Anda di halaman 1dari 5

Bapak, ini janjiku!

Rani adalah mahasiswi tingkat 2 jurusan Farmasi di sebuah Perguruan


Tinggi negri. Sekali satu bulan biasanya ia pulang kampung untuk melepas
rindu dengan keluarganya di desa. Tetapi kini ia mulai berpikir, ia akan
pulang jika ia bisa membawa kabar gembira untuk orang tuanya.

“Aku tidak tahu pasti harus berbuat apa, apa yang bisa aku lakukan
dengan kemampuanku yang seadanya ini? Hhh….” desah Rani dengan
langkah gontai.

Sore itu Rani pulang dari Gramedia, ia memang acap kali berkunjung
ke tempat itu. Baginya, duduk atau berada diantara ratusan bahkan ribuan
buku sangat nyaman. Ia merasa itulah dunia yang nyaman. Dengan suasana
yang tenang, ia dapat mencurahkan rasa, cipta, dan karsanya dalam bidang
jurnalistik.

Kata-kata untuk seorang yang sangat dicintainya itu masih saja


berhembus bersama bayu menelusup telinganya.

**

“Mak, coba Mamak bantu bapak supaya mau shalat. Aku kan jauh,
susah mau komunikasi dengan Bapak.” Pintaku pada mak.

“Ah, mamak capek ngomong sama bapakmu tuh. Kalau disuruh shalat
pasti jawabnya, ‘Nanti saja kalau sudah mudah hidupnya. Sekarang kita
masih susah, masih banyak tanggung jawab bapak untuk kita semua.
Percuma kalau shalat setiap hari tapi mengeluh juga setiap hari.’ Sudah
berbuih-buih mulut mak.” Jawab mak sambil mendesah.

Rani hanya menunduk, merenung sepersekian detik dan berjalan


menuju ruang shalat. Karena rumahnya kecil, jadi ruang shalatnya
bersebelahan dengan ruang makan, tanpa diberi sekat. Rani memasang satu
sajadah paling depan. Ia tepuk-tepuk sekali untuk menghilangkan sedikit
kotoran yang menempel pada sajadah itu.

“Ya Allah, ini janjiku padamu. Aku akan berusaha untuk menyadarkan
Bapak supaya mau kembali mengingat dan menyembahmu, ya Allah.” Ucap
Rani lirih sekaligus memohon keridhoan-Nya, sebutir air menitik dari
matanya di atas sajadah itu.
Rani kembali berjalan keluar, duduk di teras rumah sambil menunggu
bapak pulang dari bengkel. Tepat 15 menit setelah itu bapak Rani datang,

“Nih, motornya sudah bapak servis, nanti disana dirawat baik-baik


motornya. Kalau mau diservis lagi nggak usah ganti oli, olinya sudah bapak
ganti tadi.” Pesan Bapak pada Rani sebelum berangkat.

Karena rumahnya hanya tiga jam dari tempat Rani kuliah, maka ia
memutuskan untuk naik motor saja. Kalau naik travel sebentar saja
kepalanya sudah pusing. Rani mencium tangan maknya, kemudian tangan
bapaknya sambil berkata, “Kalau Rani pulang membawa kebahagiaan untuk
Bapak dan Mak, Rani minta Bapak shalat di atas sajadah yang Rani bentang
di tempat shalat. Mak juga ikut shalat di belakang bapak. Ajak juga adik ya
Mak.” Ucap Rani sebelum berpamitan.

Rani menaiki motornya, menstarter motornya, kemudian pamit.


“Assalamualaikum.” Ucap Rani.

“Waalaikumsalam.” Jawab kedua orang tuanya.

“Hati-hati!” pesan ibunya.

“Ya mak.” Jawab Rani. Kemudian ia berlalu dari hadapan orang tuanya.

**

Rani duduk di lantai kosnya sambil mencoret-coret beberapa lembar


kertas, ia biasa menulis puisi, cerpen, novel, atau sekedar coretan-coretan
kecil saja. Tapi tak satupun karyanya itu yang sampai ke sebuah redaksi,
apalagi percetakan.

***

Pagi ini Rani masuk jam 7.30 WIB, ia agak terlambat. Ia setengah
berlari dari tempat parkir menuju kelas. Tanpa sengaja di ujung koridor kelas
ia menabrak seorang bapak, ia terpental ke belakang.

“Bruk!” Sedikit nyeri punggungnya menghantam lantai.

Rani mendongak, pantas saja ia terpental. Ternyata orang yang


ditabraknya bertubuh tinggi besar. Ia bangkit, dan segera meminta maaf
kepada bapak yang ia tabrak. Kemudian tanpa menghiraukan lagi ia kembali
berlari ke ruang kelasnya.
“Alhamdulillah, untung saja belum terlalu lama terlambat.” Ucap Rani
ketika sampai di kelasnya, kemudian ia izin masuk.

***

Tiga minggu berlalu, sekarang sudah hampir akhir bulan, dan sampai
saat ini Rani belum juga menemukan cara untuk bisa membuat orang tuanya
bangga dengan satu karyanya. Rani merenung sendiri di bawah pohon
akasia di kampusnya.

Ia kemudian memutuskan untuk pulang ke kosnya, tiba-tiba


langkahnya terhenti karena tepat di tempat ia akan menapakkan kaki
kanannya ada sepasang sepatu hitam berhenti. Ia mendongak, senyum tipis
dari orang yang berhadapan dengannya itu mengembang.

“Apa kabar?” Tanya orang itu.

“Baik.” Jawab Rani. “Anda siapa?” Tanya Rani kemudian.

“Saya Reno, ingin mengantarkan surat kepada Anda.” Jawab orang


yang di depannya itu.

Rani menerima surat itu sambil menatap ragu, kemudian membukanya


dan mulai membacanya.

Pekanbaru, 12 November 2009

Yth,

Rani Dwi Aryani

Pekanbaru

Setelah membaca hasil karya tulisan tangan Saudara, maka


kami memutuskan untuk menerima permohonan penerbitan novel Saudara
yang berjudul “Coretan Hati Sang Anak”. Novel yang Saudara tulis sangat
memberikan kesan kepada kami. Silahkan hubungi ke bagian administrasi
untuk melanjutkan kerja sama ini. Terima kasih.

Yang terhormat,
Direktur PT. Sundala

“Saat anda jatuh menabrak saya novel anda jatuh. Kemudian saya
bawa kepada atasan saya untuk permohonan penerbitan sebagai ucapan
maaf saya. Ternyata novel anda diterima. Selamat ya.” Bapak tersebut
menjelaskan.

Rani berterima kasih kepada bapak tersebut kemudian langsung


menelpon orang tuanya bahwa akhir minggu ini ia akan pulang. Rani
bergegas mengurus penerbitan novelnya tersebut ke bagian administrasi
dan pulang dengan hati sangat gembira. Sesampainya di kos ia shalat Ashar
dan langsung berterima kasih sebesar-besarnya kepada Yang Maha Punya
Rencana Indah.

Sabtu ini Rani pulang, ia sudah tidak sabar ingin berlari memeluk
maknya sambil berkata, “Rani berhasil menepati janji, Mak.” Sampai ia tidak
sadar ada mobil Fuso yang tiba-tiba muncul di depannya dengan kecepatan
sangat tinggi, karena tidak sempat mengelak lagi Rani hanya mampu
berteriak “Aaaa…..!!!”

Dan, “Braak!!”

Tubuh Rani terpental dan mendarat di tepi kiri jalan, tubuh Rani
mengejang. Segera warga sekitar membawanya ke rumah sakit terdekat.
Begitu mendengar kabar tentang Rani orang tuanya segera pergi ke rumah
sakit. Begitu tiba di rumah sakit dan mengetahui kondisi anaknya, mak
langsung pingsan. Bapak Rani pun sangat kalut.

Sambil menunggu hasil pemeriksaan kondisi anak sulungnya, bapak


bersandar dengan tatapan kosong. Muncul dari ujung koridor rumah sakit
seorang warga yang menolong Rani memberikan tas Rani yang berceceran
di jalan. Bapak melihat di beberapa bagian tas Rani kotor teinjak mobil.
Tangannya bergerak membersihkan kotoran pada tas anaknya dengan hati
tak menentu. Pandangannya terhenti pada amplop kuning besar yang
ujungnya sudah keluar dari tas.

Bapak membukanya dan terkejut malihat isinya. “Astaghfirullah…”


seru bapak terbata dalam tangisan hati yang sangat menyesakkan dadanya.
Membungkus rasa sesal yang sangat dalam atas sikapnya selama ini kepada
anaknya itu. “Maafkan bapak, Nak.” Ucapnya dengan lirih, bahkan nyaris tak
terdengar. Suaranya tergulung dalam tenggorokannya, ia tak mampu
berkata-kata lagi.

Dokter mempersilahkan bapak untuk masuk melihat kondisi Rani.


Bapak duduk di samping Rani sambil menggenggam tangan Rani. “Nak,
bapak janji akan shalat. Bapak akan bertaubat dan selalu ingat Allah. Maaf
karena selama ini bapak tidak menghiraukan ajakanmu, Nak.” Janji bapak
sambil terisak. Air mata menitik dari ujung kiri mata Rani. Bapak melihat air
mata itu, kemudian ia semakin menegaskan janjinya.

Dalam hitungan detik tiba-tiba tubuh Rani mengejang, bapak


memanggil dokter dengan panik. Dokter memompa jantung Rani sekuat-
kuatnya. Bapak hanya melihat kerumunan orang berpakaian putih-putih
berusaha menyelamatkan hidup anak sulungnya. Suara yang sangat rebut
kian lama berubah menjadi gumaman-gumaman. Pikirannya tiba-tiba serasa
tercabang menjadi ratusan ribu jalan tikungan. Seketika itu mak datang
menarik kursi bapak dan langsung memeluk bapak. Tetapi sepertinya Rani
sudah cukup puas mendengar jawaban bapaknya, Allah pun memilihnya
untuk istirahat di samping-Nya. Rani meninggal diiringi haru dari seluruh
keluarganya. Janji yang di ucapkannya benar-benar ia penuhi.

Anda mungkin juga menyukai