Tentara bayaran tidak pernah terlepas dari setiap konflik maupun peperangan bahkan sejak peradaban ribuan tahun silam. Tercatat dalam sejarah, Karthago misalnya, menempatkan tentara- tentara bayaran dalam jajaran resmi militernya dalam menghadapi ancaman hegemoni Romawi, tak terkecuali para firaun, raja-raja, shogun memanfaatkan keberadaan mereka dalam perang. Namun, tentara bayaran seperti disebutkan dalam Protokol I Konvensi Jenewa tidak memiliki hak untuk dianggap sebagai pasukan tempur atau tawanan perang. Praktek penggunaan tentara bayaran untuk menghadapi gerakan kemerdekaan bangsa atau untuk menjatuhkan pemerintahan dipandang sebagai tindakan kejahatan oleh Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial, dan Komisi Hak Asasi Manusia pada beberapa kesempatan sejak era 1960-an sampai sekarang. Dengan demikian, jika kita berpijak pada Konvensi tersebut, keberadaaan tentara bayaran utamanya pada kasus Fallujah yang diawali oleh Invasi Amerika Serikat ke Irak benar-benar merupakan suatu bentuk kejahatan perang. Tidak tanggung-tanggung kejahatan perang yang dilakukan oleh pihak pemerintah Amerika Serikat adalah kejahatan perang ganda. Pertama dengan melakukan perekrutan tentara bayaran yang kemudian di kirim untuk menjadi pasukan pengamanan di Irak, padahal dalam protokol I Konvensi Jenewa telah dijelaskan larangan penggunaan tentara bayaran dalam perang menghadapi gerakan kemerdekaan atau menjatuhkan pemerintahan negara lain. Kedua, Tentara bayaran yang tadinya direkrut, sebagian besar tidak lagi mengindahkan ideologi dan mengedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan dalam menjalankan misi mereka. Sehingga tidak jarang dalam mengamankan dan mengemban tugas mereka sering melakukan penembakan kepada siapa saja yang dianggap menghambat jalannya tugas mereka tidak terkecuali warga sipil. Tetapi dalam analisis yang lain, masalah tentara bayaran memang merupakan fenomena yang masih rancu karena Amerika serika sebagai aktor utama dalam kasus AmerikaSerikat Versus Irak adalah salah satu dari beberapa negara yang ternyata tidak meratifikasi hasil keputusan Protokol I Konvensi Jenewa tentang larangan penggunaan tentara bayaran dalam perang. Artinya di satu sisi saat kita berdiri sebagai negara yang menyetujui keputusan Protokol I Konvensi Jenewa maka kita akan melihat tindakan Amerika Serikat sebagai suatu tindakan yang melanggar hukum perang. Tetapi di sisi lain jika kita berdiri sebagai Pemerintahan Amerika Serikat maka kita akan menganggap masalah ini sebagai hal yang biasa-biasa saja. Sah-sah saja bagi kita untuk menggunakan tentara bayaran dalam misi militer kita di Irak karena sejak awal kita memang tidak pernah meratifikasi Protokol I konvensi Jenewa. Kemudian jika kasus ini dilihat dari prinsip-prinsip Hukum Perang atau Hukum Humaniter, maka dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Tentara Bayaran dilihat melalui asas kepentingan militer Asas kepentingan militer ini membenarkan penggunaan kekerasan oleh pihak yang bersengketa untuk mencapai tujuan kemenangan dan keberhasilan perang. Prinsip inilah yang terkadang dipermainkan oleh pihak yang berkepentingan dalam kaitannya menggunakan tentara bayaran untuk menjalankan misi militer mereka. Contohnya, negara super power Amerika Serikat, karena secara umum asas ini hanya mengatur pembatasan terhadap sarana atau alat serta cara atau metode berperang yang dilakukan oleh pihak yang bersengketa, seperti adanya larangan penggunaan racun atau senjata beracun, larangan adanya penggunaan peluru dum-dum, atau larangan menggunakan suatu proyektil yang dapat menyebabkan luka-luka yang berlebihan (superfluous injury) dan penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering), maka sekalipun telah dituangkan dalam protokol I konvensi Jenewa tetapi mereka tetap berdalih bahwa penggunaan tentara bayaran bagi pihak mereka adalah sah-sah saja, bahkan beberapa sumber mengatakan bahwa Presiden AS, George W Bush (yang menjabat pada saat itu) malah menjadi dalang yang memberikan kekuasaan kepada para tentara bayaran untuk melakukan tindakan kekerasan di Irak. Meskipun pada awalnya pengggunaan tentara bayaran itu dilakukan secara tersembunyi tetapi setelah kasus Fallujag terungkap, masih saja ada tentara bayaran yang berkeliaran di wilayah Irak. Bahkan yang lebih memprihatinkan lagi, pasca penyerangan pihak gerilyawan Irak yang menewaskan empat orang kontraktor (tentara Bayaran) AS, maka pihak tentara bayaran tersebut benar-benar membabi buta menembaki warga sipil yang seharusnya mendapat perlindungan saat perang berlangsung. Namun itulah AS dengan kekuatannya, alih-alih menarik tentara bayaran mereka, sebaliknya mereka malah menjadikan itu sebagai pembuktian kekuatan militer mereka kepada negara-negara di dunia betapa AS akan melakukan apa saja demi mendapatkan apa yang menjadi tujuan mereka. b. Tentara Bayaran dilihat melalui kacamata asas perikemanusiaan Menurut asas ini pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu. Nah inilah yang seharusnya diperhatikan oleh masyarakat dunia, bahwa sebagian besar tentara bayaran yang berada di Irak tidak lagi mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan. Tercatat lebih dari 6000 warga sipil Irak yang menjadi korban penembakan tentara bayaran. c. Tentara Bayaran dilihat melalui kacamata asas kesatriaan Berdasarkan asas ini bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang. Inilah yang seharusnya ditegakkan oleh pihak yang bersengketa, tetapi dalam Infasi AS ke Irak hal-hal semacam ini bukan lagi menjadi pegangan mereka. Sebagai negara yang besar, seharusnya AS malu karena tidak mampu memperlihatkan jiwa kesatriaan mereka dalam berperang. Penggunaan tentara bayaran yang jelas-jelas merupakan tindakan kejahatan perang benar-benar telah diabaikan. Dari penjelasan di atas serta dengan terungkapnya Kasus Fallujah maka hendaknya pihak yang berkepentingan dan memiliki wewenang yang lebih berusaha untuk menegakkan hukum perang yang telah disepakati oleh negara-negara dunia, dan memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan saat berapa dalam kancah peperangan. Dan tentunya memperhatikan tiga arus utama memberi kontribusi terhadap penyusunan hukum humaniter internasional. Ketiga arus itu adalah “Hukum Jenewa,” diberikan oleh Konvensi dan Protokol internasional yang terbentuk berdasarkan sponsor Komite Palang Merah Internasional (ICRC) dengan perhatian utama pada perlindungan korban pertikaian; “Hukum Den Haag,” berdasarkan hasil Konperensi Perdamaian di ibukota Belanda pada 1899 dan 1907, yang pada prinsipnya mengatur sarana dan metode perang yang diizinkan dan usaha-usaha PBB menjamin penghormatan hak asasi manusia pada pertikaian bersenjata dan membatasi penggunaan senjata-senjata tertentu.