Anda di halaman 1dari 4

Pengantar.

Indonesia, sebagai sebuah bangsa, terbangun di atas aneka budaya yang


berbeda-beda tetapi diasumsikan tetap “satu” : Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda
dengan Jepang ataupun Korea, Indonesia tidak terbangun atas kultur yang homogen.
Bahkan, untuk wilayah Papua saja terdapat kurang lebih 132 suku bangsa dan bahasa
yang berlainan. Itu belum lagi budaya yang terdapat di pulau-pulau Kalimantan,
Sumatera, Jawa, dan lainnya. Lalu, bagaimana dapat seseorang memutuskan bahwa ia
tengah mengamati atau mempelajari budaya Indonesia?

Tentu saja, Indonesia tadinya merupakan sebuah konsep abstrak. Indonesia


merupakan sebuah ide yang dibentuk oleh para founding fathers guna mempersatukan
wilayah-wilayah nusantara ke dalam ikatan nation yang lebih besar secara politik
mengatasi sekat-sekat regional dan etnis. Secara politik, tatkala seseorang
mempelajari budaya Sekaten di Keraton Yogyakarta, dapat saja dikatakan bahwa ia
tengah mempelajari budaya Indonesia. Atau, dikala seorang peneliti mempelajari
budaya pemeliharaan tanaman hutan pada Suku Kubu di Jambi, ia juga dikatakan
tengah mempelajari budaya Indonesia. Yogyakarta dan Jambi merupakan dua wilayah
yang terikat ke dalam sebuah nation yang bernama Indonesia.

Atau, budaya nasional Indonesia tampak tatkala publik di luar Indonesia mengklaim
salah satu budaya “daerah” yang masuk wilayah Indonesia. Tatkala Malaysia memuat
Tari Pendet dalam brosur pariwisatanya, publik Indonesia menganggapnya sebagai
“penyerobotan” budaya. Ini juga terjadi tatkala Batik, yang dianggap sebagai produk
budaya Indonesia, dipatenkan oleh negara-negara lain. Publik Indonesia yang “marah”
terhadap sikap negara lain tersebut, misalnya dalam kasus Tari Pendet, bukan hanya
orang Bali saja melainkan lintas primordial suku di Indonesia. Ini membuktikan
signifikansi kajian mengenai budaya Indonesia: Kendati terbelah menjadi aneka suku
dengan produk budaya sendiri-sendiri, seluruh budaya berbeda tersebut telah diberi
trademark sebagai budaya Indonesia.

Masalah yang kerap muncul dalam negara dengan multikultur adalah masalah
primordial. Suku, agama, golongan, ataupun ras yang berbeda-beda kerap bersitegang
satu dengan lainnya guna mempertahankan eksistensi mereka. Manifestasi dari hal
tersebut adalah maraknya konflik antar masyarakat Indonesia seperti di Poso, Papua,
Sampit, Maluku, atau kerusuhan antara golongan pribumi versus etnis Cina. Integrasi
nasional merupakan pekerjaan rumah yang rumit dan berat tetapi harus diselesaikan
oleh seluruh elemen yang mengaku bagian dari nation Indonesia.

Definisi Budaya

Dalam mendekati permasalahan budaya Indonesia, akan digunakan sejumlah teori


guna mendekatinya. Teori ini bermanfaat selaku penjelasan seputar konsep budaya
yang digunakan dalam tulisan ini. Lewat teori-teori budaya, kita juga akan lebih
memahami aspek-aspek apa saja yang patut dikaji seputar Sistem Budaya Indonesia.

Menurut Kathy S. Stolley, budaya adalah seluruh gagasan (ide), keyakinan, perilaku,
dan produk-produk yang dihasilkan secara bersama, dan menentukan cara hidup suatu
kelompok. Budaya meliputi semua yang dikreasi dan dimiliki manusia tatkala mereka
saling berinteraksi. Stolley menjelaskan bahwa budaya meliputi aspek material dan
nonmaterial yang dihasilkan masyarakat tertentu. Budaya merupakan produk
masyarakat yang muncul dari interaksi antar individu di dalam masyarakat. Budaya
juga turut menentukan cara hidup suatu masyarakat.

Definisi budaya lainnya diajukan oleh A.L. Kroeber and Clyde Kluckhorn. Menurut
Kroeber and Kluckhorn,
“... culture consists of patterns, explicit and implisit, of and for behavior
acquired and transmitted by symbols, constituting the distinctive achievement
of human groups, including their embodiments in artifacts; the essential core
of culture consists of traditional (i.e., historically derived and selected) ideas
and especially their attached values; culture systems may on the one hand, be
considered as products of action, on the other as conditioning elements of
further action.”

Kroeber dan Kluckhorn menjelaskan bahwa budaya tidak hanya terdiri atas obyek-
obyek fisik. Budaya melibatkan representasi fisik dan mental secara simbolik dalam
melukiskan dunia. Hanya representasi-representasi yang relatif stabil dan membentuk
sistem hubungan antar anggota dari suatu kelompok sosial yang dapat dikatakan
sebagai bersifat “budaya”. Sebab itu, budaya mampu membedakan suatu kelompok
sosial satu dengan kelompok sosial lainnya.

Penulis lain yang cukup awal dalam meretas jalan ke arah studi budaya adalah Robert
L. Sutherland dan Julian L. Woodward dalam karyanya Introductory Sociology.
Dalam bahasannya mengenai suku-suku di Amerika, Sutherland dan Woodward
berupaya menjelaskan apa itu budaya jika dikontraskan dengan ras. Menurut mereka,
ras adalah bersifat genetik-fisik berupa warna kulit, bentuk hidung, warna rambut dan
ekspresi-ekspresi tubuh lain yang tampak. Ras diturunkan dari generasi ke generasi
lewat mekanisme pewarisan biologis.

Budaya, menurut Sutherland and Woodward meliputi seluruh cara berbuat di mana
seseorang mempelajarinya selaku anggota masyarakat. Termasuk ke dalam budaya
adalah pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, peralatan, dan
tata cara berkomunikasi. Budaya diwariskan dari satu generasi ke generasi lain lewat
mekanisme sosial berupa instruksi dan pemberian teladan dari anggota masyarakat
senior kepada junior.

Peneliti lain seperti David Matsumoto dan Linda Juang kemudian membedah budaya
secara lebih mendetail dalam bukunya Culture and Psychology. Menurut Matsumoto
and Juang, budaya adalah “
... a dynamic system of rules, explicit and implicit, established by groups in
order to ensure their survival, involving attitudes, values, beliefs, norms, and
behaviors, shared by a group but harbored differently by each specific unit
within the group, communicated accross generations, relatively stable but with
the potential to change accross time.”

Budaya bersifat dinamis oleh sebab budaya menggambarkan rata-rata kecenderungan perilaku. Budaya
tidak bisa menggambarkan seluruh perilaku individu dalam masyarakat yang mempraktekkan budaya
tertentu. Selalu akan ada perbedaan perilaku antar individu kendatipun kecil. Perbedaan ini menciptakan
ketegangan dinamis (dynamic tension) berupa “gap budaya” antara satu individu dengan individu lain
atau antara junior dengan seniornya. Atas dasar ini, budaya kemudian secara perlahan tetapi pasti
mengalami perubahan.
Budaya juga merupakan seperangkat sistem aturan. Budaya tidak mengacu pada satu perilaku, aturan,
sikap, ataupun nilai saja. Budaya mengacu pada keseluruhan dari paduan dari aspek-aspek tersebut.
Sebagai sebuah sistem, budaya mengkaitkan perilaku, aturan, sikap, dan nilai secara harmonis satu sama
lain.

Budaya merujuk pada kelompok dan unit-unit sosial. Budaya hadir di setiap tingkatan ---antarindividu
dalam kelompok atau antarkelompok dalam suatu kelompok besar (misalnya korporasi bisnis). Pendapat
ini menyatakan suatu relativitas budaya, bahwa dalam suatu budaya “besar” sesungguhnya terdapat
budaya-budaya yang lebih “kecil” yang merupakan bagian di dalamnya dan terkadang mengalami
ketegangan dengan budaya yang lebih “besar” tadi.

Budaya memastikan kelangsungan hidup suatu kelompok. Sistem aturan yang membentuk budaya secara
esensial memastikan kelangsungan hidup suatu kelompok. Aturan-aturan ini memungkinkan tiap-tiap
unit dalam kelompok hidup bersama satu sama lain, memungkinkan keteraturan sosial (social order)
tinimbang situasi kacau atau kebebasan mutlak. Secara umum, budaya merupakan cara manusia untuk
memenjarakan, mengendalikan, dan menghidari chaos.

Budaya juga berpotensi untuk berubah. Budaya adalah entitas dinamis yang merupakan hasil interaksi
ketat antara perilaku, sikap, nilai, keyakinan, dan norma. Tiap unit dalam masyarakat (individu) selalu
berubah setiap saat. Perubahan dari unit-unit ini kemudian terjadi dalam skala yang dapat saja stagnan
atau semakin besar lewat efek bola salju dan akhirnya, mengubah warna budaya secara keseluruhan.
Selanjutnya, Matsumoto and Juang menjelaskan serangkaian faktor yang mampu mempengaruhi suatu
budaya.

Pertama adalah faktor lingkungan. Lingkungan sebagai lokasi dipraktekkannya suatu kebudayaan
mempengaruhi sifat dari budaya itu sendiri. Wilayah yang miskin sumber daya alam penduduknya
cenderung mengembangkan semangat kerja tim dan spirit kelompok seraya berhubungan dengan
kelompok lain yang berlimpah sumber dayanya demi bertahan hidup. Kebutuhan dan hubungan ini
memicu karakteristik dan atribut psikologis tertentu yang membantu kerja tim, semangat kelompok, dan
kesalingbergantungan. Sebaliknya, di wilayah yang kaya sumber daya alam, masyarakat cenderung tidak
memilikinya seperti contoh pertama.

Kedua, faktor kepadatan penduduk. Masyarakat dengan kepadatan populasi yang tinggi butuh perangkat
keteraturan sosial yang lebih besar dalam menjamin keberfungsiannya. Masyarakat seperti ini lalu
menciptakan pengelompokan dan hirarki masyarakat yang lebih rumit tinimbang masyarakat dengan
kepadatan yang lebih rendah.

Ketiga, faktor teknologi. Teknologi semisal teknologi komunikasi (contohnya telepon seluler dan surat
elektronik), mengakibatkan interaksi personal berubah secara cepat. Komputer memungkinkan orang
bekerja secara lebih mandiri, jadi kurang bergantung pada orang lain. Ini berakibat pada perubahan
perilaku dan fungsi-fungsi psikologis seseorang dan lebih jauhnya, perubahan pada budaya.

Keempat, faktor iklim. Masyarakat yang tingga di dengan khatulistiwa, iklim panas, area tropis, akan
mengembangkan gaya hidup yang sangat berbeda dengan masyarakat yang tinggal di zona artik atau
zona bertemperatur rendah. Perbedaan iklim membentuk pakaian berbeda, makanan yang dimakan, jenis
penyakit, dan alat transportasi.

Dari definisi budaya Stolley di atas, dapat kita peroleh konsep-konsep seperti gagasan, keyakinan,
perilaku, produk, sementara dari pendapat Kroeber and Kluckhorn konsep-konsep seperti pola perilaku
yang diwariskan antargenerasi secara simbolik. Selain itu, masih menurut Kroeber and Kluckhorn,
budaya juga dapat memunculkan tindakan dan mengkondisikan tindakan-tindakan yang akan diambil di
masa kemudian.

Budaya membentuk cara bagaimana orang melihat dunia. Ia berpengaruh atas bagaimana kita berpikir,
bertindak, yang dijunjung tinggi, berbicara, organisasi-organisasi yang dibentuk, ritual yang
diselenggarakan, hukum yang dibuat, apa dan bagaimana yang kita sembah, apa yang kita makan, apa
yang kita pakai, dan apa yang kita sebut sebagai buruk atau baik.

Budaya di dunia sangat bervariasi. Budaya, bagi penganutnya, adalah “normal” ataupun “lebih baik”
ketimbang budaya yang dianut pihak lain. Terkadang seseorang yang memasuki budaya berbeda akan
mengalami “culture shock” atau kejutan budaya. Culture shock adalah kebingungan yang muncul tatkala
seseorang memasuki situasi atau cara hidup yang tidak dikenal. Seorang suku Sunda mungkin saja
terkejut melihat tata cara berpakaian, tatkala ia diberi kesempatan berkunjung ke kediaman seorang Suku
Dani di pedalaman Papua yang masih menggunakan koteka. Keterasingan yang ia alami tatkala
mengalami itu dapat disebut sebagai cultural shock.

Anda mungkin juga menyukai