Oleh :
Nama : Yosi Olianita
NPM : 1011080132
Jurusan : FKIP Bahasa Inggris
Semester : II
Dosen Pembimbing :
Muhammad Yusuf, S.Ag
Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan
akalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun
tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik.
Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan, baik itu
yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan
penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan.
Makalah ini memuat tentang “Hukum Islam dan Penerapan Islam di
Aceh” yang sangat berpengaruh bagi kemajuan perusahan. Walaupun makalah ini
mungkin kurang sempurna tapi juga memiliki detail yang cukup jelas bagi
pembaca.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun
mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman :
Kata Pengantar ................................................................................................... i
Daftar Isi ............................................................................................................. ii
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 1
BAB II Pembahasan
A. Penertian
1. Pengertian Hukum Islam ........................................................... 2
2. Pengertian Syariat Islam ........................................................... 3
3. Pengertian Hukum Adat ............................................................ 4
B. Analisis
1. Hubungan Syariat Islam dengan Hukum Adat .......................... 5
2. Penerapan Syariat Islam di Aceh .............................................. 8
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
2.1.1 Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam bersumber dari agama Islam yang diturunkan langsung dari
Allah SWT melalui wahyu yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam
Al Quran dan As Sunnah. Kerangka dasar agama dan ajaran Islam adalah akidah,
syariah, dan akhlak. Ketiganya bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan yang
bersumber pada tauhid, sebagai inti akidah yang kemudian melahirkan syariah,
sebagai jalan berupa ibadah dan muamalah, serta akhlak sebagai tingkah laku,
baik kepada Allah SWT maupun kepada makhluk ciptaan-Nya lainnya.
Iman dan Ihsan atau tasawuf merupakan manivestasi dari akidah. Iman
yang berarti kepercayaan Islam merupakan pokok-pokok agama Islam (Ushul ad-
Din). Menurut ahlul sunnah wal jamaah, iman Islam terdiri dari rukun iman yang
berjumlah enam, yaitu iman kepada Allah SWT, malaikat, nabi dan rasul, kitab-
kitab, hari akhir, serta qadha dan qadar. Ihsan yang berarti kebaikan, merupakan
etika Islam. Adapun iman, amal (saleh), akhlak atau budi perketi luhur adalah
syarat-syarat dari Ihsan². Sedangkan tasawuf bertujuan sama dengan ihsan, tetapi
menganut cara-cara yang berbeda seperti pada orang sufi yang melakukan
panteisme dengan tujuan bersatu dengan Tuhan, namun cara yang digunakan tidak
sesuai lagi dengan islam dan aliran sunnah wal jamaah. Namun demikian, tidak
semua cara dalam sufi bertentangan dengan akidah tauhid Islam. Hal tersebut
diakibatkan oleh hasil pemahaman, pendalaman, penafsiran, serta perincian para
ulama tentang akidah mempunyai kecenderungan berbeda-beda yang
menimbulkan aliran-aliran atau mahzab-mahzab tertentu di kalangan umat Islam.
Akhlak adalah peringai atau tingkah laku yang berkenaan dengan sikap
manusia, terbagi atas akhlak terhadap Allah SWT dan terhadap sesama makhluk.
Akhlak terhadap sesama makhluk terbagi atas akhlak terhadap manusia, yakni diri
sendiri, keluarga, dan masyarakat, serta akhlak terhadap makhluk bukan manusia
2
yang ada di sekitar lingkungan hidup, yakni tumbuh-tumbuhan, hewan, bumi, air,
serta udara.
3
yang dapat dilaksanakan manusia muslim baik sebagai manusia pribadi maupun
sebagai anggota kehidupan sosial, disebut ilmu fiqih. Ilmu fiqih terbagi atas fiqih
ibadah dan fiqih muamalah. Hasil pemahaman tentang syariat yang disebut
hukum fiqih dapat berbeda di suatu tempat dengan tempat lainnya. Itulah yang
memungkinkan terjadinya syariat Islam di Aceh yang tidak dimiliki oleh syariat
yang berkembang di daerah lain.
4
pengetahuan, dan pergaulan. Disinilah pengaruh hukum Islam masuk ke dalam
hukum adat yang ada pada masyarakat Aceh. Sistem nilai yang telah bercampur
dengan hukum Islam tersebut ternyata dipandang baik oleh masyarakat Aceh,
kemudian terbentuklah pola pikir mengenai bagaimana interaksi selanjutnya yang
harus dilakukan oleh masyarakat Aceh tersebut. Setelah itu, muncullah sikap
(kecenderungan untuk berbuat atau tidak berbuat), dimana masyarakat Aceh
memilih cenderung untuk berbuat dengan berperilaku sesuai dengan hukum Islam
dalam hukum adat mereka tersebut. Kemudian dimanifestasikanlah sikap tersebut
dalam perilaku mereka, yang dilakukan berulang-ulang serta terus-menerus yang
kemudian disebut kebiasaan. Kebiasaan mereka pun berlaku bagi orang banyak
sehingga merupakan kebiasaan umum yang kemudian menjadi norma dimana
norma yang selanjutnya terbentuk adalah norma antar pribadi yaitu norma hukum.
Disinilah proses terakhir dimana kebiasaan masyarakat Aceh yang telah
terpengaruh oleh hukum Islam dalam hukum adat mereka tersebut kemudian
menjadi hukum nasional Aceh yang disahkan dengan UU No.11 tahun 2006 yang
mengamanatkan pemberlakuan syariat Islam di seluruh wilayah propinsi Nangroe
Aceh Darussalam.
2.2 Analisis
2.2.1 Hubungan Syariat Islam dengan Hukum Adat
Syariat Islam merupakan salah satu kerangka dasar hukum Islam.
Berdasarkan sejarah, hukum adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang
lahir lebih dahulu dari hukum Islam di Indonesia. Pada jaman penjajahan Belanda,
hukum Islam menjadi adatrecht politik yang dilakukan oleh pemerintah Belanda
di Indonesia untuk menempatkan hukum Islam dibawah hukum adat, salah
satunya adalah ajaran yang dibawa oleh Snouck Hurgronje mengenai teori resepsi.
Dalam teori tersebut, hukum Islam telah diterima secara teori, tapi sering
dilanggar secara praktek sebab dalam masyarakat, hukum Islam tidak berlaku,
yang berlaku adalah hukum adat karena dalam hukum adat masuk unsur-unsur
hukum Islam, sedangkan pada masyarakat adat sendiri hukum Islam yang berlaku
bukan lagi hukum Islam sebab sudah menjadi hukum adat. Asumsi dasarnya
5
adalah hukum adat merupakan sistem hukum yang hidup dan diaplikasikan dalam
masyarakat, sementara hukum Islam hanya sistem yang bersifat teoritis, walaupun
sebagian besar masyarakat beragama. Kemudian Rasjidi menanggapi bahwa
Snouck Hurgronje telah keliru, sebab dalam hukum apapun, hukum yang telah
diterima oleh teori apabila terdapat faktor-faktor tertentu, maka mungkin untuk
terjadinya pelanggaran di dalam prakteknya.
Hukum adat yang tumbuh dalam masyarakat, menurut Hazairin, terbentuk
oleh keseluruhan norma kesusilaan yang sanksinya dapat dipaksakan. Norma awal
yang tumbuh adalah norma kesusilaan perorangan berupa Jaiz atau kebolehan
yang dalam setiap kebolehan tidak terdapat sanksi. Setelah terjadi penilaian oleh
masyarakat, jaiz berubah menjadi sunnah apabila dinilai baik sehingga dianjurkan
untuk dilakukan, tetapi menjadi makruh apabila dinilai buruk sehinggar
dianjurkan untuk tidak dilakukan. Setelah ditambahkan sanksi yang memaksa,
maka sunnah berubah kedudukan menjadi wajib yaitu keharusan untuk dilakukan,
sedangkan makruh berubah kedudukan menjadi haram yaitu larangan yang tidak
boleh dilakukan. Pada tahap inilah kemudian norma kesusilaan telah menjadi
norma hukum.
Dalam hubungannya, para ahli etnologi, antropologi, dan hukum adat
menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki kedudukan
keagamaan.
Hal itu disebabkan bahwa hukum Islam mempengaruhi hukum adat.
Hukum adat didasari atas prinsip magis religius yang merupakan pengaruh
langsung dari agama, contohnya mengenai aliran animisme dan dinamisme yang
dianut oleh bangsa Indonesia.
Menurut A Johns, ia meyakini bahwa doktrin Islam telah memainkan
peranan yang sangat penting dalam kehidupan kerajaan. Hal ini benar khususnya
di Aceh dan Malaka selama masa-masa awal Islam Asia Tenggara5. Ilmuan lain
yang mengikuti pandangan tersebut berpendapat walau kekuatan adat lokal telah
termanifestasikan dalam masyarakat Indonesia, namun hukum Islam juga efektif
pada level komunal dan berhasil memodifikasikan beberapa praktek hukum,
terutama dalam bidang-bidang dalam keluarga dan nilai nilai sosial. Inilah yang
6
menjadi dasar syariat Islam sebagai manivestasi dari hukum Islam mampu
diberlakukan dalam pranata sosial masyarakat Aceh dalam hakikatnya merupakan
propinsi di Indonesia yang juga tunduk pada hukum nasional Indonesia
Menurut dialog yang saya adakan dengan dosen hukum adat saya, ibu
Meliyana Yustikarini S.H., M.H, beliau menyoroti syariat Islam yang menjadi
hukum yang berlaku dalam masyarakat aceh, disebabkan oleh hukum Islam yang
datang pada awal masuknya Islam, yaitu sekitar abad ke 11 melalui samudera
Pasai, yang kemudian mampu diterima oleh masyarakat Aceh pada saat itu, sebab
tidak bertentangan dengan nilai-nilai hukum adat mereka. Hukum Islam tersebut
kemudian mengakar secara turun temurun sehingga menjadi kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan hukum adat tersebut. Kemudian dalam perkembangannya,
masyarakat Aceh memutuskan untuk memiliki otonomi daerah yang membuat
hukum mereka tersebut diakui dan dilegalkan oleh negara menjadi hukum tertulis
mereka. Sehingga berdasarkan pengertiannya, masyarakat Aceh sama dengan
masyarakat hukum adat.
Selain itu, beliau juga menambahkan bahwasanya saat Islam masuk ke
Indonesia pertama kali melalui Aceh (Samudera Pasai), para politikus Belanda,
yang salah satunya adalah Snouck Hurgronje, melakukan penelitian yang
mendalam mengenai Islam beserta hukumnya. Penelitian yang dilakukan Snouck
Hurgronje tersebut dilakukan di Aceh. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan
untuk mencari dan menemukan kelemahan Islam yang digunakan sebagai politik
bangsa Belanda agar masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam tetap tunduk dan
patuh dengan bangsa Belanda.
7
Alasan kedua adalah Alasan penduduk. Menurut sensus, 88,09%
penduduk Indonesia adalah Islam (sensus tahun 1980), sehingga jelas mayoritas
penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Hal tersebut menyebabkan syariat
Islam mudah diterima di Indonesia.
Alasan ketiga adalah alasan yuridis dimana hukum Islam yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, menjadi
hukum positif yang berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Materi-
materi hukum Islam merupakan bagian dari hukum positif Indonesia sebagaimana
yang dinyatakan oleh ordonasi dan peraturan pemerintah yang mengatur peradilan
agama antara lain pada undang-undang pokok perkawinan UU No. 1 tahun 1974,
UU No.41 tahun 2004 tentang wakaf, UU No.38 Tahun 1999 tentang pengelolaan
zakat, pasal-pasal dalam KUHPerdata yang mengatur tentang kewarisan, serta
peraturan-peraturan lainnya.
Alasan yang terakhir adalah alasan konstitusional. Di bawah Bab Agama,
dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa Negara (Republik
Indonesia) berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa6. Atas dasar inilah dalam
NKRI tidak boleh berlaku sesuatu atau bertentangan dengan kaidah Islam bagi
umat Islam, kaidah Nasrani bagi umat Nasrani, kaidah Hindu bagi umat Hindu,
dan kaidah Budha bagi umat Budha, serta NKRI wajib menjalankan syariat Islam
bagi umat Islam, syariat Nasrani bagi umat Nasrani, dan seterusnya, dimana untuk
menjalankan syariat tersebut diperlukan perantaraan kekuasaan negara
8
menjadikan masyarakat Aceh mampu menjalankan dan mempertahankan
kedudukan dan harkat serta ciri khas bangsa Indonesia yang religius dan
memegang kuat adat dalam tatanan hukum yang berlaku di wilayah mereka.
Berdasarkan ketentuan pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dan pasal 18 UUD
1945, propinsi Aceh resmi ditetapkan sebagai daerah istimewa. Kemudian
ditetapkanlah UU No. 24 tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonomi
propinsi Aceh. Propinsi Aceh berdasarkan UU No.44 Tahun 1999 memiliki empat
keistimewaan, yaitu penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan
kehidupan adat, penyelenggaran pendidikan, serta peran ulama dalam penetapan
kebijakan daerah.
Pada era reformasi, TAP MPR No. IV tahun 1999 tentang GBHN
menegaskan daerah istimewa Aceh sebagai daerah otonomi khusus guna
mempertahankan integrasi bangsa dan menghargai kesetaraan dan keragaman
kehidupan seni budaya. Selanjutnya GBHN ditindaklanjuti oleh UU No. 22 Tahun
1999 tentang pemerintah daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Indonesia merupakan negara
hukum, maka pelaksanaan otonomi khusus seharusnya diatur berdasarkan UU
khusus bagi Aceh, sehingga pada tanggal 9 Agustus 2001 ditetapkan UU No.18
Tahun 2001 tentang otonomi khusus daerah istimewa Aceh sebagai propinsi
Nangroe Aceh Darussalam. Kemudian diperbaharui oleh UU No.11 tahun 2006
yang mengamanatkan pemberlakuan syariat Islam di seluruh wilayah propinsi
Nangroe Aceh Darussalam.
Keppres No.11 tahun 2003 tentang mahkamah syari’ah dan mahkamah
syari’ah propinsi lahir guna melaksanakan hukum Islam yang menentukan
wewenang dari mahkamah syari’ah yang selanjutnya ditetapkan beberapa
peraturan daerah (qanun). Pelaksanaan syariah oleh mahkamah syariah diatur
dalam Qonun No.10 Tahun 2002 tentang peradilan syariat Islam dan Qonun
No.11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat Islam di bidang akidah, ibadah,
dan syiar Islam yang salah satu ketentuannya adalah kewajiban berbusana Islami
bagi pemeluk muslim di seluruh wilayah Nangroe Aceh Darussalam. Namun
belum ada ketentuan hukum acara mengenai tata cara hukum acara Qonun
9
tersebut. Kedua Qonun tersebut diistilahkan dalam bahasa fiqh sebagai Qonun
formil, sedangkan Qonun materil belum disahkan. Hal ini menunjukkan
kekosongan hukum yang membuat tersangka dapat lepas dari jeratan hukum,
sehingga dalam Qonun No.10 Tahun 2002 kekosongan ini diatasi dengan tetap
memberlakukan KUHP sebagai dasar hukum. Hal ini menunjukkan bahwa
mahkamah syariah hanya menerapkan setengan syari’at Islam di Aceh.
Pelaksanaan syariat Islam yang tidak ditetapkan sepenuhnya disebabkan
oleh perbedaan pendapat para ahli. Contohnya adalah Qonun jinayat yang tidak
konsisten dimana landasan argumentasinya tidak jelas rujukannya, asal dalam
mengambil rujukan dari Hukum Pidana islam dan KUHAP. Selain itu yang
membuat fatal adalah Qonun ini dikeluarkan di Aceh yang merupakan wilayah
Negara republik Indonesia sehingga bertentangan dengan konstitusi Indonesia.
Qonun juga ingin diberlakukan pada orang diluar agama Islam, padahal hal
tersebut melanggar hak asasi manusia dalam menjalankan agama sesuai
kepercayaannya masing-masing, maka Qonun ini melanggar ayat lakum dinukum
wa liya din yang artinya bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.
Penerapan hukum pidana Islam pada mahkamah syariah mempengaruhi
tatanan pola hukum secara keseluruhan di Indonesia, karena penerapan syari’at
Islam tanpa dilengkapi ketentuan hukum yang sejajar dan lebih tinggi, hanya
menjadi celah para penegak hukum untuk melakukan penyimpangan dalam
praktiknya. Aceh merupakan daerah yang mendapat legitimasi untuk menerapkan
syariat Islam, sehingga membuat hukuman pidana Islam ditetapkan bukan sekedar
simbolis saja, seperti hudud, qishah, dan ta’zir terhadap pelaku maksiat dan
kriminalitas. Namun yang menjadi tantangan selanjutnya bagi masyarakat Aceh
dalam mempertahankan syariat Islam adalah berlakunya hukum barat di
Indonesia, serta kurangnya minat para ulama dan ahli hukum di Indonesia dalam
mengkaji secara mendalam dan terarah mengenai syariat Islam dan
keberlakuannya di dalam tatanan hukum nasional Indonesia pada umumnya serta
di dalam hukum Aceh pada khususnya.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Syariat Islam adalah bagian dari Hukum Islam, merupakan salah satu dari
kerangka dasar agama dan ajaran Islam yang mengatur hubungan publik maupun
perdata dalam bentuk norma Ilahi.
Hukum Islam telah berbaur dengan hukum adat yang merupakan akar
peraturan bangsa Indonesia dan mampu mempengaruhi praktek hukum di
Indonesia, terutama dalam bidang keluarga dan sosial. Sejarah memainkan
peranan yang penting, yaitu Samudera Pasai di Aceh yang merupakan tempat
singgah agama Islam pertama di Indonesia, mampu membuat doktrin Islam
mempengaruhi kerajaan. Syariat Islam tersebut kemudian diterima oleh
masyarakat Aceh pada saat itu, sebab tidak bertentangan dengan nilai-nilai hukum
adat mereka. Perpaduan hukum tersebut kemudian mengakar secara turun
temurun sehingga menjadi kesatuan yang tidak terpisahkan.
Penerapan syariat Islam di Aceh yang tidak terlepas dari faktor
diterimanya syariat Islam dalam tatanan hukum adat Aceh, juga disebabkan oleh
faktor pejuang Aceh yang mayoritas adalah ulama. Namun meskipun secara
konstitusional syariat Islam sah menjadi hukum positif Aceh, pada prakteknya
hukum positif tersebut tidak seluruhnya berasal dari syariat Islam.
1.2 Saran
Belum adanya ketentuan hukum acara mengenai tata cara hukum acara
Qonun, menciptakan terjadinya kekosongan hukum, membuat Aceh
memberlakukan Qonun No.10 Tahun 2002 yang berisi tetap memberlakukan
KUHP sebagai dasar hukum. Untuk memberlakukan syariat Islam di Aceh secara
total dan menyeluruh adalah dengan membuat hukum acara Qanun oleh
pemerintah Aceh agar Mahkamah Syariah dapat total menjalankan tugasnya
dengan tidak hanya menerapkan setengah syari’at Islam di Aceh.
11
DAFTAR PUSTAKA
Daud Ali Muhammad, Hukum Islam: Pengantar ilmu hukum dan tata hukum
Islam di Indonesia, cet. Ketiga Belas (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2006)
Syahar Saidus, Asas-asas hukum Islam, cet. Kesatu (Jakarta: Penerbit Alumni,
1996) hal 25
Zuhri Muhammad, Hukum Islam dalam lintasan sejarah, cet. Kesatu (Jakarta:
Praja Grafindo persada, 1996) hal.143
http://acehlong.com/2009/03/07/sanksi-kriminal-dalam-islam/
http://irfanview.wordpress.com/2009/02/27/sekilas-sistem-pidana-islam/
http://guntur.name20091207jinayatnya%25E2%2580%259Cqanunjinayat
%25E2%2580%259D
12