Pancasila lahir pada tanggal 1 Juni 1945. Pada tanggal 22 Juni 1945 “axiological
hierarchy”-nya berubah, nilai moral, yaitu “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam diangkat keatas, dijadikan Norma Utama (norma normarum). Setelah
disetujui oleh rapat pleno BPUPK yang hanya terdiri dari wakil-wakil dari Jawa saja,
pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI yang meliputi wakil-wakil dari seluruh Indonesia
mengubah rumusan Pancasila dengan mengurangi “tujuh kata” (“dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”) dan menambahkan “tiga kata”
(“Yang Maha Esa”). Jadi, rumusan Pancasila yang sah adalah rumusan PPKI, rumusan
dari wakil-wakil selurah rakyat Nusantara setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Pancasila yang disahkan pada tangal 18 Agustus 1945 itu benar-benar merupakan
“hogere optrekking” (istilah Bung Karno, artinya “peningkatan”) dari Declaration of
Independence dan Manifesto Komunis karena yang diutamakan adalah moral yang
berasal dari “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi, kebaikan hukum positif harus diukur dari
asas-asas yang bersumber kepada “Ketuhanan Yang Maha Esa”, bukan “Ketuhanan” saja.
Pancasila berbeda dengan teori Grundnorm dari Hans Kelsen yang menyatakan bahwa
hukum positif tidak perlu bersangkut paut dengan moral, ideologi, politik dan sejarah
yang intinya berada diluar bidang hukum. Demokrasi Pancasila yang mengutamakan
musyawarah untuk mendapat mufakat, mengutamakan “harmony”, berbeda dengan
Demokrasi Liberal yang mengutamakan “voting” dan menimbulkan perasaan kalah dan
menang yang sering menyakitkan hati.
“Nilai” masih abstrak, sifatnya lebih umum sedangkan “Norma” lebih khusus, sudah
dapat dijatuhi sanksi hukum atau sanksi sosial bila dilanggar. Hubungannya dapat
digambarkan demikian, “Nilai” “privacy” dapat menjadi ketentuan (norma) bahwa “surat
tidak boleh dibuka oleh orang yang tidak berhak” atau adanya aturan (norma) bahwa
“tidak boleh masuk rumah orang tanpa ijin pemiliknya”.
Penempatan “norma” ditingkat UUD atau undang-undang bersifat subjektif. Di Amerika
Serikat, ketentuan yang tidak tertulis atau yang tercantum di undang-undang biasa
diangkat ketingkat Konstitusi. Contoh, Amendemen V menegaskan perlunya asas Due
Process, Amendemen VII menentukan “Exessive bail shall not be required, nor excessive
fines imposed, nor cruel and unusual punishment inflicted,21 dan Amendemen XXVII
(1992) menentukan bahwa perubahan “kompensasi” untuk anggota Congress berlaku
untuk anggota Congress yang akan datang (No law varying the compensation for the
services of the Senators and Representatives shall takes effect until an election of
Representatives shall have intervened. Ketentuan itu dibuat agar tidak melanggar asas
“nemo iudex in causa sua.
Pernyataan Notonagoro yang perlu dikritisi adalah “bahwa Pancasila hidup di tiga UUD,
yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS dan UUDS 1950”. Pernyataan itu menimbulkan
kontroversi seperti yang dikemukakan oleh Marsillam Simandjuntak, yaitu “mengapa
Pancasila sebagai Grundnorm dapat menghasilkan norma yang berlainan, bahkan
bertentangan”.
Pendapat Marsillam dikemukakan karena dia mengira bahwa Pancasila 1945 sama
dengan Pancasila tahun 1949 dan/atau Pancasila 1950. Padahal, sebagaimana disebutkan
diatas, “Pancasila” sebagai bagian dari Pembukaan UUD 1945 rumusannya berbeda
dengan “Pancasila” yang tercantum sebagai bagian dari Mukaddimah Konstitusi RIS
dan/atau Mukaddimah UUDS 1950. Tujuan Nasional-nya juga berbeda. Dengan
sendirinya norma yang dikandungnya juga berbeda. Agar lebih jelas, tujuan Nasional di
UUD 1945 adalah sebagai berikut:
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
2. Memajukan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial.
Sedangkan tujuan Nasional di Konstitusi RIS dan UUDS 1950 sama yaitu untuk
mewujudkan:
1. Kebahagiaan
2. Kesejahteraan
3. Perdamaian
4. Kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia Merdeka yang
berdaulat sempurna.