Anda di halaman 1dari 22

 SYARATNYA adalah Anda harus menbuka youtube dan memutar video yang

diinginkan hingga selesai terlebih dulu. Tujuannya supaya jejaknya tertinggal di


directory cache di komputer kita.

 Buka firefox Anda kemudian pada address bar ketikkan “about:cache?device=disk”


(tanpa tanda kutip ya). Kemudian enter. maka akan tampil seperti gambar berikut
 Maka akan tampak direktori cache di hardisk kita. kemudian copy saja alamat tersebut
dan paste-kan pada Address bar windows explorer (yang untuk melihat isi disk itu).
kalo di komputer Cah Mbeling ini ada di C:\Users\Cah
Mbeling\AppData\Local\Mozilla\Firefox\Profiles\z9pcbhse.default\Cache .
gambarnya akan nampak seperti berikut
 file-file cache akan tampil dengan kombinasi angka dan huruf. kemudian carilah kira-
kira file yang ukurannya besar. biasanya di atas 1,5MB. (file cache ini kalopun
terhapus tidak akan berdampak pada system).
 Setelah file yang kita perkirakan ada, tambahkan extensi dibelakangnya dengan .flv .
misalnya filenya 6D56CC438H maka klik kanan > RENAME dan tambahkan
dibelakangnya dengan .flv . lalu tekan enter
 jika sudah coba double klik file itu. jika itu benar adalah file video (yang kita maksud)
dan kita sudah memiliki flv player maka video segera play on.
 Terakhir, simpanlah video itu ditempat yang anda kehendaki.

BAGIAN 1     PENGANTAR


 
1.1.1     Sistem hukum Singapura adalah hamparan permadani yang kaya dengan undang-
undang, institusi-institusi, nilai-nilai, sejarah serta budaya. Layaknya sulaman perca ala
Singapura, setiap helai sistem hukum itu dijalin bersama sedemikian sehingga membentuk
kaleidoskop yurisprudensi dan diikat dengan identitas nasional yang unik. 
 
1.1.2     Sistem hukum tersebut sudah tentu akan menyebabkan suatu tekanan seperti tekanan
yang dialami karena adanya perubahan-perubahan sosial-ekonomi dan politik-hukum yang
timbul seiring dengan meningkatnya globalisasi dan regionalisasi. Karenanya, Singapura
harus bereaksi dengan cepat dan tangkas dalam membuat undang-undang dan institusi-
institusi baru, atau menyesuaikan undang-undang dan institusi-institusi yang sudah ada.
 
1.1.3     Dalam hal ini, Singapura telah siap dan bersedia belajar dari perkembangan-
perkembangan hukum yang terjadi di luar negeri, jika memiliki kesamaan aspirasi. Kadang-
kadang, cara-cara penyelesaian masalah yang sudah kuno harus diganti dengan ide-ide baru
yang telah teruji dengan modifikasi-modifikasi yang tepat agar sesuai dengan keadaan
setempat. Dalam proses adaptasi, belajar dan perubahan berkesinambungan yang (kadang
kala) sulit ini, bagaimanapun, peranan sejarah tetap amat berguna sebagai petunjuk
(meskipun tidak sempurna) menuju hukum Singapura yang sekarang dan di masa yang akan
datang (lihat Bagian 2).  
 
Kembali ke atas
 
 
BAGIAN 2     SEJARAH KONSTITUSIONAL DAN HUKUM 
  
1.2.1     Sejak ditemukan oleh Sir Thomas Stamford Raffles dari British East India Company
di tahun 1819 hingga kemerdekaannya di tahun 1965, perkembangan hukum Singapura telah
sangat berhubungan erat dengan majikan kolonial Inggris-nya.  Seringkali, tradisi-tradisi
hukum, kebiasaan-kebiasaan, kasus-kasus hukum dan perundang-undangan menurut hukum
Inggris diserap tanpa banyak pertimbangan apakah hal tersebut cocok dengan keadaan
setempat Singapura.
 
1.2.2     Dengan kemerdekaannya, kemudian secara bertahap – dan terus meningkat –
terjadilah pergerakan-pergerakan menuju perkembangan suatu sistem hukum lokal. Prinsip
kuncinya adalah setiap penyerapan suatu praktek hukum atau norma harus sesuai dengan
kondisi budaya, sosial dan ekonomi Singapura. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa
kesuksesan ekonomi Singapura didorong oleh, antara lain, faktor bijaknya kepemimpinan,
penggunaan hukum dan sistem hukum dalam membangun masyarakat baru dan memastikan
kelangsungan hidup ekonominya, sambil memastikan pula agar sistem hukum Singapura
dapat selaras dengan kebutuhan dan permintaan komunitas internasional. Sebagai
kelanjutannya, maka terbentuklah suatu sketsa tonggak-tonggak bersejarah perkembangan
konstitusional dan hukum Singapura.
 
Kedatangan Inggris – Singapura dalam Kerajaan Inggris (1819)  
 
1.2.3     Awal abad ke-19: Singapura berada di bawah kekuasaan Sultan Johor, yang menetap
di kepulauan Riau-Lingga. Kombinasi tradisi Melayu dan hukum adat (yaitu hukum dan
kebiasaan tradisional yang secara lokal berlaku di Indonesia dan Malaysia) telah membentuk
dasar bagi sistem hukum awal yang berlaku bagi masyarakat nelayan pada waktu itu yang
jumlahnya tidak lebih dari 200 orang.
 
1.2.4     29 Januari 1819: Pendirian Singapura modern oleh Raffles, yang pada saat itu adalah
Letnan-Gubernur Bengkulu. Raffles telah sanggup meramal ke depan dan menentukan bahwa
Singapura sebagai lokasi yang strategis secara geo-politis: hal ini telah menjadikan Singapura
sebagai titik kontrol yang sangat baik bagi Kerajaan Inggris untuk mengawasi gerbang masuk
menuju Selat Malaka dan rute pelayaran utama antara Asia Selatan dan Asia Timur Laut.
Secara cepat, Singapura telah berevolusi menjadi pelabuhan dagang yang penting.  
 
1.2.5     30 Januari 1819: Raffles membuat suatu perjanjian awal dengan  Temenggong
Abdu'r Rahman, perwakilan Sultan Johor di Johor dan Singapura, untuk mendirikan suatu
pusat perniagaan (trading factory) di Singapura.
 
1.2.6     6 Februari 1819: Suatu perjanjian formal dibuat antara Sultan Hussein dari Johor
bersama Temenggong Abdu’r Rahman,  masing-masing adalah penguasa de jure dan
penguasa de facto Singapura waktu itu, untuk  meresmikan perjanjian awal yang telah dibuat
sebelumnya. Raffles kemudian menetapkan Singapura sebagai bagian dari yurisdiksi
Bengkulu, yang kemudian berada di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal di Calcutta,
India.
 
1.2.7     1819 - 1823: Agar pemerintahan di Singapura berjalan dengan baik, Raffles
menetapkan suatu kitab undang-undang yang dikenal dengan sebutan “Singapore
Regulations” atau “Peraturan-peraturan Singapura” dan menetapkan suatu sistem hukum
yang mendasar namun bersifat fungsional dengan penerapan hukum yang seragam yang
berlaku bagi semua penduduk.
 
1.2.8     Maret 1824: Status Singapura sebagai daerah kekuasaan Inggris ditegaskan dalam
Perjanjian Anglo-Belanda (Anglo-Dutch Treaty) dan Perjanjian Penyerahan Kekuasaan
(Treaty of Cession). Belanda mencabut semua keberatannya terhadap pendudukan Inggris
atas Singapura dan menyerahkan Malaka, sebagai ganti pelepasan penguasaan Inggris atas
pabrik-pabrik di Bengkulu dan Sumatera kepada Belanda. Kemudian, dalam tahun yang
sama, perjanjian yang kedua dibuat dengan Sultan Hussein dan Temenggong Abdu’r
Rahman, berdasarkan mana Kesultanan Johor menyerahkan Singapura kepada Inggris
sebagai ganti peningkatan pembayaran uang tunai dan pensiun.
 
Sistem Hukum yang Masih Baru – Suatu Awal yang Kacau Balau (1826 - 1867)
 
1.2.9     27 November 1826: Piagam Keadilan Kedua (The Second Charter of Justice)
disetujui oleh Parlemen Inggris atas petisi dari East India Company. Dalam Piagam tersebut
ditetapkan pendirian Pengadilan Yudikatur (Court of Judicature) di Pulau Milik Pangeran
Wales - Penang, Singapura dan Malaka, baik pengadilan perdata maupun pidana, yang sejajar
dengan pengadilan-pengadilan sejenis di Inggris.  Singapura bersama-sama dengan Malaka
dan Penang (dua daerah pendudukan Inggris lainnya di Semenanjung Melayu) kemudian
menjadi Daerah-daerah Pendudukan di Selat (Straits Settlements) pada tahun 1826, di bawah
penguasaan India Britanika (British India). Piagam tersebut tidak secara eksplisit
menyebutkan bahwa hukum Inggris harus diterapkan di Singapura, namun diasumsikan
bahwa Piagam tersebut telah meletakkan dasar hukum bagi penerimaan secara umum hukum
Inggris di Singapura. Kasus hukum lokal sejak abad ke-19, setelah kasus terkenal R v Willans
(1858) di Penang, telah menyerap posisi hukum bahwa hukum Inggris (baik common law
maupun equity yang berlaku pada 1826 maupun perundangan Inggris pra-1826) telah
diperkenalkan kepada Singapura melalui The Second Charter of Justice.
 
1.2.10     1833: Dengan adanya reorganisasi daerah-daerah yang dikuasai East India
Company oleh Parlemen Inggris pada tahun 1833, Gubernur Jenderal India kemudian diberi
wewenang untuk membuat peraturan perundangan yang berlaku bagi Daerah-daerah
Pendudukan di Selat (Straits Settlements). Pada masa ini, muncul suatu ketidakpuasan pada
sistem hukum yang ada. Masyarakat bisnis lokal merasa tidak suka dengan kerangka yudisial
yang dinilai tidak adil, yang membuat keadilan diperlakukan secara menyedihkan.
 
1.2.11    1855: Atas petisi East India Company, Piagam Keadilan Ketiga (The Third Charter
of Justice) disetujui [oleh Parlemen Inggris] agar dapat mempermudah penanganan pekerjaan
di bidang hukum yang meningkat. Namun demikian, Piagam Ketiga tidak berhasil
memperbaiki keadaan. Dengan dibubarkannya East India Company pada tahun 1858, maka
Daerah-daerah Pendudukan di Selat (Straits Settlements) kemudian dialihkan ke
dalam  kekuasaan Pemerintah India. Namun, banyak suara tidak puas dari Straits Settlements
yang diperintah di luar wilayah India, karena hal ini cenderung menimbulkan perasaan
direndahkan, jika tidak diabaikan.
 
1.2.12    1 April 1867: Straits Settlements berubah menjadi Koloni Kerajaan (Crown Colony)
di bawah yurisdiksi langsung Kantor Pemerintahan Kolonial (Colonial Office) di London.
 
1.2.13    1868: Mahkamah Agung untuk Straits Settlements didirikan, setelah dibubarkannya
Pengadilan Yudikatur (Court of Judicature). Pada tahun 1873, terjadi lagi reorganisasi
lanjutan yaitu dengan diberikannya kekuasaan kepada Mahkamah Agung untuk berfungsi
sebagai Pengadilan Banding (Court of Appeal). Sebelumnya, upaya-upaya banding diajukan
kepada Dewan Kerajaan (King-in-Council). Pada tahun 1878, sebagai akibat dari perubahan
yang terjadi pada sistem yudisial Inggris, maka pengadilan-pengadilan di Singapura turut
direstrukturisasi sedemikian sehingga serupa dengan pengadilan-pengadilan di bawah
Pengadilan Tinggi Inggris (English High Court).
 
1.2.14    1934: Pengadilan Banding Pidana (Court of Criminal Appeal) ditambahkan ke dalam
struktur Mahkamah Agung.
      
Dari Inggris ke Jepang ke Inggris Lagi (1942 – 1945)   
 
1.2.15    Februari 1942 - September 1945: Masa penjajahan Jepang atas Singapura. Nama
“Singapura” diubah menjadi “Syonan” (Cahaya dari Selatan) dan dioperasikan di bawah
pemerintahan militer Jepang. Akhir Perang Dunia II telah mengakibatkan Singapura berada
di bawah pemerintahan sementara Pemerintah Militer Inggris (British Military
Administration - BMA). Setelah masa ini, kekuasaan imperial kemudian mendorong
penentuan nasib sendiri dan de-kolonisasi. 
 
1.2.16    1946: Daerah-daerah Pendudukan di Selat (Straits Settlements) dibebaskan.  Penang
dan Malaka menjadi bagian dari Malayan Union pada tahun 1946 dan setelah itu menjadi
Persekutuan Tanah Melayu (Federation of Malaya) pada tahun 1948. Singapura dijadikan
Koloni Kerajaan yang memiliki konstitusi sendiri. Kekuasaan sesungguhnya untuk
memerintah dan membuat peraturan berada di tangan Gubernur dan pejabat-pejabat kolonial
dengan sedikit porsi partisipasi dan perwakilan lokal, melalui pemilihan perwakilan terbatas
di Dewan Legislatif (Legislative Council). Pemilihan perwakilan yang pertama dilakukan
pada tahun 1948.
 
Jalan menuju Pemerintahan Sendiri (1948 – 1959)   
 
1.2.17    1948-1960: Masa darurat. Pemerintah di Singapura dan Malaya (yang pada tahun
1957 menjadi Malaysia) mengawasi dengan ketat partai komunis (Communist Party of
Malaya), yang telah mendeklarasikan tujuan mereka untuk mengambil alih Malaya dan
Singapura dengan cara kekerasan. Peraturan-peraturan yang amat keras (seperti penjara tanpa
proses pengadilan) telah ditetapkan sebagai upaya mengendalikan kegiatan-kegiatan frontal
komunis bersatu.
 
1.2.18    1953: Suatu Komite Konstitusional (Constitutional Commission), yang dipimpin
oleh Sir George Rendel (‘Rendel Comission’) didirikan untuk menelaah konstitusi Negara
Koloni itu dan untuk meningkatkan partisipasi publik dalam hal penatakelolaan sendiri (self-
governance). Pemerintah menerima hampir semua laporan Komite termasuk transformasi
Dewan Legislatif (Legislative Council) menjadi suatu dewan (chamber) yang terdiri dari para
anggota yang dipilih secara langsung.  Bagaimanapun, kekuasaan yang sesungguhnya masih
berada di tangan Gubernur dan Pejabat-pejabat Anggota Dewan Menteri (Council of
Ministers) dan bukan pada anggota Dewan terpilih tadi. Sehingga pada masa ini, Progressive
Party merupakan partai politik unggul di Singapura yang telah memenangi pemilihan anggota
Dewan Legislatif (Legislative Council) pada tahun 1948 dan 1951.
 
1.2.19    1955: Dalam pemilihan anggota Majelis Legislatif (Legislative Assembly) yang
pertama, partai Labour Front – yang dipimpin oleh David Saul Marshall – berhasil
menggantikan posisi Progressive Party sebagai partai pemenang pemilihan, dengan
memenangkan 10 dari 25 kursi. People’s Action Party (selanjutnya disebut ‘PAP’), yang
didirikan pada tahun yang sama, memenangkan 3 kursi. Marshall kemudian dijadikan
Menteri Kepala (Chief Minister) yang kemudian bersikeras untuk mempercepat gerakan
menuju pemerintahan sendiri. Pembicaraan-pembicaraan konstitusional
mengenai  pemerintahan sendiri dimulai pada tahun 1956 di London, dengan misi tanpa
pendukung (non-partisan mission) yang terdiri dari perwakilan-perwakilan seluruh partai
dalam Majelis.  
 
1.2.20    1956: Marshall mengundurkan diri pada tanggal 6 Juni dari kedudukannya sebagai
Menteri Kepala setelah gagalnya pembicaraan-pembicaraan konstitusional mengenai apakah
Komisaris Tinggi Inggris (British High Commissioner) di Singapura memiliki hak suara atas
Dewan Pertahanan (Defence Council) yang diusulkan. Lim Yew Hock, yang adalah wakil
Marshall dan Menteri Perburuhan, kemudian menggantikannya menjadi Menteri Kepala
(Chief Minister). Lim memimpin Misi Konstitusional pada bulan Maret 1957, yang berhasil
menegosiasikan ketentuan-ketentuan utama Konstitusi Singapura (Singapore Constitution)
yang baru.
 
1.2.21     8 Mei 1958: Perjanjian Konstitusional (The Constitutional Agreement)
ditandatangani di London. Parlemen Inggris mengesahkan Undang-undang tentang Negara
Singapura (The State of Singapore Act) pada tanggal 1 Agustus, yang menandai transisi
Singapura dari negara koloni menjadi negara yang mengatur dirinya sendiri pada tahun 1959.
 
1.2.22    Mei 1959: Partai PAP memenangkan 43 kursi, yang merupakan 53,4% dari total
suara, dalam pemilihan 51 perwakilan anggota Majelis Legislatif  (Legislative Assembly)
yang untuk pertama kalinya dipilih secara penuh. Pada tanggal 3 Juni, Konstitusi Negara
(State Constitution) baru diberlakukan berdasarkan proklamasi Gubernur Sir William Goode,
yang menjadi Kepala Negara Singapura pertama. Adapun Lee Kuan Yew menjadi Perdana
Menteri Singapura pertama.  Peristiwa ini menandakan titik kulminasi perjalanan menuju
pemerintahan sendiri dan merupakan awal dari perjalanan sulit menuju kemerdekaan melalui
penggabungan dengan Malaysia.
 
Singapura dalam Malaysia (1963 – 1965)  
 
1.2.23    27 Mei 1961: Perdana Menteri Malaya, Tunku Abdul Rahman, mengusulkan kerja
sama politik dan ekonomi yang lebih erat di antara Persekutuan Tanah Melayu (Federation of
Malaya), Singapura, Sarawak, Borneo Utara dan Brunei, melalui suatu penggabungan. Partai
PAP lebih memilih penggabungan dengan Persekutuan Tanah Melayu (Federation of Malaya)
dengan alasan demi kelangsungan perekonomian dan sebagai cara untuk mencapai
kemerdekaan politik dari Inggris. Para pendukung kaum komunis memandang usulan ini
sebagai suatu skenario imperialis. 
 
1.2.24    1 September 1962: Dilakukan suatu referendum untuk menentukan ketentuan-
ketentuan penggabungan dan rencana penggabungan PAP disetujui. Ketentuan-ketentuan
utama penggabungan menetapkan bahwa pemerintah federal di Kuala Lumpur bertanggung
jawab untuk bidang pertahanan, urusan luar negeri dan keamanan dalam negeri. Namun,
ditetapkan pula tentang otonomi lokal atas bidang keuangan, pendidikan dan perburuhan.
Singapura juga diharuskan memiliki pemerintahan negara sendiri.
 
1.2.25    16 September 1963: Malaysia – yang terdiri dari Persekutuan Tanah Melayu
(Federation of Malaya), Singapura, Sarawak dan Borneo Utara (sekarang Sabah) – dibentuk.
Indonesia dan Filipina menentang penggabungan ini. Presiden Indonesia, Sukarno,
meluncurkan kampanye keras Konfrontasi melawan Malaysia. Dengan penggabungan
tersebut, sistem pengadilan Singapura menjadi bagian dari sistem pengadilan Malaysia.
Mahkamah Agung Singapura diganti dengan Pengadilan Tinggi Malaysia di Singapura.
Instansi pengadilan banding terakhir adalah Pengadilan Federal (Federal Court) di Kuala
Lumpur.
      
Perpisahan dengan Malaysia dan Kemerdekaan (1965)          
 
1.2.26    1965: Dalam waktu dua tahun sejak penggabungan, kesatuan itu gagal karena
berbagai alasan, mulai dari politik rasial Malaysia sampai pertengkaran pribadi. Kesemuanya
ini, ditambah dengan ancaman dan ledakan kekerasan rasial serta ancaman komunis yang
sekalipun telah berkurang, telah memicu pemisahan Singapura dari Malaysia pada tanggal 9
Agustus. Perjanjian tentang Kemerdekaan Singapura (The Independence of Singapore
Agreement) tanggal 9 Agustus 1965 mendeklarasikan bahwa, “… Singapura  akan selamanya
merupakan negara demokratis yang berdaulat dan merdeka yang didirikan berdasarkan
prinsip-prinsip kemerdekaan, keadilan dan berusaha mencapai kesejahteraan serta
kebahagiaan bagi warganegaranya dalam masyarakat yang lebih adil dan setara”.
 
1.2.27    Desember 1965: Yusof bin Ishak terpilih sebagai Presiden Singapura pertama pada
tanggal 22 Desember 1965. Pada tanggal yang sama, Parlemen Singapura menyelesaikan
penyusunan ‘tata tertib prosedur dan formalitas konstitusional dan hukum’ agar selaras
dengan status Singapura sebagai negara merdeka, termasuk membereskan anomali
Pengadilan Tinggi Singapura yang merupakan bagian dari sistem yudikatif Malaysia. Komite
konstitusional kedua kemudian dibentuk, dipimpin oleh Hakim Kepala Wee Chong Jin, untuk
menelaah bagaimana hak-hak golongan minoritas (tentang ras, bahasa dan agama) dapat
secara konstitusional dilindungi. Dalam laporannya pada tahun 1966, Komite Wee (Wee
Commission) merekomendasikan ditetapkannya ketentuan-ketentuan konstitusional
mengenai kemerdekaan fundamental, badan yudikatif, badan legislatif, pemilihan umum,
hak-hak minoritas,  kedudukan khusus orang Melayu dan prosedur-prosedur perubahan
(dalam hal ini, untuk mengubah ketentuan-ketentuan tersebut diperlukan proses [persetujuan]
dua tahap: 2/3 mayoritas suara di Parlemen dan diikuti dengan 2/3 mayoritas suara pada
referendum nasional). Satu rekomendasi yang diterima adalah dibentuknya Dewan Negara
(State Council), yaitu suatu badan penasehat yang mengusulkan nasehat-nasehat kepada
Parlemen mengenai suatu peraturan yang sedang diajukan dan dampaknya terhadap golongan
minoritas. Badan ini sekarang dikenal dengan nama Dewan Kepresidenan untuk Bidang Hak-
hak Minoritas (Presidential Council for Minority Rights).
 
Perkembangan Sistem Hukum Milik Sendiri
 
1.2.28    Pada tahun 1970-an dan 1980-an terasa adanya kemudahan secara implisit karena
telah mewarisi tradisi, kebiasaan dan hukum Inggris. Dorongan untuk menciptakan sistem
hukum sendiri telah meningkatkan momentum pada akhir tahun 1980-an dan dipercepat
dengan pengangkatan Hakim Kepala Yong Pung How pada bulan September 1990 yang
masih menjabat hingga saat ini. Peristiwa ini berbarengan dengan masa penyusunan kembali
secara konstitusional dan intensif untuk mengembangkan sistem pemerintahan dan parlemen
sendiri milik Singapura. Ditinggalkannya sistem parlemen yang terinspirasi gaya
Westminster telah dibuktikan melalui inovasi-inovasi, yang diupayakan untuk mengatasi
keadaan politik yang unik di Singapura. 
 
1.2.29    1979: Ketentuan-ketentuan konstitusional dibuat untuk membentuk Komisaris
Yudisial (Judicial Commissioners) yang berfungsi memfasilitasi penyelesaian perkara di
Mahkamah Agung untuk suatu waktu yang terbatas yang dapat diperbaharui, yaitu antara 6
bulan sampai 3 tahun. Komisaris Yudisial juga dapat ditunjuk untuk memeriksa dan
memutuskan suatu kasus tertentu saja. Komisaris Yudisial melaksanakan wewenang dan
fungsi yang sama dengan Hakim Pengadilan Tinggi (High Court Justice) dan memiliki
imunitas seperti yang dimiliki Hakim Pengadilan Tinggi, kecuali dalam hal tidak ada jaminan
tentang jangka waktu masa jabatan. Sebelumnya, pada tahun 1971, Konstitusi Singapura
telah diubah sedemikian rupa agar memungkinkan diangkatnya hakim-hakim tambahan,
sehingga memungkinkan para Hakim Pengadilan Tinggi, yang seharusnya sudah pensiun
pada usia 65 tahun, untuk tetap duduk di kursi hakim untuk masa jabatan yang lebih panjang
berdasarkan suatu kontrak.
 
1.2.30    1993: Penghapusan semua upaya banding ke Dewan Penasehat (Privy Council)
(pada 1989, upaya-upaya banding ke Privy Council dilarang keras). Suatu Pengadilan
Banding (Court of Appeal) yang permanen, dipimpin oleh Hakim Kepala (Chief Justice) dan
dua Hakim Banding (Justices of Appeal), ditetapkan sebagai pengadilan tertinggi Singapura.
Pada bulan November 1993, Undang-undang tentang Penerapan Hukum Inggris (The
Application of English Law Act; Cap 7A, 1994 Rev Ed) diberlakukan dan menentukan sejauh
mana hukum Inggris dapat diterapkan di Singapura.
 
1.2.31    11 Juli 1994: Suatu Pernyataan Praktek tentang Preseden Yudisial (The Practice
Statement on Judicial Precedent) yang penting menyatakan bahwa keputusan-keputusan
pengadilan Singapura terdahulu, yaitu Dewan Penasehat (Privy Council), demikian  juga
keputusan-keputusan Pengadilan Banding (Court of Appeal) yang dikeluarkan sebelumnya
tidak lagi mengikat  Pengadilan Banding permanen. The Practice Statement memberikan
alasan bahwa “pembangunan hukum kita harus menunjukkan perubahan-perubahan ini
[bahwa keadaan politik, sosial dan ekonomi telah mengalami perubahan sangat besar sejak
kemerdekaan Singapura] serta menunjukkan nilai-nilai fundamental masyarakat Singapura”.
Kepercayaan diri yang meningkat dalam pertumbuhan kedewasaan, kedudukan sistem hukum
Singapura di dunia internasional, serta kekhawatiran bahwa hubungan Inggris yang
meningkat dengan Uni Eropa akan mengakibatkan hukum Inggris menjadi tidak cocok lagi
dengan perkembangan dan aspirasi dalam negeri [Singapura], telah memberikan dorongan
untuk upaya-upaya pembentukan hukum sendiri.
 
Penerimaan Hukum Inggris         
 
1.2.32    Sebelum diundangkannya Undang-undang tentang Penerapan Hukum Inggris (The
Application of English Law Act; Cap 7A, 1994 Rev Ed), Piagam Keadilan Kedua (The
Second Charter of Justice) menetapkan dasar hukum bagi penerimaan secara umum prinsip-
prinsip dan aturan-aturan hukum Inggris (common law and equity) dan undang-undang
Inggris pra-1826 di Singapura, dengan syarat harus memperhatikan kecocokan dan
modifikasi sesuai kebutuhan dalam negeri. Namun, kesulitannya adalah  tidak seorang pun
yang tahu dengan pasti yang manakah dari undang-undang Inggris tersebut yang diterapkan
di sini (bahkan undang-undang yang di Inggris telah dicabut).
 
1.2.33    Permasalahan ini menunjukkan dengan jelas penerimaan hukum Inggris secara
spesifik berdasarkan Section 5 (sekarang sudah dicabut) dari Undang-undang tentang Hukum
Perdata (the Civil Law Act; Cap 43, 1988 Rev Ed) yang menetapkan bahwa jika ada suatu
pertanyaan atau masalah yang timbul di Singapura mengenai kategori hukum tertentu atau
tentang hukum yang menyangkut perdagangan secara umum, maka hukum yang diterapkan
dalam hal ini adalah hukum yang sama yang diterapkan di Inggris pada kurun waktu yang
sama pula, kecuali jika terdapat ketentuan lain berdasarkan suatu hukum yang berlaku di
Singapura. Sampai dengan dicabut pada tahun 1993, hal ini merupakan ketentuan penerimaan
yang penting dalam kitab-kitab undang-undang Singapura. Pencabutannya juga telah
menghapus banyak ketidakpastian dan keadaan-keadaan yang tidak memuaskan yang timbul
dari suatu negara berdaulat, yang hingga kini sangat bergantung pada hukum dari bekas
negara penjajahnya.
 
1.2.34    Undang-undang tentang Penerapan Hukum Inggris (The Application of the English
Law Act) menetapkan bahwa common law Inggris (termasuk prinsip-prinsip dan aturan-
aturan tentang keadilan), sepanjang masih menjadi bagian dari hukum Singapura sebelum 12
November 1993, akan tetap menjadi bagian dari hukum Singapura. Section 3 dari Undang-
undang tersebut menetapkan bahwa bagaimanapun common law akan tetap berlaku di
Singapura sepanjang hal tersebut dapat diterapkan pada keadaan-keadaan di Singapura dan
harus dimodifikasi jika keadaan khusus di Singapura mengharuskannya.  Section 4, dibaca
bersamaan dengan the First Schedule, menentukan pengundangan peraturan-peraturan Inggris
(baik seluruhnya maupun sebagian), dengan modifikasi yang diperlukan, yang diberlakukan
atau terus diberlakukan di Singapura. Section 7 menetapkan berbagai perubahan pada
undang-undang dalam negeri, dengan memasukkan peraturan hukum Inggris yang relevan.
 
Kembali ke atas
 
 
BAGIAN 3     COMMON LAW DI SINGAPURA
 
Akar-akar Common Law
           
1.3.1     Common Law adalah sehelai benang penting dari lembar kain politik-hukum
Singapura. Singapura telah mewarisi tradisi common law Inggris dan karenanya telah
menikmati manfaat-manfaat kestabilan, kepastian dan internasionalisasi yang inheren dalam
sistem Inggris (khususnya dalam bidang komersial/perdagangan). Singapura memiliki akar
common law Inggris yang sama dengan yang dimiliki negara-negara tetangganya (seperti
India, Malaysia, Brunei dan Myanmar), walaupun detil penerapan dan pelaksanaan dari
masing-masing negara berbeda sesuai dengan kebutuhan dan kebijakan setiap negara.
 
Doktrin Preseden Yudisial (Judicial Precedent)       
 
1.3.2     Pada intinya, sistem hukum common law Singapura dicirikan dari doktrin preseden
yudisial (atau stare decisis). Berdasarkan doktrin ini, hukum itu dibangun dan dikembangkan
terus oleh para hakim melalui aplikasi prinsip-prinsip hukum pada fakta-fakta dari kasus-
kasus tertentu. Dalam hal ini, para hakim hanya diwajibkan untuk menerapkan ratio
decidendi (atau alasan yang mempengaruhi diambilnya suatu keputusan) dari pengadilan
yang tingkatnya lebih tinggi dalam hirarki yang sama. Jadi, di Singapura, ratio decidendi
yang terdapat dalam keputusan-keputusan Pengadilan Banding Singapura (Singapore Court
of Appeal) secara ketat mengikat Pengadilan Tinggi Singapura (Singapore High Court),
Pengadilan Negeri (District Court) dan Pengadilan Magistrat (Magistrate’s Court). Di lain
pihak, keputusan-keputusan pengadilan Inggris dan negara-negara Persemakmuran lainnya
tidak secara ketat mengikat Singapura. Pernyataan-pernyataan yudisial lainnya (obiter dicta)
yang dibuat dalam keputusan pengadilan yang lebih tinggi tingkatannya, yang tidak secara
langsung mempengaruhi hasil akhir suatu kasus, dapat diabaikan oleh pengadilan yang lebih
rendah tingkatannya. 
 
1.3.3     Pengadilan yang lebih rendah tingkatannya, dalam beberapa kasus, dapat
menghindarkan diri dari keharusan menerapkan ratio decidendi dari keputusan pengadilan
yang lebih tinggi yang dikeluarkan sebelumnya, jika (a) pengadilan tersebut dapat
membedakan secara material fakta-fakta kasus yang dibawa ke hadapannya dengan fakta-
fakta dari keputusan yang sebelumnya pernah diambil oleh pengadilan yang lebih tinggi; atau
(b)   keputusan pengadilan yang lebih tinggi tersebut memang dibuat secara per  incuriam
(yaitu, tanpa menghiraukan doktrin stare dicisis).
 
Pengaruh dari dan Ditinggalkannya Common Law Inggris
         
1.3.4     Pengaruh besar dari hukum common law Inggris pada perkembangan hukum
Singapura secara umum lebih terbukti dari beberapa bidang common law tradisional (seperti
Perjanjian/Contract, Perbuatan Melawan Hukum/Tort dan Restitusi/Restitution) daripada
bidang-bidang lain yang didasarkan pada undang-undang (seperti Hukum Pidana/Criminal
Law, Hukum Perusahaan/Company Law dan Hukum Pembuktian/Law of Evidence).
Mengenai bidang-bidang yang didasarkan pada undang-undang ini, negara-negara lain seperti
India dan Australia telah amat mempengaruhi dari segi pendekatan dan isi dari beberapa
undang-undang Singapura tersebut.
 
1.3.5     Namun, akhir-akhir ini tendensi pengadilan di Singapura yang dahulu selalu
mengindahkan keputusan-keputusan Inggris telah secara signifikan mulai beralih menuju
ditinggalkannya pengadilan-pengadilan Inggris tersebut (bahkan untuk bidang-bidang
tradisional common law). Bahkan saat ini terdapat pengakuan yang lebih besar pada
yurisprudensi lokal di dalam perkembangan common law di Singapura.
 
1.3.6     Dua contoh yang terjadi baru-baru ini, akan memberikan gambaran yang cukup jelas
tentang hasrat Singapura mengembangkan sistem dan badan hukum sendiri. Dalam bidang
perbuatan melawan hukum (torts), pengadilan-pengadilan Singapura telah secara sadar
menyimpang dari exclusionary rule dalam kasus Inggris Murphy vs Pengadilan Negeri
Brentford (1991) sehingga memungkinkan pemulihan kerugian secara ekonomi yang timbul
dari tindakan kelalaian (negligent acts) atau kegagalan melakukan sesuatu (omissions)
berdasarkan kasus Anns vs Merton (1978). Dalam kasus yang baru-baru ini terjadi, dalam
bidang hukum perjanjian, yaitu kasus Chwee Kin Keong v Digilandmall.com Pte Ltd (2005)
di Pengadilan Banding Singapura (Singapore Court of Appeal), pengadilan tersebut telah
memilih untuk tidak mengadopsi pendapat dalam putusan Pengadilan Banding Inggris (the
English Court of Appeal) dalam kasus Great Peace Shipping Ltd v Tsavliris Salvage
(International) Ltd (2002) mengenai yurisdiksi yang adil (equity jurisdiction) dalam hal
terjadi kesalahan unilateral. Kebutuhan untuk memiliki sistem hukum sendiri ini secara lebih
jauh telah didorong oleh adanya perkembangan-perkembangan hukum Uni Eropa dan
dampaknya bagi sistem Inggris.
 
Perbandingan Sekilas: Sistem Hukum Common Law dengan Sistem Hukum Civil Law
 
1.3.7     Sistem common law di Singapura mengandung perbedaan yang material dengan
sistem hukum di beberapa negara Asia lainnya yang telah dipengaruhi oleh tradisi sistem
civil law (seperti RRC, Vietnam dan Thailand) atau negara-negara yang sistem hukumnya
merupakan campuran dari sistem civil law dan common law (misalnya Filipina).
 
1.3.8     Pertama-tama, sistem civil law tidak terlalu mengandalkan diri pada putusan
pengadilan yang telah ada sebelumnya dan tidak tunduk pada doktrin stare decisis, tidak
seperti halnya sistem common law sebagaimana dijelaskan di dalam Bagian 3.2 dan 3.3 di
atas. Pengadilan-pengadilan common law seperti di Singapura pada umumnya mengambil
pendekatan yang berlawanan (adversarial approach) di dalam proses litigasi antara para pihak
yang bersengketa sedangkan hakim dari sistem civil law bertendensi untuk mengambil peran
yang lebih aktif di dalam penemuan bukti dalam memutuskan perkara yang dihadapinya.
Ketiga, di dalam sistem common law, banyak prinsip-prinsip hukum yang telah
dikembangkan oleh para hakim sedangkan hakim dalam sistem civil law lebih mengandalkan
diri pada kitab undang-undang yang umum dan lengkap yang mengatur berbagai bidang
hukum.  
 
1.3.9     Akan tetapi, perbedaan antara sistem hukum common law dan civil law sekarang
menjadi lebih tidak kentara dibandingkan dengan masa yang lampau. Yurisdiksi common
law, misalnya, telah mulai membuat peraturan-peraturan untuk mengisi kesenjangan yang
terjadi di dalam sistem common law. Dalam hal ini, Singapura baru-baru ini telah
mengundangkan berbagai undang-undang untuk mengatur berbagai bidang hukum tertentu
(misalnya Contract (Rights of Third Parties) Act 2001 (Cap 53B, 2002 Rev Ed), Competition
Act 2004 (No 46 of 2004) dan Consumer Protection (Fair Trading) Act) (Cap 52A, 2004 Rev
Ed).
 
Common Law dan Equity        
 
1.3.10 Menurut sejarah, di Inggris, prinsip Equity (atau raga dari prinsip-prinsip keadilan –
fairness or justice) telah diterapkan oleh pengadilan-pengadilan untuk memperbaiki cacat
atau kelemahan yang inheren dalam sistem common law yang kaku. Pada masa yang lalu di
Inggris, pengadilan-pengadilan Chancery [Chancery courts] menjalankan Equity secara
terpisah dari pengadilan-pengadilan common law. Namun, demarkasi sejarah tersebut
tidaklah penting bagi Singapura di masa kini.
 
1.3.11 Menurut Undang-undang Hukum Perdata Singapura (Singapore Civil Law Act, Cap
43, 1999 Rev Ed), pengadilan-pengadilan Singapura diberi wewenang untuk menjalankan
common law dan equity secara bersamaan. Dampak praktisnya adalah penggugat dapat
mencari upaya-upaya hukum secara common law (Ganti rugi/Damages) dan secara equity
(termasuk Putusan Sela/Injunctions dan Pelaksanaan Janji Tertentu/Specific Performance)
dalam persidangan yang sama dan di hadapan pengadilan yang sama pula. Meskipun telah
ada penghapusan pemisahan Common Law-Equity, prinsip Equity telah memegang peran
yang bersifat menentukan, dalam perkembangan doktrin-doktrin tertentu dalam hukum
perjanjian, termasuk doktrin Undue Influence dan Promissory Estoppel.
 
Publikasi Laporan-laporan Hukum
 
1.3.12 Tanpa adanya publikasi secara reguler tentang preseden-preseden yudisial yang dapat
diakses oleh para hakim dan penasehat hukum, maka common law Singapura tidak akan
berkembang sepesat dan seekstensif sekarang. Laporan-laporan Hukum Singapura (Singapore
Law Reports) merupakan publikasi utama/penting bagi putusan-putusan pengadilan
Singapura sejak 1992. Sebelumnya, Malayan Law Journal merupakan sumber publikasi
kasus-kasus lokal sejak 1932. Buku-buku hukum dan artikel-artikel jurnal mengenai bidang-
bidang yang penting juga telah memberikan sumbangan bagi common law Singapura yang
sedang tumbuh.
 
Hukum Islam (dalam Masalah Hukum Perorangan/Keluarga)
 
1.3.13 Di samping Common Law dan Equity, Pengadilan Syariah (Syariah Court) juga telah
menerapkan/menjalankan hukum Islam untuk menangani masalah-masalah hukum tertentu
mengenai perkawinan, perceraian, pembatalan perkawinan dan perpisahan yudisial di bawah
Undang-undang Administrasi Hukum Islam (the Admintration of Muslim Law Act – AMLA,
Cap 3, 1999 Rev Ed) yang berlaku untuk penduduk muslim atau para pihak yang menikah
berdasarkan hukum Islam (walaupun Pengadilan Tinggi/High Court mempunyai yurisdiksi
yang setara dengan Pengadilan Syariah/Syariah Court untuk masalah-masalah tertentu yang
berhubungan dengan pemeliharaan/maintenance, pengasuhan/custody dan pemisahan
harta/division of property). Untuk bidang waris/inheritance dan suksesi/succession, AMLA
secara tegas menerima teks-teks Islami tertentu sebagai bukti dalam hukum Islam.
 
Kembali ke atas
 
 
BAGIAN 4     KONSTITUSI
 
Undang-undang Tertinggi (Supreme Law)
 
1.4.1     Konstitusi (Constitution, 1999 Rev Ed) adalah undang-undang tertinggi di Singapura.
Diamanatkan bahwa setiap peraturan yang bertentangan dengan Konstitusi adalah batal.
 
1.4.2     Ketentuan-ketentuan dalam Konstitusi hanya dapat diubah berdasarkan persetujuan
2/3 suara dari jumlah total Anggota Parlemen terpilih. Sehubungan dengan perubahan-
perubahan konstitusional tertentu untuk mengubah wewenang-wewenang memutuskan dari
Presiden Terpilih dan ketentuan-ketentuan tentang kemerdekaan fundamental, bagaimanapun,
disyaratkan juga persetujuan dari sedikitnya 2/3 dari jumlah total suara yang diambil oleh
para pemilih (electorate) dalam suatu referendum nasional.
 
Hak-hak Fundamental      
 
1.4.3     Konstitusi menetapkan hak-hak fundamental tertentu, seperti kebebasan beragama
(freedom of religion), kebebasan berbicara (freedom of speech) dan persamaan hak (equal
rights). Hak-hak individual ini tidaklah bersifat absolut melainkan dibatasi oleh kepentingan
umum, seperti pemeliharaan ketertiban umum, moralitas dan keamanan nasional. Di samping
perlindungan umum ras dan agama golongan minoritas, kedudukan kaum Melayu, sebagai
masyarakat asli/pribumi Singapura, juga secara konstitusional diamanatkan.
 
Wewenang dan Fungsi Organ-organ Negara
 
1.4.4     Konstitusi mengandung ketentuan-ketentuan yang secara tegas menentukan
wewenang dan tugas/fungsi berbagai organ negara, termasuk badan legislatif/Legislature
(Bagian 5),  badan eksekutif/Executive (Bagian 6) dan badan yudikatif/Judiciary (Bagian 7).
 
Kembali ke atas
  
 
BAGIAN 5     BADAN LEGISLATIF
 
Tugas
 
1.5.1     Tugas utama Parlemen Singapura adalah mengundangkan undang-undang yang
mengatur Negara.
 
Proses Pembuatan Undang-undang
 
1.5.2     Proses pembuatan undang-undang dimulai dengan Rancangan Undang-Undang
(“RUU”), yang biasanya disusun oleh pejabat-pejabat hukum Pemerintah. RUU-RUU yang
berjenis private members jarang terdapat di Singapura. Selama masa diskusi dalam Parlemen
mengenai suatu RUU yang penting, kadang-kadang para Menteri melakukan pidato atau
presentasi yang mengesankan dalam upaya mereka mempertahankan RUU tersebut dan
menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit yang diajukan oleh para penentangnya
(backbenchers). Para Anggota Perlemen (Members of the Parliament – MPs), dalam beberapa
hal, dapat memutuskan untuk menyerahkan RUU tersebut kepada suatu Komite Khusus
(Select Committee) agar memeriksa/membahas dengan seksama dan melaporkan hasilnya
kepada Perlemen. Jika laporan tersebut dinilai baik atau jika usulan perubahan-perubahan
atas RUU tersebut disetujui oleh Parlemen, maka RUU tersebut diterima dan disetujui oleh
Parlemen.
 
1.5.3     Dewan Kepresidenan untuk Hak-hak Minoritas (The Presidential Council for
Minority Rights -- PCMR) yang dibentuk berdasarkan Konstitusi Singapura ditugasi untuk
memeriksa/menelaah RUU-RUU dengan seksama, kecuali untuk beberapa RUU tertentu
yang dikecualikan,   untuk memastikan agar RUU yang diperiksanya itu dengan cara apapun
tidak merugikan orang-orang dari golongan ras atau agama tertentu dan secara seimbang
tidak pula merugikan golongan lainnya, baik yang secara langsung menaruh prasangka pada
orang-orang dari golongan tertentu atau yang secara tak langsung memberikan keuntungan
hanya pada suatu golongan tertentu lainnya. Jika laporan PCMR itu menunjukkan hasil yang
baik atau jika persetujuan 2/3 mayoritas di Parlemen telah diterima untuk menyampingkan
laporan PCMR yang menunjukkan hasil tidak baik, maka RUU tersebut, selanjutnya akan
diteruskan kepada Presiden untuk disetujui. Pada tahap inilah RUU tersebut secara resmi
telah diundangkan sebagai “undang-undang”.
 
Susunan
 
1.5.4     Dari segi susunan, Parlemen Singapura terdiri dari para anggota yang dipilih dan para
anggota yang tidak dipilih.
 
Anggota Parlemen Yang Dipilih    
 
1.5.5     Anggota Parlemen yang dipilih berasal para calon angggota yang memenangi
pemilihan umum yang diselenggarakan setiap 4 sampai 5 tahun. Pada saat ini, Parlemen
didominasi oleh partai PAP yang sedang memimpin dan yang lain adalah sedikit perwakilan
dari beberapa partai politik oposisi. Mereka (anggota dari partai politik oposisi) berasal dari
campuran antara daerah-daerah pemilihan beranggota tunggal (single-member constituencies)
dengan Daerah Pemilihan dengan Perwakilan Kelompok (Group Representation
Constituencies - GRCs). GRC yang didirikan pada tahun 1988, saat ini terdiri dari 4 sampai 6
anggota, yang paling sedikit satu di antaranya harus merupakan perwakilan yang dipilih dari
golongan minoritas. Tujuan utama GRC adalah untuk menjalankan multirasialisme dalam
dunia politik Singapura.
 
Anggota Parlemen Yang Tidak Dipilih 
 
1.5.6     Di lain pihak, Anggota Parlemen yang tidak dipilih tidak mempunyai hak suara
dalam pengambilan suara/voting untuk perubahan-perubahan konstitusional, RUU keuangan
dan mosi tidak percaya pada Pemerintah. Anggota Parlemen yang tidak dipilih ini terdiri dari
dua kategori yang berbeda, yaitu: Anggota Parlemen Bukan Dari Daerah Pemilihan (Non-
Constituency Members of Parliament - NCMPs) dan Anggota Parlemen Yang Dicalonkan
(Nominated Members of Parliament - NMP).
  
1.5.7     Untuk menyalurkan suara politik yang berbeda di Parlemen, anggota NCMPs dipilih
dari para calon anggota yang telah mengumpulkan persentase suara tertinggi di antara mereka
“yang kalah” dalam pemilihan umum.  Sebaliknya, anggota NMPs adalah para tokoh
masyarakat non-politikus yang dicalonkan agar memberikan variasi yang lebih besar pada
pandangan-pandangan non-partisan di Parlemen.
 
Kembali ke atas
 
 
BAGIAN 6     BADAN EKSEKUTIF
 
Kelayakan, Tugas dan Wewenang Presiden Terpilih
           
1.6.1     Pemimpin Badan Eksekutif adalah Presiden Terpilih. Kualifikasi atau persyaratan
untuk jabatan kepresidenan sangatlah ketat. Di samping integritas, karakter baik dan syarat-
syarat lainnya, calon presiden diharuskan telah menduduki jabatan tinggi selama tidak kurang
dari 3 tahun di posisi yang ditentukan secara konstitusional, dewan resmi negara, perusahaan
besar atau jabatan setingkat lainnya dalam organisasi atau departemen yang mempunyai
ukuran besar dan kompleksitas yang setara (baik dari sektor publik maupun swasta), yang
telah memberikan pengalaman dan kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan
tanggung jawab kepresidenan yang akan dipikulnya. Komite Pemilihan Presiden (Presidential
Elections Committee) telah dibentuk untuk memastikan agar persyaratan-persyaratan tersebut
terpenuhi.
 
1.6.2     Presiden Terpilih mengemban tugas menjaga cadangan devisa luar negeri negara dan
mempertahankan hak veto atas pengangkatan para pegawai negeri yang memegang posisi
kunci.  Jika Presiden akan melepaskan tugas-tugas konstitusional ini, maka Presiden
diharuskan berkonsultasi dengan Dewan Penasehat Presiden (Council of Presidential
Advisers), suatu badan yang dibentuk berdasarkan Konstitusi Singapura.
 
Kabinet      
 
1.6.3     Kabinet, yang berada di bawah wewenang Perdana Menteri (Prime Minister),
bertanggung jawab secara kolektif kepada Parlemen. Perdana Menteri adalah seseorang yang
dipilih oleh Presiden Terpilih, yang atas penilaian Presiden Terpilih dianggap akan dapat
memperoleh kepercayaan dari mayoritas Anggota Parlemen. 
 
1.6.4     Tidak ada pemisahan wewenang secara tegas antara Badan Eksekutif dengan Badan
Legislatif. Dari segi komposisi, para anggota Kabinet dipilih dari Anggota Parlemen
(Members of Parliament). Para Sekretaris Parlemen (Parliamentary Secretaries) selanjutnya
dipilih dari para Anggota Parlemen untuk membantu kerja para Menteri. Selanjutnya, para
Menteri dan badan-badan pemerintah yang terkait bertanggung jawab membuat peraturan-
peraturan di tingkat yang lebih rendah sebagai pelaksanaan dari peraturan induk yang telah
diundangkan oleh Parlemen.
 
Para Penasehat Hukum Pemerintah  
 
1.6.5     Untuk segi hukum, Pemerintah dinasehati dan diwakili oleh Jaksa Agung (Attorney
General) dan Pengacara Umum Negara (Solicitor-General) baik untuk masalah-masalah
perdata maupun pidana. Juga ada bagian-bagian khusus dalam Kejaksaan Agung (Attorney
General’s Chambers) (http://www.agc.gov.sg) yang menangani pembuatan rancangan/konsep
peraturan, reformasi hukum dan urusan-urusan internasional. 
 
Kembali ke atas
 
 
BAGIAN 7     BADAN YUDIKATIF
 
Reputasi Internasional
 
1.7.1     Tingkat efisiensi dan kekuasaan Badan Yudikatif Singapura yang sangat tinggi telah
memenangi penghargaan-penghargaan internasional dan reputasi internasional yang kuat
(lihat peringkat sistem-sistem hukum dunia yang dibuat oleh Political and Economic Risk
Consultancy (PERC) dan Institute for Management Development (IMD)). Di bawah
kepemimpinan Hakim Kepala (Chief Justice) Yong Pung How yang saat ini
menjabat, pelaksanaan secara ketat manajemen kasus dan metode-metode Alternatif
Penyelesaian Sengketa (lihat Bagian 9 di bawah ini) telah secara drastis mengurangi
timbunan kasus yang telah lama bertumpuk di Mahkamah Agung (Supreme Court) dan
Pengadilan-pengadilan Yang Lebih Rendah (Subordinate Courts) di masa yang baru saja
berlalu.
 
Tugas dan Wewenang
 
1.7.2     Hakim di Singapura adalah arbiter baik dari segi hukum maupun fakta. Sistem
juri/jury system telah secara keras dibatasi di Singapura dan akhirnya dihapuskan sepenuhnya
pada tahun 1970. Wewenang yudisial diberikan kepada Mahkamah Agung/Supreme Court
(yang terdiri dari Pengadilan Banding Singapura/Singapore Court of Appeal dan Pengadilan
Tinggi/High Court)  dan kepada Pengadilan-pengadilan Yang Lebih Rendah/Subordinate
Courts.
 
Pengadilan Banding (Court of Appeal)
 
1.7.3     Pengadilan tertinggi di Singapura adalah Pengadilan Banding permanen/permanent
Court of Appeal, yang menangani kasus-kasus banding baik perdata maupun pidana, yang
berasal dari Pengadilan Tinggi/High Court  dan Pengadilan-pengadilan Yang Lebih
Rendah/Subordinate Courts. Sebagai tonggak sejarah hukum yang penting di Singapura, pada
tahun 1994, pengajuan-pengajuan banding ke Privy Council di Inggris dihapuskan. Pada
tanggal 11 Juli 1994, suatu Pernyataan tentang Preseden Yudisial (Practice Statement on
Judicial Precedent) yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Singapura memberikan
penjelasan bahwa Pengadilan Banding Singapura/Singapore Court of Appeal tidak terikat
pada keputusan-keputusannya sendiri maupun pada keputusan-keputusan terdahulu Privy
Council. Namun, Pengadilan Banding Singapura/Singapore Court of Appeal akan tetap
menganggap keputusan-keputusan tersebut mengikat secara normal, meskipun pengadilan
tersebut dapat menyimpang dari preseden terdahulu jika dianggap benar untuk
melakukannya.
 
Pengadilan Tinggi (High Court)
 
1.7.4     Para Hakim Pengadilan Tinggi/High Court Judges menikmati jaminan masa tugas
untuk jangka waktu tertentu, sementara para Komisaris Yudisial/Judicial Commissioners
diangkat berdasarkan kontrak jangka pendek. Namun demikian, keduanya mempunyai
wewenang yudisial dan imunitas yang sama. Wewenang yudisial mereka meliputi yurisdiksi
tingkat awal (original) maupun tingkat banding (appellate) baik untuk perkara perdata
maupun pidana. Pengangkatan para Hakim Pengadilan Tinggi baru-baru ini, yang khusus
untuk menangani perkara arbitrase di Pengadilan Tinggi, telah menambah 2 jenis pengadilan
khusus yang telah ada, yaitu: Pengadilan Maritim/Admiralty Court dan Pengadilan Hak Milik
Intelektual/Intellectual Property Court.
 
Tribunal Konstitusional (Constitutional Tribunal)
 
1.7.5     Suatu Tribunal Konstitusional/Constitutional Tribunal khusus juga telah dibentuk
yang berada di bawah yurisiksi Mahkamah Agung/Supreme Court, untuk menangani
pertanyaan-pertanyaan yang berdampak pada ketentuan-ketentuan konstitusional yang
diserahkan oleh Presiden Terpilih.
 
Pengadilan-pengadilan Yang Lebih Rendah (Subordinate Courts)           
 
1.7.6     Pengadilan-pengadilan Yang Lebih Rendah/Subordinate Courts (yang terdiri dari
Pengadilan Negeri/District Courts, Pengadilan Magistrat/Magistrates’ Courts, Pengadilan
Anak-anak/Juvenile Courts, Coroners Courts serta Tribunal Gugatan Kecil/Small Claims
Tribunals) juga telah dibentuk dalam hirarki yudisial Singapura untuk melaksanakan keadilan
dalam masyarakat. Dengan adanya peningkatan kecanggihan dalam dunia transaksi bisnis
dan hukum, baru-baru ini telah dibentuk Pengadilan Negeri Urusan Niaga Perdata dan
Pidana/Commercial Civil and Criminal District Courts dalam Subordinate Courts, untuk
menangani kasus-kasus yang lebih kompleks.
 
Pengadilan Negeri (District Courts) dan Pengadilan Magistrat (Magistrates’ Courts) 
      
1.7.7     Pengadilan Negeri/District Courts dan Pengadilan Magistrat/Magistrates’ Courts
mempunyai wewenang yang sama dalam penanganan masalah-masalah tertentu seperti
gugatan-gugatan yang mengandung unsur kontraktual dan perbuatan melawan hukum atas
utang, tagihan atau kerugian dan tindakan-tindakan untuk pengembalian uang.  Namun,
yurisdiksi mereka dibatasi oleh besarnya nilai perkara, yaitu untuk kasus-kasus perdata
senilai $ 60.000 Dolar Singapura untuk Pengadilan Magistrat dan $ 250.000 Dolar Singapura
untuk Pengadilan Negeri. Pengadilan-pengadilan itu juga mempunyai perbedaan dari segi
wewenang menghukum secara pidana. Batasan masa kurungan yang ditetapkan Pengadilan
Magistrat adalah 2 tahun, sedangkan batasan masa kurungan yang ditetapkan Pengadilan
Negeri adalah 7 tahun.
 
Tribunal untuk Gugatan Kecil (Small Claims Tribunals)
 
1.7.8     Di lain pihak, Tribunal untuk Gugatan Kecil/Small Claims Tribunals, dapat
menangani kasus secara lebih cepat, hemat dan dengan proses yang tidak terlalu formal untuk
memutuskan kasus-kasus gugatan kecil dengan batasan sebesar $20.000 Dolar Singapura
(asalkan para pihak yang bersengketa sama-sama menyetujui secara tertulis).
 
Pengadilan Keluarga (Family Courts)
 
1.7.9     Di samping pengadilan-pengadilan yang disebutkan di atas, Pengadilan
Keluarga/Family Courts menangani masalah-masalah perceraian, pemeliharaan, perwalian
dan adopsi.
 
Pengadilan dan Teknologi Informasi
 
1.7.10     Badan Yudikatif juga telah mengambil langkah-langkah penting dalam
memanfaatkan teknologi informasi di pengadilan, yang telah meningkatkan tingkat efisiensi,
setidaknya untuk sebagian hal. Pengadilan Berteknologi, misalnya, telah didirikan untuk
memungkinkan adanya information sharing di antara para pengacara dan hakim dan
pengajuan bukti-bukti oleh para saksi melalui konferensi video. Upaya-upaya hukum yang
melibatkan suatu perusahaan atau seseorang individu dapat dimonitor melalui suatu fasilitas
yang disebut Casewatch. Sistem Pengarsipan Elektronik/Electronic Filing System (EFS),
suatu proyek gabungan antara Badan Yudikatif, Singapore Network Services dan Singapore
Academy of Law (http://www.sal.org.sg) untuk memungkinkan pengarsipan, ekstraksi dan
penyampaian dokumen-dokumen pengadilan serta pelacakan kasus secara elektronik,
sekarang juga telah mencapai tahap penyempurnaan kembali untuk meningkatkan pelayanan
pada para pemakai jasa. Berbagai inovasi teknologi informasi telah pula dimanfaatkan untuk
memfasilitasi dan menyederhanakan berbagai proses pidana, yaitu pendaftaran dan
pengelolaan kasus-kasus pidana (SCRIMS), pemrosesan biaya-biaya lalu lintas antara Polisi
dan Pengadilan (TICKS 2000) dan pembayaran denda-denda pelanggaran lalu lintas yang
kecil (ATOMS).
 
Kembali ke atas
 
 
BAGIAN 8     PENDIDIKAN HUKUM DAN PROFESI HUKUM
 
Fungsi Lawyer di Singapura
 
1.8.1     Profesi hukum di Singapura bersifat “melebur” – seorang lawyer di Singapura dapat
bertindak sebagai Advokat/penasehat hukum/Advocate sekaligus sebagai
Pengacara/Solicitor. Pada garis besarnya, seorang lawyer tetaplah seorang pejabat Mahkamah
Agung. Kesempatan-kesempatan seorang lawyer Singapura cukup beragam - ia, misalnya,
dapat bekerja sebagai pejabat hukum atau pejabat yudisial pada Singapore Legal Service,
sebagai penasehat hukum internal suatu perusahaan atau berpraktek hukum pada suatu kantor
hukum lokal maupun internasional. Jika berpraktek dalam lingkungan kantor hukum lokal,
maka ia dapat menangani litigasi, pekerjaan korporasi, pekerjaan conveyancing dan hak milik
intelektual. Seorang lawyer pada kantor hukum internasional pada umumnya dibatasi untuk
menangani urusan-urusan korporasi, keuangan dan perbankan yang canggih. Dalam tahun-
tahun terakhir ini, seperti halnya pengadilan, profesi hukum telah mengalami pengkhususan
atau spesialisasi fungsi sebagaimana terlihat dari keterlibatan lebih banyak lawyer dalam
bidang-bidang yang sifatnya lebih esoteric seperti misalnya bioteknologi dan sekuritisasi
asset/asset securitizations.
 
Penerimaan Keanggotaan Asosiasi Profesi Hukum Singapura (Singapore Bar)
 
1.8.2     Pendidikan hukum yang baik adalah kunci bagi kelahiran dan pengembangan
selanjutnya dari seorang lawyer Singapura. Agar dapat diterima dalam Asosiasi Profesi
Hukum Singapura (Singapore Bar), seorang calon pendaftar harus terlebih dahulu
memperoleh status “seorang yang mempunyai kualifikasi” dengan cara memperoleh suatu
gelar hukum dari National University of Singapore (http://law.nus.edu.sg) atau dari suatu
universitas luar negeri di Inggris, Australia, Kanada atau Selandia Baru yang diakui. Para
lulusan sarjana hukum (law graduates) dari universitas-universitas yang diakui tersebut juga
diharuskan untuk menyelesaikan Diploma of Singapore Law yang diselenggarakan oleh
National University of Singapore. Kesulitan selanjutnya adalah adanya keharusan untuk lulus
dari ujian-ujian Postgraduate Law Course yang diselenggarakan oleh Board of Legal
Education (http://www.ble.org.sg). Akhirnya, seorang lulusan sarjana hukum (law graduate)
juga diharuskan untuk menjalani suatu masa pendidikan praktek privat selama enam bulan
pada seorang Pengacara atau Advokat yang sudah berpraktek serta memenuhi dining
requirements tertentu. Jika persyaratan-persyaratan tersebut sudah terpenuhi semua, maka
seseorang dapat diterima sebagai anggota Asosiasi Profesi Hukum Singapura (Singapore
Bar).
 
1.8.3     Terdapat pula jalan lain agar seseorang dapat diterima dalam Asosiasi Profesi Hukum
Singapura (Singapore Bar), meskipun lebih terbatas, yaitu mereka yang berstatus Penasehat
Ratu (Queen’s Counsel) atau praktisi Malaysia (Malaysian practitioners). Dengan
meningkatnya internasionalisasi jasa-jasa hukum, fakultas hukum pada National University
of Singapore telah menekankan secara lebih tegas perlunya para lulusan sarjana
(undergraduates) untuk memperoleh pengetahuan dan mengenal secara langsung sistem-
sistem hukum asing dan hukum internasional. Upaya-upaya yang baru-baru ini dilakukan
oleh Law Society’s Continuing Professional Development – CPD Committee telah mencapai
suatu hasil yang penting dalam menekankan perlunya para lawyer Singapura untuk tetap
memutakhirkan pengetahuannya mengenai perkembangan-perkembangan hukum.
 
Pendidikan Hukum
 
1.8.4     Dengan meningkatnya internasionalisasi jasa-jasa hukum, fakultas hukum pada
National University of Singapore telah menekankan secara lebih tegas perlunya para lulusan
sarjana (undergraduates) untuk memperoleh pengetahuan dan mengenal secara langsung
sistem-sistem hukum asing dan hukum internasional. Upaya-upaya yang baru-baru ini
dilakukan oleh Law Society’s Continuing Professional Development – CPD Committee telah
mencapai suatu hasil yang penting dalam menekankan perlunya para lawyer Singapura untuk
tetap memutakhirkan pengetahuannya mengenai perkembangan-perkembangan hukum.
 
Bentuk-bentuk Praktek Hukum
 
1.8.5     Bagi lawyer yang memilih untuk mendirikan atau membuka praktek sendiri, suatu
ciri yang jelas dalam dunia hukum akhir-akhir ini adalah adanya proliferasi atau berkembang
pesatnya cara-cara untuk mendirikan praktek hukum dan aliansi kerjasama antar kantor-
kantor hukum.  Di samping bentuk-bentuk kepemilikan tunggal dan kemitraan sebagaimana
yang sudah biasa dipakai sebelumnya, ada juga bentuk law corporation dengan manfaat
seperti layaknya perseroan terbatas. Juga terdapat cara untuk membentuk suatu Usaha Hukum
Patungan/Joint Law Venture dan Aliansi Hukum Formal/Formal Law Alliances antara
kantor-kantor hukum lokal dengan asing (dengan syarat harus memperoleh izin dari Jaksa
Agung), dengan manfaat yang dapat diperoleh berupa bantuan pemasaran untuk usaha
patungan atau aliansi tersebut sehingga dapat berperan sebagai suatu penyedia jasa tunggal
(single service provider) dan sistem penagihan terpusat (centralized billing) bagi para
kliennya.
 
1.8.6     Dalam tahun-tahun belakangan ini, terdapat suatu kekuatiran bahwa sejumlah besar
lawyer Singapura telah meninggalkan praktek hukum mereka untuk berpindah menjadi
penasehat hukum internal perusahaan atau berpindah ke bidang non-hukum lainnya. Untuk
menahan gelombang pasang berpindahnya para lawyer ini, suatu rancangan untuk praktisi
hukum pengganti (locum practising lawyers’ scheme) telah ditetapkan untuk memungkinkan
para locum lawyer tersebut dapat bekerja pada kantor-kantor hukum atau perusahaan-
perusahaan untuk proyek tertentu secara temporer atau “freelance”.
 
Disiplin Profesi Hukum
 
1.8.7     Untuk mempertahankan disiplin dalam profesi hukum, Mahkamah Agung telah
melaksanakan wewenangnya secara ekstensif baik terhadap para praktisi maupun non-
praktisi Advokat/Advocates dan Pengacara/Solicitors. Sanksi-sanksi atas pelanggaran yang
dilakukan dapat berupa pencoretan lawyer yang bersangkutan dari Daftar/Roll,
pemberhentian sementara untuk suatu waktu tertentu dan teguran/censure. Besarnya sanksi
yang dikenakan tergantung dari beratnya kesalahan-tindak (misconduct), cacat karakter
(defect of character) dan tindakan-tindakan lain serta beratnya kegagalan melakukan sesuatu
yang seharusnya dilakukan (omissions).
 
Biaya Jasa Lawyer dan Bantuan Hukum
 
1.8.8     Meskipun biaya jasa hukum di Singapura relatif lebih rendah jika dibandingkan yang
berlaku di Inggris dan Australia, namun tetap saja besarnya biaya tersebut dianggap berat jika
secara proporsional dibandingkan dengan tingkat penghasilan rata-rata di Singapura. Di
Singapura, pihak yang kalah pada umumnya harus membayar ongkos-ongkos perkara
(termasuk biaya lawyer) yang secara wajar telah dikeluarkan oleh pihak yang menang.
Berdasarkan Undang-undang tentang Profesi Hukum (Legal Profession Act), para lawyer
Singapura tidak diperbolehkan membebankan biaya-biaya yang mungkin dapat timbul
(contingency fees). Dalam hal ini, Biro Bantuan Hukum Singapura/Singapore Legal Aid
Bureau (http://app.minlaw.gov.sg/lab/default.asp?r=2) telah dibentuk berdasarkan Undang-
undang tentang Bantuan dan Nasehat Hukum (Legal Aid and Advice Act, Cap 160, 1996 Rev
Ed) untuk tujuan pemberian nasehat  dan jasa-jasa hukum perdata kepada mereka yang tidak
mampu. Dalam hal hukum pidana, Masyarakat Hukum Singapura/Law Society of Singapore
telah menjalankan Kerangka Bantuan Hukum Pidana (Criminal Legal Aid Scheme - CLAS)
bagi para tertuduh yang tidak mampu. 
 
Badan-badan Profesional
 
1.8.9     Di samping fakultas hukum, terdapat 2 badan penting lain yang melayani masyarakat
hukum Singapura. Masyarakat Hukum/Law Society (http://www.lawsociety.org.sg) pada
pokoknya menjunjung kepentingan-kepentingan para praktisi lawyer, sementara Akademi
Hukum Singapura/Singapore Academy of Law (http://www.sal.org.sg) berusaha
meningkatkan profesi hukum secara keseluruhan. 
 
Kembali ke atas
 
 
BAGIAN 9     ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
 
1.9.1     Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution - ADR) sedang
tumbuh berkembang dengan pesat dari segi urgensinya di Singapura, sebagai cara
penyelesaian sengketa berbagai masalah mulai dari konflik-konflik dalam negeri dan sosial
hingga sengketa-sengketa hukum lintas batas negara berskala besar. ADR, dengan
negosiasi/negotiation, mediasi/mediation dan arbitrase/arbitration sebagai cara-cara utama
yang dipraktekkan di Singapura, telah dipromosikan secara luas sebagai cara yang efektif,
efisien dan ekonomis untuk menyelesaikan sengketa berspektrum luas dalam berbagai jenis
keadaan atau setting. ADR secara tentatif telah dimulai pada tahun 1980-an pada saat
Pemerintah telah melihat kemungkinan Singapura menjadi pusat penyelesaian sengketa yang
penting, sehingga mengambil manfaat posisi geografisnya serta mewujudkan cita-cita
membangun Singapura menjadi pusat bisnis satu titik (one-stop business centre) secara total.
Tujuan nyata lainnya adalah untuk mencegah agar Singapura tidak menjadi masyarakat yang
terlalu cepat atau terlalu mudah menggugat ke pengadilan.  Mediasi terpilih sebagai cara yang
sesuai dengan tradisi dan budaya Asia Singapura.
 
1.9.2     Bersamaan dengan misi Singapura untuk menjadi pusat bisnis secara total, upaya-
upaya besar pun telah dilakukan agar Singapura dapat menjadi pusat penyelesaian sengketa
yang penting (seperti halnya London, New York dan Paris). Pemerintah Singapura
merupakan promotor kuat ADR dan telah menyiapkan kerangka kerja substantif dan
infrastruktural untuk mendukung upaya-upaya tadi. Badan Yudikatif pun secara mantap
berdiri di belakang inisiatif-inisiatif ADR dalam menyelesaikan sengketa-sengketa dan
Aturan-aturan Pengadilan (Rules of Court, Cap 322, Rule 5, 1999 Rev Ed) yang
dikeluarkannya telah memberikan kesempatan yang cukup bagi penerapan ADR dalam
kerangka litigasi. Berbagai cara ADR dapat tetap diandalkan meskipun proses persidangan
litigasi telah dimulai. Misalnya, para penggugat atau kuasa hukumnya dapat mengajukan
perkara ke pengadilan untuk masalah yang akan dirujuk ke mediasi atau secara langsung
mengajukannya ke Pusat Mediasi Singapura/Singapore Mediation Centre.
 
1.9.3     Pada tahun 1986, Singapura telah meratifikasi Konvensi New York 1958 tentang
Pengakuan dan Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Asing (the 1958 New York Convention on
the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards). Berdasarkan Konvensi ini,
setiap Negara anggota diharuskan mengakui dan melaksanakan keputusan-keputusan
arbitrase yang dikeluarkan di Negara anggota lainnya. Keputusan Arbitrase yang dikeluarkan
di Singapura dapat diberlakukan di 120 negara/yurisdiksi. Undang-undang tentang Arbitrase
Internasional (International Arbitration Act, Cap 143A, 2002 Rev Ed), yang memasukkan
Komisi PBB tentang Hukum Perdagangan Internasional sebagai Model Hukum tentang
Arbitrase Niaga Internasional (the United Nations Commission on International Trade Law –
UNCITRAL -- Model Law on International Commercial Arbitration),  telah memberlakukan
Konvensi tersebut.
  
1.9.4     Pada tahun 1991, didirikanlah Pusat Arbitrase Internasional Singapura (Singapore
International Arbitration Centre – SIAC) (http://www.siac.org.sg/). Diikuti kemudian dengan
pembentukan Pusat Mediasi Singapura (Singapore Mediation Centre – SMC)
(http://www.mediation.com.sg)  pada tahun 1997. Mediasi sengketa perdata pertama kali
diperkenalkan di Subordinate Courts melalui Pusat Mediasi Pengadilan (Court Mediation
Centre) pada tahun 1994. Sejak itu, mediasi secara rutin dilaksanakan di Tribunal Gugatan
Kecil (Small Claims Triubunals) (http://smallclaims.gov.sg/SCT-General_Info.html),
Pengadilan Keluarga (Family Courts) (http://www.subcourts.gov.sg/Family/), Pengadilan
Anak-anak (Juvenile Courts) (http://www.subcourts.gov.sg/Juvenile/index.htm), dan
Kementerian Pembinaan Masyarakat, Pemuda dan Olah Raga dari Tribunal Orangtua
(Ministry of Community, Youth and Sports’ Maintenance of Parents Tribunal, Cap 167B). Di
alamat “e@dr” (http://www.e-adr.gov.sg/), teknologi elektronik telah dimanfaatkan para
pihak dalam transaksi e-commerce untuk menyelesaikan sengketanya melalui internet.
 
1.9.5     Sebagai bagian dari upaya nasional untuk membina budaya penggunaan mediasi,
Undang-undang tentang Pusat Mediasi Masyarakat (Community Mediation Centres - CMCs,
Cap 49A, 1998 Rev Ed) telah diundangkan pada tahun 1997 untuk memimpin/menjadi
percontohan upaya-upaya mediasi masyarakat, yang dipandang  sebagai cara yang efektif
untuk menyelesaikan sengketa-sengketa hubungan (relational disputes) di lapangan,
khususnya dalam bidang multi-rasial dan multi-agama Singapura. Sekarang ini terdapat 4
CMCs regional (http://notesapp.internet.gov.sg/__48256E09003B1AF3.nsf) dan 7 tempat
mediasi satelit (satellite mediation venues). Penekanannya adalah untuk mengembangkan
suatu model mediasi Asia dengan mengindahkan peranan para pemimpin tradisional/adat dari
berbagai ras yang sangat berpengaruh dan sudah menjadi kebiasaan, seperti penghulu (kepala
kampung Melayu), panchayat (dewan masyarakat India) dan pemimpin klan dari asosiasi
klan-klan Cina, dalam menengahi/mediasi para pihak yang bersengketa dalam komunitasnya
masing-masing.
 
1.9.6     Dalam persaudaraan hukum Singapura, di bawah pimpinan Badan Yudikatif, upaya-
upaya dilaksanakan untuk mendorong penerimaan ADR di kalangan para lawyer dan para
kliennya, sebagai suatu cara penyelesaian sengketa yang lebih memuaskan, lebih cepat dan
lebih murah. Pada bulan April 2003, Hakim Judith Prakash telah diangkat oleh Hakim
Kepala/Chief Justice untuk memimpin semua masalah arbitrase yang diajukan ke hadapan
Pengadilan Tinggi (High Court). Hal ini merupakan bagian dari tujuan Badan Yudikatif
untuk memastikan bahwa Para Hakim yang memenuhi syarat keahlian dan pengalaman akan
memimpin penanganan kasus-kasus dalam bidang-bidang hukum dan praktek perdagangan
yang dikhususkan.
 
Kembali ke atas
 
 
BAGIAN 10    KESIMPULAN
 
1.10.1     Dorongan untuk menuju kemandirian hukum (legal autochthony) terus
berkelanjutan dan inovasi-inovasi hukum pun demikian, dalam upaya yang takkan pernah
padam menuju sistem hukum yang efektif dan efisien sesuai dengan keadilan yang
berdasarkan prinsip fairness, equity and impartiality. Agar sistem hukum Singapura dapat
memelihara relevansinya, maka diperlukan adanya inovasi-inovasi hukum. Inovasi tersebut
akan didasarkan atas kecocokannya dengan kebutuhan dan kondisi lokal Singapura. Dengan
perdagangan dan investasi sebagai denyut nadi utama ekonomi Singapura, maka sistem
hukum Singapura harus secara berkelanjutan memberikan perlindungan yang memadai
kepada semua pihak dan memberi inspirasi kepercayaan dalam komunitas bisnis
internasional.
 
1.10.2     Pemerintah Singapura mengakui pentingnya hukum dalam memelihara ketertiban
politik dan sosial, serta dalam mewujudkan situasi yang kondusif untuk kegiatan-kegiatan
ekonomi di Singapura. Memang, hukum dipandang sebagai suatu nilai ekonomi fundamental,
yang harus dibina dan diikat secara hati-hati untuk meningkatkan aspirasi Singapura sebagai
pusat bisnis secara total. Meskipun terdapat kritik-kritik yang menyatakan bahwa rezim hak-
hak azasi manusia serta perlindungan hukum bagi individu-individu tidak seiring dengan
rezim hukum untuk kegiatan ekonomi, kesuksesan Pemerintah Singapura dalam
meningkatkan kesejahteraan ekonomi telah melegitimasi dan menumbuhkan kepercayaan
sedemikian sehingga Negara dan masyarakatnya lebih memilih peraturan yang keras, disiplin
sosial dan rendahnya tingkat insiden korupsi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari prinsip
tata kelola yang baik (good governance).
 
Kembali ke atas
 
 

© 2011 Singapore Academy Of Law. All Rights Reserved.  Sitemap  Terms


of Use  Disclaimer

Anda mungkin juga menyukai