Anda di halaman 1dari 28

ANAMBAS- Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Kepulauan Anambas (KKA) akan

menanam 958 titik rumpon (rumah ikan) di perairan daerah ini. Pembuatan rumpon ini dimaksudkan
agar produksi nelayan KKA bisa terus meningkat. Jika program ini berjalan sesuai rencana, menurut
Kepala DKP KKA, Zukhrin, pendapatan nelayan diperkirakan bisa meningkat secara drastis yakni
mencapai Rp30 juta perhari.

"Hal ini dapat terjadi apabila ikan-ikan  terus bertambah dan terus dilestarikan dengan cara
menanam rumpon. Dengan pembuatan rumpon, maka ikan tidak akan lari kemana- mana melainkan
tetap berada di perairan Anambas yang berarti akan mempermudah nelayan untuk menangkapnya,"
kata Zukhrin, Senin (7/6).

"Kita akan menggesa pelaksanaan sejumlah program DKP dan memaksimalkannya sebagai upaya
membantu pertumbuhan pendapatan masyarakat nelayan di daerah ini. Dengan luas wilayah
Anambas yang sekitar 98 persennya terdiri dari perairan, maka jika SDA (sumber daya alam) yang
ada bisa benar-benar dimanfaatkan secara benar, kita yakin akan dapat menjadikan masyarakat
Anambas lebih sejahtera dari sekarang," ujar dia lagi.

Selain rumpon, lanjut Zukhrin, DKP juga sedang menggesa pembangunan Solar Paket Dealer Nelayan
(SPDN) dan  Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN). Dengan SPDN dan SPBN ini, diharapkan,
masyarakat nelayan bisa lebih mudah mendapatkan bahan bakar untuk keperluan mencari ikan.

"DKP akan segera membangun SPDN dan SPBN untuk mempermudah nelayan mendapatkan bahan
bakar. Dan yang terpenting adalah bisa meningkatkan pendapatan nelayan yang ada   di daerah ini,"
katanya. (sm/yd)
Analisa Penyebab Kemiskinan di Masyarakat
3 Votes

A. Pendahuluan

Salah satu masalah pembangunan yang dihadapi oleh negara yang sedang berkembang adalah
kemiskinan. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang juga mengahadapi masalah
yang sama. Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan klasik yang sudah ada sejak dulu
kala. Sejak Pak Harto mendapat kepercayaan dan tanggung jawab memimpin pembangunan
di Indonesia pada akhir tahun 1960-an, khususnya sejak Pelita I, disadari bahwa tingkat
kemiskinan penduduk Indonesia sangat tinggi. Program-program utama pengentasan
kemiskinan diprioritaskan pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar, utamanya kebutuhan
sembilan bahan pokok. diarahkan pada sasaran-sasaran pertumbuhan ekonomi yang
signifikan agar penyerapan tenaga kerja bisa maksimal.

Rendahnya pertumbuhan ekonomi mengakibatkan semakin rendah dan menurunnya tingkat


kesejahteraan rakyat serta munculnya berbagai permasalahan sosial yang mendasar. Indikator
yang paling jelas adalah jumlah pengangguran yang semakin bertambah dan tingkat
kemiskinan yang semakin tinggi. Sementara itu, kesejahteraan masyarakat sangat dipengaruhi
oleh kemampuan ekonomi untuk memenuhi kebutuhannya.
Di dalam upaya mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur baik materiil
maupun spiritual, pemerintah telah melakukan berbagai usaha pembangunan di berbagai
bidang. Namun demikian, peningkatan kesejahteraan hidup tersebut belum dirasakan oleh
seluruh masyarakat Indonesia. Hal itu tercermin pada tahun 1999 diperkirakan 80.000.000
penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Hal itu menjadi tugas kita
bersama untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan dengan berbagai upaya. Penduduk
yang miskin tersebut pada umumnya banyak terdapat di perkotaan maupun di pedesaan di
seluruh Indonesia. Akan tetapi jumlah penduduk miskin ini sebagian besar bertempat tinggal
di desa. Kemiskinan tersebut pada umumnya ditandai oleh ketidak bekerjaan seseorang pada
usia kerja karena sulitnya mendapatkan pekerjaan atau karena terkena pemutusan hubungan
kerja akibat krisis ekonomi.

Masalah yang cukup serius dalam masyarakat pedesaan adalah masalah pengangguran dan
kemiskinan. Masalah pengangguran dan kemiskinan terutama diakibatkan oleh tingginya
pertambahan penduduk, sedangkan kesempatan kerja terbatas.
Masalah penting lainnya adalah tingkat pendidikan pada masyarakat pedesaan. Angkatan
kerja aktif di pedesaan pada umumnya hanya memiliki pendidikan SD ke bawah. Sebagian
angkatan kerja itu menyandang buta huruf atau mereka yang sama sekali tidak pernah
merasakan atau menempati bangku sekolah. Tingkat pendidikan yang rendah pada
masyarakat desa ini tentu sangat mempengaruhi keadaan sosial ekonomi. Usaha-usaha untuk
melakukan perubahan tingkat pendidikan ekonomi yang lebih baik sering terhambat karena
sikap warga masyarakat desa yang belum terbuka terhadap hal-hal atau inovasi baru.

B. Penyebab Kemiskinan

Ada dua faktor utama mengapa orang menjadi miskin, yakni sebab kultural dan sebab
struktural. Secara kultural, kemiskinan dipicu oleh lemahnya etos kerja, sikap hidup yang
fatalis dan salah dalam memahami makna rizki, malas berusaha termasuk malas
mengembangkan kemampuan diri serta terperangkap pada budaya miskin itu sendiri.
Secara struktural, kemiskinan dipicu oleh setting sosial yang individualistik. Yakni ketika
orang yang mampu (kaya) dengan egonya merasa acuh dengan kehidupan kemiskinan yang
ada di sekitarnya, termasuk tidak adannya kesadaran bahwa banyaknya orang yang ada di
sekitarnya yang membutuhkan uluran tanganya. Ia sibuk dengan dirinya sendiri, berlomba-
lomba memenuhi semua keinginanya (bukan kebutuhan) yang tidak terbatas, sedangkan
orang yang ada disekitarnya sedang kesulitan mencari makan.Tetapi yang paling utama,
kemiskinan adalah produk dari sitem ekonomi kapitalistik yang melahirkan pola distribusi
kekayaan yang tidak adil. Mengapa distribusi sangat buruk? karena sistem dan kebijakan
pengambil keputusanlah yang membuat itu semua. Sementara itu, kaum kaya dengan
sejumlah modal yang dimilikinya mampu menambah kekayaannya dengan seenaknya, dan
yang lebih parah lagi mereka mampu masuk kedalam jantung dan darah para pengambil
kebijakan. Sehingga sebagian besar produk kebijakan yang diambil adalah pesanan dari
mereka kaum kaya agar dapat memenuhi kebutuhan usahanya untuk menumpuk kekayaan
yang dimilikinya. Ditambah lagi dengan miskinnya solidaritas dan budaya miskin diatas
maka lengkaplah penyebab kemiskinan.

Mengingat analisa ini bersifat subjektif, diharapkan tidak ada prasangka buruk apabila
menemui kondisi yang tujuannya berbeda atau memberi bobot yang berbeda pada tujuan
yang sama atau menolak untuk menerima sudut pandang orang lain.

C. Pengentasan Kemiskinan

Masalah kemiskinan di Indonesia merupakan masalah yang menyesakkan dada bangsa ini,
mengingat jumlah orang miskin di Indonesia semakin tahun semakin bertambah. Apabila
dilihat dari penyebarannya, bahwa penduduk miskin di Indonesia lebih banyak dialami oleh
orang-orang yang tinggal di pedesaan, wilayah kumuh perkotaan dan pesisir pantai, yang
notabennya tingkat pendidikanya rendah dan memiliki produktifitas yang rendah, sehingga
tidak mampu untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya yang layak. Kondisi tersebut
terjadi sejak dekade 1997, yang merupakan warisan dari pemerintah masa lalu. Pengalami
multi krisis yang dialami bangsa ini memberikan dampak yang memperihatinkan, seperti
daya beli masyarakat yang rendah terhadap suatu barang, karena adanya inflasi bahan-bahan
pokok, sedangkan masyarakat tidak memiliki sumber penghasilan yang memadai untuk
membeli suatu barang.
Dampak krisis ekonomi yang kita hadapi sejak dekade 1997, telah menimbulkan tingkat
kedalaman dan keparahan kemiskinan terhadap masyarakat baik di wilayah perkotaan
maupun di pedesaan. Dengan kata lain, bahwa multi krisis sebagai penyebab kemiskinan,
sehingga negara mengalami kemunduran. Pengentasan kemiskinan masyarakat merupakan
inti dari pemberdayaan masyarakat melalui perubahan sosial untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat yang di inginkan dengan bersandarkan pada norma dan etika yang berlaku, serta
menjunjung tinggi kesejahteraan bersama sebagai warga negara.

Pengentasan kemiskinan secara keseluruhan sebetulnya inherent dengan perubahan sosial


yang berlaku dalam masyarakat kita, dan setiap kali kita melakukan perubahan maka setiap
kali itu kita akan menemukan fenomena yang baru, dimana adanya sikon baru yang harus
dihadapi oleh bangsa ini. Dengan kata lain pilihan perubahan yang di kehendaki oleh bangsa
kita saat ini dituntut untuk memberikan perubahan yang mendasar sehingga memberikan
kesejahteraan bagi masyarakat bukan memberikan kemiskinan. Birokrasi merupakan institusi
yang mendukung terjadinya perubahan untuk mengatasi kemiskinan, tetepi di Indonesia dan
di negara-negara dunia berkembang birokrasi merupakan sebagai sumber dan menjamurnya
kemiskinan dan penindasan rakyatnya.

Program penangulangan kemiskinan bukan hanya pada tingkat perencanaan, tetepi harus
adanya sasaran yang akan dicapai oleh pemerintah, baik di wilayah pedesaan maupun
didaerah perkotaan dengan menyesuaikan karkteristik dari wilayah masing masing. Dalam
rangka pembangunan masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera dan berkeadilan harus
diupayakan oleh setiapa komponen dengan beroreantasi kepada kepentingan masyarakat
secara keseluruhan sehingga pemerintah dapat berperan sebagai fasilitator untuk pengentasan
kemiskinan masyarakat, dan masyarakat baik di pedesaan maupun di perkotaan mempunyai
produktifitas yang tinggi dalam pengolahan sumber daya yang dimiliki sesuai dengan prinsip
sustinable devlopment .

Dengan demikian ada benang merah yang jelas, bahwa peran pemerintah baik di tingkat pusat
maupun daerah bukan seperti dilakukan selama ini dengan menimang bobo masyarakat
dengan bahan-bahan sembako murah, tetapi pemerintah harus dapat memfasilitasi masyarakat
dengan menciptakan produktifitas masyarakat melalui keterampilan dan pengetahuan. Hal ini
bukan suatu usaha yang mudah, karena merupakan suatu paradigma yang baru yang harus
diperankan oleh pemerintah untuk pengentasan kemiskinan.

Harus kita akui, bahwa perubahan paradigma serta peranan pemerintah dalam proses
pengentasan kemiskinan masih jauh dari harapan. Namun dengan komitmen untuk
meningkatkan dan mewujudkan masyarakat yang berdaya saing dalam pelaksanaan
pembangunan, maka diperlukan langkah-langkan konkrit oleh pemerintah baik di tingkat
pusat maupun di daerah. Selain itu prinsip ekonomi kerakyatan merupak salah satu solusi
yang tepat bagi pengentasan kemiskinan, karena dengan ekonomi kerakyatan maka
pemerintah akan mengurangi jumlah masyarakat miskin di Indonesia, karena ekonomi
kerakyatan lebih mengarah kepada peningkatan produktifitas masyakat secara keseluruhan.
Ini berarti sektor usaha kecil menengah lebih diandalkan dengan beroreantasi pengembangan
mikro ekonomi.

D. Upaya Pengentasan Kemiskinan

Pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah bagaimana mengidentifikasi kaum miskin yang
membutuhkan pelayanan. Banyak kejadian yang dialami oleh lembaga-lembaga yang
bergerak di bidang pengembangan masyarakat maupun pengembangan keuangan mikro bagi
masyarakat miskin yang kurang atau bahkan tidak mampu menjangkau kaum miskin itu
sendiri. Yang umum terjadi adalah bahwa kaum masyarakat termiskin sering menjadi
eksponen paling akhir terjangkau oleh program-program pembangunan. Menilik dari
pengalaman-pengalaman tersebut, dapat dilihat bahwa lembaga yang ingin melayani
masyarakat miskin justru terjebak karena tidak dapat menjangkau sasaran yang tepat. Ini
dikarenakan kekurang tepatan lembaga dalam melakukan identifikasi kemiskinan di
masyarakat. Metode-metode yang jamak dilakukan dalam mengidentifikasi kemiskinan di
masyarakat saat ini umumnya belum menjawab pertanyaan masyarakat mana yang akan
dilayani.

Ketika sebuah identifikasi kemiskinan dilakukan tanpa melibatkan partisipasi warga


masyarakat didalamnya lalu kemudian digulirkan sebuah program “bantuan” kepada orang-
orang yang tergolong “miskin”, acap kali yang terjadi adalah kecemburuan sosial.
Sebab dalam pandangan warga masyarakat setempat, warga yang memperoleh bantuan
bukanlah tergolong warga yang miskin di lingkungan tempat tinggal mereka. Masyarakat
setempat memiliki pandangan atau konsep tersendiri mengenai kemiskinan di wilayah tinggal
mereka. Inilah yang umum disebut sebagai “kearifan lokal”. Dalam mengidentifikasi
kemiskinan di masyarakat, unsur kearifan lokal perlu dihargai. Masyarakatlah yang lebih
mengetahui keadaan di wilayahnya daripada orang luar yang datang membawa seperangkat
alat untuk melihat kemiskinan di wilayah mereka.

Bertolak dari kritik terhadap metode-metode identifikasi kemiskinan yang konservatif, telah
dikembangkan metode-metode alternatif dalam melakukan kegiatan tersebut, yaitu CHI
(Cashpoor House Index) dan PWR (Participatory Wealth Ranking). Kedua perangkat ini
dipandang murah dan mudah diterapkan. CHI dilaksanakan dengan menguji rumah calon
warga dampingan (calon penerima bantuan) untuk menentukan apakah keluarga itu tergolong
miskin atau tidak.

Pengujian dilakukan dengan cara memeriksa ukuran, kualitas bangunan, dinding, dan atap
setiap rumah serta menetapkan nilai-nilai tertentu pada setiap kondisi. Proses berikutnya
dilakukan dengan tes aset sebagai cara untuk memverifikasi dan pemastian tingkat
kemiskinan. PWR merupakan alternatif yang dipandang lebih partisipatif dengan
mengedepankan partisipasi warga masyarakat dan kesetaraan gender. Metode ini diterapkan
dengan melibatkan seluruh warga masyarakat di suatu dusun atau desa untuk terlibat
didalamnya. Metode ini juga dipandang sebagai pengembangan mutakhir atas metode PRA
(Participatory Rural Appraisal) yang selama ini banyak digunakan dalam memetakan
permasalahan, potensi, dan kebutuhan masyarakat yang akan dilayani. Nilai lebih dari metode
ini selain mengedepankan partisipasi dan kesetaraan gender adalah pengakuan dari 29
lembaga donor yang tergabung dalam CGAP (Consultative Group to Assist the Poorest). Ini
menunjukkan bahwa lembaga-lembaga penting yang terlibat dalam pengambilan keputusan
di tingkat dunia telah memandang penting adanya perangkat atau metode partisipatif untuk
mengidentifikasi kemiskinan masyarakat.

E. Kesimpulan

Permasalahan kemiskinan di Indonesia harus segera ditangani. Beberapa ciri umum dari
kondisi fisik masyarakat miskin adalah tidak memiliki akses terhadap prasarana dan sarana
dasar lingkungan yang memadai, dengan kualitas perumahan dan pemukiman yang jauh di
bawah stamdar kelayakan, serta mata pencaharian yang tidak menentu. Permasalahan ini
disadari betul oleh pemerintah dan masyarakat yang terkadang juga menjadi kelompok
masyarakat miskin. Oleh karena itu, banyak program untuk mengentaskan permasalahan ini,
baik yang ditawarkan oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat.

Daftar Pustaka

———— Anjayani, Eni. 2007. Mengenal Beberapa Program Pembangunan. Klaten: Penerbit
CEMPAKA PUTIH
———— Haryanto, Tri. 2007. Menuju Masyarakat Swadaya dan Swakelola. Klaten:
Penerbit CEMPAKA PUTIH
———– Sudrajad. 2000. Kiat Mengentaskan Pengangguran melalui Wirausaha. Jakarta:
Bumi Aksara
———— www.darmawanachmad.blogspot.com
———— www.antrounair.wordpress.com
———— www.pnpm-mandiri.org
———— www.pidra-indonesia.org
Pendahuluan

“ Nenek Moyangku Seorang Pelaut….”. Nyanyian itu pastinya tidak lagi asing di telinga kita.
Betapa tidak, dari kecil kita sudah diajari oleh guru kita tentang dendangan lagu tersebut.
Tapi apakah kita sadar, ternyata nyanyian itu tidak hanya sekedar nyanyian belaka. Pelaut
sangat identik dengan orang-orang yang hidup di daerah perairan atau lebih tepatnya disebut
dengan laut. Indonesia, sebuah negara maritime yang lebih dari wilayah lautnya meliputi 2/3
dari seluruh luas wilayah Negara dan memiliki kekayaan bahari yang begitu melimpah,
layaknya menjadi surga setiap pelaut dan nelayan yang hidup di bumi ini. Namun apakah
kenyataannya seperti itu?

Rasanya sulit untuk sekedar menjawab iya atas pertanyaan tersebut. Kenyataannya, nelayan
yang mendiami pesisir lebih dari 22 persen dari seluruh penduduk Indonesia justru berada di
bawah garis kemiskinan dan selama ini menjadi golongan yang paling terpinggirkan karena
kebijakan dalam pembangunan yang lebih mengarah kepada daratan. Menurut data Badan
Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, penduduk miskin di indonesia mencapai 34,96 juta jiwa
dan 63,47 persen % di antaranya adalah masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan
pedesaan. Di sisi lain pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumberdaya kelautan dan pesisir
selalu beriringan dengan kerusakan lingkungan dan habitat seperti terumbu karang dan hutan
mangrove, dan hampir semua eksosistim pesisir Indonesia terancam kelestariannya.

Hal tersebut menimbulkan sebuah ironi yang sangat bagi kita semua karena bagaimana bisa,
sebuah negeri dengan kekayaan laut yang begitu melimpah malah tidak memberikan
kesejahteraan bagi para nelayan? Apa sebetulnya yang menjadi masalah? Tulisan berikut ini
akan mencoba untuk menguraikan permasalahan tersebut secara lebih mendalam.

Kemiskinan dan Anekdot bernama Persamaan dan Kesamaan di Hadapan Hukum

Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara
dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu
memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Kemiskinan tidak
bisa hanya dilihat dari sudut ekonomi saja karena kemiskinan ternyata berkaitan dengan
berbagai aspek, diantaranya aspek sosial budaya, bahwa persoalan kemiskinan sangat erat
hubungannya dengan budaya. Dari sudut ini, kita dapat melihat bahwa budaya turut ambil
bagian dalam membuat seseorang menjadi miskin.
Menurut teori konservatif, kemiskinan berasal dari karakteristik khas orang-orang miskin.
Seseorang menjadi miskin bukan hanya karena masalah mental atau tiadanya kesempatan
untuk sejahtera, tetapi juga karena adanya perspektif masyarakat yang menyisihkan dan
memiskinkan orang.

Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa penyebab kemiskinan setidaknya terkait dengan
tiga dimensi, yaitu :

 Dimensi Ekonomi

Kurangnya sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan


orang, baik secara financial ataupun segala jenis kekayaan yang dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.

 Dimensi Sosial dan Budaya

Kekurangan jaringan social dan struktur yang mendukung untuk mendapatkan


kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat.

 Dimensi Sosial dan Politik

Rendahnya derajat akses terhadap kekuatan yang mencakup tatanan sistem social
politik.

Di dunia bagian manapun, rasanya kita akan sulit menemukan ada suatu negara tanpa orang
miskin. Bahwa pengelompokkan golongan berdasarkan suatu kualifikasi miskin dan kaya
memang menjadi suatu fitrah dan oleh karenanya akan selalu ada dalam kehidupan manusia.
Namun, akan menjadi sebuah masalah apabila kemiskinan diartikan sedemikian rupa
sehingga menimbulkan perbedaan diantara para warga masyarakat secara tegas. Disinilah
diperlukan peran hukum untuk menjamin adanya suatu persamaan di hadapan hukum tanpa
memandang status dan derajat seseorang.

Ironisnya, lebih sering hukum berlaku yang sebaliknya. Kekayaan memberikan perlindungan
hukum yang lebih aman, malah sering juga melestarikan ketidakadilan hukum antara si kaya
dan si miskin. Hidup dibagi dalam beberapa kelas, dan mimpi kita tentang ”persamaan dan
kesamaan di hadapan hukum” semakin lama semakin memudar. Contoh yang sangat menarik
di kemukakan oleh C.J.M. Schuyt – dalam bukunya Keadilan dan Effektivitas dalam
Pembangunan Kesempatan Hidup – yaitu dalam peristiwa tragedi kapal Titanic yang
tenggelam di laut Atlantik. Kapal yang terdiri dari 3 kelas itu memberikan bukti, bahwa
penumpang kelas I lebih terjamin keselamatannya jika dibandingkan dengan penumpang
kelas II dan III, dan penumpang kelas II lebih terjamin dari penumpang kelas III. Contoh lain
dikemukakan oleh Todung Mulya Lubis, bahwa seseorang yang mampu membayar advokat
kelas satu akan mendapat harapan sukses yang lebih besar dibandingkan dengan seseorang
yang hanya mampu membayar seorang pengacara masyakat (pokrol bambu). Seorang yang
mampu membayar seorang dokter spesialis akan mempunyai harapan lebih besar untuk
sembuh ketimbang seseorang yang hanya mampu membayar seorang mantri biasa.

Melalui contoh-contoh tersebut, jelaslah bagi kita bahwa kelebihan uang atau kekayaan
ternyata memberikan jaminan keselamatan yang lebih baik. Pada akhirnya kita memang harus
mengakui bahwa pengkotak-kotakan memang telah jadi sifat kehidupan kita. Rasa hormat
atau kepercayaan terhadap ”persamaan” adalah omong kosong kaum intelektual. Dan ini
semua adalah contoh dari ketidakjujuran kita terhadap diri sendiri.

Kondisi Nelayan Indonesia

Bank Dunia memperhitungkan bahwa 108,78 juta orang atau 49 persen dari total penduduk
Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Kalangan tersebut hidup hanya
kurang dari 2 dollar AS atau sekitar Rp. 19.000,– per hari. Badan Pusat Statistik (BPS),
dengan perhitungan yang agak berbeda dari Bank dunia, mengumumkan angka kemiskinan di
Indonesia ‘hanya’ sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen). Angka tersebut diperoleh
berdasarkan ukuran garis kemiskinan ditetapkan sebesar 1,55 dollar AS. Namun, terlepas dari
perbedaan angka-angka tersebut, yang terpenting bagi kita adalah bukan memperdabatkan
masalah banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia, tapi bagaimana menemukan solusi
untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut.

Dengan potensi yang demikian besar, kesejahteraan nelayan justru sangat minim dan identik
dengan kemiskinan. Sebagian besar (63,47 persen) penduduk miskin di Indonesia berada di
daerah pesisir dan pedesaan. Data statistik menunjukan bahwa upah riil harian yang diterima
seorang buruh tani (termasuk buruh nelayan) hanya sebesar Rp. 30.449,- per hari. Jauh lebih
rendah jika dibandingkan dengan upah nominal harian seorang buruh bangunan biasa (tukang
bukan mandor) Rp. 48.301,- per hari. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat ada
keterkaitan erat antara kemiskinan dan pengelolaan wilayah pesisir.

Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan di
wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula memicu sebuah lingkaran setan karena penduduk
yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun penduduk miskin
pulalah yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Dengan kondisi tersebut,
tidak mengherankan jika praktik perikanan yang merusak masih sering terjadi di wilayah
pesisir. Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan
cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan. Dengan besarnya
perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi masalah kerusakan ekosistem
pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri.

Analisa Penyebab Kemiskinan Nelayan

Masalah kemiskinan nelayan merupakan masalah yang bersifat multi dimensi sehingga untuk
menyelesaikannya diperlukan sebuah solusi yang menyeluruh, dan bukan solusi secara
parsial. Untuk kita, terlebih dahulu harus diketahui akar masalah yang menjadi penyebab
terjadinya kemiskinan nelayan.

Secara umum, kemiskinan masyarakat pesisir ditengarai disebabkan oleh tidak terpenuhinya
hak-hak dasar masyarakat, antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan,
pekerjaan, inftastruktur. Di samping itu, kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses
terhadap informasi, teknologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang cenderung boros,
menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. Pada saat yang sama,
kebijakan Pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat pesisir sebagat salah satu
pemangku kepentingan di wilayah pesisir.

1. Kondisi Alam

Kompleksnya permasalahan kemiskinan masyarakat nelayan terjadi disebabkan


masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi
ketidakpastian (uncertainty) dalam menjalankan usahanya. Musim paceklik yang selalu
datang tiap tahunnya dan lamanya pun tidak dapat dipastikan akan semakin membuat
masyarakat nelayan terus berada dalam lingkaran setan kemiskinan (vicious circle) setiap
tahunnya.

2. Tingkat pendidikan nelayan

Nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas
sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat
rendah. Tingkat pendidikan nelayan berbanding lurus dengan teknologi yang dapat
dihasilkan oleh para nelayan, dalam hal ini teknologi di bidang penangkapan dan
pengawetan ikan. Ikan cepat mengalami proses pembusukan dibandingkan dengan bahan
makanan lain disebabkan oleh bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan. Oleh karena itu,
diperlukan teknologi pengawetan ikan yang baik. Selama ini, nelayan hanya
menggunakan cara yang tradisional untuk mengawetkan ikan. Hal tersebut salah satunya
disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan dan pengusaaan nelayan terhadap
teknologi.

3. Pola kehidupan nelayan sendiri

Streotipe semisal boros dan malas oleh berbagai pihak sering dianggap menjadi penyebab
kemiskian nelayan. Padahal kultur nelayan jika dicermati justru memiliki etos kerja yang
handal. Bayangkan mereka pergi subuh pulang siang, kemudian menyempatkan waktunya
pada waktu senggang untuk memperbaiki jaring. Memang ada sebagian nelayan yang
mempunyai kebiasaan dan budaya boros dan hal tersebut menyebabkan posisi tawar
masyarakat miskin semakin lemah

4. Pemasaran hasil tangkapan

Tidak semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hal tersebut
membuat para nelayan terpaksa untuk menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak
dengan harga yang jauh di bawah harga pasaran.

5. Program pemerintah yang tidak memihak nelayan

Salah satunya adalah dengan adanya kenaikan BBM yang merupakan momok bagi
nelayan, melihat tingginya ketergantungan mereka terutama pada jenis solar. Jika sampan
bermesin ukuran 5-12 PK membutuhkan rata-rata 10 liter solar sekali melaut, maka setiap
sampan akan mengelurakan biaya Rp.21.000 dalam kondisi harga normal atau di
pangkalan sebesar Rp.2100. Tetapi pada umumnya nelayan membeli harga solar
Rp.25.00-27.000, karena tergantung pada tingkatan agen yang bermain di lapangan.
Semakin banyak agennya maka semakin panjanglah rantai pasarnya dan semakin
tinggilah harga solar sampai ke tangan nelayan. Harga tersebut ‘terpaksa” dibeli, untuk
bisa melanjutkan hidup dengan melaut, meskipun dengan kondisi pas-pasan.

Selain itu, proses pemangkasan kekuatan rakyat pada masa orde baru, masih terasakan
dengan melemahnya kearifan-kearfian lokal. Dulu, tradisi jamu laut di Sumatera Utara
masih efektif terutama dalam hal pelarangan penangkapan ikan pada musim tertentu.
Biasanya setelah jamu laut, dilarang pergi melaut selama beberapa hari, dengan demikian
ada waktu pemulihan sumber daya ikan . Tak heran kalau sehabis jamu laut, dipercaya
ada berkah laut dengan hasil tangkapan yang banyak. Sayangnya, semuanya itu tidak lagi
seutuhnya terjadi hari ini, karena jamu lautpun sudah mulai pudar, dan hanya menjadi
ritus-ritus belaka. Potret kemiskinan struktural terjadi karena negara sejak lama
mengabaikan potensi bahari yang kaya raya ini sehingga hanya dikuasai segelinitir orang
termasuk sebagain besar oleh kapal-kapal asing.

Patron-Klien, sebuah Hubungan Simbiosis Mutualisme atau Parasitisme?

Tidak semua nelayan memiliki perahu sendiri. Nelayan yang tidak mempunyai modal untuk
membeli perahu, terpaksa meminjam uang kepada tengkulak. Pada umumnya para tengkulak
(tokeh/patron) memberikan pinjaman kalau hasil tangkapan nelayan (klien) minim atau
“nombok”. Ketergantungan nelayan pada tokehnya berawal dari utang/pinjaman, dan
biasanya dilakukaan pada saat paceklik atau memperbaiki kerusakan alat tangkap seperti
jaring dan menganti tali kajar. Meskipun demikian, ada juga pihak yang menilai bahwa
keberadaan para patron (tokeh) tersebut justeru menolong nelayan. Konon, selama ini negara
tidak mampu memberikan pinjaman lunak, dan kalaupun ada bank, mereka juga tidak bisa
mengaksesnya karena alat tangkap sebagai faktor produksi tak bisa jadi agunan.

Indikator ini memang tidak selalu sama di setiap daerah karena seperti di Pekalongan, banyak
juragan kapal yang mengeluh dengan sikap anak buah kapal (nelayan) yang cenderung terlalu
banyak menuntut sehingga keuntungan juragan kapal menjadi terbatas. Namun secara umum
terbatasnya kemampuan nelayan dalam mengembangkan kemampuan ekonominya karena
nelayan seperti ini telah terjerat oleh utang yang dipinjam dari para juragan. Konsekuensinya
adalah mereka harus menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak/juragan tersebut yang
bisa memainkan harga ikan semaunya tanpa memperdulikan harga pasaran.

Dalam perspektif struktural kemiskinan nelayan tidak hanya disebabkan hubungan patron-
klien yang menimbulkan jeratan utang dan mengarah pada bentuk eksploitasi. Tetapi
kemiskinan nelayan juga terjadi karena keterbatsan akses nelayan terhadap hak pengusaan
sumberdaya perikanan. Penguasaan atas sumberdaya perikanan selama ini lebih banyak
dinikmati oleh kolaborasi pemilik modal dan birokrat. Sebagai fakta adalah masih
beroperasinya pukat harimau (trawl) di seluruh perairan Indonesia yang berakibat pada
penyerobotan terhadap wilayah tangkap nelayan tradisional (traditional fishing ground).

Bahkan adanya musim-musim tertentu dimana ikan jenis tertentu banyak dan sedikit
menggambarkan bahwa kehidupan mereka tergantung pada rejeki laut. Dalam satu daerah
dimana terdapat desa-desa pesisir juga memiliki perbedaan dalam tingkat kesurplusan
sumberdaya perikanan. Bahkan ukuran rumah yang terbuat dari bilik bambu dan sudah
condong belum tentu bisa menjadi ukuran miskin karena mungkin saja ditemukan barang
elektronik seperti TV. Pola hubungan patron klien memungkinkan mereka berutang dalam
artian digunakan pada tujuan yang baik maupun tidak semisal membeli suatu barang berharga
di rumah. Sehingga tak heran jika, umumnya nelayan berenang dalam kubangan utang.
Penghasilan Rp.175.000/bulan tidaklah susah diperoleh ketika musim ikan banyak. Bahkan
bisa tiga kali lipat, sekalipun dengan sistem bagi hasil dengan tokenya. Tapi besoknya,
mungkin hanya dapat Rp.10.000, lalu kemudian meminjam ke tokeh, begitu seterusnya.

Namun berdasarkan pandangan nelayan (perspektif emic), kuatnya pola patron-klien di


masyarakat nelayan disebabkan oleh kegiatan perikanan yang penuh resiko dan
ketidakpastian sehingga tidak ada pilihan lain bagi mereka selain bergantung pada pemilik
modal (patron). Dari hal tersebut, bisa dibayangkan apa yang akan diterima para nelayan
dengan sistem yang demikian, sehingga sangatlah wajar jika kemiskinan menjadi bagian yang
akrab dalam kehidupan mereka.

Masalah Kelautan dan Perikanan Indonesia di Mata Dunia

Walau sebagai negara maritim yang sejak zaman nenek moyang dikenal sebagai bangsa
pelaut yang ulung, Indonesia masih terlalu lemah poisisinya dalam “peta” kelautan dunia.
Persoalan tapal batas, pemetaan teritori garis pantai sampai penamaan pulau-pulau dan
kalkulasi jumlah pasti sebaran pulau Indonesia memang menjadi masalah sejak masa awal
Kemerdekaan Indonesia sampai saat ini. Sehingga friksi perbatasan laut menjadi rawan
konflik dan sengketa dengan negara-negara tetangga yang berbatas laut langsung dengan
Indonesia (terutama dengan Malaysia, Singapura, dan Australia). Hal ini juga bersinggungan
dengan faktor keamanan laut, illegal fishing (pencurian ikan), pelanggaran batas, dan tindak
kriminalitas kelautan lainnya. Data statistik menunjukan kerugian sekitar 1/2 (setengah)
milyar dollar sampai 4 (empat) milyar dollar per tahun akibat pencurian ikan oleh orang asing
. Persoalan ini masih ditambah dengan aspek lingkungan hidup kelautan kita yang jauh dari
kategori ideal. Padahal Indonesia punya potensi kelautan yang luar biasa besar dan posisi
tawar yang tinggi secara ekonomi, strategi dan politik.

Di tengah banyaknya persoalan dan masalah di bidang kelautan yang belum terselesaikan,
Inisiatif dan gagasan besar dari Indonesia demi lestarinya laut dan kesejahteraan masyarakat,
menciptakan acara konferensi internasional bertajuk “World Ocean Conference” dan “Coral
Triangle Initiative Summit” yang digelar sepanjang 11 hingga 15 Mei 2009 di Manado,
Sulawesi Utara. dihadiri oleh perwakilan dari 121 negara.

Agenda pokok yang akan dibahas dalam WOC dan CTIS tersebut adalah:

1.     Penentuan bentang laut (sea scapes) prioritas yang cukup luas untuk percontohan
pengelolaan yang baik dan berkelanjutan untuk setiap negara peserta.

2.   Pengembangan jejaring  kawasan konservasi laut.

3.   Pengelolaan perikanan berbasis ekosistem dan pengelolaan sumber daya hayati laut.

4.   Pengembangan pendanaan yang berkelanjutan, termasuk pengembangan kapasitas dan


pelibatan sektor swasta.

5.   Penyesuaian terukur terhadap perubahan iklim.

6.   Memperbaiki status ancaman terhadap beberapa spesies laut.

Pentingnya WOC dan CTIS bagi Indonesia dan negara-negara peserta, juga dilatarbelakangi
kurangnya kepedulian dunia internasional terhadap pelestarian laut dan pengelolaan kekayaan
hayatinya. Selaku tuan rumah, diharapkan Indonesia dapat memegang peran penting dalam
isu di bidang kelautan sehingga posisi tawar dan eksistensi Indonesia sebagai negara dengan
garis pantai terpanjang keempat di dunia – setelah Amerika Serikat, Kanada dan Rusia –
dapat meningkat. Pada akhirnya, kita semua sama-sama berharap, dengan terselenggarannya
WOC dan CIT akan menjadi satu langkah besar yang positif untuk membenahi sektor
kelautan kita.

Langkah yang Harus Kita Ambil

Keterpaduan penanganan kemiskinan nelayan sangat dibutuhkan sekali, tujuannya adalah


untuk menghilangkan egosektor dari masing-masing pemangku kepentingan. Keterpaduan
tersebut adalah sebagai berikut : pertama, keterpaduan sektor dalam tanggung jawab dan
kebijakan. Keputusan penanganan kemiskinan nelayan harus diambil melalui proses
koordinasi diinternal pemerintah, yang perlu digaris bawahi adalah kemiskinan nelayan tidak
akan mampu ditangani oleh secara kelembagaan oleh sektor kelautan dan perikanan, mulai
dari pusat sampai kedaerah. Kedua, keterpaduan keahlian dan pengetahuan, untuk
merumuskan berbagai kebijakan, strategi, dan program harus didukung berbagai disiplin ilmu
pengetahuan dan keahlian, tujuannya adalah agar perencanaan yang disusun betul-betul
sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat nelayan. Ketiga, keterpaduan masalah dan
pemecahan masalah sangat diperlukan untuk mengetahui akar permasalahan yang
sesungguhnya, sehingga kebijakan yang dibuat bersifat komprehensif, dan tidak parsial. 
Keempat, keterpaduan lokasi, memudahkan dalam melakukan pendampingan, penyuluhan
dan pelayanan (lintas sektor), sehingga program tersebut dapat dilakukan secara efektif dan
efesien.

Kegagalan penanganan kemiskinan nelayan ini selama ini, disamping kurangnya


keterpaduan, juga terdapatnya berbagai kelemahan dalam perencanaan. Untuk itu dalam
proses perencanaan harus unsur-unsur sebagai berikut :

1. Perumusan sasaran yang jelas, berupa ; hasil akhir yang diharapkan dari kegiatan yang
dibuat, kelembagaan yang bertanggung jawab, serta objek dari kegiatan.

2. Pengidentifikasian situasi yang ada, yaitu dengan mempertimbangkan faktor internal


(kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman), tujuannya untuk
mengetahui kondisi sesungguhnya tentang objek yang akan ditangani. Selanjutnya akan
memudahkan dalam menyusun berbagai strategi yang mendukung penanganan
kemiskinan nelayan.
3. Penentuan tujuan harus bersifat spesifik (objek, kegiatan, dibatasi waktu dan terukur),
sehingga pengentasan kemiskinan nelayan jelas siapa sasarannya dan jenis kegiatan yang
akan dilakukan, dan selanjutnya berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam pencapaian
tujuan dapat ditentukan dengan jelas.

4. Menganalisa keadaan, pelaksanaan kegiatan harus disesuaikaan antara ketentuan yang telah
ditetapkan dengan realiatas yang ada dilapangan, dan apabila terjadi permasalahan diluar
dugaan, maka perlu segera dibuatkan stretegi dan tindakan baru untuk menutup jurang
perbedaan.

5. Pendampingan, monitoring dan evaluasi, pendampingan harus dilakukan awal kegiatan


dilaksanakan, sampai paca kegiatan, sehingga akan menjadi bahan evaluasi, apakah
kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Selanjutnya melalui konsep yang dikemukakan ini akan dapat dirumuskan berbagai strategi
pengentasan kemiskinan seperti: perluasan kesempatan kerja, pemberdayaan kelembagaan
masyarakat, peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM, perlindungan sosial, dan penataan
kemitraan global.

Menciptakan Program Pemerintah yang Memihak

Bahwa musim paceklik akan hadir dalam setiap tahunnya. Oleh karenanya berbagai strategi
adaptasi dilakukan masyarakat nelayan untuk bertahan hidup. Strategi adaptasi yang biasanya
dilakukan adalah memobilisasi peran perempuan (kaum istri) dan anak-anaknya untuk
mencari nafkah. Keterlibatan perempuan dalam mencari nafkah untuk keluarga di wilayah
pesisir atau desa-desa nelayan tidak terlepas dari sistem pembagian kerja secara seksual (the
division of labour by sex) yang berlaku pada masyarakat setempat.

Kaum perempuan biasanya terlibat penuh dalam kegiatan pranata-pranata sosial ekonomi
yang mereka bentuk, seperti arisan, kegiatan pengajian berdimensi kepentingan ekonomi,
simpan pinjam, dan jaringan sosial yang bisa mereka manfaatkan untuk menunjang
kelangsungan hidup keluarga. Hadirnya pranata-pranata tersebut merupakan strategi adaptasi
masyarakat nelayan dalam menghadapi kesulitan hidup yang dihadapinya. Strategi adaptasi
diartikan sebagai pilihan tindakan yang bersifat rasional dan efektif sesuai dengan konteks
lingkungan sosial, politik, ekonomi dan ekologi, dimana penduduk miskin itu hidup.
Sedangkan strategi adaptasi yang dilakukan para nelayan (kaum suami) adalah diversifikasi
pekerjaan untuk memperoleh sumber penghasilan baru. Bahkan, strategi adaptasi tersebut
diselingi dengan menjual barang-barang berharga yang ada dan berhutang. Namun, kedua
strategi ini pun tidak mudah didapat karena berbagai faktor telah membatasi akses mereka.

Dengan segala keterbatasan yang ada, masyarakat nelayan mengembangkan sistem jaringan
social yang merupakan pilihan strategi adaptasi yang sangat signifikan untuk dapat
mengakses sumberdaya ikan yang semakin langka. Jaringan sosial diartikan oleh Mitchell
sebagai seperangkat hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk di antara kelompok orang.

Oleh karena itu, diperlukan kebijakan pemerintah yang nyata dalam mengatasi masa pacaklik
ini, salah satunya jaminan sosial. Jaminan yang dibutuhkan masyarakat nelayan tidak muluk-
muluk, mereka hanya memerlukan tersedianya dana kesehatan dan dana paceklik. Sementara
itu, kebijakan tersebut harus disusun oleh struktur sosial budaya lokal, baik yang
berhubungan dengan masalah institusi maupun dengan sistem pembagian kerja yang berlaku
dalam masyarakat nelayan. Hal ini dikarenakan, pranata-pranata sosial budaya yang ada
merupakan potensi pembangunan masyarakat nelayan yang bisa dieksplorasi untuk mengatasi
kemiskinan dan kesulitas ekonomi lainnya.

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di sektor kelautan dan


perikanan yang saat ini digalakkan oleh pemerintah, diharapkan bisa menurunkan angka
kemiskinan nelayan di Indonesia. Melalui pengembangan kegiatan perekonomian masyarakat
yang berbasis pada sumber daya lokal, baik masyarakat maupun sumber daya alamnya, para
nelayan dapat mengembangkan usaha sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Dengan
demikian, diharapkan dapat memberantas kemiskinan, menciptakan lapangan kerja dan
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, khususnya di kalangan masyarakat nelayan.

Selain itu, pemerintah juga perlu mendorong sektor perbankan untuk membuka kantor kasnya
di setiap Tempat Pemasaran Ikan (TPI) yang bisa mengatasi kesulitan para bakul untuk
menutup tagihannya. Termasuk fungsi perbankan disini adalah menyediakan dana yang
diperlukan nelayan untuk berlayar. Sayangnya dengan kondisi kehidupan nelayan yang pas-
pasan, tampaknya sangat sulit bagi perbankan untuk menjalankan fungsi tersebut tanpa
adanya agunan yang memadai dari para nelayan.
Di sini bila dimungkinkan pemerintah bisa menyediakan dana khusus sebagai jaminan
kepada perbankan untuk menyalurkan dananya kepada nelayan. Kalaupun perbankan tidak
mampu memenuhi peran tersebut, pemerintah bisa menempatkan dananya sebagai penyertaan
modal kepada KUD-KUD pengelola TPI. Memang, nada miring tentang KUD seringkali kita
dengar sehingga pemerintah pun cenderung berhati-hati bila ingin memberdayakan KUD.
Namun, pendapat ini tidak bisa digeneralisasi secara membabi buta, karena masih cukup
banyak pengurus KUD yang mempunyai hati nurani seperti KUD-KUD pengelola TPI. Tidak
ada salahnya, mulai sekarang pemerintah mulai mencoba mengalokasikan dana retribusi dari
transaksi di TPI untuk diarahkan kepada penyediaan modal bagi nelayan. Dengan demikian
misalokasi anggaran diharapkan tidak akan banyak terjadi, karena dengan memberdayakan
KUD berarti pula mendorong bangkitnya kekuatan ekonomi nelayan.

Selain mengambil kebijakan yang memihak, hukum juga harus difungsikan sebagai sarana
perubahan social. Kita bisa ambil contoh kebijakan pemerintah di Malaysia yang sangat
memihak kepada pribumi, dalam hal ini etnis Melayu. dalam regulasinya, pemerintah
Malayasia mendorong agar 20 – 25 persen kepemilikan saham-saham perusahaan dikuasai
oleh etnis Melayu. Bahkan pada tahun 2020, Malaysia menargetkan kepemilihan saham etnis
Melayu bertambah menjadi 30 persen. Dalam hal ini, Hukum dapat difungsikan sebagai alat
rekayasa social untuk mensejahterakan para nelayan.

Penutup

Kemiskinan merupakan masalah yang multidimensional sehingga pendekatan untuk


mengentaskan kemiskinan juga harus multidimensional. Dalam hal mengatasi kemiskinan
kaum nelayan, Setidaknya perlu mengagas dan mewujudkan harapan akan perkuatan sektor
kelautan dari semua aspek. Mulai dari gazetteer pulau, pemetaan wilayah terbaru, penegasan
tapal batas, perkuatan armada pertahanan lautan (penambahan jumlah kapal patroli laut
sampai jumlah ideal), pengembangan  dan kawal tetap pulau-pulau terluar, penertiban zona
tangkapan ikan dan aktivitas kelautan lain, sampai persoalan penyelamatan lingkungan
perairan. Ini juga termasuk perkuatan sektor perikanan, perjuangan nasib nelayan lokal
(dalam negeri), penegasan dan penegakan  hukum perairan dan kelautan, sampai pemanfaatan
berkelanjutan potensi laut yang ramah lingkungan. Begitu banyak “pekerjaan rumah” yang
harus diselesaikan Indonesia untuk bisa tegar perkasa sebagai satu negara maritim terbesar
dunia.
Dengan demikian mengatasi kemiskinan nelayan sebaiknya harus diawali dengan adanya data
akurat statistik. Selanjutnya ditindaklanjuti mengenai apa penyebab dari kemiskinan tersebut,
apakah karena jeratan utang atau faktor lain. Kemudian cara atau metode untuk
menaggulanginya lebih terfokus, pada nelayan-nelayan yang berada pada subordinasi tokeh.
Bagaimanpun juga bahwa penyebab kemiskinan tidaklah sama disemua wilayah, bahkan
ukurannyapun bisa berbeda-beda atau tergantung kondisi setempat. Sehingga formula
pengentasan kemiskinanpun tidak bisa digeneralisir pada semua wilayah atau semua sektor.
Kemiskinan yang dialami oleh nelayan tidak bisa disamamakan dengan ukuran kemiskinan
buruh di perkotaan. Bahkan dalam suatu di kabupaten yang sama belum tentu bisa diratakan
ukuranya pada desa-desa pesisir yang ada. Program pengentasan kemiskinan nelayan
membutuhkan strategi khusus yang mampu menjawab realitas yang terjadi hari ini. Selain itu,
peranan hukum juga menjadi sangat penting untuk mensejahterakan para nelayan.
DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Arumbiang, Kasihono. Kiat Mengentaskan Kemiskinan di Pedesaan Tanpa Menggunakan


Dana APBN. Aliansi Koperasi Pertanian Indonesia. Jakarta : Delima Rimbun, 2008.

Mulya Lubis, Todung. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktrural. Jakarta : LP3ES, 1986.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Cetakan 38. Jakarta : PT. Grafindo Persada,
2005.

Dr. Tellisa Aulia. F. “Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan dan Kemiskinan Aspek


Sosial Budaya”. Draft Laporan Final Hibah Multidisiplin UI. 2009.

Artikel :

Andini, Ayu. “Indonesia Gelar World Ocean Conference Pertama di Dunia”.


www.indofamilynet.com, 04-05-2009 18:43.

Bakara, Evin H. “Antara WOC dan Ruwetnya Persoalan Kelautan Indonesia”. www.harian-
global.com. 15-05-2009 10:39.

Himti, Ibrahim. “Wilayah Laut Indonesia”.

Marbun, Leonardo. “Kenaikan BBM dan Kemiskinan Nelayan”.

Samhadi, Sri Hartati., Ahmad Arif, dan Maria Hartiningsih. “Petani Berhadapan dengan
Kekuasaan”. Kompas, 11 April. 2008, 41.

Solihin, Akhmad. “Musim Paceklik Nelayan dan Jaminan Sosial“.

Solihin, Akhmad. “Mencermati Kontraversi HP3”. http://ikanbijak.wordpress.com. April 18,


2008.

Sudrajat, Ihwan. “Membangkitkan Kekuatan Ekonomi Nelayan”. Suara Merdeka, 13


Desember 2002.
____________.“Separuh Penduduk Masih Rentan Menjadi Miskin”, Kompas, 8 Desember
2006, halaman I.

____________. “Kepemilikan Saham untuk Etnis Melayu Ditingkatkan”. Kompas, 1 April


2006, halaman 8.

Soerjono Soekanto. “Sosiologi Suatu Pengantar”. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006).
hal. 320.

Menurut Oscar Lewis (1966), kemiskinan bukanlah semata-mata kekurangan dalam ukuran
ekonomi, tetapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran kebudayaan dan kejiwaan dan
memberi corak tersendiri pada kebudayaan yang diwariskan dari generasi orang tua kepada
anak melalui proses sosialisasi.

teori demikian disebut dengan teori cultural.

Dr. Tellisa Aulia. F. “Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan dan Kemiskinan dari Aspek
Sosial Budaya”.

Todung M. Lubis, “Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktura”, (Jakarta: LP3ES, 1986). hal.
9.

Todung M. Lubis, “Pembangunan dan Hak-Hak Asasi Manusia” dalam Prisma, No. 12,
Desember 1979, hal 11-20.

“Separuh Penduduk Masih Rentan Menjadi Miskin”, Kompas, 8 Desember 2006, hal. I.

Data Biro Pusat Statistik (BPS) per Maret 2008.

Ibid.

Berita Resmi Statistik No. 26/05/Th. XII, 1 Mei 2009

Ibid.

Leonardo Marbun. “Kenaikan BBM dan Kemiskinan Nelayan”.

Ibrahim Himti, “Wilayah Laut Indonesia”.

Azman, Syaiful. “Konsep Penanganan Kemiskinan Nelayan .“

Kusnadi. ”Nelayan : Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial” (2000).

ibid.

Ihwan Sudrajat. “Membangkitkan Kekuatan Ekonomi Nelayan”. Suara Merdeka, 13


Desember 2002.
“Kepemilikan Saham untuk Etnis Melayu Ditingkatkan”. Kompas. 1 April 2006, hal. 8.

http://mhs.blog.ui.ac.id/najmu.laila/archives/16
PNPM :

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Luas wilayah lautan sekitar 5,8
juta km2 atau sekitar 70% dari luas total teritorial Indonesia serta memiliki 17.508 pulau
dengan garis pantai sekitar 81 ribu km. Kondisi ini tentunya menjadi potensi yang besar
bagi negeri ini untuk mensejahterakan rakyatnya.

Namun sayang, potensi yang begitu melimpah belum mampu menjadikan negeri ini
menjelma menjadi bangsa bahari besar dan mandiri. Ini ditunjukkan dengan kehidupan
masyarakat kita yang berprofesi sebagai nelayan masih cukup banyak yang hidup di bawah
garis kemiskinan.

Kita tentu tidak bisa menutup mata bahwa di tengah potensi lautan yang begitu besar
justru kantong-kantong kemiskinan banyak terletak di pemukiman nelayan. Banyak faktor
yang menjadi penyebab kemiskinan masih mendera para nelayan baik secara struktural,
kultural, bahkan secara alami.

Nelayan kita masih terjerat oleh terbatasnya kemampuan modal, manajemen yang lemah,
cengkraman tengkulak serta keterbatasan teknologi yang mereka miliki. Kondisi ini
dipersulit oleh situasi alamiah laut yang seringkali sukar diprediksi seperti gelombang
tinggi, angin dan badai, serta rusaknya alam yang mengakibatkan hasil tangkapan semakin
berkurang.

Di samping itu, faktor kultural juga bisa menjerumuskan nelayan semakin terkungkung
dalam kemiskinan. Begitu besarnya, kekayaan laut kita tanpa disadari justru
meninabobokan. Akibatnya, tercipta ketergantungan yang besar terhadap sumber daya
laut sehingga berakibat kurangnya montivasi dalam usaha meningkatkan usaha
peningkatan sumber daya manusia.

Inilah yang membuat faktor penyebab kemiskinan nelayan menjadi sangat kompleks.
Karenannya, dibutuhkan strategi kebijakan pembangunan yang efektif dan komprehensif.
Begitu kompleksnya pemasalahan yang menyelimuti kemiskinan nelayan sehingga tak
jarang muncul pertanyaan mungkinkah kemiskinan nelayan dapat dituntaskan mengingat
masalah yang ada laksana benang kusut yang susah diuraikan?
Oleh karena itu, kita harus belajar dari pengalaman masa lalu. Kegagalan program
pengentasan kemiskinan nelayan dinilai terjadi karena hanya menggunakan satu
pendekatan yang bersifat projec oriented. Pengembangan ekonomi masyarakat pesisir
lebih diarahkan pada peningkatan hasil penangkapan namun kurang memperhatikan
sumberdaya lokal baik dari segi sumber daya manusia maupun sumber daya alamnya.

Pemerintah sekarang sebenarnya telah melaksanakan beragam program pemberdayaan


masyarakat nelayan. Salah satunya program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir
(PEMP) yang dijalankan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Ada tiga program PEMP
yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir yaitu program Solar
Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN)/Stasiun Pengisian Bahan Bakar Minyak Untuk Nelayan
(SPBN), program kedai pesisir, dan program penguatan modal bagi masyarakat pesisir yang
bekerjasama dengan lembaga keuangan. Di samping itu, dalam rangka menguatkan modal
nelayan, PEMP bekerja sama dengan kalangan perbankan dan nonperbankan.

Untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan di kalangan nelayan dan masyarakat


pesisir, maka pemerintah mulai tahun ini mengitegrasikan program-program
pemberdayaan dilingkup DKP ke dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Mandiri Kelautan dan Perikanan (PNPM Mandiri KP).

Program ini telah diluncurkan di Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada
tanggal 17 Maret lalu. Sasaran program adalah masyarakat kelautan dan perikanan dengan
skala usaha mikro. Melalui program ini diharapkan percepatan penanggulangan kemiskinan
yang menimpa pada sekitar 32% dari 16,42 juta masyarakat pesisir dan nelayan bisa
tercapai.

Untuk program ini pemerintah mengalokasikan Rp116 milyar, yang akan dialokasikan ke
120 kabupaten/kota. Dana tersebut akan dialokasikan sebagai Bantuan Langsung
Masyarakat (BLM) dan sebagian untuk untuk dana sosialisasi, peningkatan kapasitas,
termasuk pelatihan-pelatihan bagi masyarakat.

Dalam pelaksanaannya, PNPM Mandiri KP akan meliputi empat komponen yaitu pertama,
perencanaan pembangunan wilayah dan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis
desa. Kedua, pembangunan infrastruktur desa dan lingkungan. Ketiga, penguatan
kapasitas sumberdaya manusia, kelembagaan dan keempat, pemberdayaan masyarakat.
Penutup

Beragam inisatif dalam memberdayakan masyarakat melalui PNPM Mandiri KP atau pun
program lainnya merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menjadikan masyarakat
yang sejahtera dan mandiri. Melalui program yang bersifat pemberdayaaan inilah
diharapkan akan mampu mengurangi ketergartungan masyarakat terhadap bantuan
pemerintah.

Keberadaan program PNPM Mandiri KP tentu dapat menjadi harapan besar bagi masyarakat
nelayan dan pesisir untuk bisa membebaskan mereka dari kondisi kemiskinan. Di samping
itu, program ini tentunya dapat memberikan manfaat terhadap terciptanya lapangan kerja
serta mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di kalangan nelayan. Sehingga pada
akhirnya, mampu menghilangkan stereotip sebagai masyarakat miskin yang mereka
sandang selama ini. (dimuat di Majalah KOMITE edisi 1-15 Mei 2009)

Diposkan oleh Sujana Royat

0 komentar:

Poskan Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Langgan: Poskan Komentar (Atom)


PNPM Perkotaan, Refleksi Kongkret Penanggulangan Kemiskinan

Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), yang kini telah dilebur dalam
PNPM Mandiri Perkotaan, diluncurkan pada tahun 2007 dan dilaksanakan hingga sekarang di
Provinsi Bali. Dalam perjalanannya, memang timbul berbagai hambatan maupun
kekhawatiran negatif yang berkembang terhadap keberhasilan pelaksanaan program ini.
Kekhawatiran pertama adalah kesulitan dalam mencari relawan yang bersedia tidak dibayar
dan mau berpartisipasi dalam pelaksanaan program di desa/kelurahan. Kekhawatiran kedua,
kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyimpangan, baik menyangkut pengelolaan
keuangan, ketepatan sasaran maupun penerima manfaat dari program tersebut. Jika
penyimpangan terjadi, dikhawatirkan bukannya penduduk miskin yang menurun, malah akan
semakin meningkat.

Dalam tiga tahun berpartisipasi dalam PNPM Mandiri Perkotaan, banyak hal positif yang
sangat bermanfaat dirasakan oleh masyarakat. Adanya peningkatan kemandirian masyarakat
dalam melaksanakan program, meningkatnya kepedulian warga lain terhadap penduduk
miskin, meningkatnya partisipasi, serta tumbuhnya pemahaman masyarakat dalam
merumuskan program pembangunan hingga turunnya anggaran untuk pelaksanaannya.
Sehingga kini, kelompok masyarakat yang mendapatkan alokasi bantuan program ini telah
beranggapan bahwa PNPM Mandiri Perkotaan merupakan program yang paling tepat
dilaksanakan untuk memberdayakan masyarakat serta lebih kongkret dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di daerah.

Beberapa manfaat nyata yang dinikmati masyarakat dalam pelaksanaan program PNPM
Mandiri Perkotaan adalah:

1. Berkembangnya infrastruktur.
Infrastruktur lingkungan yang ada di pedesaan selama ini sangat jarang tersentuh oleh
program-program pemerintah. Karena, tanggung jawab pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah dalam pembangunan dan perbaikan infrastruktur masih dibatasi pelayanan yang lebih
luas dan regional. Dengan demikian, skala pelayanan lingkungan yang kecil mendapat
prioritas kedua dan seterusnya. Berkat adanya PNPM Mandiri Perkotaan ini, banyak
infrastruktur lingkungan bagi masyarakat miskin yang dapat dibangun, baik menyangkut
pengaspalan jalan, pembuatan drainase, air bersih, jamban keluarga, maupun kegiatan bedah
rumah.

2. Memberikan kesejahteraan.
Selama ini banyak proyek yang dikerjakan pemerintah, namun belum mampu secara
langsung dapat memberikan tambahan penghasilan bagi masyarakat di sekitarnya. Hal ini
disebabkan kontraktor menggunakan lebih banyak tenaga kerja dari luar dibandingkan
dengan masyarakat lokal. Biaya tenaga kerja luar daerah yang lebih murah menjadi prioritas
bagi kontraktor bersangkutan guna meraih keuntungan yang maksimal. Hal ini benar-benar
menunjukkan sifat kapitalisme dan ketidakpedulian terhadap buruh lokal yang makin miskin.
Keberadaan PNPM telah mengubah paradigma tersebut dan kegiatan pembangunan fisik
lingkungan yang ada di wilayah kini dapat dinikmati, dan masyarakat pun berharap agar
kegiatan ini selalu berlanjut.

3. Tingginya partisipasi.
Program yang bertumpu pada masyarakat ini makin dipercaya, baik di lingkungan
masyarakatnya sendiri maupun para pengusaha yang ada di lingkungannya, sehingga
keberadaan program ini mampu membangun partisipasi yang lebih luas. Rata-rata partisipasi
(berupa swadaya) mencapai antara 50-80% dari total biaya yang dibutuhkan. Kemampuan
Koordinator Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dalam memasarkan maupun
membangun jaringan kemitraan (channeling) telah mendorong tumbuhnya partisipasi asing
dalam pembiayaan program, sebagaimana terjadi di Ubud.

4. Kepedulian terhadap orang miskin.


Mungkin orang peduli dan tidak peduli terhadap orang miskin seimbang. Yang tidak peduli
akan asyik berkutat dalam kesibukannya sendiri, sedangkan yang peduli tidak mampu dari
mana harus memulai dan bagaimana mengapresiasikannya. Akhirnya si miskin tetap tidak
mampu mengangkat derajat kehidupannya. Kondisi ini sangat berebda setelah PNPM
Mandiri Perkotaan masuk ke desa sasaran/binaannya. Apalagi setelah kegiatan bedah rumah
bagi masyarakat miskin menjadi target para pengelolanya (BKM), ternyata banyak warga kita
yang sangat peduli dan kasih terhadap warga yang tertinggal dalam segala bidang tersebut.
Banyak warga yang rela memberikan bantuan material dan memperbaiki rumah mereka, serta
mendorong mereka untuk memanfaatkan fasilitas modal PNPM guna mendongkrak
penghasilan dan kesejahteraannya.

Hambatannya Tidak Kecil

Walau program ini cukup berhasil di daerah, pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan di
tingkat kelurahan juga memiliki hambatan yang tidak kecil. Di antaranya:

1. Ketidaksabaran masyarakat dalam menjalankan siklus program.


Siklus program yang wajib dilaksanakan di PNPM memang sangat luar biasa ruwet.
Birokrasinya panjang, baik dari proses perencanaan di tingkat masyarakat maupun pada saat
pelaksanaannya. Namun, sebenarnya di situlah letak pemberdayaannya. Sejatinya masyarakat
disiapkan untuk menjadi pejuang yang lebih tangguh dalam memperjuangkan
kepentingannya guna memperoleh program-program pemerintah, khususnya dalam
menanggulangi kemiskinan.

Para pelaku PNPM di tingkat masyarakat harus menyadari bahwa dalam pelaksanaan
pembangunan tidak ada yang serba instan. Tidak ada proses sehari dana sudah langsung bisa
dicairkan. Warga yang duduk dalam kepengurusan BKM atau KSM harus memiliki
kepedulian dan keikhlasan yang tinggi guna memperoleh hasil maksimal dalam
mengentaskan masyarakat miskin di wilayahnya.

2. Masih ada yang belum peduli.


Dalam kepengurusan BKM dan KSM di tingkat desa/kelurahan masih ditemukan beberapa
yang belum peduli dan tidak memahami hakikat PNPM Mandiri Perkotaan dilaksanakan.
Mereka tidak memahami PNPM tersebut diperuntukan untuk siapa. Akibatnya, dalam
pelaksanaan program PNPM Mandiri Perkotaan, memang banyak infrastruktur lingkungan
yang dibangun, namun target dan capaian sasaran masyarakat miskin secara maksimal.
Akibatnya, penurunan jumlah penduduk miskin di wilayah tersebut dipastikan tidak akan
mengalami perubahan. Sehingga, bagi mereka yang duduk dalam kepengurusan BKM dan
KSM dituntut perannya agar lebih memiliki kepedulian bagi masyarakat miskin, lebih arif
dan bijaksana dalam menentukan prioritas program. Kadangkala pemerataan dalam
pembagian anggaran di tingkat kelompok masyarakat bukan menjadi jaminan bagi sebuah
keberhasilan dalam pelaksanaan program. Namun, penentuan pemilihan prioritas program
dengan capaian manfaat yang lebih maksimal dapat menjadi alternatif pilihan.
Sebagai program yang baik dan bisa diterima segenap masyarakatnya, PNPM Mandiri
Perkotaan dipastikan bukan merupakan program yang abadi dan dapat selalu memberikan
dukungan dana bagi masyarakat di daerah. Mengingat sumber pendanaan ini juga berasal dari
pinjaman Bank Dunia (World Bank) dan lembaga donor lainnya. Dipastikan, pelaksanaan
program ini juga dibatasi target waktu penarikan pinjaman serta besaran nilai pinjaman yang
dihibahkan bagi masyarakat.

Meski begitu, spirit dalam pemberdayaan masyarakat sangat luar biasa dan meningkatkan
character building dengan mengedepankan pada kearifan lokal masyarakat. Sangat
diharapkan pemprov dan kabupaten/ kota dapat mendukung kelanjutan program ini
mengingat potensi yang dimiliki masyarakat telah dibangun kemandiriannya. Sehingga,
mampu merealisasikan visi dan misi yang dimilikinya, baik dalam penyusunan program
jangka menengah penanggulangan kemiskinan yang ada di wilayahnya maupun dalam
merealisasikan perencanaan yang dimilikinya.

Yang tak kalah pentingnya dalam hal ini adalah membangun kemampuan channeling
masyarakat dalam menggali sumber-sumber pendanaan. Sumber pendanaan pembangunan
tidak hanya berasal dari pemerintah semata, tetapi juga dapat bersumber dari lembaga-
lembaga donor yang memiliki komitmen tinggi dalam penanggulangan kemiskinan.
Partisipasi swasta yang ada di wilayahnya maupun dukungan swadaya segenap masyarakat
merupakan modal dasar dalam pembangunan di wilayah mereka sendiri.

Meski demikian, pemanfaatan anggaran pemerintah baik pusat, provinsi dan kabupaten
memang harus diperjuangkan secara maksimal, karena hal tersebut merupakan hak segenap
masyarakat untuk mendapatkannya. Untuk itu diperlukan kemampuan yang tinggi dari pelaku
program di tingkat kelurahan, dalam meyakinkan pemerintah bahwa program pembangunan
yang dimilikinya bermanfaat bagi masyarakat di wilayahnya, serta secara signifikan mampu
mengentaskan masyarakat miskin, bukan program bagi segelintir orang atau orang-orang
yang duduk sebagai pengurus atau pengelola program kerja. (I GNP Ariana, Kepala Satker
PIP Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali/Tim CB OC-7 Provinsi Bali, PNPM Mandiri
Perkotaan; Firstavina)

Catatan:
- Penulis adalah PNS di Bappeda Gianyar, alumni MPKB UGM dan Satker PNPM Mandiri
Perkotaan Kabupaten Gianyar.
- Tulisan ini juga diterbitkan oleh media Suluh Indonesia (kelompok media Bali Post), edisi
25 Maret 2010.

(dibaca 231)

http://www.p2kp.org/wartadetil.asp?mid=3029&catid=2&

Anda mungkin juga menyukai