Anda di halaman 1dari 5

PENDAPAT

FRAKSI PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
TERHADAP
RUU USUL INISIATIF BALEG DPR-RI TENTANG PERUBAHAN
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004
TENTANG KOMISI YUDISIAL
&
RUU USUL INISIATIF KOMISI VIII DPR-RI
TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN
Disampaikan pada Rapat Paripurna DPR-RI, Senin , 27 September 2010
Oleh Juru Bicara Fraksi PPP DPR-RI : Drs. H. Zainut Tauhid Sa’adi, M.Si
Anggota DPR-RI Nomor : 305

Assalamu’alaikum Wr. Wb.,

Yang Terhormat Pimpinan Sidang,


Yang Terhormat Rekan-Rekan Anggota Dewan,
Dan Hadirin sekalian yang berbahagia,

Marilah kita bersama-sama memanjatkan puji dan syukur kehadlirat


Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya pada hari ini kita dapat
menghadiri Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
dalam keadaan sehat wal ‘afiat untuk mendengarkan Pendapat Fraksi-Fraksi
terhadap RUU tentang Komisi Yudisial dan RUU tentang Penanganan Fakir
Miskin. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW, rasul akhir zaman dan pembawa risalah
kebenaran bagi umat manusia.

Sidang dewan yang terhormat.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa selain Mahkamah Agung dan


Mahkamah Konstitusi yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga telah menetapkan adanya satu
komisi yang terkait dengan cabang kekuasaan judikatif, yaitu : Komisi Yudisial.
Komisi Yudisial telah dibentuk berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial yang kewenangannya secara khusus telah ditetapkan dalam
Pasal 24B ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
berbunyi : “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
2

menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku


hakim.”

Pembentukan Komisi Yudisial merupakan bahagian integral dalam


pembangunan sistem hukum nasional dalam upaya kita memperkokoh dan
mempercepat perwujudan Indonesia sebagai negara hukum. Namun dalam
implementasinya belum terjadi sinergi antara Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial, yang terjadi adalah perbedaan pemahaman terhadap undang-undang
berkenaan dengan kewenangan atas masing-masing lembaga, terutama terkait
dengan pengawasan hakim dan pedoman etika perilaku hakim. Fraksi PPP
berpendapat bahwa perbedaan pemahaman di antara lembaga penyelenggara
kekuasaan kehakiman ini menunjukan bahwa belum adanya satu pemahaman
yang benar terhadap kedudukan dan kewenangan masing-masing lembaga
dalam sistem kekuasaan negara terutama dalam kekuasaan judikatif.

Terhadap perbedaan pemahaman tersebut, Mahkamah Konstitusi telah


melakukan judicial review atas UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial dan mengeluarkan Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006. Dalam
rangka menindaklanjuti Putusan MK tersebut, saat ini telah dilakukan
perubahan sekaligus penyempurnaan atas UU KY. Setelah mengikuti secara
seksama pembahasan atas RUU ini, Fraksi PPP menyampaikan catatan
sebagai berikut;
1. Dalam rangka meningkatkan fungsi dan perannya, RUU ini telah
memberikan kewenangan kepada KY untuk membentuk jejaring di daerah
sesuai dengan kebutuhan. Dengan terbentuknya perwakilan KY di daerah
akan lebih memudahkan masyarakat untuk menyampaikan pengaduan atas
perilaku hakim yang melakukan pelanggaran kode etik.
2. Dalam rangka meningkatkan kapasitas kelembagaan dan kinerjanya, telah
ditetapkan pengangkatan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang deputi yang
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul KY. Penambahan
deputi secara khusus ditugaskan memberikan dukungan teknis yudisial,
sehingga KY dapat lebih optimal melaksanakan tugas dan kewenangannya.
3. Dalam hal pengusulan calon hakim agung dilakukan secara terbuka dengan
mengikutsertakan partisipasi masyarakat dan dilakukan seleksi oleh KY
dengan membuat alat uji guna mengukur kelayakan calon hakim agung.
Dengan demikian diharapkan calon-calon hakim agung yang diusulkan KY
kepada DPR merupakan calon hakim agung yang mumpuni dan
berintegritas terpuji.
4. Untuk mengefektifkan pelaksanaan pengawasan kode etik, maka Kode Etik
dan Perilaku Hakim disusun oleh KY dan Mahkamah Agung. Penyusunan
secara bersama-sama ini akan menjadi acuan bersama bagi kedua institusi
tersebut terhadap pengawasan perilaku hakim, sehingga tidak lagi terjadi
perbedaan pemahaman.
5. Bahwa dalam upaya menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku hakim, RUU ini telah menambah penugasan kepada KY
diantaranya; merekomendasikan promosi dan mutasi hakim, juga
memeriksa dan menyimpulkan dugaan pelanggaran Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim. Penambahan tugas ini dimaksudkan untuk
meningkatkan fungsi KY, namun dalam pelaksanaannya KY tetap harus
melakukan koordinasi dengan MA.
3

6. Bahwa RUU ini telah mengatur lebih detil mengenai mekanisme


pengawasan yang dilakukan oleh KY hingga usulan penjatuhan sanksi
pelanggaran. Dalam hal usulan penjatuhan sanksi bagi hakim pada Badan
Peradilan ditetapkan oleh Majelis Kehormatan Hakim dan Hakim Agung
ditetapkan ditetapkan oleh Majelis Kehormatan yang dibentuk oleh Komisi
Yudisial dan Mahkamah Agung. Adapun komposisinya adalah 7 (tujuh)
orang yang terdiri dari 4 (empat) orang anggota KT dan 3 (tiga) orang
Hakim Agung.

Berbagai perubahan dalam RUU ini telah memberikan peran yang lebih
besar bagi KY agar dapat menjalankan tugas dan kewenangannya secara
lebih efektif sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Namun, kami
mengingatkan bahwa usulan untuk penguatan KY ini harus dibarengi dengan
meningkatnya kinerja dan integritas kelembagaan untuk mewujudkan
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan pengawasan terhadap hakim yang
transparan untuk menegakan kehormatan dan keluhuran martabat, serta
menjaga perilaku hakim.

Pimpinan Sidang,
Rekan-Rekan Anggota Dewan,
Dan Hadirin Yang Terhormat,

Selanjutnya, ijinkan kami menyampaikan Pendapat Fraksi PPP atas


RUU Penanganan Fakir Miskin.

Masalah kemiskinan – sebagaimana kita fahami bersama – adalah


merupakan persoalan yang bersifat multidimensi dan lintas sektor yang
kompleks yang tidak bisa dengan secara mudah hanya dilihat dari angka-
angka yang bersifat absolut. Permasalahan masyarakat miskin haruslah dilihat
secara komprehensif, dengan upaya-upaya pemecahan yang membutuhkan
penanganan secara serius melalui berbagai model dan pola pendekatan, baik
dalam bentuk pemberian layanan dan rehabilitasi sosial, pemberdayaan dan
peningkatan ekonomi serta kesejahtaraan sosial, dan sebagainya. Kelemahan
dan kegagalan dalam melakukan pendekatan dan penanganan permasalahan
kemiskinan akan beresiko terhadap munculnya persoalan-persoalan lain
seperti kerawanan sosial maupun disintegrasi sosial. Kondisi demikian, lebih
lanjut akan dapat mempengaruhi pada besaran kebutuhan-kebutuhan biaya
untuk mengatasi permasalahan kemiskinan tersebut, dan bahkan berpotensi
mempengaruhi proses pembangunan secara nasional.

Hadirin yang berbahagia.

Sila ke-5 Pancasila dan Pembukaan Undand-Undang Dasar 1945


secara jelas menyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
menjadi dasar filosofi pembangunan bangsa; dan karenanya setiap warga
negara Indonesia berhak atas kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya.
Secara konseptual, pembangunan kesejahteraan sosial merupakan bagian dari
pembangunan sosial yang memberi perhatian pada keseimbangan kehidupan
manusia dalam memperbaiki atau menyempurnakan kondisi-kondisi sosialnya.
Dalam beberapa hal, pembangunan sosial dan pembangunan kesejahteraan
4

sosial memiliki makna yang sama mengingat sasaran utama pembangunan


adalah manusia dan lingkungannya, sedangkan tujuannya adalah untuk
meningkatkan kondisi kehidupan dan keseimbangan sosial baik secara
rohaniah maupun jasmaniah.

Salah satu sasaran pembangunan kesejahteraan sosial adalah


penanganan fakir miskin; oleh karena itu – dalam konteks ini – penanganan
fakir miskin, pembangunan kesejahteraan sosial, dan pembangunan sosial
merupakan bagian integral dalam kesatuan sistem pembangunan nasional
yang dilaksanakan searah, saling menunjang, saling melengkapi dan saling
menopang dengan pembangunan bidang-bidang lainnya dalam upaya yang
mengarah kepada semakin meningkatnya taraf kesejahteraan social fakir
miskin secara lebih adil, merata dan berkualitas.

Sidang dewan yang terhormat.

Selama ini, Pemerintah sebagai salah satu penyelenggara negara dan


pengemban amanat rakyat cukup berperan dalam menciptakan perluasan
kesempatan bagi terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat miskin seperti hak
atas pekerjaan, hak atas pangan, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan,
dan sebagainya. Komitmen penyelenggara Negara dalam penanganan fakir
miskin ini tentu saja harus selalu ditingkatkan, mengingat permasalahan
kemiskinan di Indonesia sesungguhnya adalah berakar pada strategi
pembangunan nasional yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi,
utang luar negeri, dan sektor financial. Akibatnya, Indonesia menjadi begitu
rentan terhadap gejolak moneter dan sulit lepas dari jebakan utang, yang
kurang berdampak langsung pada peningkatan kesempatan kerja, daya beli,
dan keadilan sosial.

Meskipun telah banyak kegiatan yang dilakukan dalam penyelenggaraan


penanganan fakir miskin, namun pada tataran realitas – seperti kita maklumi
bersama – hasil-hasil yang dicapai oleh pembangunan kesejahteraan sosial
masih jauh dari apa yang kita harapkan. Hal ini tampak dari berbagai indikator
pembangunan sosial, antara lain mengenai fenomena kemiskinan dan kualitas
hidup maupun kondisi sumber daya manusia. Berdasarkan perhitungan BPS
Tahun 1998, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 49,5 juta jiwa
(24,2%), meningkat cukup drastis dari jumlah penduduk miskin tahun 1996
sebesar 22,5 juta jiwa (11,3%). Peningkatan jumlah penduduk miskin ini terjadi
karena adanya krisis ekonomi sejak Juli 1997 yang mengakibatkan berbagai
dampak negative terhadap kehidupan masyarakat. Tidak saja pada aspek
melemahnya kegiatan ekonomi masyarakat, akan tetapi juga menurunnya
ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, dan bahkan melemahnya
kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Pada tahun 2004 – sejalan dengan membaiknya kondisi
perekonomian dan meningkatnya pendapatan masyarakat – jumlah penduduk
miskin yang sandat besar pada masa krisis (1998) tersebut secara bertahap
telah mengalami penurunan dan menjadi 36,1 juta jiwa (16,6%).

Kita menyadari bahwa untuk mengatasi permasalahan kemiskinan yang


demikian kompleks tentu saja tidak mungkin hanya dilakukan dan bertumpu
pada upaya-upaya yang diprogramkan oleh pemerintah melalui berbagai
5

kebijakan sektoral yang terpusat, seragam dan berjangka pendek. Pemecahan


masalah kemiskinan haruslah didasarkan pada pemahaman dan keterlibatan
masyarakat miskin itu sendiri sebagai bentuk penghormatan, perlindungan dan
pemenuhan terhadap hak-hak dasar mereka, yaitu hak sosial, budaya,
ekonomi dan politik. Bentuk pendekatan semacam ini lebih jauh akan
memberikan implikasi pada perubahan cara pandang terhadap hubungan
negara dan masyarakat, khususnya masyarakat miskin itu sendiri.

Pimpinan Sidang,
Rekan-Rekan Anggota Dewan,
Dan Hadiri Yang Terhormat,

Dengan mempertimbangkan berbagai pokok-pokok pikiran sebagaimana


diuraikan di atas, dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim seraya
memohon ridha Allah SWT, Fraksi PPP memberikan persetujuan terhadap
RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial dan RUU tentang Penanganan Fakir Miskin untuk selanjutnya
ditetapkan menjadi RUU DPR RI.

Demikianlah Pendapat Fraksi PPP disampaikan, atas perhatian


Pimpinan Sidang, Rekan-rekan Anggota Dewan, serta hadirin untuk
mendengarkan uraian ini kami ucapkan terima kasih.

Wallahul muwafiq ila aqwamith-thariq,


Wassalamu’alaikum Wr. Wb.,

Jakarta, 27 September 2010


PIMPINAN
FRAKSI PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
K e t u a, Sekretaris,

Drs. H. Hasrul Azwar, MM H.M. Romahurmuziy, ST, MT.

Anda mungkin juga menyukai