Pemuatan foto-foto jenazah korban dan berita penyiksaan yang dilakukan memberi-
kan sumbangan besar terhadap lahirnya histeria massa anti PKI. Di sana-sini orang-
orang tak habis-habisnya membicarakan penyiksaan yang dilakukan oleh Gerakan
Wanita Indonesia (Gerwani). Perempuan-perempuan Gerwani itu diisukan mencukil
mata jenderal dan memotong kemaluannya.5
Segera setelah media massa Ibukota yang berafiliasi dengan Angkatan Darat melansir
berita tersebut selama berhari-hari, dimulailah suatu pengganyangan besar-besaran
pada PKI. Di Jakarta, Kantor pusat PKI yang belum selesai dibangun diluluhlantakan.
Beberapa orang pemimpin PKI ditangkap. Tak hanya sampai di situ, anggota PKI pun
mengalami sasaran.
Secara de facto, sejak tanggal 1 Oktober 1965, Soeharto merupakan pemegang
kekuasaan. Soekarno sendiri secara bertahap digeser dari percaturan politik, lebih
dalam lagi ia layaknya seorang kapten dalam sebuah team sepak bola yang tak pernah
menerima bola untuk digiring. Strategi dan taktik Soeharto dalam melakukan kontra
aksi Gestapu 1965 sangat efektif dan mematikan6. Dalam waktu satu hari ia berhasil
membuat gerakan perwira-perwira „maju“ ¨ itu kocar-kacir. Sehari setelah menerima
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Soeharto mengeluarkan surat perintah
bernomor 1/3/1966 yang memuat tentang pembubaran serta pelarangan PKI dan
organisasi onderbouwnya di Indonesia. Inilah coup d´etat sesungguhnya. Bersamaan
ini, dimulai drama malapetaka kemanusiaan di Indo-nesia.
Bagi PKI, tanah merupakan komoditi politik-ekonomi yang dapat dijadikan alasan
untuk menyerang kaum Muslim sebagai penguasa tanah mayoritas. Sedangkan kaum
Muslim menggunakan isu ideologis atheis terhadap PKI untuk menyerang balik. Dua
hal ini memang berujung pada kepentingan ekonomis. Namun, dengan keyakinannya
masing-masing, kedua kelompok ini berhasil membangun sebuah opini yang
mengarahkan pengikutnya pada titik temu konflik berkepanjangan. Keduanya sama-
sama ngotot.
Purwodadi ialah sebuah kota kecil yang terletak 60 Km di sebelah Tenggara Semarang.
Purwodadi ialah ibukota Kabupaten Grobogan. Daerah ini merupakan salah satu basis
komunis terbesar di Jawa Tengah. Amir Syarifudin, tokoh komunis yang terlibat dalam
Madiun Affairs tahun 1948, pun tertangkap di daerah ini.
Kasus Purwodadi sempat mencuat ketika pada tahun 1969, H.J.C Princen, seorang
aktivis kemanusiaan, berkunjung ke Purwodadi. Dengan disertai Henk Kolb dari
Harian Haagsche Courant dan E. Van Caspel10, Princen meninjau secara langsung
keabsahan berita pembunuhan massal yang didengarnya dari seorang pastor. Adalah
Romo Wignyosumarto yang kali pertama menyampaikan adanya pembunu-han besar-
besaran ini. Romo Sumarto melaporkan berita tersebut pada Princen setelah ia
mendengarkan pengakuan dari seorang anggota Pertahanan Rakyat (Hanra) yang
turut dalam pembunuhan massal.11
Dengan cara ini penguasa Orde Baru dapat meminimalisir ancaman komunisme.
Perang terhadap penganut Marxisme ini memang lebih rumit dari sekedar anti-
komunisme.12 Dari sudut pandang manapun terlihat jelas jika Orde Baru berusaha
membangun sebuah konstruk kekuasaan tanpa aroma komunisme sedikitpun.
Kedua, penangkapan dan pembunuhan massal yang dilakukan pada tahun 1968. Pada
periode ini, ukuran penangkapan sangat tidak jelas, serba semrawut dan serba asal-
asalan. Hanya karena menjadi anggota Partai Nasional Indonesia faksi Ali
Sastroamidjojo- Surachman militer sudah dapat menangkapnya. Penangkapan ini
dikenal sebagai penangkapan terhadap Soekarno Sentris atau dikenal sebagai SS.13
Operasi penangkapan pada tahun 1968 ini dilakukan di bawah Komandan Komando
Distrik (Kodim) 0717 Purwodadi dengan dibantu Batalyon 404 dan 409. Operasi ini
diberi nama Operasi Kikis. Melalui operasi inilah seluruh anasi-anasir kekuatan
komunis dan Orde Lama (SS) ditangkap. Tak jelas apa motivasi penangkapan
terhadap orang-orang SS ini. Namun ini dapat dipahami sebagai usaha untuk
mengkikis kekuatan Orde Lama. Di pusat kekuasaan, Soeharto sedang berusaha untuk
mengukuhkan kekuasaanya. Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 1971, kekuatan anti
Orde Baru tentu menjadi penghalang bagi kekuasaanya. Pada perkembangan
selanjutnya, orang-orang yang dianggap komunis ini didesain sebagai massa
mengambang atau Floating Mass. Mereka tak dibiarkan memasuki sebuah organisasi
politik tertentu selama kurun waktu lima tahun menjelang Pemilihan Umum
(Pemilu),14 namun suara mereka dapat dipastikan disalurkan melalui Golongan Karya
(Golkar). Konsep massa mengambang sendiri ialah sebuah konsep yang diajukan oleh
Mayjen Widodo, Panglima Kodam VII/Diponegoro Jawa Tengah. Lalu konsep ini
dikembangkan oleh pemikir dari Center for Strategic and International Studies (CSIS),
sebuah lembaga think-tanks Orde Baru yang berdiri pada tahun 1971 atas sponsor Ali
Murtopo dan Soedjono Hoemardani, dua orang jenderal yang memiliki hubungan
spesial dengan Soeharto.15
Penangkapan dan pembunuhan massal pada tahun 1968 ini banyak menimbulkan
korban. Banyak mereka yang tak mengetahui apapun tentang politik ditangkap bahkan
dibunuh. Contohnya seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Sp.:
Saya hanya pemain sandiwara Ketoprak pedesaan. Namun, saya ditangkap karena
saya dianggap memiliki hubungan dengan Lekra. Oleh karena itu saya sempat
mendekam di Penjara Nusa Kambangan selama 3 tahun. Di sebuah Kamp di Pati, saya
dipaksa untuk mengakui bahwa saya anggota PKI17
Ini membuktikan ekses negatif pada sebuah operasi militer. Hal serupa pernah
diungkapkan oleh Ali Murtopo, ia mengatakan jatuhnya korban pembunuhan massal
di Purwodadi ialah sebuah konsekuensi dalam sebuah operasi militer.18
Operasi militer merupakan salah satu usaha yang digunakan tentara Indonesia dalam
mengontrol, memperkukuh dan memberikan sebuah ukuran kesetiaan bagi pemerintah
pusat. Operasi ini kerap dilakukan dalam rangka menumpas gerakan perlawanan
daerah terhadap pusat. Penguasa Pusat (Baca: Jakarta) memposisikan sebagai kosmis
kekuasaan Raja sementara daerah ditempatkan sebagai Kawula. Hal ini merupakan
hasil dari interdependensi antara kekayaan dan politik dalam masyarakat
tradisional.19 Jelas sebuah operasi militer memiliki arti strategis dalam menjaga
kekuasaan pusat atas kekayaan daerahnya.
Kebijakan operasi militer di Purwodadi tidak terlepas dari peranan komandan Kodim
0717 sendiri sebagai penguasa militer setempat. Letkol. Tedjo Suwarno, Komandan
Kodim dikenal sebagai orang yang keras dan berambisi20. Atas perintahnyalah ratusan
orang ditangkap selama tahun 1968. Seorang saksi bernama Bapak Wt bercerita
perihal penangkapan besar-besaran pada tahun 1968. Tahanan itu ditempatkan di
sebuah Kamp di Kuwu, desa kecil yang terletak 25 Km di Selatan Purwodadi: Saya
ditempatkan di sebuah kamp di Kuwu. Setiap sore datang sekitar dua ratus orang
tahanan. Namun, di pagi hari, dua ratus orang itu telah dibawa oleh aparat. Yang
tersisa hanya saya dan dua teman saya ¨21 di kemudian hari ia mendengar kabar
bahwa ratusan orang itu di bunuh di daerah Monggot atau di daerah lainnya di sekitar
Kabupaten Grobongan. Bagi mereka yang kaya dan memiliki hubungan khusus dengan
para perwira militer, sogok atau suap kerapkali terjadi demi menyelamatkan suami,
anak atau sanak saudaranya yang ditahan militer Purwodadi.
Tak heran jika pada waktu itu banyak perwira-perwira yang menumpuk kekayaan
hasil dari uang sogok kerabat tahanan tahanan. Di waktu selanjutnya sudah menjadi
kebiasaan jika seorang penguasa militer merupakan pelindung yang ampuh untuk
apapun. Seorang pengusaha misalnya, ia dapat bebas berdagang di sebuah daerah
dengan meminta backing pada penguasa militer setempat22. bukan isapan jempol jika
penguasa militer di daerah memiliki pengaruh besar.
Fenomena tersebut dikenal sebagai konsep kekaryaan ABRI. Konsep ini diperuntukan
bagi perwira militer yang karirnya mentok atau tak lagi memiliki kesem-patan
menapaki jenjang karir yang lebih tinggi. Para perwira ini biasanya diplot menjadi
kepala daerah baik di tingkat I atau II. Orde Baru menciptakan kategori daerah-
daerah tertentu bagi penempatan perwira-perwira mentok ini.23
Pada masa Orde Baru, Penguasa militer di daerah, dari Tk I hingga II atau bahkan
tingkat Komando Rayon Militer (Koramil) berusaha dengan keras menciptakan
suasana aman dan stabil. Maka ukuran kestabilan keamanan pasca Gestapu 1965 ialah
dengan mencegah timbulnya kembali kekuatan komunisme di Indonesia.24 Ada kesan
dengan menahan sebanyak-banyaknya massa PKI merupakan prestasi tersendiri.
Dengan cara ini kondisi sosial-politik setempat dinyatakan stabil dan terkendali.
Pemerintah Orde Baru menganggap komunisme ialah musuh yang paling utama dalam
pembangunan. Selama hampir 32 tahun, bahaya laten komunis di-dengung-
dengungkan sebagai sebuah momok yang menakutkan. Ini ditunjukan dengan cara
memutar film Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau G.30.S/PKI yang
disutradarai oleh Arifin C. Noor setiap tahunnya. Kekhawatiran yang teramat sangat
pada komunis (komunisto phobia) memang terlihat begitu jelas inheren pada masa
Orde Baru. tak hanya itu, pemerintah Orde Baru tak segan-segan melemparkan stigma
PKI pada organisasi-organisasi yang berlawanan dengan kebijakannya. Kasus 27 Juli
1996 memperlihatkan secara jelas usaha Orde Baru dalam membangkitkan ketakutan
masyarakat akan komunisme.25 Penahanan ribuan anggota dan simpatisan PKI
selama kurun waktu 1965 ¡V 1980-an (dalam beberapa kasus bahkan hingga masa
reformasi tiba) juga bagian dari usaha Orde Baru mencegah penularan komunisme
pada masyarakat. Tahanan politik ini dibuang di Pulau Buru, Nusa Kambangan dan
penjara-penjara di tiap daerah. Tak ada itikad dari Orde Baru untuk melepaskannya.
Segera setelah men-dapatkan tekanan internasional, khususnya Amnesti Internasional,
pemerintah Orde Baru melepaskan beberapa tahanan politik dengan klasifikasi A, B
dan C.26 Pemerintah memiliki berbagai dalil dalam aksi penahanan besar-besaran
terhadap anggota dan simpatisan PKI. Pada tahun 1975, Pangkopkamtib Laksamana
Sudomo mengatakan bahwa pelepasan tahanan politik di saat itu merupakan ancaman
bagi kestabilan nasional.27 Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Sudomo, Letkol.
Tedjo Suwarno di dalam sebuah kunjungan wartawan Ibu Kota ke Kamp-kamp di
Purwodadi mengata-kan bahwa bila mereka dikembalikan ke masyarakat akan
menimbulkan problem tersendiri dan masyarakat akan berontak.28 Di pihak lain,
Bapak S mengatakan bahwa setelah penangkapan atas dirinya, keluarganya mengalami
penderitaan. Ia sebagai kepala keluarga tak lagi dapat menghidupi istri dan anak-
anaknya.29 Istrinya terpaksa berjualan nasi di depan Stasiun Purwodadi untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari dan mengirim makanan sekedarnya pada Bapak S.
yang saat itu di dalam Kamp di Purwodadi. Penahanan atas anggota dan simpatisan
PKI tidak saja menyisakan trauma mendalam30 bagi mereka namun keluarganya juga
harus menghadapi kenyataan hidup yang serba kekurangan. Di Purwodadi banyak
keluarga yang hidup dalam kesederhanaan akibat penahanan dan pembunuhan
terhadap anggota keluarganya yang dituduh anggota maupun simpatisan PKI. Bahkan
di sebuah desa di Purwodadi, dikenal sebagai “kampung janda” karena suami-suami
mereka diciduk oleh militer. Hingga kini tak dapat dipastikan secara pasti berapa
jumlah korban yang meninggal dalam peristiwa pembunuhan massal di Purwodadi
dalam kurun waktu tahun 1965-1968. H.J.C Princen mengatakan bahwa korban tewas
ada sekitar 850 s/d 1000 orang. Sementara itu menurut perhitungan Maskun Iskandar,
seorang wartawan harian Indonesia Raya, korban berkisar 6.000 jiwa. Berapapun
jumlahnya, satu nyawa manusia yang hilang merupakan dosa yang tak terampuni.
Maka penegakan hukum ialah jawabannya untuk menghindari perulangan peristiwa
serupa. Litsus dan Label KTP: Kontrol atas Mantan Tahanan Politik
Penderitaan tidak berakhir begitu saja. Setelah para tahanan politik pulang dari
pembuangan di pulau Buru, Nusa Kambangan atau penjara lainnya, aparat militer
masih saja melakukan pengawasan pada diri mereka dan keluarganya. Bapak Rk,
seorang tahanan politik jebolan Pulau Buru menceritakan bagaimana dirinya
diintimidasi oleh aparat setelah pulang dari Pulau Buru pada tahun 1979. Sepulangnya
dari Pulau Buru, saya membuka praktek sebagai mantri. Obat-obatan yang saya bawa
dari Pulau Buru saya gunakan untuk mengobati masyarakat yang membutuhkan.
Namun karena hal tersebut, Koramil mendatangi saya dan memanggil saya untuk
diinterogasi ¨31
Pengawasan yang extra ketat ini memang diberlakukan bagi mantan tahanan politik.
Salah satu cara untuk memantau gerak gerik mereka pemerintah Orde Baru
menetapkan untuk memberi tanda khusus Ex Tapol (ET) dalam Kartu Tanda
Penduduk (KTP) para mantan tahanan politik. Tindakan lainnya, selama Orde Baru,
keluarga mantan tahanan politik tidak diperkenankan memasuki dunia politik atau
menjadi pegawai negeri. Untuk yang satu ini pemerintah menetapkan Penelitian
Khusus (Litsus) kepada calon pegawai negeri. Seorang mantan tahanan politik pernah
mengatakan sebuah lelucon bahwa label ET dalam KTP-nya bukan berarti Ex-Tapol
tapi tidak lain adalah “elek terus” (Indonesia: Jelek Terus).
Menyitir apa yang pernah dikatakan oleh Ben Anderson bahwa kekuasaan Orde Baru
dibangun diatas tumpukan mayat. Namun sejarah membuktikan bahwa atas nama
apapun, sebuah orde yang dibangun di atas penderitaan rakyatnya pasti akan tumbang
dengan sendirinya.*
http://ath3r.wordpress.com/2008/02/02/sejarah-munculnyalahirnya-oerde-baru/
Model sistem politik yang paling sederhana akan menguraikan masukan (input) ke dalam
sistem politik, yang mengubah melalui proses politik menjadi keluaran (output). Dalam
model ini masukan biasanya dikaitkan dengan dukungan maupun tuntutan yang harus diolah
oleh sistem politik lewat berbagai keputusan dan pelayanan publik yang diberian oleh
pemerintahan untuk bisa menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat. Dalam perspektif ini, maka
efektifitas sistem politik adalah kemampuannya untuk menciptakan kesejahteraan bagi
rakyat.
Namun dengan mengingat Machiavelli maka tidak jarang efektifitas sistem politik diukur dari
kemampuannya untuk mempertahankan diri dari tekanan untuk berubah. Pandangan ini tidak
membedakan antara sistem politik yang demokratis dan sistem politik yang otoriter.
Pendekatan sistem politik pada mulanya terbentuk dengan mengacu pada pendekatan yang
terdapat dalam ilmu eksakta. Adapun untuk membedakan sistem politik dengan sistem yang
lain maka dapat dilihat dari definisi politik itu sendiri. Sebagai suatu sistem, sistem politik
memiliki ciri-ciri tertentu. Perbedaan pendapat mulai muncul ketika harus menentukan batas
antara sistem politik dengan sistem lain yang terdapat dalam lingkungan sistem politik.
Namun demikian, batas akan dapat dilihat apabila kita dapat memahami tindakan politik
sebagai sebuah tindakan yang ingin berkaitan dengan pembuatan keputusan yang
menyangkut publik.
Perbedaan sistem politik dengan sistem yang lain, tidak menjadikan jurang pemisah antara
sistem politik dengan sistem yang lain. Sebuah sistem dapat menjadi input bagi sistem yang
lain.
Dalam sistem politik terdapat pembagian kerja antaranggotanya. Pembagian kerja yang ada
tidak akan menghancurkan sistem politik karena ada fungsi integratif dalam sistem politik.
Input dalam sistem politik dibedakan menjadi dua, yaitu tuntutan dan dukungan. Input yang
berupa tuntutan muncul sebagai konsekuensi dari kelangkaan atas berbagai sumber-sumber
yang langka dalam masyarakat (kebutuhan). Input tidak akan sampai (masuk) secara baik
dalam sistem politik jika tidak terorganisir secara baik. Oleh sebab itu komunikasi politik
menjadi bagian penting dalam hal ini. Terdapat perbedaan tipe komunikasi politik di negara
yang demokratis dengan negara yang nondemokratis. Tipe komunikasi politik ini pula yang
nantinya akan membedakan besarnya peranan dari organisasi politik.
Output merupakan keputusan otoritatif (yang mengikat) dalam menjawab dan memenuhi
input yang masuk. Output sering dimanfaatkan sebagai mekanisme dukungan dalam rangka
memenuhi tuntutan-tuntutan yang muncul.
Lingkungan mempunyai peranan penting berupa input, baik tuntutan ataupun dukungan.
Kemampuan anggota sistem politik dalam mengelola dan menanggapi desakan ataupun
pengaruh lingkungan bergantung pada pengenalannya pada lingkungan itu sendiri.
Lingkungan merupakan semua sistem lain yang tidak termasuk dalam sistem politik. Secara
garis besar, lingkungan dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan dalam (intra societal) dan
lingkungan luar (extra societal).
Setidaknya ada dua kritik yang dilontarkan atas gagasan Easton, yaitu adanya anggapan
bahwa pemikiran Easton terlalu teoretis sehingga sulit untuk diaplikasikan secara nyata.
Selain terlalu teoretis, pemikiran Easton dianggap tidak netral karena hanya mengedepankan
nilai-nilai liberal Barat dengan tanpa memperhatikan kondisi pada masyarakat yang sedang
berkembang.
Pendekatan struktural fungsional merupakan alat analisis dalam mempelajari sistem politik,
pada awalnya adalah pengembangan dari teori struktural fungsional dalam sosiologi. Dalam
pendekatan ini, sistem politik merupakan kumpulan dari peranan-peranan yang saling
berinteraksi. Menurut Almond, sistem politik adalah sistem interaksi yang terdapat dalam
semua masyarakat yang bebas dan merdeka yang melaksanakan fungsi-fungsi integrasi dan
adaptasi (baik dalam masyarakat ataupun berhadap-hadapan dengan masyarakat lainnya).
Semua sistem politik memiliki persamaan karena sifat universalitas dari struktur dan fungsi
politik. Mengenai fungsi politik ini, Almond membaginya dalam dua jenis, fungsi input dan
output.
Terkait dengan hubungannya dengan lingkungan, perspektif yang digunakan adalah ekologis.
Keuntungan dari perspektif ekologis ini adalah dapat mengarahkan perhatian kita pada isu
politik yang lebih luas. Agar dapat membuat penilaian yang objektif maka kita harus
menempatkan sistem politik dalam lingkungannya. Hal ini dilakukan guna mengetahui
bagaimana lingkungan-lingkungan membatasi atau membantu dilakukannya sebuah pilihan
politik. Sifat saling bergantung bukan hanya dalam hubungan antara kebijaksanaan dengan
sarana-sarana institusional saja, namun lembaga-lembaga atau bagian dari sistem politik
tersebut juga saling bergantung. Untuk dapat mengatasi pengaruh lingkungan, Almond
menyebutkan enam kategori kapabilitas sistem politik, yaitu kapabilitas ekstraktif, kapabilitas
regulatif, kapabilitas distributif, kapabilitas simbolik, kapabilitas responsif, kapabilitas
domestik dan internasional.
Menurut Gabriel Almond, dalam setiap sistem politik terdapat enam struktur atau lembaga
politik, yaitu kelompok kepentingan, partai politik, badan legislatif, badan eksekutif,
birokrasi, dan badan peradilan. Dengan melihat keenam struktur dalam setiap sistem politik,
kita dapat membandingkan suatu sistem politik dengan sistem politik yang lain. Hanya saja,
perbandingan keenam struktur tersebut tidak terlalu membantu kita apabila tidak disertai
dengan penelusuran dan pemahaman yang lebih jauh dari bekerjanya sistem politik tersebut.
Suatu analisis struktur menunjukkan jumlah partai politik, dewan yang terdapat dalam
parlemen, sistem pemerintahan terpusat atau federal, bagaimana eksekutif, legislatif, dan
yudikatif diorganisir dan secara formal dihubungkan satu dengan yang lain. Adapun analisis
fungsional menunjukkan bagaimana lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi tersebut
berinteraksi untuk menghasilkan dan melaksanakan suatu kebijakan.
Input yang masuk dalam sistem politik disalurkan oleh lembaga politik, kemudian akan
menghasilkan output, berupa keputusan yang sah dan mengikat yang sebelumnya melalui
proses konversi. Dalam konversi terjadi interaksi antara faktor-faktor politik, baik yang
bersifat individu, kelompok ataupun organisasi. Fungsi input, meliputi sosialisasi politik dan
rekruitmen politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, dan komunikasi politik.
Sedangkan fungsi output, antara lain pembuatan kebijakan, penerapan kebijakan, dan
penghakiman kebijakan.
Pada bagian pertama dijelaskan mengenai proses sosialisasi secara umum, kemudian juga
dibahas tahapan psikologi politik, dan juga tahapan sosialisasi politik. Setelah pembahasan
sosialisasi politik di Indonesia juga dibahas mengenai agen-agen sosialisasi politik
Ada beberapa unsur yang berpengaruh atau melibatkan diri dalam proses pembentukan
budaya politik nasional, yaitu sebagai berikut.
Tahapan perkembangan budaya politik nasional menurut Sjamsuddin, antara lain sebagai
berikut (Rahman, 1998: 58).
Ekonomi Politik
Ilmu ekonomi politik mempelajari tentang hubungan timbal balik antara transaksi ekonomi
dengan perilaku politik. Para ahli ekonomi politik melihat bahwa dalam hubungan antara
negara dan pasar terdapat struktur atau anatomi, nilai-nilai, kebutuhan, dan kepentingan yang
bervariasi, yang pada gilirannya dapat menimbulkan interaksi yang beragam antara negara
dengan pasar. Penjelasan singkat di atas pada dasarnya memberikan gambaran bahwa
pembagian sistem ekonomi ke dalam kapitalisme dan sosialisme merupakan penyederhanaan
masalah (simplifikasi). Dalam praktiknya, sejumlah negara tertentu sulit untuk dapat
dimasukkan ke dalam kategori kapitalisme maupun sosialisme. Di sinilah letak pentingnya
studi tentang ekonomi politik, untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh mengenai
hubungan antara ekonomi dengan politik.
Kapitalisme merupakan suatu sistem ekonomi di mana peranan negara di dalam ekonomi
minimal, sebaliknya hampir seluruh solusi terhadap masalah ekonomi diserahkan kepada
pasar. Sedangkan sosialisme merupakan sistem ekonomi di mana solusi terhadap
permasalahan ekonomi seluruhnya atau sebagian besar diserahkan kepada negara. Dalam
sistem sosialisme, sering kali sektor swasta diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam
sistem ekonomi, namun ruang geraknya dibatasi oleh ketentuan yang dibuat oleh negara
sehingga peranannya di dalam proses produksi dan distribusi tidak dapat menjadi dominan
sebagaimana dalam sistem kapitalisme.
Dalam konteks analisis sistem, ekonomi politik merupakan bagian dari lingkungan dalam
yang mempengaruhi dinamika sistem politik. Interaksi antara ekonomi dan politik tidak
terlepas dari proses input dan output di dalam sistem politik. Pengaruh ekonomi terhadap
perilaku politik pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai bagian dari proses input dalam
alur sistem politik. Sebaliknya, pengaruh politik terhadap ekonomi dapat dikategorikan
sebagai proses output dalam alur sistem politik. Namun, dalam kasus di mana interaksi antara
pelaku ekonomi dengan pejabat politik demikian erat dalam mengeluarkan kebijakan yang
menguntungkan kepentingan ekonomi keduanya maka kajian ekonomi politik pun dapat
meliputi bagian proses konversi dalam analisis sistem.
Apatisme juga menjadi persoalan tersendiri dalam studi mengenai partisipasi politik. Secara
harfiah apatisme tidak dapat dikatakan sebagai suatu bentuk partisipasi karena seseorang
tidak melakukan tindakan apa pun untuk mempengaruhi kebijakan ataupun memberikan input
bagi pengambil kebijakan. Akan tetapi, apabila itu dilakukan dengan sadar sebagai bentuk
protes atau ketidaksukaan terhadap apa yang dilakukan oleh pengambil kebijaksanaan,
tindakan apatisme dapat pula dikategorikan sebagai satu bentuk input dan dengan demikian
dapat dinilai sebagai suatu tindakan partisipasi.
Pola semacam itu tidak berubah, ketika pemerintahan berganti menuju Orde Baru. Orde Baru
mempergunakan pola-pola mobilisasi dan simbolisasi serta pemutusan hubungan masyarakat
dengan kegiatan politik untuk mempertahankan kekuasaan dan menghindari kritik (input).
Kemajuan ekonomi warisan Orde Baru dan kebebasan politik pada masa reformasi tidak serta
merta merubah pola-pola semacam itu. Masyarakat perkotaan telah mengalami perubahan
yang signifikan sehingga input masyarakat demikian kuat. Sebaliknya, masyarakat pedesaan
masih memiliki keterbatasan yang membuatnya sulit mengembangkan partisipasi yang
sukarela dan rasional. Walaupun demikian, beberapa studi yang dilakukan sebenarnya
menunjukkan bahwa masyarakat pedesaan pun telah memiliki kemampuan untuk
menempatkan dirinya di dalam politik di tingkat lokal hingga nasional dengan cara
pandangnya sendiri.
Sistem Pemilu proporsional memiliki asumsi dasar yang berbeda. Asumsi dasarnya adalah
bahwa setiap suara haruslah diperhitungkan. Dengan menggunakan asumsi tersebut, istilah
pemenang sesungguhnya bukanlah mereka yang mengalahkan kontestan lainnya; melainkan
peraih suara terbanyak karena selain mereka masih ada kontestan lainnya yang juga
diperhitungkan perolehan suaranya walaupun dalam jumlah yang lebih sedikit. Oleh karena
itu, sistem proporsional ini lebih cocok untuk mencari wakil penduduk dan bukannya wilayah
dan sering dipergunakan untuk negara-negara yang memiliki masyarakat yang cenderung
plural. Derajat keterwakilan sistem ini relatif lebih baik, namun masih kalah oleh sistem
distrik dalam hal kedekatan antara kontestan dengan pemilih. Beberapa variasi diperkenalkan
oleh sistem ini untuk mengurangi kelemahan itu dengan mengambil beberapa prinsip sistem
distrik dalam hal pemilih menentukan sendiri siapa kandidat yang disukainya di samping
tanda gambar.
Pemilu-pemilu di Indonesia
Sebagai pemberi legitimasi, Pemilu Orde Baru memainkan peran yang sentral untuk
keberlangsungan rezim. Sejak Pemilu 1971, Pemilu tidak lebih dari sekadar pemberi
legitimasi bagi Golkar untuk mendorong Soeharto sebagai presiden. Untuk keperluan itu,
hasil Pemilu dalam persepsi rezim, haruslah memberikan kemenangan yang cukup signifikan
bagi Golkar agar mampu mengatur dukungan parlemen atas Soeharto menjadi presiden.
Beberapa cara dipergunakan untuk tujuan tersebut di antaranya pemutusan hubungan partai
dengan rakyat melalui kebijakan floating mass, deideologisasi partai, monoloyalitas pegawai
negeri dan fusi partai. Selain itu, dukungan birokrasi dan militer turut memberikan andil bagi
tingginya perolehan suara Golkar. Menurunnya dukungan kedua lembaga tersebut atau
minimal mengarah kepada netral disinyalir menjadi salah satu penyebab menurunnya suara
Golkar pada Pemilu 1999.
Selain itu, mekanisme pemilihan umum juga membuat dukungan terhadap dua partai lainnya
tidak mampu memaksimalkan persaingan. Sempitnya waktu kampanye dan sosialisasi
berdampak pada rendahnya akseptabilitas masyarakat terhadap keduanya. Selain itu, sistem
daftar nama yang diterapkan juga lebih memperkuat peran partai dalam menentukan wakil
partai di parlemen dibanding suara rakyat sendiri sehingga muncul kesan bahwa wakil rakyat
hasil pemilihan tidaklah menjadi wakil rakyat melainkan wakil partai.
Rendahnya peran pemilih dalam menentukan wakil rakyat diubah dalam Pemilu 1999 sebagai
Pemilu pertama yang menggantikan sistem Pemilu sebelumnya yang dianggap tidak
memuaskan. Walaupun masih menggunakan daftar nama dan hanya memilih partai,
penentuan wakil rakyat ditentukan oleh perolehan suara dari daerah asal seorang calon wakil
rakyat. Cara ini diperbaiki lagi dalam Pemilu 2004 dengan mencantumkan nama di samping
tanda gambar partai. Perubahan ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada
pemilih untuk menentukan wakil yang lebih disukainya. Akan tetapi, sistem ini pun dinilai
memiliki kelemahan di mana calon wakil rakyat harus mendapatkan BPP (bilangan pembagi
pemilih) untuk dapat terpilih tanpa memperhatikan urutan nama di sebuah partai. Jika tidak
terdapat calon yang mampu meraih BPP maka penentuan wakil rakyat didasarkan kepada
nomor urut kembali. Di kemudian hari, kemungkinan untuk menghilangkan faktor BPP
menjadi satu agenda yang penting agar wakil rakyat yang terpilih merupakan wakil rakyat
yang paling populer (berdasarkan popular vote) dan tidak diwajibkan pula memilih tanda
gambar partainya menjadi satu hal yang penting untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang
lebih baik.
Partai Politik, Kelompok Kepentingan, dan Kelompok Penekanan dalam Sistem Politik
Indonesia 1
Kegiatan belajar ini menerangkan, menguraikan serta menjelaskan beberapa pengertian
umum mengenai kekuatan politik dalam suatu sistem politik. Pembahasan dalam modul ini
difokuskan pada partai politik, kelompok kepentingan, dan kelompok penekan.
Pembahasannya dikaitkan dengan sistem demokrasi yang pernah dikembangkan di Indonesia
sejak awal kemerdekaan hingga periode reformasi.
Partai politik merupakan struktur atau lembaga yang menyalurkan dan mengartikulasikan
berbagai kepentingan (tuntutan dan aspirasi) yang berasal dari lingkungan masyarakat
Indonesia ke dalam sistem politik. Kepentingan dan aspirasi yang diajukan partai politik
tersebut merupakan energi bagi sistem politik untuk membuat pelbagai kebijaksanaan. Jika
partai politik ikut dalam Pemilu untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan terutama
dalam kaitannya dengan kekuasaan legislatif maka lain halnya dengan kelompok kepentingan
dan kelompok penekan. Kedua aktor politik ini berada di luar sistem politik dan juga tidak
bisa mengikuti pemilu. Walaupun demikian, kelompok ini tidak bisa dipandang remeh dalam
mempengaruhi proses pembuatan undang-undang dan juga pembuatan kebijakan.
Pada masa Revolusi Fisik (1945-1949), semua kekuatan politik yang ada diarahkan pada
perjuangan untuk membebaskan seluruh wilayah Indonesia dari penjajahan. Sedangkan pada
masa Demokrasi Parlementer (1950-1959), kekuatan politik yang berupa partai politik yang
berpengaruh telah melaksanakan peranannya dengan baik. Pada sistem parlementer, partai
politik berperan aktif dan dinamis meskipun terdapat kelemahan berupa tidak dapat
bertahannya pemerintahan koalisi yang berasal dari partai-partai. Sementara itu, peranan
partai politik di masa Demokrasi Terpimpin jauh menurun jika dibandingkan pada masa
sebelumnya. Hal ini disebabkan karena kekuasaan politik yang berada di tangan Presiden
Soekarno. Penentangan terhadap kebijakan Soekarno dapat berakibat pada dibubarkannya
partai politik atau dipenjarakannya para pemimpin partai tanpa proses pengadilan.
Partai Politik, Kelompok Kepentingan, dan Kelompok Penekanan dalam Sistem Politik
Indonesia 2
Peranan partai politik di masa Demokrasi Pancasila tetap sama seperti pada masa Demokrasi
Terpimpin. Partai politik hanya memiliki peranan yang kecil dalam proses pengambilan
keputusan. Hal ini misalnya dapat dilihat dari sedikitnya anggota partai politik dalam
lembaga legislatif maupun lembaga eksekutif. Bahkan pada Kabinet Pembangunan III sudah
tidak ada lagi menteri yang berasal dari partai politik. Militer dan birokrat merupakan
kelompok yang mendominasi jabatan menteri.
Faktor-faktor yang menyebabkan turunnya peranan partai politik pada masa Demokrasi
Pancasila adalah pendekatan ekonomi yang dipilih oleh Rezim Soeharto, diberlakukannya
beberapa peraturan yang menyangkut kehidupan kepartaian, menguatnya peranan Golkar,
dan juga konflik internal dalam tubuh partai politik.
Sementara itu, proses reformasi menimbulkan implikasi yang bermuara kepada satu hal
bahwa publik memperoleh ruang bebas dalam mengekspresikan aspirasi dan kepentingannya.
B.J. Habibie melontarkan soal kebijakan pembebasan pendirian partai-partai politik. B.J.
Habibie menyatakan bahwa semua pihak boleh mendirikan partai baru asal tidak
bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan tidak mempersoalkan suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA). Akibatnya terdapat 48 partai politik yang berhak mengikuti Pemilu
1999. Sedangkan untuk Pemilu 2004, jumlah partai politik peserta Pemilu menjadi hanya 24
partai politik.
Selain itu, pada tanggal 10 Agustus 2002, MPR berhasil mengamandemen UUD 1945 tahap
keempat. Hasil amandemen itu berdampak pada eksistensi partai dan bahkan mampu
menghadirkan fenomena “supremasi partai”, yaitu dominasi orang-orang partai hampir
seluruh aspek bernegara dan bermasyarakat. Di sisi lain, peranan kelompok kepentingan dan
kelompok penekan juga kuat di era reformasi ini. Kelompok yang tergabung dalam lembaga
swadaya masyarakat (LSM), organisasi profesi, pers, mahasiswa, buruh, petani, mendapatkan
ruang yang leluasa untuk mengekspresikan pendapat serta memperjuangkan aspirasinya. Jadi,
di era reformasi ini bukan hanya partai politik yang berada dalam lingkaran sistem politik
yang memiliki peranan besar, namun juga kelompok kepentingan dan kelompok penekan
juga mengalami hal yang serupa.
Oleh karena itu, kita perlu memahami kedudukan lembaga legislatif dalam sistem politik
Indonesia. Sejarah panjang lembaga legislatif di Indonesia berkali-kali memakai konstitusi
yang berbeda-beda menurut “selera” elite politik yang berkuasa. Tidak jarang ditemukan
lembaga legislatif yang sejajar dengan lembaga-lembaga politik negara yang ada. Tetapi pada
suatu masa pernah terjadi lembaga legislatif berada di bawah satu lembaga politik negara.
Untuk itu perlu juga dipelajari bagaimana kedudukan lembaga legislatif di Indonesia
dikaitkan dengan kedudukan lembaga-lembaga politik yang lain, seperti presiden (eksekutif)
dan MA (yudikatif). Hal ini menarik karena akan ditemui posisi kedudukan parlemen yang
berbeda pada masa Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin berhadapan dengan
lembaga-lembaga politik negara ketika itu. Bahkan juga hubungan parlemen Indonesia
dengan para menteri.
Pembahasan lembaga legislatif di atas yang bersifat mikro, tetapi terperinci juga dapat
mengetahui beberapa lembaga legislatif yang hidup pada masa tersebut. Selain itu
mengetahui sebab-sebab pembubaran lembaga legislatif, masalah-masalah yang terjadi di
sekitar lembaga legislatif dan faktor-faktor yang mempengaruhi peranan lembaga legislatif di
Indonesia pada masa-masa tersebut.
Kembalinya Indonesia menganut UUD 1945 sebagai konstitusi berarti dipakainya sistem
pemerintahan presidensil. Kabinet yang dibentuk merupakan kabinet presidensil sehingga
kabinet bertanggung jawab pada presiden dan bukan pada parlemen. Kedudukan Presiden
pun sejajar dengan parlemen (DPR) dan keduanya tidak bisa saling menjatuhkan walaupun
DPR diberi hak untuk mengawasi tindak-tanduk presiden.
Apabila dilihat dari konstitusi yang ada, sebenarnya DPR dapat berfungsi maksimal. Namun,
pada masa Pemerintahan Soeharto, DPR dapat dikatakan hanya sebagai stempel bagi
kekuasaan eksekutif (presiden). Bahkan presiden dapat leluasa mengeluarkan segala macam
peraturan dan ketetapan tanpa mendiskusikannya dengan DPR. Dengan melihat perjalanan
dan peranan DPR masa Pemerintah Soeharto, akhirnya disadari bahwa konstitusi UUD 1945
juga memiliki kelemahan. Dalam UUD 1945 banyak kekuasaan yang seharusnya dimiliki
oleh legislatif dan yudikatif, namun sah juga dimiliki oleh eksekutif. Begitu juga dengan
adanya pengangkatan anggota DPR oleh presiden. Pengangkatan anggota DPR bukannya
menjadikan anggota tersebut mengawasi presiden, bahkan anggota DPR merasa berterima
kasih kepada yang mengangkatnya (presiden).
Maka itu pasca-Soeharto, peran anggota DPR untuk tercipta keseimbangan antarlembaga
negara adalah dengan mengamandemen UUD 1945. Pembahasan tentang peran lembaga
legislatif pasca-Soeharto amat menarik. Hal ini disebabkan karena DPR sering melampaui
kewenangan dan urusan pemerintahan (eksekutif). Dengan demikian muncul istilah
legislative heavy yang merupakan kebalikan dari Pemerintahan Soeharto, yakni executive
heavy. Sebenarnya baik legislative heavy maupun executive heavy merupakan dua hal yang
sama buruknya bagi pengembangan demokrasi karena menafikan hakikat checks and
balances. Peran yang berlebihan pada suatu lembaga politik negara dapat mengarah pada
kecenderungan terjadinya penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
Di masa Demokrasi Terpimpin, peranan lembaga eksekutif jauh lebih kuat bila dibandingkan
dengan peranannya di masa sebelumnya. Peranan dominan lembaga eksekutif tersentralisasi
di tangan Presiden Soekarno. Lembaga eksekutif mendominasi sistem politik, dalam arti
mendominasi lembaga-lembaga tinggi negara lainnya maupun melakukan pembatasan atas
kehidupan politik. Partai politik dibatasi dengan hanya memberi peluang berkembangnya
partai-partai berideologi nasakom.
Di masa Demokrasi Pancasila atau Orde Baru, kedudukan lembaga eksekutif tetap dominan.
Dominasi kedudukan eksekutif ini pada awalnya ditujukan untuk kelancaran proses
pembangunan ekonomi. Untuk berhasilnya program pem-bangunan tersebut diperlukan
stabilitas politik. Eksekutif memiliki kedudukan yang lebih kuat dibandingkan dengan
kedudukan lembaga legislatif maupun yudikatif. Pembatasan jumlah partai politik maupun
partisipasi masyarakat ditujukan untuk menopang stabilitas politik untuk pembangunan dan
kuatnya kedudukan lembaga eksekutif di bawah Presiden Soeharto.
http://blog.unila.ac.id/young/sistem-politik-indonesia