Anda di halaman 1dari 6

Pembangunan

Pembangunan menurut Todaro (dalam “Pembangunan Ekonomi di Dunia ketiga”


hal 121) dijelaskan bahwa “pembangunan” berarti, kapasitas ekonomi nasional yang
kondisi ekonominya yang terdahulu lebih banyak statis dalam beberapa waktu lamanya,
kemudian mengangkat/menghasilkan dan menunjang peningkatan tiap tahun produk
nasional kotornya(PNK-nya). Pemahaman pembangunan diatas selama beberapa dekade
sebelum ini menjadi acuan banyak kalangan untuk kemudian menyusun indikator yang
akan digunakan bagi kemajuan pembangunan.
Setelah definisi diatas digunakan, disadari terjadi kesalahan dalam definisi
“pembangunan” yang digunakan selama ini. Kesalahan yang kemudian disadari adalah
meluasnya kemiskinan, meningkatnya ketimpangan – ketimpangan dalam pemerataan
penghasilan dan meningkatnya pengangguran. Pembangunan ekonomi kemudian digaris
kembali dengan dasar mengurangi kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran dalam
konteks pertumbuhan ekonomi atau ekonomi yang sedang berkembang ( Todaro dalam
“Pembangunan Ekonomi di Dunia ketiga” hal 123).
Pemerintah Indonesia menggunakan istilah pembangunan ekonomi sebagai
serangkaian usaha dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat, memperluas lapangan kerja distribusi pendapatan yang merata,
meningkatnya hubungan ekonomi regional dan mengusahakan pergeseran struktur
ekonomi yang lebih tinggi (dari sektor pertanian ke sektor industri). Dengan kata lain,
pembangunan ekonomi diarahkan agar pendapatan masyarakat dapat meningkat seiring
dengan peningkatan sektor – sektor pembangunan lainnya. (BPS dalam PDRB Situbondo
tahun 2004, hal 2).
Indikator Kemajuan Pembangunan
Todaro menyebutkan (dalam “Pembangunan Ekonomi di Dunia ketiga” hal 121)
bahwa untuk mengukur kemajuan ekonomi digunakan PNK per kapita sebagai bahan
pertimbangan kemampuan dari suatu negara untuk memperluas/mempertinggi
output/keluaran pada tingkat yang lebih cepat daripada pertumbuhan populasinya.
Pembangunan. Dalam lanjutannya, Todaro menyatakan ukuran – ukuran ekonomi
tersebut seringkali kemudian ditambahkan dengan indikator – indikator sosial umum
seperti pemberantasan buta aksara, sekolahan, kondisi – kondisi dan pelayanan
kesehatan, penyediaan perumahan. Untuk mempertajam makna pembangunan, Profesor
Dudley Seers dalam Todaro mengungkapkan spekulasinya pada negara berkembang
terhadap apa yang telah dilakukan terhadap kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan.
Karena itu indikator untuk melihat kemajuan pembangunan juga harus memperhatikan
ketiga hal diatas selain peningkatan pendapatan per kapita (Todaro dalam “Pembangunan
Ekonomi di Dunia ketiga” hal 123).
Karena perkembangan menunjukkan arah kemajuan atau kemunduran
(keterbelakangan) maka menurut Jhingan perkembangan ekonomi harus diukur dalam
arti kenaikan pendapatan nasional nyata dalam jangka waktu yang panjang. Berkaitan
dengan hal tersebut berarti merupakan kenaikan pendapatan atau output per kapita.
(Jhingan dalam “Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan” halaman 5-6).
Profesor Amri Amir, Guru Besar Fak ekonomi Universitas Jambi menyatakan
bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang amat penting dalam
menilai kinerja pembangunan perekonomian, terutama untuk melakukan analisis tentang
hasil pembangunan yang telah dilakukan suatu negara atau daerah. Karena itu konsep
pembangunan di Indonesia selalu mengacu pada Trilogi pembangunan yang meliputi :

1. Stabilitas (ekonomi) nasional


2. Pertumbuhan ekonomi dan
3. Pemerataan hasil – hasil pembangunan.

(Amri Amir, Jurnal Pengaruh inflasi dan pertumbuhan terhadap pengangguran di


Indonesia halaman 6-7)
Secara lebih jelas, Lincolin Arsyad menjabarkan (dalam “Ekonomi
Pembangunan” halaman 25), bahwa indikator keberhasilan pembangunan dapat dilihat
dari indikator moneter dan indikator non moneter. Indikator moneter mencakup
pendapatan per kapita dan indikator kesejahteraan ekonomi bersih. Sedangkan indikator
non moneter meliputi indikator sosial dan indeks kualitas hidup serta indeks
pembangunan manusia.
Pendapatan perkapita seringkali digunakan sebagai indikator pembangunan selain
untuk membedakan tingkat kemajuan ekonomi antara negara – negara maju dengan
Negara sedang berkembang. Dengan kata lain pendapatan perkapita selain bisa
memberikan gambaran tentang laju pertumbuhan kesejahteraan di berbagai negara juga
dapat menggambarkan perubahan corak perbedaan tingkat kesejahteraan masyarakat
yang sudah terjadi di antara berbagai negara (Lincolin Arsyad dalam “Ekonomi
Pembangunan” halaman 25).
Pendekatan indikator kemajuan diatas bukan tidak memiliki kelemahan, salah satu
kelemahan mendasarnya adalah bahwa tingkat pendapatan perkapita sebagai indikator
pembangunan adalah bersumber pada anggapan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat
ditentukan oleh besarnya pendapatan perkapita masyarakat tersebut. Padahal ada faktor –
faktor non ekonomi yang turut mempengaruhi tingkat kesejahteraan antara lain adat
istiadat, iklim, alam sekitar dan ada tidaknya kebebasan mengeluarkan pendapat dan
bertindak (Lincolin Arsyad dalam “Ekonomi Pembangunan” halaman 26). Kelemahan
kedua berikutnya adalah asumsi sejahtera yang digunakan merupakan hal yang bersifat
subyektif. Artinya tiap orang punya pandangan hidup, tujuan hidup dan cara – cara hidup
yang berbeda. Kelemahan metodologis lainnya bersumber dari pengabaikan perbedaan
antar negara mencakup struktur umur, penduduk, distribusi pendapatan nasional dan
perbedaan nilai mata uang (Lincolin Arsyad dalam “Ekonomi Pembangunan” halaman
27-28). Sederet kelemahan memang menyertai indikator tersebut, namun indikator
pendapatan perkapita tersebut tetaplah pendekatan yang terbaik saat ini karena
kelebihannya yang memfokuskan pada raison d’etre dari pembangunan yaitu kenaikan
tingkat hidup dan menghilangkan kemiskinan. Kelemahan dari indikator ini dapat
ditutupi dari beberapa indikator lain yang akan dijelaskan di belakang.
Indikator kemajuan pembangunan dari sisi indikator moneterlainnya adalah
indikator kesejahteraan ekonomi bersih. Indikator ini mencoba untuk mengoreksi nilai –
nilai GNP dengan konsep Net Economic Welfare (NEW). Koreksi dilakukan dengan dua
cara. Koreksi positif dan koreksi negatif. Koreksi positif berkenaan dengan jumlah jam
kerja dan sektor ekonomi informal. Koreksi negatif berkaitan dengan kerusakan
lingkungan . (Lincolin Arsyad dalam “Ekonomi Pembangunan” halaman 32-33). Ilustrasi
yang diberikan misal untuk koreksi negatif pada kerusakan lingkungan. Bersamaan
dengan hasil produk yang bermanfaat (misal sebuah bangunan perumahan yang nyaman),
dalam GNP terkadang juga “hasil” yang merugikan (misal kerusakan tanah galian batu
kali, polusi udara, air yang kesemuanya digunakan dalam pembangunan perumahan tadi).
Dari uaraian diatas “biaya” yang sangat merugikan itu belum tergambar dalam hasil
produk dan harga pasar. Oleh karena itu biaya – biaya ekonomi tersebut harus dikurangi
dari nilai GNP untuk mendapat NEW.
Indikator kemajuan pembangunan dari sisi non moneter adalah indikator sosial,
Beckerman dalam Lincolin Arsyad mengemukakan cara lain untuk membandingkan
tingkat kesejahteraan masyarakat di berbagai negara dengan cara yangn dinamakan
indikator non-moneter yang disederhanakan (Modified non-monetary indicators).
Indikator ini mengemuka karena ketidak tersediannya data yang digunakan pada negara
sedang berkembang untuk menghitung pendapatan nasional yang dinilai berdasarkan
harga-harga di negara lain. Cara ini menghitung tingkat kesejahteraan dari setiap negara
ditentukan kepada tingkat konsumsi atau jumlah persediaan beberapa jenis barang
tertentu yang datanya dapat dengan mudah diperoleh di negara – negara sedang
berkembang. Data tersebut adalah :

1. Jumlah konsumsi baja dalam satu tahun (kg)


2. Jumlah konsumsi semen dalam satu tahun dikalikan 10 (ton)
3. Jumlah surat dalam negeri dalam satu tahun
4. Jumlah persediaan pesawat radio dikalikan 10
5. jumlah persediaan telepon dikalikan 10
6. jumlah persediaan berbagai jenis kendaraan
7. Jumlah konsumsi daging dalam satu tahun (kg)

Selain Beckermanm United Nations Research Institut for Social Development (UNRISD)
juga mengembangkan ukuran indikator yang serupa namun dengan variabel yang
berbeda. (Lincolin Arsyad dalam “Ekonomi Pembangunan” halaman 36-37).
Indikator kemajuan pembangunan dari sisi non moneter lainnya adalah Indeks
Kualitas Hidup dan Indeks Pembangunan Manusia. Morris D morris dalam Lincolin
Arsyad mengenalkan Physical Quality of Life Index (PQLI) atau Indeks Kualitas Hidup.
IKH merupakan indeks gabungan dari 3 indikator ; tingkat harapan hidup, angka
kematian dan tingkat melek huruf. UNDP (United Nations for Development Program)
UNDP mengembangkan suatu indeks yang dikenal dengan Indeks Pembangunan manusia
(IPM) atau Human Development Indeks. Indikator tersebut tersusun dari tingkat harapan
hidup. Tingkat melek huruf masyarakat dan tingkat pendapatan riil per kapita
berdasarkan daya beli masing – masing negara (Lincolin Arsyad dalam “Ekonomi
Pembangunan” halaman 36-37).

Ukuran Kemajuan Pembangunan di Indonesia


Representasi pemerintah dalam melihat suatu ukuran atau indikator di Indonesia
adalah Badan Pusat Statistik. Karena itu urgen untuk melihat pandangan BPS dalam hal
ukuran kemajuan Pembangunan. Berdasarkan pada referensi yang telah dikemukakan
diatas, kita mencoba melihat bagaimana ketersediaan informasi yang diberikan BPS
terhadap beberapa indikator kemajuan pembangunan di Indoensia.
Dalam publikasi BPS (“Memahami data strategis yang dihasilkan BPS”, halaman
2) disebutkan bahwa perkembangan ekonomi suatu negara dari satu tahun ke tahun yang
lain dipantau dengan menggunakan ukuran PDB. Yang digunakan adalah PDB konstan
karena faktor fluktuasi yang disebabkan oleh perbedaan harga telah dieleminasi.
Referensi yang digunakan BPS adalah publikasi UN dengan judul A System of national
Acconts (1993).
Ukuran kemajuan pembangunan berikutnya adalah masalah kemiskinan.
Pendekatan yang dilakukan BPS adalah basic need. Digunakan di negara – negara lain
seperti Armenia, Sinegal, Pakistan, Banglades, Vietnam, Sierra Leone dan Gambia.
(“Memahami data strategis yang dihasilkan BPS”, halaman 51).
Indikator kemajuan pembangunan yang tersedia oleh BPS adalah statistik
ketenagakerjaan. Situasi ketenagakerjaan menggambarkan kondisi perekonomian, sosial,
bahkan tingkat kesejahteraan suatu wilayah dan dalam suatu/kurun waktu tertentu. Isu
penting di ketenagakerjaan selain keadaan angkatan kerja (economically active
population) dan struktur ketenagakerjaan adalah pengangguran. Karena pengangguran
dari sisi ekonomi merupakan produk dari ketidak mampuan pasar kerja dalam menyerap
angkatan kerja yanng tersedia. Referensi yang digunakan BPS adalah rekomendasi yang
diberikan ILO dalam buku “Surveys of Economically Active Population, Employment,
Unemployment and Underemployment” An ILO manual on conceps and Methods. ILO
1992. (“Memahami data strategis yang dihasilkan BPS”, halaman 63)
Indikator lain yang tersedia di Indonesia berdasarkan referensi adalah HDI. BPS
menggunakan UNDP (United Nations for Development Program) sebagai acuan
penyusunannya. (Indonesia, Laporan Pembangunan manusia 2001, hal 10). Jika
dibandingkan antara GDP/kapita dengan HDI, maka akan sering dijumpai
ketidaksesuaian interpretasi indikator yang ada. Berangkat dari fakta perekonomian
daerah, ketidaksesuaian ini dapat terlihat dengan terbukti semakin tinggi HDI (Human
Development Index) tidak selalu semakin tinggi PDRB/kapita. (Sutyastie Soemitro Remi,
www.pikiran-rakyat.com dalam http :// jendralaulia .multiply.com/journal/item/13). Hal
ini memang menunjukan bahwa indikator – indikator non moneter diperlukan untuk
melengkapi kelemahan metodologis indikator moneter seperti GDP.

Diseminasi Data
Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia pada tahun 2006 adalah 5,48 persen. Sedikit
menurun dibandingkan pada tahun 2005 yakni 5,68 persen. Sedangkan pendapatan
perkapita tahun 2006 adalah Rp. 13 190 397,- lebih tinggi dibandingkan keadaan tahun
2005 yakni sebesar Rp. 11 208 667. (Statistik Indonesiak tahun 1997, hal 544 dan 549).
Jumlah buruh di Indonesia agustus 2006 mencapai 26.8 juta jiwa, pekerja tidak
dibayar 16.2 juta jiwa. Kondisi PNS pada Desember 2006 di Indonesia berjumlah 3,73
PNS.

Tabel 1: Laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto ADHK 2000 Menurut Lapangan
Usaha (persen) 2003 – 2006
No Lapangan Usaha 2003 2004 2005 2006
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 Pertanian 3.79 2.82 2.66 2.98
2 Pertambangan, penggalian -1.37 -4.48 3.11 -1.29
3 Industri Pengolahan 5.33 6338 4.57 4.63
4 Listrik, gas, air bersih 4.87 5.30 6.30 5.87
5 Konstruksi 6.10 7.49 7.42 8.97
6 Perdagangan,hotel, Resoran 5.45 5.70 8.38 6.13
7 Pengangkutan dan Komunikasi 12.19 13.38 12.97 13.64
8 Keuangan 6.73 7.66 6.79 5.95
9 Jasa – Jasa 4.41 5.38 5.05 6.22
PDB 4.78 5.03 568 5.48
PDB tanpa migas 5.69 5.97 6.57 6.09
Sumber : BPS, Statistik Indonesia 2007

Tabel 2: Jumlah Penduduk Miskin berdasarkan kota dan Desa


Tahun 1996 – 2006

No Tahun Kota (juta) Desa (juta) Kota + desa (juta)


(1) (2) (3) (4) (5)
1 1996 9.42 24.59 34.01
2 1998 17.6 31.90 49.50
3 1999 12.42 25.10 37.50
4 2000 12.30 26.40 38.70
5 2001 8.60 29.30 37.90
6 2002 13.30 25.10 38.40
7 2003 12.20 25.10 37.30
8 2004 11.40 24.80 36.10
9 2005 12.40 22.70 35.10
10 2006 14.49 24.81 30.30

Sumber : BPS, Statistik Indonesia 2007

Referensi

Amri Amir, Jurnal Pengaruh inflasi dan pertumbuhan terhadap pengangguran


di Indonesia : FE Universitas Jambi

Badan Pusat Statistik. 2007. Statistik Indonesia 2007

Badan Pusat Statistik. 2007. Memahami Data Strategis yang Dihasilkan BPS

Badan Pusat Statistik. 2005. Produk Domestik Regional Bruto Situbondo 2004
Badan Pusat Statistik 2002. Indonesia Laporan Pembangunan Manusia 2001

Lincolin Arsyad, 2004. Ekonomi Pembangunan : Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi


Yogyakarta

M.L Jhingan . Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Rajawali Press

Michael P Todaro, 1983. Pembangunan Ekonomi di Dunia ke tiga : Ghalia Indonesia

Anda mungkin juga menyukai