Anda di halaman 1dari 2

Kepribadian Rabbani

Kepribadian Rabbani atau kepribadian ilahi adalah kepribadian individu yang didapati setelah
mentransformasikan asma’ (nama-nama) dan sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya untuk
kemudian diinternalisasikan dalam kehidupan nyata. Dalam bahasa sedernaha, kepribadian
rabbani adalah kepribadian individu yang mencerminkan sifat-sifat ketuhanan (rabbaniyah).

Pada definisi di atas mengandung tiga unsur utama :

1. Transformasi asma’ dan sifat-sifat Tuhan. Zat Tuhan tidak dapat dijangkau oleh manusia.
Manusia hanya terbatas mengenal pada-Nya melalui asma’ dan sifat-sifat-Nya yang
terkadung dalam Al-quran. Oleh karena itu, upaya transformasi (pemindahan) itu bukan
pada zat-Nya melainkan pada asma’ dan sifat-sifat-Nya.
2. Ke dalam diri individu. Sebagai diri-subjek, individu yang beriman kepada Allah Swt.
Harus berusaha meniru asma’ dan sifat-sifat-Nya pada diri sendiri sebatas kemampuan
kemanusiaannya.
3. Diinternalisasikan dalam kehidupan nyata. Kepribadian hanya dapat dinilai setelah
diaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Potensi fitriah yang tersembunyi, berupa asma’
dan sifat ketuhanan, harus diupayakan agar potensi itu mengaktual secara mudah tanpa
ada tekanan atau hambatan dalam aktualisasinya.

Adapun pola untuk menuju kepribadian rabbani ada dua. Pertama, pola yang merujuk asma’
dan sifat-sifat Allah Swt. Dalam diri manusia terdapat unsur-unsur asma’ dan sifat yang luhur
yang diturunkan dari asma’ dan sifat-sifat-Nya. Atas dasar pola pertama ini, manusia diserukan
berkepribadian sebagaimana kepribadian-Nya sebatas kemampuan manusia. Sebagaimana
hadits yang tidak diketahui sanadnya :

‫اهلل بَِق ْد ِرالطَّاقَِة الْبَ َش ِريَِّة‬


ِ ‫خَتَلَّ ُقوا بِأَخالَ ِق‬
ْ ْ
“Berkepribadianlah kamu seperti kepribadian Allah, sebatas pada kemampuan kemanusiaan”

Kedua, pola yang merujuk kepada implikasi psikologis setelah seseorang beriman kepada Allah.
Pola ini diasumsikan dari pemikiran bahwa individu yang beriman akan memiliki integrasi
kepribadian lebih baik dibanding yang tidak beriman sama sekali.

Dimensi-dimensi kepribadian rabbani, dengan memakai pola asma al-husna, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Laleh Bakhtiar memiliki tiga bagian, yaitu teoetika, psikoetika, dan sosioetika.

Teoetika, disebut juga kepribadian berketuhanan , adalah bagian dari kepribadian rabbani yang
mendorong individu untuk berketuhanan secara baik dan benar. Seluruh asma al-husna
mencerminkan bagian ini, meskipun tidak diklasifikasikan secara terperinci.
Psikoetika, disebut juga kepribadian berkemanusiaan, adalah bagian kepribadian rabbani yang
mendorong individu untuk berkepribadian baik. Aktualisasi potensi diri menjadi target utma
dalam psikoetika.

Sosioetika, disebut juga kepribadian bersosial, adalah bagian dari kepribadian rabbani yang
mendorong individu untuk berkepribadian sosial secara baik.

Kiat-kiat mentransinternalisasikan kepribadian Rabbani

1. Menjaga dan memelihara potensi fitriah asmaul husna pada dirinya.


2. Berdzikir dengan asmaul husna, baik dengan ucapan lisan maupun dengan mengingat di
dalam hati, sebab hal itu akan mengingatkan manusia pada potensi fitrinya. Ketika
individu berdzikir Ya Rahman Ya Rahim memiliki arti peringatan untuk bersifat pengasih
dan penyayang pada orang lain.
3. Berdoa dengan asmaul husna, karena hal itu meningkatkan auto-sugesti untuk
berkepribadian baik. Doa itu ada bersiafat umum, Karena doanya tidak dilatarbelakangi
oleh motivasi tertentu. Seperti seorang yang berdoa “Ya Arham al-Rahimin irhamna”
(wahai Zat yang paling Penyayang, sayangilah kami). Ada pula doa yang bersifat khusus,
karena ada keperluan khusus. Seperti doa seorang yang terbelit hutang kemudian
berdoa “Ya Fattah Ya Razzaq”.

Anda mungkin juga menyukai