Anda di halaman 1dari 2

TAKDIR

Kata takdir (taqdir) terambil dari kata qaddara yang berasal dari akar kata qadara yang antara
lain berarti mengukur, memberi kadar atau ukuran, sehingga anda berkata, “Allah telah
menakdirkan demikian,” maka itu berarti, “Allah telah memberi kadar/ukuran/batas tertentu
dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluk-Nya.”

Dari sekian banyak ayat Al-Quran dipahami bahwa semua makhluk telah ditetapkan takdirnya
oleh Allah. Mereka tidak dapat melampaui batas ketetapan itu, dan Allah Swt. menuntun dan
menunjukkan mereka arah yang seharusnya mereka tuju.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam raya ini, dari sisi kejadiannya, dalam kadar atau ukuran
tertentu, itulah yang disebut takdir. Tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa takdir, termasuk
manusia. Peristiwa-peristiwa tersebut berada dalam pengetahuan dan ketentuan Tuhan, yang
keduanya menurut sementara ulama dapat disimpulkan dalam istilah sunnatullah, atau yang
sering secara salah kaprah disebut “hukum-hukum alam”.

Sunnatullah dalam Al-Quran digunakan untuk hukum-hukum Tuhan yang pasti berlaku bagi
masyarakat, sedang takdir mencakup hukum-hukum kemasyarakatan dan hukum-hukum alam.

Manusia berada di bawah hukum-hukum Allah sehingga segala yang kita lakukan tidak terlepas
dari hukum-hukum yang telah mempunyai kadar dan ukuran tertentu. Hukum-hukum tersebut
cukup banyak dan kita diberik kemampuan memilih, maka kita dapat memilih mana di antara
takdir yang ditetapkan Tuhan terhadap alam yang kita pilih. Rubuhnya tembok, berjangkitnya
penyakit adalah berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya, dan bila seseorang tidak
menghindar ia akan menerima akibatnya. Akibat yang menimpanya itu juga adalah takdir, tetapi
bila ia menghindar dan luput dari marabahaya maka itu pun takdir. Bukankan Tuhan telah
menganugerahkan manusia kemampuan memilah dan memilih? Jika demikian manusia tidak
dapat luput dari takdir, yang baik maupun yang buruk. Dengan demikian, menjadi jelaslah
kiranya bahwa adanya takdir tidak menghalangi manusia untuk berusaha menentukan masa
depannya sendiri, sambil memohon bantuan ilahi.
Al-Quran tidak menggunakan istilah rukun untuk takdir. Bukan berarti bahwa takdir tidak wajib
untuk dipercayai. Al-Quran juga tidak jarang hanya menyebut dua di antara hal-hal yang wajib
dipercayai. Perhatikan misalnya surat Al-Baqarah ayat 62:


 


 


 
 


  

 

 
 

 


 

 

 

 



 
 

 
. 


Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-
orang Shabiin[56], siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari
kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada
kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Ayat ini tidak berarti bahwa yang dituntut dari semua kelompok yang disebut di atas hanyalah
iman kepada Allah dan hari kemudian, tetapi bersama keduanya adalah iman kepada Rasul, kitab
suci, malaikat, dan takdir. Demikian pengertian takdir dalam bahasa dan penggunaan Al-Quran.

Komentar:
Pada dasarnya pendapat yang dikemukakan Quraish Shihab tidak berbeda dengan apa yang telah
diajarkan secara umum oleh para guru dan alim ulama di tengah-tengah masyarakat Islam.
Intinya bahwa takdir manusia itu ada yang bisa diubah dan ada yang tidak bisa diubah.
Permasalahan yang kemudian muncul sebenarnya adalah hanya ketika masyarakat salah kaprah
meletakkan kategori-kategori apa saja yang pantas dalam dikotomi takdir yang ada tadi. Ada
takdir yang bisa diubah dianggap sebagai takdir yang tak bisa diubah, begitu juga sebaliknya.
Inilah yang perlu diluruskan kembali di tengah-tengah masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai