Anda di halaman 1dari 3

Catatan tentang diskusi Stammering

Monday, April 04, 2011


David Hutama

[1]

Pertemuan “I am always stammering” semalam di Painting Garage, Bandung dimulai dengan


pemutaran film “Socialisme” karya Godard. Godard atau Jean-Luc Godard adalah seorang
sutradara berkebangsaan Prancis-Swis. Dia sering dikelompokan sebagai salah satu dari
kelompok French New Wave. Film ini, seperti film-film Godard lainnya, tidak bernarasi seperti
film-film pada umumnya namun penuh patahan, ketidaksambungan, dan fragmen-fragmen.
Deleuze dalam tulisannya “Three Questions about “Six Fois Deux””, sebuah teks yang memang
ditulisnya untuk Godard, bahwa Godard mencoba untuk melepaskan hirarki, ekslusif narasi dan
pilihan-pilihan yang pasti (dalam konteks cerita) dengan membiarkan gambaran-gambaran yang
muncul dalam karya-nya bergerak bebas namun tidak mencapai „chaos‟. Adegan-adegan
seakan sengaja „diputus‟ agar ruang untuk menyimpulkan tertunda. Tiap adegan selalu tidak
pernah tuntas dan berada dalam kondisi resah. Apakah ada hubungannya dengan strategi
defferance derridarian?

Ada dua bagian yang bagi saya berkesan dalam presentasi Kumiko Homma berjudul “I am
always stammering” ini. Pertama tentang karya Junya Ishigami Bagian yang kedua adalah pada
saat Kumiko mencoba melakukan interpretasi dari karya Shin Egashira “Flat Elephant”. Karya
instalasi ini adalah sebuah layar tipis dan datar dimana didalamnya terpampang sebuah gambar
gajah. Layar ini kemudian digerakan oleh sebuah konstruksi tertentu agar terus berjalan
berputar dalam ruangan tersebut.

[2]

“Masterpieces are written in a kind of foreign language” – Proust

“…making language stammer rather than stammerin in speech. To be a foreigner, but in one‟s
own tounge, not only when speaking a language other than one‟w own tongue, not only when
speaking a language other than one‟s own” – Deleuze & Guattari, A Thousand Plateaus:
Capitalism & Schizoprenia.

Ide Stammering memang tidak lepas dari tulisan filsuf Deleuze & Guattari dalam buku
Thousand Plateaus pada bagian November 20, 1923: Postulates of Linguistics. Memahami ide
ini memang tidak lepas dari konsep kunci yang ditawarkan kedua filsuf ini pada bab awal
pengantar buku ini: Rhizome. Sebuah struktur yang anti-struktur, dan hirarki yang anti-hirarki.
Sebuah penelusuran bersifat introvert. Rhizome tidak mengenal hirarki awal-akhir. Tegangan
yang terjadi karena rajutan, tumpang tindih, persilangan yang menjadi penentu kualitas dari
suatu kejadian. “Stammering atau keterasingan yang intim” terletak pada lokasi tersebut. Bukan
diawal/bukan di akhir dan juga bukan sebuah telos. Stammering adalah sesuatu yang muncul
karena pengakuan dan penerimaan diri sendiri tanpa „deux ex machina’. Oleh karena itu
Stammering adalah suatu kondisi yang terjadi melalui dua lapis langkah. Pertama suatu
penerimaan (embracement) pada „tubuh‟, yang pada titik tertentu melahirkan sebuah
keterasingan melalui proses intimasi tersebut. Sebuah keasingan yang menguatkan potensi
„tubuh‟ dan bukan membunuhnya.

Karya Junya Ishigami „balloon‟ adalah perwujudan dari mekanisme tersebut. „Ballon‟ adalah
sebuah karya yang dipamerkan di atrium Museum of Contemporary Art di Tokyo pada tahun
2007. Karya ini berupa sebuah obyek berbentuk balok (1400x730x1280 cm) yang dibiarkan
melayang di atrium tersebut. Pada saat dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Kazuyo
Sejima di ruang yang sama tersebut. Perbedaaan pendekatan diantara keduanya menjadi jelas
dan lugas. Keberadaan obyek yang melayang dalam sebuah ruangan tersebut justru
menguatkan keberadaan dari ruang tersebut sedangkan susunan patung-patung transparan
yang diletakan sedemikian rupa oleh Sejima tidak mengubah kualitas ruangnya. Ishigami
seperti sadar bahwa memahami dan menerima keberadaan ruang ini adalah kunci dalam
membuat sebuah instalasi di dalamnya. Saya merasa, sengaja atau tidak, pendekatan
fenomenologis yang dilakukan Ishigami berhasil. Subyek utama dari eksibisi tersebut
sebenarnya adalah ruang itu sendiri. Obyek melayang tersebut adalah sebuah stammering
pada ruang tersebut. Tanpa obyek tersebut, semua pengunjung tidak akan menyadari kuatnya
dan uniknya ruang yang tertekan oleh sebuah obyek tersebut. Walaupun obyek tersebut „asing‟
bagi ruangan tersebut – dari material, karakter geometri, juga orientasinya tapi ternyata tetap
pas dan bahkan berhasil menerima/diterima ruangan tersebut dengan baik.

Dalam websitenya, Shin Egashira memaparkan alasan dibalik penggunaan gajah sebagai
simbol dari representasi. Menurutnya di abad ke-17, gajah adalah mahluk yang masih dianggap
mahluk khayalan. Seorang artis Jepang yang hidup di antara akhir abad ke-18 – abad ke-19,
Katsushika Hokusai menceritakan bagaimana pada masa gajah adalah mahluk yang semi-
imajiner karena tidak ada di Jepang. Oleh karena itu deskripsi tentang gajah menjadi beragam
dan bebas. Dia menggambarkan kisah tersebut dalam judul “7 orang buta mempelajari seekor
gajah”. Kisah seperti ini memang tidak unik milik Hokusai, paling tidak ada 2 versi lain yang di
berkembang di belahan bumi lain. Pertama adalah dari buku tentang kumpulan legenda-
legenda India karya John Godfrey Saxe (1816-1887) dan versi lainnya berasal dari Cina dan
berumur jauh lebih tua. Kisah berjudul “3 orang buta dan seekor gajah” yang telah diceritakan
pada masa dinasti Han (202 SM – 220 M). Terlepas dari apakah Hokusai terinspirasi dari kisah-
kisah tersebut, namun semuanya adalah tentang representasi dan imajinasi.

Dalam presentasinya, Kumiko menjelaskan bahwa kanji dari kata „Imajinasi=像‟ dapat
didekonstruksi menjadi dua kanji; „manusia=人‟ dan „gajah=象‟. Demikian pula kanji
„Representasi=表象‟, kanji „Gajah=象‟ juga menjadi salah satu elemen pembentuknya. Dari
paparan ini, saya juga melihat mekanisme yang setara antara Ishigami dan Egashira. Jika
instalasi „Flat Elephant‟ ini kita anggap sebagai manifestasi dari „keterasingan‟ maka
kelahirannya justru melalui proses penelusuran dari konteks diri dari kebudayaan Jepang
tersebut. Egashira menelusuri jejak (trace) dari ide representasi dan imajinasi dari kebudayaan
Jepang yang kemudian melalui operasi dekonstruksi, sebuah wujud baru muncul namun
dengan lugas menggarisbawahi isu representasi yang coba ia angkat tentang bagaimana
masyarakat Jepang memahami kota-nya.

Secara sederhana saya melihat bahwa kedua nya adalah contoh apa yang dimaksud dengan
stammering oleh Deleuze. Keduanya tidak menggunakan elemen/faktur dari luar „tubuh‟ tapi
bermula dari menerima dan menelusuri „tubuh‟ tersebut sampai suatu titik lahir sebuah yang
baru (baca:asing) dari sebuah proses yang sangat intim.

[3]

Stuttering : distorted speech characterized principally by blocks or spasms interrupting the


rhythm. – Dictionary.com

Stammering : a condition, that may be temporary, caused by sudden excitement, confusion,


embarrassment, or other emotion – dictionary.com

Dalam karya dokumenter BBC chanel 4 tentang raja inggris George VI, ada satu adegan yang
dramatis. Bagaimana seluruh rakyat menunggu raja barunya memberikan pidato inagurasinya
dengan rasa khawatir karya raja nya gagap. Radio BBC sampai menyiapkan berbagai macam
rekaman pidato sang raja, untuk berjaga-jaga agar „penyakit‟nya tidak kambuh ketika berpidato
nanti. Upaya sang raja melampaui tekanan mental dari luar tubuhnya ini tentu lebih dapat kita
rasakan – dan lebih dramatis tentunya melalui film King‟s Speech.

Stuttering adalah adanya suatu keasingan yang lahir karena tekanan dari luar-menjadi penyakit.
Sedangkan Stammering adalah keasingan yang lahir dari penerimaan diri (embracement).
Keduanya berbeda pada ranah operasi dan bukan pada wujud akhirnya – walau secara
karakter stuttering hanya mengasilkan keasingan dari sebuah keasingan, sedangkan
stammering akan melahirkan keintiman dari sebuah kasingan. Stammering akan meluruhkan
hirarki dan struktur, sedangkan stuttering hanya mengubah posisi dari sebuah hirarki. Saat ini
dengan tingginya intensitas informasi melalui perkembangan teknologi informasi justru
melahirkan komplikasi „patologis‟ baru. Batasan keduanya akan menjadi blur, keterasingan
dapat lahir seakan dari sebuah stammer walau sebetulnya itu hanyalah ke-gagap-an (stutter)
belaka. Pemahaman dan penerimaan „tubuh‟ menjadi kunci keluar dari ke-gagap-an patologis
tersebut. Stuttering adalah sebuah keterasingan yang melahirkan „territorialization‟ baru dan
bukan memerdekakannya.

Anda mungkin juga menyukai