk memenuhi mekanisme pasar.
Dengan praktek outsourcing, tradisi yang sudah using ini akan secara otomatis terkikis. Secara
prinsip, outsourcing akan lebih membuka persaingan tenaga kerja yang lebih kompetitif sesuai
dengan kehendak dan kebutuhan pasar tenaga kerja.

Kenapa Kita Harus Menolak Outsourcing???

Pertama, sistem kerja outsourcing membuat status hubungan kerja buruh menjadi tidak jelas.
Misalnya begini ; jika kita bekerja pada perusahaan A (second company), dimana sebelumnya
kita disalurkan oleh perusahaan B (parent company), maka ketika terjadi pelaggaran hak-hak
normatif (upah dibayar lebih rendah dari UMP/UMK, jam kerja yang berlebihan, lembur yang
tidak dibayar, tunjangan hari raya yang tidak diberikan, pelarangan cuti, PHK, dll), maka akan
timbul suatu pertanyaan ; kepada siapa kita harus menuntut? Apakah kepada perusahaan A
yang mempekerjakan kita, ataukah kepada perusahaan B yang menyalurkan kita?.
Ketidakjelasan ini membuat kita sulit dan bingung mengenai hubungan kerja kita. Bahkan lebih
parahnya lagi, baik perusahaan A maupun perusahaan B, saling lempar tanggung jawab
terhadap tuntutan yang kita inginkan.

Kedua, outsourcing berakibatkan kepada semakin lemahnya posisi buruh dalam perusahaan. Hal
tersebut dilator belakangi oleh status kita yang berbentuk hubungan kerja yang sifatnya
sementara dengan masa kerja yang ditetapkan selama kurung waktu tertentu (1 tahun, 2 tahun,
bahkan ada yang hanya berkisar 3-4 bulan). Hal ini berakibat semakin kuatnya posisi pengusaha
jika berhadapan dengan pekerja, sehingga memberikan ruang yang sangat besar bagi pengusaha
tersebut untuk menindas buruh dalam perusahaannya. Pengusaha dapat dengan sewenang-
wenang memberhentikan buruh (PHK) sesuai dengan kemauannya. Ketakutan berserikat,
berkumpul, menuntu perbaikan, serta menyatakan pendapat-pun menjadi terbatasi akibat
posisi tawar buruh yang lemah ini, ditambah ancaman PHK yang sewaktu-waktu dapat dilakukan
oleh pengusaha.

Ketiga, outsourcing akan menghilangkan hak serta jaminan masa depan buruh. Apa itu jaminan
masa depan?. Sederhananya, merupakan jaminan biaya hidup yang harus dihadirkan oleh
perusahaan jika suatu saat nanti buruh sudah tidak memiliki produkstivitas kerja yang baik dan
maksimal akibat factor fisik (pension), dan atau penghargaan kerja yang menjadi kewajiban
pengusaha akibat terputusnya hubungan kerja (PHK). Sebagai contoh ; Jika bagi mereka yang
berstatus pekerja tetap berhak mendapatkan Jaminan Hari Tua (JHT), maka yang bekerja dengan
status outsourcing tidak berhak mendapatkan apa-apa. Jika pekerja tetap mendapatkan
pesangon pada saat terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), maka pekerja yang berstatus
outsourcing jangan pernah berharap akan memperoleh pesangon.

Keempat, outsourcing mempraktekkan dehumanisasi atau pengingkaran hak dasar seseorang


layaknya manusia yang bebas dan merdeka. System kerja outsourcing ini sama sekali tidak
menghargai buruh layaknya sebagai seorang manusia. Sebab, outsourcing tidak lebih dari
bentuk perdagangan manusia kepada manusia lainnya (trafficking). Dimana buruh tak ubahnya
seperti barang yang diperjual belikan dengan seenaknya oleh pengusaha.

Kelima, outsourcing akan mengakibatkan tingkat pengangguran yang semakin tinggi. Hal ini
disebabkan oleh syarat kerja outsourcing yang menekankan keterampilan kerja (labour skill)
yang kompetitif, sementara kondisi buruh di Indonesia sama sekali belum memadai untuk
memiliki keterampilan multi-bidang. Misalnya saja seorang buruh disektor informal yang tiba-
tiba harus diserap oleh sector formal, maka akan menjadi kontra-produktif akibat adaptasi yang
membutuhkan waktu yang lama.

Keenam, outsourcing akan semakin meminimalisir fungsi dan peran serikat (worker’s
organization) dalam perusahaan, bahkan akan dihilangkan sama sekali jika perusahaan
menghendakinya. Hal tersebut dikarenakan hubungan kerja kita dalam perusahaan akan lebih
bersifat individu, antara pekerja dengan pengusaha. Dengan demikian upaya perjuangan hak
dan kepentingan kita melalui serikat, akan semakin terbatasi secara langsung, terlebih ketika
ancaman PHK oleh perusahaan semakin mudah dilakukan setiap saat akibat posisi tawar yang
lemah tersebut.

Jika praktek outsourcing ini terus terjadi, dan bahkan semakin meluas, maka dapat dipastikan
bahwa buruh sepenuhnya akan menjadi sapi perah bagi yang mengupahnya. Buruh tak akan
mampu berdiri sendiri sebagai seorang pekerja yang memiliki derajat layaknya seorang manusia
yang berhak mendapatkan hak secara jasmani dan rohani.

posisi pengusaha ini perlu kita ketahui ada di mana karena akan menjadi salah satu kunci
gerakan selain tentara. dukungan pengusaha akan membuat gerakan bertahan lama dan
tersebar ke mana-mana karena terjamin logistiknya. dengan tahu posisi tentara dan pengusaha,
kita bisa bersama-sama membayangkan akan berapa lama gerakan ini akan bertahan.

Penetapan upah minimum sebenarnya semakin transparan. Antara lain didasarkan pada
survei tentang kebutuhan hidup layak. Tentu setiap daerah berbeda-beda karena tingkat
biaya hidup yang berbeda pula. Maka sejak dulu upah minimum tidak ditetapkan sama
meskipun dasar perhitungannya tetap sama. Inflasi selalu jadi patokan karena merupakan
gambaran umum tren kenaikan harga terutama harga kebutuhan pokok. Kalau inflasi
rendah, tahun ini diperkirakan di bawah 5 persen, maka kenaikan upah bisa rendah pula.
Indikator pertumbuhan ekonomi bisa dilihat sebagai cerminan kondisi perusahaan di
Indonesia secara keseluruhan. Tahun ini kita bisa tumbuh 4 persen sedangkan tahun 2010
diperkirakan mampu mencapai 5 persen atau bahkan lebih. Setiap upaya peningkatan
produktivitas dan tingkat keuntungan perusahaan, di dalamnya haruslah diupayakan
peningkatan kesejahteraan pekerja melalui kenaikan upah. Tetapi seringkali kita tidak
bisa transparan. Siapa yang tahu soal untung rugi kecuali bagi perusahaan yang telah go
public.

Pembahasan UMK kemudian berkembang menjadi sesuatu yang luas dan sensitif.
Terkadang ada unsur politik masuk di dalamnya. Juga terkait dengan daya saing investasi
di pasar global. Artinya upah yang terlalu tinggi bisa membuat investor menarik diri atau
pindah ke negara lain yang upahnya lebih murah. Meskipun demikian dalam banyak hal
posisi pengusaha lebih diuntungkan kecuali untuk kasus di Semarang kali ini. Usulan
kenaikan upah minimum dinilai memberatkan pengusaha sehingga mereka memprotes.

Lebih dari sekadar urusan UMK adalah mempertanyakan seperti apa mindset pengusaha
terutama dalam memandang pekerjanya. Apakah lebih sebagai beban atau aset yang
harus dikelola. Cara pandang seperti itu penting agar pekerja tidak selalu berada pada
posisi ditekan dan dikorbankan. Peningkatan efisiensi dan daya saing mutlak dilakukan
tapi dengan banyak cara tanpa harus dengan memberikan upah rendah. Sebaliknya para
pekerja juga perlu memahami bagaimana situasi dan kondisi yang dihadapi perusahaan.

Nabi Muhammad adalah seorang saudagar dan seorang pengusaha, sedangkan isterinya Hadijah
juga seorang pengusaha wanita, sehingga menjadi pengusaha merupakan bagian dari sunnah
rasul. Karenanya, pekerjaan sebagai pengusaha dilihat dari sisi agama adalah posisi yang tinggi
karena pekerjaan ini mengikuti sunah rasul.
Menurut JK, dilihat dari sisi budaya, tambahnya, ada suku bangsa tersendiri yang bangga dengan
pengusaha termasuk di Minang (Sumatera Barat) dan di Sulawesi. Sedangkan prosentase
pengusaha di Jawa termasuk sedikit, sehingga posisinya tidak pada level yang lebih tinggi. Di luar
pulau Jawa, pengusahaan memiliki posisi yang lebih tinggi.

Lebih lanjut, JK menuturkan, manusia dalam hidupnya mempunyai tujuan untuk mencapai
kesejahteraan dan disela-sela pencapaian itu harus ada nilai tambah yang disebut dengan usaha
dan kegiatannya adalah pengusaha.

"Kegiatan usaha pada dasarnya bisa dipelajari, namun tidak mudah mempelajari posisi
pengusaha. Kalau menjadi pengusaha bisa dipelajari, maka gampang saja jadi seorang
pengusaha, tinggal masuk fakultas ekonomi, tapi kenyataannya tentu tidak demikian," tutur JK.

Karena itu, menjadi pengusaha tidak ada urusannya dengan pendidikan karena siapa saja bisa
menjadi pengusahaa tergantung apa yang ingin dikerjakan dan diusahakan. Pengusaha intinya
tekad, tanpa syarat, dan teori yang banyak serta tidak perlu pula banyak baca buku, katanya.

"Jadi pengusaha itu harus punya kemauan, harga diri, dan hidup baik, sebab apapun yang
dilakukan pasti ada resikonya,"

Anda mungkin juga menyukai